NAMA dan cerita Buai Putiak dan Buai Kotong sudah tak
asing lagi bagi masyarakat di Lebong, karena kedua binatang yang dipercayai
sebagai makhluk manusia jadi-jadian yang menunggu suatu tempat itu, kadang ada
yang beranggapan sebagai pelindung masyarakat. Cerita Buai Putiak ( Buai = buaya,
Putiak = putih ) adalah kisah seekor
buaya putih yang menghuni dan menunggu mata air Bioa Ketahun ( Bioa = air atau sungai, Ketawen = nama
sungai ) di daerah Siang Langkat, masih masuk wilayah Sukanegeri ( Topos ).
Konon, buaya putih itu menurut
kepercayaan masyarakat, tak lain tak bukan jelmaan dari raja Asai Siang yang
raib setelah menguburkan harta bendanya yang kesemuanya terbuat dari emas murni
di daerah Lebong Siang. Karena tak mau membalas dendam kepada orang-orang yang
mencuri harta bendanya, maka Ajai Siang menghilang ( raib ) dari kehidupan
duniwi.
Dan, akhirnya memilih tempat di
sumber mata air Bioa Ketawen, serta merta menjelma menjadi seekor buaya putih. Dengan
wujudnya seperti itu, kata orang-orang Lebong, Ajai Siang dapat mengawasi dan
melindungi keturunannya dari berbagai malapetaka yang akan atau sedang menimpa
masyarakat di Topos ( Sukanegeri ).
Baik buruknya Bioa Ketawen ( Sungai Ketahun ), selalu
menjadi perhatian buaya putih alias Ajai Siang. Ia menjaga sumber mata air itu,
agar tetap bersih, jernih dan dapat diminum oleh siapa saja, tanpa harus
memasaknya terlebih dahulu. Buaya putih atau buai putiak itu, memang tak
sembarangan memperlihatkan diri. Di samping itu pula, sumber mata air Bioa
Ketawen memang jarang didatangi orang, sebab tempatnya sangat jauh dan
perjalanan menuju ke sana
sangat sukar. Karena harus melalui hutan lebat yang masih banyak binatang
buasnya.
Pada suatu waktu, buaya putih
ingin berjalan-jalan ke muara Bioa Ketawen yang mengalir ke Samudera Indonesia di
daerah Besisia ( pesisir dan
sekarang termasuk wilayah Bengkulu Utara ). Maka, untuk memudahkan
perjalanannya, buaya putih menjelma menjadi sepotong kayu besar dan hanyut
bersama banjir Bioa Ketawen. Tanpa aral melintang, buaya putih sudah melewati
dusun Topos, Talangdonok, Rimbo Pengadang, Tapus dan ia segera memasuki daerah
Danau Tes.
Ia sadar, kalau di Danau Tes
yang merupakan bendungan tak sengaja yang dibuat oleh Pahit Lidah, ada penunggu
lain yang berwujud sebagai seekor Buaya Sakti . Buaya putih sudah tahu, kalau
buai sakti takkan mengizinkan siapapun yang akan melewati Danau Tes. Bagi
makhluk-makhluk jelmaan yang sakti, bila ingin melewati Danau Tes, harus
bertarung dengan Buai Sakti terlebih dahulu. Biasanya tak ada yang mampu
melawan Buai Sakti Tawen Blau itu.
Tapi, karena tekad yang sudah
bulat, Buai Putiak alias buaya putih itu tetap nekat. Dengan wujudnya sebagai
sebatang pohon yang dihanyutkan air, ia yakin Buai Sakti tak akan tahu, kalau
kayu besar itu adalah dirinya. Ternyata, dugaan Buai Putiak meleset sama
sekali.
Sesampai di mulut Danau Tes,
tepatnya di Jungut Benei ( jungut =
tanjung, benei = pasir ) Buai Putiak sudah ditunggu oleh Buai Sakti.
Berdebarlah hati Buai Putiak manakala ia melihat Buai Sakti siap menghadangnya.
Oleh karenanya, Buai Putiak pura-pura tetap sebagai pohon yang hanyut. Tapi,
betapa kagetnya Buai Putiak, manakala ia mendengar suara lantang dari Buai
Sakti.
“Hai, sahabatku dari hulu Bioa
Ketawen. Apa gerangan sahabat memasuki wilayah hamba,” tegus Buai Sakti sambil
menunjukkan jari kaki depannya ke arah Buai Putiak yang masih berwujud kayu.
Mendengar teguran yang angker itu, Buai Putiak tak menjawab. Ia tetap tak mau
memperlihatkan wujudnya. Sayang, karena tak mau memperlihatkan wujudnya itu,
Buai Sakti marah.
“Apa sahabat sudah tak
mendengar kata-kata saja,” ujarnya jengkel. Tapi, yang ditegur tak jua mau
menjawab. Buai Putiak asyik berhanyut bersama air. Sebagian badannya berada di
dalam air, sebagian atau punggungnya berada di atas permukaan air. Karena
jengkel, Buai Sakti lalu melompat ke dalam air. Ia hampiri kayu besar yang
hanyut itu dengan perasaan geram.
Lalu, dengan cakarnya Buai
Sakti mencabik-cabik kulit kayu itu—yang sebenarnya adalah seekor buaya
berwarna putih. Namun, Buai Putiak tak bereaksi apa-apa, walaupun ia merasa
tubuhnya makin lama makin perih. Karena tak tahan, buaya putih (buai putiak)
itu akhirnya berubah wujud menjadi buaya. Ia mencoba menenagkan Buai Sakti
dengan sapaan ramah.
“Maaf, maaf sahabatku penunggu
aliran air masuk ke Danau Tes, hamba tak bermaksud mengganggu sahabat. Tapi,
hamba ingin berjalan-jalan ke muara,” kata Buai Putiak. Tapi, keramahan itu tak
disambut oleh Buai Sakti, karena dirinya sudah merasa jengkel dan marah. Buai
Sakti terus berusaha untuk meringkus Buai Putiak.
Menyadari keadaan tak mungkin
bisa didamaikan, Buai Putiak pun melayani serangan Buai Sakti. Kedua makhluk
jelmaan jadi binatang buaya itu akhirnya berkelahi dengan kesaktian masing-masing.
Perkelahian keduanya memang seru. Menurut cerita perkelahian hebat itu
berlangsung selama 7 hari 7 malam. Dan, keduanya tetap tak ada yang kalah atau
menang.
“Hai sahabatku Buai Sakti, apa
manfaat kalau kita berkelahi terus menerus. Kekuatan kita sama-sama hebat,
apakah tidak baiknya kalau kita berdamai saja,” kata Buai Putiak.
“Tak ada perdamaian, ini
kekuasaan saya, dan di Danau Tes itu berkuasa pula sahabat Dung Ulau Tujuak
(Dung= ular, Ulau = kepala, dan Tujuak = tujuh ). Sebelum kamu, wahai sahabat
penunggu sumber mata air Bioa Ketawen di makan Dung Ulau Tujuak, lebih baik
saya yang mengalahkanmu terlebih dahulu, agar tak sembanrangan memasuki wilayah
kekuasaan kami,” jawab Buai Sakti.
Sebenarnya, Buai Putiak tak mau
melayani kemarahan sahabatnya Buai Sakti. Tetapi, karena dirinya sudah kena
cakar lebih dahulu, serta merta mendapat penghinaan dari Buai Sakti. Maka, ia
layani saja kemauan Buai Sakti.
“Baiklah sahabat, kalau itu
maumu, apaboleh buat kita pun harus bertarung lagi hingga ketahuan siapa yang
lebih hebat di antara kita,” ujar Buai Putiak dengan suara pelan, tapi berisi.
Sejenak, Buai Sakti masih angkuh. Namun, lama kelamaan ia berpikir; “Sudah 7
hari 7 malam ia berkelahi dengan Buai Putiak. Tapi, belum ada yang menang atau
kalah. Dirinya juga sudah mengalami luka akibat tebasan ekor Buai Putiak yang
menyebabkan ekornya putus….”
Sejak saat itulah, Buai Sakti
berubah nama menjadi Buai Kotong, karena ekornya putus oleh Buai Putiak dalam
perkelahian tanding selama 7 hari 7 malam di tawen Blau, yang juga
mengakibatkan warna air di Danau Tawen Blau menjadi kuning hingga sekarang ini.
“Baik. Baiklah!” jawab Buai
Sakti. Namun, katanya lebih lanjut kita harus mengadakan perjanjian, agar tak
saling mengganggu dan memasuki wilayah masing-masing tanpa peberitahuan. Konon
kabarnya di dalam cerita masyarakat Kotadonok, Buai Kotong yang punya istana di
bawah dusun Kotadonok—tepatnya di kawasan kuburan Padang Jiet (nama lokasi
pemakaman umum dusun Kotadonok) dan pintu masuk istana Buai Kotong itu berada
di Tawen Blau ( Tawen = danau baru dari bentukan Danau Tes, Blau
= baru ). Wilayah kekuasaan Buai
Sakti hanya sampai Jungut Benei dan seluruh kawasan Tawen Blau yang di dasarnya
banyak lumpur, pinggirannya banyak ditumbuhi pun peak ( bambu-bambu air berukuran kecil ), pun rumbia (pohon rumbia yang bisa diambil sagunya ) serta enceng
gondok.
Akhirnya Buai Putiak dan Buai
Sakti sepakat mengadakan perjanjian, yang isinya saling menjaga daerah
masing-masing dari serangan musuh. “Engkau sahabat Buai Putiak tetaplah menjaga
sumber mata air Bioa Ketawen, dan hamba menjaga jalur masuk Bioa Ketawen menuju
Danau Tes,” kata Buai Sakti.
“Ya, sebaiknya demikian,” jawab
Buai Putiak. Tapi, kata dia hamba mohon kalau hamba mau ke muara Bioa Ketawen,
kiranya sahabat tak keberatan hamba lewat di daerah kekuasaan sahabat, hamba
akan menjelma menjadi kayu kalau lewat di daerah ini. Mendengar permohonan Buai
Putiak itu, Buai Sakti akhirnya berpikir, “Kenapa saya harus melarang dia lewat
di sini, bukankah kami ini adalah bersahabat?” gumamnya dalam hati.
“Baik, hamba akan izinkan
sahabat bila suatu saat akan ke Muara Bioa Ketawen dan melewati daerah
kekuasaan hamba. Tapi, jangan sekarang,” pinta Buai Sakti. Keduanya memang
sepakat berdamai, namun Buai Putiak harus membatalkan kunjungannya ke Muara
Bioa Ketawen.
Menurut cerita rakyat Lebong,
dalam perkelahian tanding antara Buai Putiak dan Buai Sakti di Tawen
Blau—bagian Timur Danau Tes, air di daerah itu menjadi keruh, warna kuning
sepanjang hari. Bahkan, hingga sekarang warna air di Tawen Blau itu tetap
berwarna kuning, padahal Tawen Blau menyatu dengan Danau Tes yang airnya jernih
dan bening.
Sampai sekarang juga, peristiwa
perkelahian antara Buai Putiak dan Buai Sakti tetap menjadi cerita menarik
orang-orangtua di Lebong kepada anak-anak mereka. Hanya, tidak diketahui
persis, apakah Buai Kotong itu masih ada atau tidak. Sebab, Tawen Blau ( Tawen = Ketahun, Blau = Baru )makin lama makin mendangkal, akibat lumpur yang
terbawa oleh anak sungai dari Bioa Tik, Bioa Tiket, Bioa Pacua Telai ( Pacua = pancuran, Telai = nama air/sungai) dan Bioa-Bioa Tik lainnya ( Bioa= air/sungai, tik = kecil ).
Hanya saja, setelah peristiwa
itu, Buai Sakti memiliki sebutan lain dari nama aslinya menjadi Buai Kotong ( Buai = buaya, Kotong =
sudah putus ekornya. Maksudnya ekor buaya sakti sudah putus).
Kesimpulan:
Dari cerita di atas, didapatlah pelajaran, bahwa
kesombongan diri terhadap orang lain tidak perlu dijadikan sifat dan sikap
hidup. Karena, orang hebat itu adalah orang yang berbuat baik dan mau mengerti
keadaan orang lain, kapan dan di mana saja. Serta, kekuasaan di bumi ini ada
batasnya, sebab makhluk yang ada hanya menjaga dan melestarikan apa yang telah
diciptakan oleh Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar