Sabtu, 04 Juni 2016

Buai Putiak dan Buai Kotong

NAMA dan cerita Buai Putiak dan Buai Kotong sudah tak asing lagi bagi masyarakat di Lebong, karena kedua binatang yang dipercayai sebagai makhluk manusia jadi-jadian yang menunggu suatu tempat itu, kadang ada yang beranggapan sebagai pelindung masyarakat. Cerita Buai Putiak ( Buai = buaya, Putiak = putih ) adalah kisah seekor buaya putih yang menghuni dan menunggu mata air Bioa Ketahun ( Bioa = air atau sungai, Ketawen = nama sungai ) di daerah Siang Langkat, masih masuk wilayah Sukanegeri ( Topos ).
Konon, buaya putih itu menurut kepercayaan masyarakat, tak lain tak bukan jelmaan dari raja Asai Siang yang raib setelah menguburkan harta bendanya yang kesemuanya terbuat dari emas murni di daerah Lebong Siang. Karena tak mau membalas dendam kepada orang-orang yang mencuri harta bendanya, maka Ajai Siang menghilang ( raib ) dari kehidupan duniwi.
Dan, akhirnya memilih tempat di sumber mata air Bioa Ketawen, serta merta menjelma menjadi seekor buaya putih. Dengan wujudnya seperti itu, kata orang-orang Lebong, Ajai Siang dapat mengawasi dan melindungi keturunannya dari berbagai malapetaka yang akan atau sedang menimpa masyarakat di Topos ( Sukanegeri ).
Baik buruknya Bioa Ketawen ( Sungai Ketahun ), selalu menjadi perhatian buaya putih alias Ajai Siang. Ia menjaga sumber mata air itu, agar tetap bersih, jernih dan dapat diminum oleh siapa saja, tanpa harus memasaknya terlebih dahulu. Buaya putih atau buai putiak itu, memang tak sembarangan memperlihatkan diri. Di samping itu pula, sumber mata air Bioa Ketawen memang jarang didatangi orang, sebab tempatnya sangat jauh dan perjalanan menuju ke sana sangat sukar. Karena harus melalui hutan lebat yang masih banyak binatang buasnya.
Pada suatu waktu, buaya putih ingin berjalan-jalan ke muara Bioa Ketawen yang mengalir ke Samudera Indonesia di daerah Besisia ( pesisir dan sekarang termasuk wilayah Bengkulu Utara ). Maka, untuk memudahkan perjalanannya, buaya putih menjelma menjadi sepotong kayu besar dan hanyut bersama banjir Bioa Ketawen. Tanpa aral melintang, buaya putih sudah melewati dusun Topos, Talangdonok, Rimbo Pengadang, Tapus dan ia segera memasuki daerah Danau Tes.
Ia sadar, kalau di Danau Tes yang merupakan bendungan tak sengaja yang dibuat oleh Pahit Lidah, ada penunggu lain yang berwujud sebagai seekor Buaya Sakti . Buaya putih sudah tahu, kalau buai sakti takkan mengizinkan siapapun yang akan melewati Danau Tes. Bagi makhluk-makhluk jelmaan yang sakti, bila ingin melewati Danau Tes, harus bertarung dengan Buai Sakti terlebih dahulu. Biasanya tak ada yang mampu melawan Buai Sakti Tawen Blau itu.
Tapi, karena tekad yang sudah bulat, Buai Putiak alias buaya putih itu tetap nekat. Dengan wujudnya sebagai sebatang pohon yang dihanyutkan air, ia yakin Buai Sakti tak akan tahu, kalau kayu besar itu adalah dirinya. Ternyata, dugaan Buai Putiak meleset sama sekali.
Sesampai di mulut Danau Tes, tepatnya di Jungut Benei ( jungut = tanjung, benei = pasir ) Buai Putiak sudah ditunggu oleh Buai Sakti. Berdebarlah hati Buai Putiak manakala ia melihat Buai Sakti siap menghadangnya. Oleh karenanya, Buai Putiak pura-pura tetap sebagai pohon yang hanyut. Tapi, betapa kagetnya Buai Putiak, manakala ia mendengar suara lantang dari Buai Sakti.
“Hai, sahabatku dari hulu Bioa Ketawen. Apa gerangan sahabat memasuki wilayah hamba,” tegus Buai Sakti sambil menunjukkan jari kaki depannya ke arah Buai Putiak yang masih berwujud kayu. Mendengar teguran yang angker itu, Buai Putiak tak menjawab. Ia tetap tak mau memperlihatkan wujudnya. Sayang, karena tak mau memperlihatkan wujudnya itu, Buai Sakti marah.
“Apa sahabat sudah tak mendengar kata-kata saja,” ujarnya jengkel. Tapi, yang ditegur tak jua mau menjawab. Buai Putiak asyik berhanyut bersama air. Sebagian badannya berada di dalam air, sebagian atau punggungnya berada di atas permukaan air. Karena jengkel, Buai Sakti lalu melompat ke dalam air. Ia hampiri kayu besar yang hanyut itu dengan perasaan geram.
Lalu, dengan cakarnya Buai Sakti mencabik-cabik kulit kayu itu—yang sebenarnya adalah seekor buaya berwarna putih. Namun, Buai Putiak tak bereaksi apa-apa, walaupun ia merasa tubuhnya makin lama makin perih. Karena tak tahan, buaya putih (buai putiak) itu akhirnya berubah wujud menjadi buaya. Ia mencoba menenagkan Buai Sakti dengan sapaan ramah.
“Maaf, maaf sahabatku penunggu aliran air masuk ke Danau Tes, hamba tak bermaksud mengganggu sahabat. Tapi, hamba ingin berjalan-jalan ke muara,” kata Buai Putiak. Tapi, keramahan itu tak disambut oleh Buai Sakti, karena dirinya sudah merasa jengkel dan marah. Buai Sakti terus berusaha untuk meringkus Buai Putiak.
Menyadari keadaan tak mungkin bisa didamaikan, Buai Putiak pun melayani serangan Buai Sakti. Kedua makhluk jelmaan jadi binatang buaya itu akhirnya berkelahi dengan kesaktian masing-masing. Perkelahian keduanya memang seru. Menurut cerita perkelahian hebat itu berlangsung selama 7 hari 7 malam. Dan, keduanya tetap tak ada yang kalah atau menang.
“Hai sahabatku Buai Sakti, apa manfaat kalau kita berkelahi terus menerus. Kekuatan kita sama-sama hebat, apakah tidak baiknya kalau kita berdamai saja,” kata Buai Putiak.
“Tak ada perdamaian, ini kekuasaan saya, dan di Danau Tes itu berkuasa pula sahabat Dung Ulau Tujuak (Dung= ular, Ulau = kepala, dan Tujuak = tujuh ). Sebelum kamu, wahai sahabat penunggu sumber mata air Bioa Ketawen di makan Dung Ulau Tujuak, lebih baik saya yang mengalahkanmu terlebih dahulu, agar tak sembanrangan memasuki wilayah kekuasaan kami,” jawab Buai Sakti.
Sebenarnya, Buai Putiak tak mau melayani kemarahan sahabatnya Buai Sakti. Tetapi, karena dirinya sudah kena cakar lebih dahulu, serta merta mendapat penghinaan dari Buai Sakti. Maka, ia layani saja kemauan Buai Sakti.
“Baiklah sahabat, kalau itu maumu, apaboleh buat kita pun harus bertarung lagi hingga ketahuan siapa yang lebih hebat di antara kita,” ujar Buai Putiak dengan suara pelan, tapi berisi. Sejenak, Buai Sakti masih angkuh. Namun, lama kelamaan ia berpikir; “Sudah 7 hari 7 malam ia berkelahi dengan Buai Putiak. Tapi, belum ada yang menang atau kalah. Dirinya juga sudah mengalami luka akibat tebasan ekor Buai Putiak yang menyebabkan ekornya putus….”
Sejak saat itulah, Buai Sakti berubah nama menjadi Buai Kotong, karena ekornya putus oleh Buai Putiak dalam perkelahian tanding selama 7 hari 7 malam di tawen Blau, yang juga mengakibatkan warna air di Danau Tawen Blau menjadi kuning hingga sekarang ini.
“Baik. Baiklah!” jawab Buai Sakti. Namun, katanya lebih lanjut kita harus mengadakan perjanjian, agar tak saling mengganggu dan memasuki wilayah masing-masing tanpa peberitahuan. Konon kabarnya di dalam cerita masyarakat Kotadonok, Buai Kotong yang punya istana di bawah dusun Kotadonok—tepatnya di kawasan kuburan Padang Jiet  (nama lokasi pemakaman umum dusun Kotadonok) dan pintu masuk istana Buai Kotong itu berada di Tawen Blau ( Tawen = danau baru dari bentukan Danau Tes, Blau = baru ). Wilayah kekuasaan Buai Sakti hanya sampai Jungut Benei dan seluruh kawasan Tawen Blau yang di dasarnya banyak lumpur, pinggirannya banyak ditumbuhi pun peak ( bambu-bambu air berukuran kecil ), pun rumbia (pohon rumbia yang bisa diambil sagunya ) serta enceng gondok.
Akhirnya Buai Putiak dan Buai Sakti sepakat mengadakan perjanjian, yang isinya saling menjaga daerah masing-masing dari serangan musuh. “Engkau sahabat Buai Putiak tetaplah menjaga sumber mata air Bioa Ketawen, dan hamba menjaga jalur masuk Bioa Ketawen menuju Danau Tes,” kata Buai Sakti.
“Ya, sebaiknya demikian,” jawab Buai Putiak. Tapi, kata dia hamba mohon kalau hamba mau ke muara Bioa Ketawen, kiranya sahabat tak keberatan hamba lewat di daerah kekuasaan sahabat, hamba akan menjelma menjadi kayu kalau lewat di daerah ini. Mendengar permohonan Buai Putiak itu, Buai Sakti akhirnya berpikir, “Kenapa saya harus melarang dia lewat di sini, bukankah kami ini adalah bersahabat?” gumamnya dalam hati.
“Baik, hamba akan izinkan sahabat bila suatu saat akan ke Muara Bioa Ketawen dan melewati daerah kekuasaan hamba. Tapi, jangan sekarang,” pinta Buai Sakti. Keduanya memang sepakat berdamai, namun Buai Putiak harus membatalkan kunjungannya ke Muara Bioa Ketawen.
Menurut cerita rakyat Lebong, dalam perkelahian tanding antara Buai Putiak dan Buai Sakti di Tawen Blau—bagian Timur Danau Tes, air di daerah itu menjadi keruh, warna kuning sepanjang hari. Bahkan, hingga sekarang warna air di Tawen Blau itu tetap berwarna kuning, padahal Tawen Blau menyatu dengan Danau Tes yang airnya jernih dan bening.
Sampai sekarang juga, peristiwa perkelahian antara Buai Putiak dan Buai Sakti tetap menjadi cerita menarik orang-orangtua di Lebong kepada anak-anak mereka. Hanya, tidak diketahui persis, apakah Buai Kotong itu masih ada atau tidak. Sebab, Tawen Blau ( Tawen = Ketahun, Blau = Baru )makin lama makin mendangkal, akibat lumpur yang terbawa oleh anak sungai dari Bioa Tik, Bioa Tiket, Bioa Pacua Telai ( Pacua = pancuran, Telai = nama air/sungai) dan Bioa-Bioa Tik lainnya ( Bioa= air/sungai, tik = kecil ).
Hanya saja, setelah peristiwa itu, Buai Sakti memiliki sebutan lain dari nama aslinya menjadi Buai Kotong ( Buai = buaya, Kotong = sudah putus ekornya. Maksudnya ekor buaya sakti sudah putus).

Kesimpulan:
Dari cerita di atas, didapatlah pelajaran, bahwa kesombongan diri terhadap orang lain tidak perlu dijadikan sifat dan sikap hidup. Karena, orang hebat itu adalah orang yang berbuat baik dan mau mengerti keadaan orang lain, kapan dan di mana saja. Serta, kekuasaan di bumi ini ada batasnya, sebab makhluk yang ada hanya menjaga dan melestarikan apa yang telah diciptakan oleh Tuhan.

Tidak ada komentar: