Sabtu, 28 Februari 2009

Lampung, Modal Daerah buat Republik Indonesia

Lampung, Modal Daerah buat Republik Indonesia
Oleh Firdaus Augustian dan Ahmad Duki Hamim
Peminat Sejarah dan Ketua Pelaksana DHD Angkatan 45 Provinsi Lampung

Revolusi Indonesia berakar pada ide dan konsep-konsep yang lahir pada zaman Pergerakan Nasional (1908-1942-1945). Cita-cita budaya, sosial, ekonomi, kedaulatan rakyat, dan akhirnya konsepsi bangsa serta kemerdekaan mendasarinya. Cita-cita nasional yang mulai muncul itu merupakan suatu kesadaran baru yang berbeda dengan kesadaran dinastikal dalam kerajaan-kerajaan tradisional. Kesadaran baru itu mulai membayangkan adanya suatu kesatuan politik yang lebih luas dalam pengertian modern, yaitu suatu nation state yang meliputi wilayah jajahan Hindia Belanda.
Konsep nasionalisme dan antikolonialisme mengangkat peristiwa-peristiwa di sekitar kekosongan kekuasaan yang timbul pada pertengahan Agustus 1945 menjadi suatu revolusi yang berakibat baik nasional maupun internasional. Kekuatan-kekuatan sosial primordial (tradisional) yang bangkit dan bergolak pada nasionalisme dan tuntutan kemerdekaan (Onghokham PhD., Yale University, 1975, ahli Peneliti Utama LIPI, Tempo No 8 / 1985). Analisis text book politik boleh menginterpretasikan bagaimana Proklamasi 17 Agustus 1045 itu dirancang.
Karena dilatarbelakangi fakta Dokuritsu Zyoonbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang diketuai Dr Radjiman Wedyoningrat dengan 60 orang anggotanya, termasuk Bung Karno, Bung Hatta, Moh Yamin, Wahid Hasyim, Abdul Kohar Muzakir, AM Das'ad, merupakan badan bentukan Pemerintah Jepang. Tanggal 14 Agustus 1945, Dr Radjiman Wedyoningrat, Ir Soekarno, dan Drs Moh Hatta dipanggil ke Dalat, kota kecil dekat Saigon, Pusat Komando Angkatan Darat Jepang Wilayah Asia Selatan.
Panggilan ini untuk menghadap Marsekal Terauchi, komandan Komando Angkatan Darat Jepang Wilayah Asia Selatan, menerima briefing kemerdekaan Indonesia. Tanggal 16 Agustus 1945, malam hari, di bawah jaminan keamanan Laksamana Muda Tadashi Maeda, Bung Karno, Bung Hatta, Sayuti Melik, Mr Ahmad Soebarjo, Prof Soepomo, Sukarni, pada saat bulan suci Ramadan, dipersiapkan naskah Proklamasi untuk dibacakan 17 Agustus 1945 (Ahmad Subarjo Djojoadisuryo, 1978).
Selanjutnya, dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, yang dilakukan dalam semangat radikalisme, semua pihak dalam romantisme sejarahnya dapat menceritakan episode peran masing-masing dalam perjuangan itu. Biarlah, itu merupakan dramatisasi perjuangan penuh romantisme yang amat subyektif sifatnya. Karena bagaimanapun juga, sejarah selamanya akan melahirkan mitos dan legenda yang kini banyak kita temui pada biografi-biografi tertentu.
Antiklimaks dari perjuangan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah penandatanganan penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda yang diwakili Perdana Menteri Dr Willem Drees dan Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen dengan disaksikan Baginda Ratu Juliana kepada Pemerintah Indonesia Serikat (RIS) yang diwakili Drs Moh Hatta pada 27 Desember 1949. Penyerahan kedaulatan ini merupakan follow up dari rangkaian diplomasi tingkat tinggi di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa, proses panjang dimulai sejak Perjanjian Linggarjati, 25 Maret 1947.
Membuka secara transparan tentang Konferensi Meja Bundar di bawah payung PBB ini, harus dicermati hati-hati karena begitu sensitif. Republik Indonesia sebagai satu pihak yang berunding, posisinya sejajar dengan negara-negara boneka yang dibentuk Dr Van Mook, wakil gubernur jenderal Nederlands Indie yang tergabung dalam BFO (bijeenkomst foor Federal overleg) yang diketuai Sultan Hamid II (kepala negara Borneo Barat). KMB diikuti Indonesia bersama dengan negara-negara boneka bentukan Belanda ini menghadapi Pemerintah Belanda, terpaksa diikuti karena Pemerintah Belanda tidak mau berunding dengan Republik Indonesia sendiri. Dengan demikian, perundingan tersebut, tripartit, yang berkedudukan sama, yaitu Pemerintah Belanda, Pemerintah Republik Indonesia, dan BFO di bawah payung PBB.
Aceh sebagai Modal Daerah
Sejarah mencatat, selama perjuangan kemerdekaan Aceh telah memberikan kontribusi besar pada Republik Indonesia. Secara politis, perannya sangat berarti dalam suasana revolusi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Pertempuran di Aceh terjadi sejak awal kemerdekaan saat tentara Sekutu mengirimkan pasukannya untuk membebaskan tawanan perang dan interniran Sekutu yang ditawan Jepang. Tentara Sekutu ini Divisi India ke-26 di bawah Mayjen HM Chamber dan Brigjen TED Kelly yang dihadapi rakyat dan Angkata Pemuda Indonesia di bawah pimpinan Residen Teuku Nyak Arief.
Dengan diplomasi dan serangkaian provokasi, tentara Gurkha ini ditarik mundur dari Aceh. Kita tidak melihat bagaimana perjuangan bersenjata sesudah itu. Aceh tidak pernah secara keseluruhan jatuh ke tangan Belanda selama perjuangan kemerdekaan. Hanya daerah-daerah kota yang diduduki, tetapi di pedalaman, Pemerintahan Republik berjalan sebagaimana mestinya dan memberikan dukungan kepada Presiden Soekarno di Yoggakarta.
Tetapi ada yang paling monumental adalah partisipasi masyarakat Aceh mengumpulkan modal atas permintaan Presiden Soekarno, untuk membuktikan secara politis di dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia masih eksis. Modal ini akan digunakan membeli sebuah Dakota yang akan digunakan airlines yang akan menghubungkan kota-kota di Indonesia. Dengan kesadaran tinggi, seluruh masyarakat dan pedagang dan tokoh-tokoh masyarakat Aceh dikumpulkan pada 16 Juni 1948 di Kotaraja diimbau mengumpulkan modal pembelian satu Dakota. Secara spontan, sekitar dua hari terkumpul Sing $130.000 dan 20 kg emas dan inilah yang menjadi modal untuk pembelian RI 001-Seulawah. Sejarah mencatat dalam tinta emas, Aceh merupakan damrah Modal untuk perjuangan Republik Indonesia.
Modal Daerah buat RI
Tanpa mengecilkan arti perjuangan bersenjata selama ini, kenyataannya antiklimaks perjuangan adalah diplomasi dengan campur tangan dunia internasional, mulai dari Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1947, Perjanjian Renville di atas kapal US Navy USS Renville yang ditandatangani Mr. Amir Syarifuddin (mewakili Republik Indonesia) dan R. Abdulkadir Widjojoatmojo (mewakili Kerajaan Belanda/asli orang Indonesia), 17 Januari 1948. Persetujuan Roem-Royen, 7 Mei 1949, Indonesia diketuai Mr. Moh. Roem dan Belanda diketuai Dr Van Royen dan terakhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Dari satu perundingan ke perundingan lain, wilayah Republik Indonesia yang diakui de facto oleh Belanda makin menciut, sementara Wakil Gubernur Jenderal Nederlands Indie, Dr HJ van Mook, dengan usaha sistematis, membentuk negara-negara bonekanya yang tersebar dari Sumatera timur sampai Indonesia timur.
Kemudian, melalui aksi polisionalnya (yang kita katakan militernya) satu per satu kota-kota strategis didudukinya. Untuk diketahui, sampai 30 Desember 1948, wilayah Republik Indonesia yang tetap utuh adalah Yogyakarta (jatuh ke tangan Belanda, 19 Desember 1948) dan Aceh. Jakarta, sudah sejak 4 Januari 1946 di bawah kekuasaan Belanda.
Jawa Barat, sejak 4 Mei 1947 menjadi Negara Pasundan, Wali Negaranya R. Suria Kertalegawa dan wilayah lain diduduki Belanda, pasukan Siliwangi harus hijrah ke Yogyakarta. Jawa Tengah, terbentuk Negara Boneka Jawa Tengah sementara sebagian Jawa Tengah diduduki Belanda. Kalimantan Barat, terbentuk Negara Boneka Borneo Barat, 9 Mei 1947, dengan Wali Negara Sultan Abdul Hamid II, dan wilayah lainnya diduduki Belanda. Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur, Riau, Bangka-Belitung merupakan satuan negara yang berdiri sendiri bentukan H.J. van Mook. Sumatera Selatan, terbentuk Negara Boneka Sumatera Selatan dengan Wali Negaranya Abdul Malik dan kota-kota besar Sumatera Selatan diduduki Belanda. Kapten Alamsyah sebagai komandan Subteritorium Palembang, terpaksa hijrah ke Lampung karena Sumatera Selatan telah diduduki Belanda. Sumatera Timur, terbentuk Negara Sumatera Timur, 24 Maret 1948 dengan Wali Negaranya Dr. Teuku Mansyur dan kota-kota besarnya sudah diduduki Belanda. Jawa Timur, terbentuk Negara Jawa Timur, 3 Desember 1948 dengan Wali Negaranya RTP Ahmad Kusumonegoro, sebagian Jawa Timur diduduki Belanda. Indonesia Timur, termasuk Bali dan Nusa Tenggara, terbentuk Negara Indonesia Timur, 24 Desember 1946 dengan Presidennya Dr Sukawati. Bengkulu, Jambi, dan Riau sebagian diduduki Belanda. Daerah Sulawesi, seluruhnya jatuh ke tangan Belanda, terlihat secara jelas pelaksanaan eksekusi terhadap pahlawan nasional R.W. Monginsidi dilaksanakan melalui proses hukum di Makassar, 5 September 1949. Pelaksanaan eksekusi melalui peradilan, tentunya membuktikan jelas daerah ini diduduki Belanda.
Dengan demikian, melihat daerah-daerah ini yang tidak menjadi negara boneka bentukan Van Mook (mereka ini eksis) dan tidak diduduki Belanda, maka wilayah Republik Indonesia hanyalah Yogyakarta, Aceh, dan Keresidenan Lampung secara utuh. Pemerintahan Keresidenan Lampung berjalan dengan semangat dan dinamika revolusi. Residen Lampung waktu itu Mr A Abbas, yang dipaksa melepaskan jabatannya melalui petisi rakyat yang digerakkan Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM), 9 September 1946. Dr. Baderil Munir menjadi residen Lampung menggantikan Mr A Abbas. Jabatan ini dipangku sampai 29 November 1947 dan penggantinya R.M. Sukadi Wiriahardja. Seluruh residen Lampung ini langsung berada di bawah Presiden Soekarno di Yogyakarta. Ketika itu, Negara Indonesia terbagi atas 8 (delapan) provinsi, yaitu: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
Pasukan Kapten Alamsyah yang menjadi komandan Subteritorium Palembang berdasarkan Perjanjian Linggarjati harus menarik diri pasukannya dari Palembang yang telah dikuasai Belanda dan hijrah ke daerah Republik Indonesia yaitu ke Lampung. Pemerintahan Keresidenan Lampung terbentuk sejak 24 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 1948, melaksanakan seluruh tugas-tugas pemerintahan secara normal, perdagangan ekspor dan impor berjalan normal melalui Pelabuhan Oost Haven (Panjang).
Pengadilan Negeri Tanjungkarang melaksanakan fungsi yudikatif secara normal, dengan Ketua Pengadilannya Mr. Mahadi, lengkap dengan majelis hakimnya, salah seorang di antaranya adalah Mr Gele Harun. Kepala Kepolisian Keresidenan Lampung pada saat terakhir menjelang agresi militer II adalah Komisaris Polisi Agus Tjik. Di samping itu Keresidenan Lampung diberi kuasa pemerintah pusat di Yogyakarta, untuk menerbitkan Oeang Republik Indonesia Lampung. Percetakan uangnya di Tangsi Polisi Durianpayoeng, sekarang Markas Poltabes Kota Bandar Lampung. Kepala Percetakan Oeang Repoeblik Indonesia Lampung ini adalah R.M. Aluwian, yang terbunuh di Gunung Meuraksa Talangpadang, pada saat mengungsi waktu Agresi Militer II Belanda Maret 1949, jenasah dan pemakamannya lenyap tidak diketahui sampai kini. Pembangunan pendidikan di Lampung terlihat sekali.
Pada saat itu, telah didirikan SMP Islam di Telokbetong dan SMP pemerintah yang untuk pertama kali menumpang di Sekolah Rakyat Xaverius Penengahan Tanjungkarang. Bagi Keresidenan Lampung, SMP Islam dan SMP pemerintah ini merupakan sejarah baru karena selama ini sekolah di Lampung sampai tahun 1945 hanyalah sebatas sekolah rakyat. Pada zaman kolonial Belanda, Lampung memiliki satu sekolah ELS di Tanjungkarang dan dua sekolah HIS di Telokbetong dan Menggala dan sekolah-sekolah Melayu, vervolk school dan volk school serta sekolah-sekolah partikelir lain yang ada di kota-kota dalam Keresidenan Lampung, termasuk HIS Ardjoena dan HIS Xaverius di Tanjungkarang.
Semua sekolah itu tingkatannya adalah sekolah dasar (primary school). Agresi Militer Belanda ke Lampung dilaksanakan 30 Desember 1948, masuk dari Pantai Kunyit Telokbetong. Tanggal 31 Desember 1948 Telokbetong jatuh, 1 Januari 1949 Kota Tanjungkarang jatuh ke tangan Belanda dan sebelumnya terjadi proses bumi hangus. Mr. Gele Haroen (seorang hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang) saat itu mengambil alih Pemerintahan Keresidenan Lampung, membentuk Pemerintahan Darurat berkedudukan di Kotaagung, selanjutnya menyatakan diri sebagai residen Lampung. Adapun tugas-tugas pemerintahan di daerah pendudukan Belanda Tanjungkarang-Telokbetong dilaksanakan sebagian pejabat keresidenan yang bertahan di bawah supervisi Belanda. Pemerintahan itu kita kenal sebagai tijdlijk bestuur aangelegenheid (TBA). Untuk selanjutnya menyongsong Konferensi Meja Bundara (KMB) sekitar Juli 1949 terjadi perintah cease fire antara Tentara Belanda dan Indonesia. Untuk lebih melengkapi sampai penyerahan kedaulatan 29 Desember 1949, Bukit Kemuning, Way Kanan, sampai Lampung Barat sama sekali tidak pernah diduduki Belanda.
Kata Akhir
Provinsi Aceh sebagai daerah modal dengan RI 001 Seulawah-nya, begitu populer dalam cerita revolusi, tetapi yang tidak terpikir bahwa Lampung merupakan modal daerah buat Republik Indonesia. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana Republik Indonesia akan berunding dengan Belanda mulai dari Linggarjati, Renville, Roem-Royen sampai KMB, apabila daerah republik hanyalah Yogyakarta saja. Semua daerah di Indonesia, kecuali sebagian Aceh dan Sumatera Barat, semuanya telah diduduki Belanda atau menjadi negara boneka bentukan HJ van Mook, termasuk Jawa Barat, bumi Siliwangi. Sumatera Selatan sudah lama sebagian diduduki Belanda dan di sana ada Negara Sumatera Selatan.
Kita bersyukur Lampung dari awal kemerdekaan sampai sekarang tidak bergeming, tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak berpikir separatis membentuk negara bagian seperti daerah-daerah lain, termasuk Bangka-Belitung dan Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Borneo, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain.
Referensi dari harian Lampung Post, Selasa, 10 Mei 2005

Warga dan Heboh Lampung

Sebuah klip pemerkosaan beredar dari HP ke HP. Pelaku dan korbannya masih duduk di bangku SMP. Sungguh miris. Dalam klip video tersebut tergambar seorang anak perempuan, sebut saja namanya Cinta, dikerubuti dua teman prianya. Yang mereka lakukan sungguh tak pantas. Secara bersamaan, keduanya memperlakukan Cinta dengan kasar dan tidak patut dilakukan anak SMP. Jari salah satu pelaku masuk ke kemaluan Cinta, yang lainnya menciumi buah dadanya. Cinta yang tidur di tanah hanya bisa merintih “Sakit… sakit.”
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan detektif conan, Cinta dilecehkan teman-temannya itu selama setahun. Dia diancam harus melayani mereka agar rahasia Cinta tidak tersebar.
Semua berawal pada tahun 2006, ketika Cinta duduk di kelas I SMP I Blambangan Umpu, Way Kanan, Lampung Utara. Dia berpacaran dengan teman sekolahnya itu, sebut saja Yanto. Cara pacaran Cinta dan Yanto tidak hanya pegang tangan atau sekadar cium pipi, mereka sudah melakukan hal yang belum pantas dilakukan yaitu melakukan hubungan intim dan hal ini ketahuan oleh teman-teman sekelas karena dilakukan sehabis olahraga diruang kelas saat kelas sedang sepi.
Cara mereka berpacaran yang sudah kelewat batas itu akhirnya dilaporkan kepada ayah Yanto. Agar hubungan terlarang Yanto tak berlanjut, ayahnya memindahkan sekolahnya ke Kotabumi, Lampung.
Namun kepindahan Yanto tidak berakhir buat Cinta. Teman-teman Cinta satu sekolah yang mengetahui hal itu mengancam Cinta. Dia harus melayani mereka, jika tidak Cinta akan dilaporkan ke pihak sekolah. Cinta yang ketakutan akhirnya pasrah memenuhi hasrat seksual mereka. Sejak saat itu Cinta hampir setiap hari harus melayani teman-teman pria di SMP-nya baik perorangan maupun beramai-ramai.
Selama setahun Cinta diperlakukan seperti budak seks oleh beberapa teman pria di SMP-nya itu. Biasanya mereka melakukan hal itu di Lapangan Pendopo di Way Kanan, sekolah, bahkan di pinggir kali. Nah, di Lapangan Pendopolah klip video yang tersebar di Kabupaten Way Kanan diambil. Dengan video tersebut, berkali-kali Cinta diancam jika tidak memenuhi keinginan mereka.
“Tidak selalu dibegitukan, kadang Cinta hanya disuruh melepas seluruh bajunya hingga telanjang dan duduk-duduk secara bergantian di pangkuan mereka, kadang bila belajar bersama Cinta diajak ikut dan belajar bersama dalam keadaan telanjang atau hanya disuruh mandi sambil ditontonin,” kata sumber yang enggan disebutkan namanya.
Setelah hampir setahun, rupanya anak-anak SMP itu sudah mulai bosan dengan Cinta. Mereka mulai memeras dan meminta uang pada gadis malang tersebut. Jika tidak dipenuhi, klip video tersebut akan disebar.
Tentu saja Cinta yang saat ini sudah duduk di kelas II tidak bisa memenuhinya karena yang dimiliki Cinta hanya tubuhnya saja. Karena itu pula klip video itu tersebar dan akhirnya diselidiki oleh Polres Way Kanan

Anggota DPRD PDIP vs Guru SD

Video Porno Lampung Terus Beredar!
Anggota DPRD PDIP vs Guru SD
Adegan dalam Video porno anggota DPRD dari PDIP Way Kanan, Lampung bernama Edi Waluyo dan Sasi Utami, Guru SDN Purwo Agung membuat masyarakat Lampung gempar, apalagi video porno itu beredar luas di internet dan HP berkamera. Sementara pihak PDIP Pusat melalui Gayus mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan video yang melibatkan kader PDIP di DPRD Way Kanan itu.
Dikatakannya, DPP PDIP akan menjatuhkan sanksi yang pantas terhadap hasil investigasi tersebut. Sementara itu, Dinas Pendidikan (Disdik) Way Kanan, Lampung, mengaku panas dengan pemberitaan berbagai media massa yang membawa nama stafnya, Sasi Utami, guru SDN Purwo Agung Way Kanan yang beradegan mesum dengan Edi Waluyo, anggota DPRD Fraksi PDIP dalam video kamera telepon selular (HP).
“Sas seharusnya menjadi contoh di masyarakat karena seorang guru. Kalau memang kasus ini benar-benar terjadi sangat mengecewakan,” kata Kadis Pendidikan Way Kanan Herwan Sahri saat dihubungi melalui telepon.
Herwan menganggap perselingkuhan yang menjadi pembicaraan masyarakat Lampung termasuk dalam kategori perbuatan tercela. Ketika ditanya apakah sudah melihat langsung video tersebut, Herwan manyatakan belum. Pihaknya masih menganggap pemberitaan di media massa perlu diklarifikasi.
“Saya belum yakin apakah video itu bergambar Sasi. Karena belum melihat langsung,” tegasnya. Disdik juga telah membentuk tim penyidik untuk mengkroscek langsung keterangan dan data di kediamana Sasi, di Desa Bumi Mas, Batang Hari, Lampung Timur, untuk melengkapi data hari ini
Namun demikian, Herwan juga meminta kepada Sasi untuk segera memberikan klarifikasi pemberitaan ini kepada Disdik. “Sasi harus segera memberikan ketarangan. Jangan berlarut-larut. Kalau memang dia benar-benar selingkuh maka harus mempertanggungjawabkan perbuatan. Bila terbukti, maka sanksinya dipecat,” tandas Herwan.

Ayah, Kampung dan Perjalanan







SIANG itu aku sudah berada di seputaran tugu Radin Intan Rajabasa, Bandarlampung. Dengan menyandang tas ukuran cukup besar, aku melangkah melewati pos polisi Tugu Radin Intan menuju loket penjualan karcis tujuan Bengkulu dan sekitarnya. Memang, jaraknya tidak jauh dari tempat aku turun dari bis AC Metro—Rajabasa.
Keraguanku saat berada beberapa metrer dari loket yang bis yang berjejer di Jl Soekarno Hatta itu muncul. Tapi, ada satu kebulatan tekadku. Aku memilih loket yang bertuliskan PO Rejang Permata. Di halaman loket itu sudah ada sebuah minibus travel Rejang Permata berwarna kuning.
Dengan langkah pasti aku memasuki loket PO Rejang Permata. Setelah berdialog sebentar seputar transportasi ke Bengkulu. Ternyata kalau travel yang menggunakan minibus hanya sampai Bengkulu saja. Sedangkan kalau mau ke Curup, harus menggunakan bis Rejang Permata. ”Ok, aku pilih bis Rejang Permata dengan ongkos Rp 175.000,-
Sesudah membayar ongkos, sambil menunggu kedatangan bis Rejang Permata dari Jakarta. Aku pun memesan segelas kopi. Kebetulan di samping loket itu ada rumah makan (RM) Minang. Meneguk segelas kopi di siang itu membuat aku melayangkan pikiran entah ke mana saja. Terutama membayangkan perjalanan pulang kampung dengan bis yang sudah puluhan tahun tidak pernah kurasakan. Tentu, aku juga membayangkan bagaimana lelahnya perjalanan yang akan kutempuh hingga sampai kampung halaman di Kotadonok, Lebong, Bengkulu.
Kepulangan kali ini memang aku sendirian. Sebab, tujuanku pulang dikarenakan Ayahanda tercinta sedang sakit parah. Untuk itu aku membawa pakaian cukup banyak, sebab tidak tahu berapa lama aku berada di kampung nantinya. Tak terasa, kopi yang kupesan sudah hampir habis dengan beberapa batang rokok kesukaanku, rokok Gudang Garam Filter.
Sekitar pukul 14.40 WIB, bis yang kutunggu sudah datang. Warna bis PO Rejang Permata bernomor polisi BD itu, juga kuning. Dari luar kelihatannya bis Rejang Permata cukup bagus. Maka, akupun bergegas naik ketika sang kondekturnya meminta aku naik. Sesampai di dalam bis, aku kaget, mataku terbelalak.
Apa sebab, penumpang bis yang besar itu hanya sekitar 10 orang. Aku pun makin kaget, ketika duduk di salah satu bangku bis Rejang Permata. Ternyata, bangku bisnya (walau pakai AC) tidak bisa distel. Berupa bangku mati. Kelihatannya bis Rejang Permata adalah bekas bis Bengkulu Indah yang hanya diganti catnya saja.
”Ah, biarlah,” kata hatiku mencoba menahan penyesalan.
Bis Rejang Permata di loket Bandarlampung tidak lama, lalu berangkat ke arah utara menempuh jalur Lintas Sumatera (lintas tengah) yang akan melewati Gunungsugih, Kotabumi, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Martapura, Baturaja, Tanjung Enim, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi dan Lubuk Linggau. Kemudian, sudah pasti menuju Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Ada kebiasaan burukku kalau naik angkutan umum maupun mobil pribadi. Aku suka dan selalu tidur selama perjalanan. Begitu pula saat bis Rejang Permata meninggalkan Kota Bandarlampung, aku pun sudah memejamkan mata. Memang tidur selama perjalanan sangat nikmat sekali, termasuk kalau berpergian dengan pesawat udara. Tidur itu pasti. Faktor lain kenapa aku harus tidur? Karena dulu dalam setiap perjalanan, aku sering mengalami mual atau mabuk perjalanan. Tapi, kalau tidur kan tidak banyak yang dilihat di luar mobil.
****
Perjalanan pulang kampung kali ini memang menyiksaku. Sebab, bis Rejang Permata masih sering berhenti di perjalanan, mencari penumpang tambahan dan di beberapa tempat, mobil berhenti untuk makan. Seperti di Bukit Kemuning, Baturaja, Muara Enim, Tebing Tinggi.
Alu menggerutu selama perjalanan di dalam bis Rejang Permata, karena di mana-mana di atas tempat duduk dari plafon bis bocor. Bahkan, di atas tempat dudukku air terus menetes, apalagi selama perjalanan hujan turun dengan deras sekali. Sampai-sampai kaki celana jeans sebelah kiri dari lutut ke bawah basah semua. Itu terjadi, karena selama perjalanan aku tidur dan tidak meresakan tetesan air dari plapon ruang penumpang bis Rejang Permata itu.
Yang lebih parah lagi, ketika sampai di kampung aku ketahui, sepatuku di bagian depannya terkuak akibat kena air terus menerus semalaman suntuk. ”Ah, perjalanan yang asyik tapi menyebalkan sekali. Namun, semua terpaksa aku jalani karena ingin cepat sampai kampung melihat kondisi Ayahanda tercinta yang usianya sudah mencapai 88 tahun.”
Sekitar pukul 06.30 WIB Jumat pagi (6/2) bis Rejang Permata sudah sampai di Kota Lubuk Linggau. Di kota ini berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Curup. Kota yang terkenal dengan suhu dinginnya. Perjalanan melewati bujuran Bukit Barisan memang membuat penumpang angkutan umum sering mabuk perjalanan. Untung pada saat kami melewati jalan yang berliku antara Lubuk Linggau dan Curup.
Sekitar pukul 07.25 WIB pagi Jumat itu aku sudah turun di Terminal Simpang Nangko Kota Curup. Keadaan di terminal itu masih sepi, kabut embun pagi masih menyelimuti Kota Curup. Beruntung aku mengenakan jacket kulit, sehingga udara dingin tidak mampu menembus ke dalam tubuhku. Tidak jauh dari loket bis Rejang Permata ada beberapa unit angkutan kota (angkot) Kota Curup yang masih menggunakan mobil dengan belakangnya terbuka dengan pintu masuk bagian belakang.
Tak berapa lama kemudian, aku menelepon adikku yang paling bungsu, kebetulan ia tinggal di Curup, karena profesinya sebagai PNS (guru). Tak lama setelah menelepon, suami adikku bernama Nizam Asri datang membawa mobilnya. Kami pun segera ke Air Weles Bawah—di rumahnya.
Di rumah adikku yang paling bungsu di Kompleks Taman Gading Indah Air Weles Bawah, Curup Timur, sebelum ke kampung. Karena adikku ingin pulang juga sekaligus mengantarkan aku. Aku sempat sholat Jumat di masjid terdekat dari rumah adikku itu. Usai sholat Jumat, barulah kami berangkat ke kampung yang akan menempuh jarak 40 km sampai di Kotadonok.
Perjalanan pun melewati lereng pebukitan Bukit Barisan, terutama setelah melewati Jembatan Tabarenah yang terkenal dengan perjuangan heroik para pejuang Indonesia zaman class ke II sekitar tahun 1948 dan zaman pemberontakan PRRI. Suhu dingin terasa merambah tulang belulalangku, karena udara dingin sejak di Kota Curup terus sampai di Kotadonok.
Satu persatu desa yang ada kami lewati, seperti Pal VII, Pal 100, Simpang Bukit Daun, Air Bening, Air Dingin, Tikuto, Rimbo Pengadang, Talangratu (Tlang Bratau) dan sampailah kami di kampung—Kotadonok sekitar pukul 13.00 WIB.
Rumah kami berada di lereng bukit, tapi lokasinya berada di tengah desa yang rumah penduduknya cukup padat dengan rumah-rumah tua yang berarsitektur seni tradisionil Rejang. Untuk sampai ke rumah kami, kami harus menaiki tangga yang dibuat dari tanah. Anak tangganya ada sekitar 25 petak. Sebelum masuk halaman rumah kami, aku harus melewati halaman rumah kakekku, H Aburuddin (alm).
*****
”Assalammualaikum...........” itulah kalimat pertama yang selalu aku ucapkan ketika sampai dan masuk ke dalam rumah kami di kampung. Keadaan rumah keluarga besar kami tak pernah berubah. Beberapa kursi lama yang terbuat dari rotan yang aku ingat sudah ada ketika aku masih duduk di bangku SD, masih ada beberapa di ruang tamu. Hanya kondisinya sudah tidak layak dipajang lagi.
Aku dengan adikku melangkah ke ruang utama keluarga. Di situ pun tidak ada perubahan. Sebuah bufet tua yang masih bagus. Hanya kacanya yang pecah. Di dinding rumah yang terbuat dari papan berkualitas yang dibuat sekitar tahun 1940 masih tetap bagus, warna kecoklatan dan mengkilat masih terlihat jelas.
Sambil melangkah ke ruang keluarga, di dinding aku melihat foto-foto close up kami 7 (tujuh) beradik masih tergantung rapih yang dulu dipasang oleh adikku yan paling bungsu. Kemudian ada beberapa foto keponakan yang sekarang sudah berada di rantau dengan biang kerja masing-masing.
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh........” terdenga suara menjawab dari ruang keluarga. Ketika tirai gorden aku singkap. Aku melihat dengan jelas Ayahanda terbaring di atas kasur berlapis tiga. Badannya kurus, matanya tetap tajam,. Rambutnya sudah putih semua. Lalu, kudekati dan bersujud di sisinya. Aku cium kening Ayahanda dengan kasih sayang.
Lalu, aku mencium ibundaku yang duduk bersandar di dinding di bawah jendela. Ibuku menangis ketika aku peluk. Lalu, kupeluk juga kakakku yang paling tua, Huzzaima, kemudian kakak kedua tertua, Zahara. Mereka menangis, lalu mengatakan;
”Inilah keadaan Ayahanda....,” ujar mereka sambil berdiri.
Kemudian aku duduk kembali di sisi kasur tempat Ayahanda terbaring. Hatiku sangat sedih dan prihatin melihat kondisinya. Apalagi ketika ia bicara.
” Ya, kondisiku makin parah. Semuanya gak bisa digherakkan,” ucap Ayahanda dengan suara pelan. Tapi, jelas terdengar.
Tidak banyak yangt bisa aku ucapkan saat itu, kecuali memberi semangat kepada Ayahanda dan Ibunda, agar semuanya tenang, sabar, tabah, dan yakin bahwa semuanya akan baik dan Ayahanda pasti sembuh, kataku.
Singkat cerita sejak itu aku harus tinggal beberapa hari di kampung, menunggu perkembangan kesehatan Ayahanda. Tidak terasa aku di kampung selama 11 hari. Akupun pamit pulang karena melihat perkembangan kondisi kesehatan Ayahanda belum ada perubahan. Kepulanganku hanya sementara, sebab anggaran sudah menipis.
****
Aku berangkat dari kampung dan pulang ke Metro, Lampung terpaksa menggunakan pesawat udara dari Bandara Fatmawati (Padang Kemiling) Bengkulu. Untuk itu, aku harus memesan tiket di Curup di Jl Merdeka. Harga tiket hanya Rp 290.000,- sementara ongkos travel ke Bengkulu Rp 50.000,-
Sesuai jadwal pesawat lepas landas dari Bandara Fatmawati pukul 12.40 WIB. Ternyata didelay (dicancel) sampai pukul 14.20 WIB. Setelah waktunya tiba, ternyata pesawat Sriwijaya Airline belum sampai dari Jakarta. Para penumpang akhirnya diberitahu dan diberi jatah makan nasi bungkus. Dalam hati aku kesal, tapi aku mencoba untuk tenang. Sebab, belum pernah aku mengalami hal seperti itu, apalagi karyawan loket Sriwijaya Airline memberi para penumpang makan.
Walaupun sudah tidak betah berada di ruang tunggu/keberangkatan Bandara Fatmawati, tapi aku mencoba menguatkan diri untuk bertahan. Sebab, Sriwijaya Airline akhirnya tiba pukul 16.00 WIB dan berangkat ke Jakarta pukul 16.30 WIB. Kekesalanku beralasan, semula aku berpikir dengan menggunakan pesawat udara yang waktu tempuh Bengkulu—Jakarta sekitar 70 menit dan jika aku naik bis (lewat darat) dari Jakarta ke Lampung hanya 6 jam. Berarti perjalananku sampai di rumah dari Bengkulu hanya 10 jam (ditambah waktu dari Kotadonok ke Curup dan Curup ke Bengkulu).
Tapi, dengan jadwal yang molor itu, perjalananku menjadi 12 jam lebih. Berarti hanya selisih sekitar 7 jam kalau naik bis dari Curup—Lampung. Padahal, kalau jadwal penerbangan tidak didelay, selisih waktu sangat banyak sekitar 17 jam. ”Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman berharga.”
Sampai saat ini untuk pergi dan pulang dari/ke kampung, aku sudah menggunakan berbagai jenis angkutan dan hampir semuanya. Seperti antara tahun 1979—1983 aku sering naik Kereta Api dan bis. 1984—2000 aku lebih banyak membawa mobil sendiri dengan route yang paling sering dilewati adalah Lintas Barat: Kotabumi—Bukitkemuning—Liwa—Krui—Bintuhan—Manna—Bengkulu—Curup—kampung (Kotadonok) atau pernah melewati route Kotabumi—Bukit Kemuning—Martapura—Baturaja—Pagar Alam—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Jalur atau route ini cukup menegangkan, karena harus melewati jalan tanjakan dan berliku sebelum kota Pagar Alam yang disebut Jurang Lematang. Jalur itu sulit dilewati bis ukuran besar, kecuali supirnya nekad.
Sekarang jalan di sana sudah dibesarkan dan sudeah dibangun berbagai lokasi objek wisata. Hanya, menurut informasinya tingkat kriminalitas perampokan kendaraan, terutama jalur Kepahiang—Pagar Alam—Baturaja. Sama halnya jalur antara Muara Enim—Tebing Tinggi bewberapa tahun silam dan sekarang menurut informasinya masih ada kejadian-kejadian di lintas tengah itu.
Aku pernah melewati jalur (route) Metro—Kotaagung (Tanggamus, Lampung), Krui, Bintuhan—Manna—Bengkulu—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Tapi kalau dari Metro jarak tempuh dan waktu sampa dengan melalui Krui. Tapi, kalau dari Kota Bandarlampung jarak dan waktu tempuh relatif singkat. Route yang paling singkat dan cepat dari Lampung ke Curup hanyalah melalui Pagar Alam via Baturaja atau Lahat.
Kalau dari Baturaja—Simpang Meo—Pagar Alam, situasi keamanan di perjalanan sangat rawan. Terutama 10 km memasuki Simpang Meo dan dari Simpang Meo ke kampung Semendo. Kejahatan di daerah itu sangat tinggi, khususnya kejahatan terhadap kendaraan. Baik mobil pribadi maupun mobil umum. Kalau saya sarankanjangan melewati jalur Simpang Meo ke Pagar Alam. Berbahaya dan rawan kejahatan. Terutama di malam hari.
Oleh karena itu semua kendaraan yang melintasi jalur itu atau Lintas Tengah, jika malam hari kendaraannya konvoi. Jarang yang berani berjalan sendirian membawa mobil tanmpa ada mobil lain yang searah perjalanannya.

Ayah, Kampung dan Perjalanan


SIANG itu aku sudah berada di seputaran tugu Radin Intan Rajabasa, Bandarlampung. Dengan menyandang tas ukuran cukup besar, aku melangkah melewati pos polisi Tugu Radin Intan menuju loket penjualan karcis tujuan Bengkulu dan sekitarnya. Memang, jaraknya tidak jauh dari tempat aku turun dari bis AC Metro—Rajabasa.
Keraguanku saat berada beberapa metrer dari loket yang bis yang berjejer di Jl Soekarno Hatta itu muncul. Tapi, ada satu kebulatan tekadku. Aku memilih loket yang bertuliskan PO Rejang Permata. Di halaman loket itu sudah ada sebuah minibus travel Rejang Permata berwarna kuning.
Dengan langkah pasti aku memasuki loket PO Rejang Permata. Setelah berdialog sebentar seputar transportasi ke Bengkulu. Ternyata kalau travel yang menggunakan minibus hanya sampai Bengkulu saja. Sedangkan kalau mau ke Curup, harus menggunakan bis Rejang Permata. ”Ok, aku pilih bis Rejang Permata dengan ongkos Rp 175.000,-
Sesudah membayar ongkos, sambil menunggu kedatangan bis Rejang Permata dari Jakarta. Aku pun memesan segelas kopi. Kebetulan di samping loket itu ada rumah makan (RM) Minang. Meneguk segelas kopi di siang itu membuat aku melayangkan pikiran entah ke mana saja. Terutama membayangkan perjalanan pulang kampung dengan bis yang sudah puluhan tahun tidak pernah kurasakan. Tentu, aku juga membayangkan bagaimana lelahnya perjalanan yang akan kutempuh hingga sampai kampung halaman di Kotadonok, Lebong, Bengkulu.
Kepulangan kali ini memang aku sendirian. Sebab, tujuanku pulang dikarenakan Ayahanda tercinta sedang sakit parah. Untuk itu aku membawa pakaian cukup banyak, sebab tidak tahu berapa lama aku berada di kampung nantinya. Tak terasa, kopi yang kupesan sudah hampir habis dengan beberapa batang rokok kesukaanku, rokok Gudang Garam Filter.
Sekitar pukul 14.40 WIB, bis yang kutunggu sudah datang. Warna bis PO Rejang Permata bernomor polisi BD itu, juga kuning. Dari luar kelihatannya bis Rejang Permata cukup bagus. Maka, akupun bergegas naik ketika sang kondekturnya meminta aku naik. Sesampai di dalam bis, aku kaget, mataku terbelalak.
Apa sebab, penumpang bis yang besar itu hanya sekitar 10 orang. Aku pun makin kaget, ketika duduk di salah satu bangku bis Rejang Permata. Ternyata, bangku bisnya (walau pakai AC) tidak bisa distel. Berupa bangku mati. Kelihatannya bis Rejang Permata adalah bekas bis Bengkulu Indah yang hanya diganti catnya saja.
”Ah, biarlah,” kata hatiku mencoba menahan penyesalan.
Bis Rejang Permata di loket Bandarlampung tidak lama, lalu berangkat ke arah utara menempuh jalur Lintas Sumatera (lintas tengah) yang akan melewati Gunungsugih, Kotabumi, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Martapura, Baturaja, Tanjung Enim, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi dan Lubuk Linggau. Kemudian, sudah pasti menuju Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Ada kebiasaan burukku kalau naik angkutan umum maupun mobil pribadi. Aku suka dan selalu tidur selama perjalanan. Begitu pula saat bis Rejang Permata meninggalkan Kota Bandarlampung, aku pun sudah memejamkan mata. Memang tidur selama perjalanan sangat nikmat sekali, termasuk kalau berpergian dengan pesawat udara. Tidur itu pasti. Faktor lain kenapa aku harus tidur? Karena dulu dalam setiap perjalanan, aku sering mengalami mual atau mabuk perjalanan. Tapi, kalau tidur kan tidak banyak yang dilihat di luar mobil.
****
Perjalanan pulang kampung kali ini memang menyiksaku. Sebab, bis Rejang Permata masih sering berhenti di perjalanan, mencari penumpang tambahan dan di beberapa tempat, mobil berhenti untuk makan. Seperti di Bukit Kemuning, Baturaja, Muara Enim, Tebing Tinggi.
Alu menggerutu selama perjalanan di dalam bis Rejang Permata, karena di mana-mana di atas tempat duduk dari plafon bis bocor. Bahkan, di atas tempat dudukku air terus menetes, apalagi selama perjalanan hujan turun dengan deras sekali. Sampai-sampai kaki celana jeans sebelah kiri dari lutut ke bawah basah semua. Itu terjadi, karena selama perjalanan aku tidur dan tidak meresakan tetesan air dari plapon ruang penumpang bis Rejang Permata itu.
Yang lebih parah lagi, ketika sampai di kampung aku ketahui, sepatuku di bagian depannya terkuak akibat kena air terus menerus semalaman suntuk. ”Ah, perjalanan yang asyik tapi menyebalkan sekali. Namun, semua terpaksa aku jalani karena ingin cepat sampai kampung melihat kondisi Ayahanda tercinta yang usianya sudah mencapai 88 tahun.”
Sekitar pukul 06.30 WIB Jumat pagi (6/2) bis Rejang Permata sudah sampai di Kota Lubuk Linggau. Di kota ini berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Curup. Kota yang terkenal dengan suhu dinginnya. Perjalanan melewati bujuran Bukit Barisan memang membuat penumpang angkutan umum sering mabuk perjalanan. Untung pada saat kami melewati jalan yang berliku antara Lubuk Linggau dan Curup.
Sekitar pukul 07.25 WIB pagi Jumat itu aku sudah turun di Terminal Simpang Nangko Kota Curup. Keadaan di terminal itu masih sepi, kabut embun pagi masih menyelimuti Kota Curup. Beruntung aku mengenakan jacket kulit, sehingga udara dingin tidak mampu menembus ke dalam tubuhku. Tidak jauh dari loket bis Rejang Permata ada beberapa unit angkutan kota (angkot) Kota Curup yang masih menggunakan mobil dengan belakangnya terbuka dengan pintu masuk bagian belakang.
Tak berapa lama kemudian, aku menelepon adikku yang paling bungsu, kebetulan ia tinggal di Curup, karena profesinya sebagai PNS (guru). Tak lama setelah menelepon, suami adikku bernama Nizam Asri datang membawa mobilnya. Kami pun segera ke Air Weles Bawah—di rumahnya.
Di rumah adikku yang paling bungsu di Kompleks Taman Gading Indah Air Weles Bawah, Curup Timur, sebelum ke kampung. Karena adikku ingin pulang juga sekaligus mengantarkan aku. Aku sempat sholat Jumat di masjid terdekat dari rumah adikku itu. Usai sholat Jumat, barulah kami berangkat ke kampung yang akan menempuh jarak 40 km sampai di Kotadonok.
Perjalanan pun melewati lereng pebukitan Bukit Barisan, terutama setelah melewati Jembatan Tabarenah yang terkenal dengan perjuangan heroik para pejuang Indonesia zaman class ke II sekitar tahun 1948 dan zaman pemberontakan PRRI. Suhu dingin terasa merambah tulang belulalangku, karena udara dingin sejak di Kota Curup terus sampai di Kotadonok.
Satu persatu desa yang ada kami lewati, seperti Pal VII, Pal 100, Simpang Bukit Daun, Air Bening, Air Dingin, Tikuto, Rimbo Pengadang, Talangratu (Tlang Bratau) dan sampailah kami di kampung—Kotadonok sekitar pukul 13.00 WIB.
Rumah kami berada di lereng bukit, tapi lokasinya berada di tengah desa yang rumah penduduknya cukup padat dengan rumah-rumah tua yang berarsitektur seni tradisionil Rejang. Untuk sampai ke rumah kami, kami harus menaiki tangga yang dibuat dari tanah. Anak tangganya ada sekitar 25 petak. Sebelum masuk halaman rumah kami, aku harus melewati halaman rumah kakekku, H Aburuddin (alm).
*****
”Assalammualaikum...........” itulah kalimat pertama yang selalu aku ucapkan ketika sampai dan masuk ke dalam rumah kami di kampung. Keadaan rumah keluarga besar kami tak pernah berubah. Beberapa kursi lama yang terbuat dari rotan yang aku ingat sudah ada ketika aku masih duduk di bangku SD, masih ada beberapa di ruang tamu. Hanya kondisinya sudah tidak layak dipajang lagi.
Aku dengan adikku melangkah ke ruang utama keluarga. Di situ pun tidak ada perubahan. Sebuah bufet tua yang masih bagus. Hanya kacanya yang pecah. Di dinding rumah yang terbuat dari papan berkualitas yang dibuat sekitar tahun 1940 masih tetap bagus, warna kecoklatan dan mengkilat masih terlihat jelas.
Sambil melangkah ke ruang keluarga, di dinding aku melihat foto-foto close up kami 7 (tujuh) beradik masih tergantung rapih yang dulu dipasang oleh adikku yan paling bungsu. Kemudian ada beberapa foto keponakan yang sekarang sudah berada di rantau dengan biang kerja masing-masing.
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh........” terdenga suara menjawab dari ruang keluarga. Ketika tirai gorden aku singkap. Aku melihat dengan jelas Ayahanda terbaring di atas kasur berlapis tiga. Badannya kurus, matanya tetap tajam,. Rambutnya sudah putih semua. Lalu, kudekati dan bersujud di sisinya. Aku cium kening Ayahanda dengan kasih sayang.
Lalu, aku mencium ibundaku yang duduk bersandar di dinding di bawah jendela. Ibuku menangis ketika aku peluk. Lalu, kupeluk juga kakakku yang paling tua, Huzzaima, kemudian kakak kedua tertua, Zahara. Mereka menangis, lalu mengatakan;
”Inilah keadaan Ayahanda....,” ujar mereka sambil berdiri.
Kemudian aku duduk kembali di sisi kasur tempat Ayahanda terbaring. Hatiku sangat sedih dan prihatin melihat kondisinya. Apalagi ketika ia bicara.
” Ya, kondisiku makin parah. Semuanya gak bisa digherakkan,” ucap Ayahanda dengan suara pelan. Tapi, jelas terdengar.
Tidak banyak yangt bisa aku ucapkan saat itu, kecuali memberi semangat kepada Ayahanda dan Ibunda, agar semuanya tenang, sabar, tabah, dan yakin bahwa semuanya akan baik dan Ayahanda pasti sembuh, kataku.
Singkat cerita sejak itu aku harus tinggal beberapa hari di kampung, menunggu perkembangan kesehatan Ayahanda. Tidak terasa aku di kampung selama 11 hari. Akupun pamit pulang karena melihat perkembangan kondisi kesehatan Ayahanda belum ada perubahan. Kepulanganku hanya sementara, sebab anggaran sudah menipis.
****
Aku berangkat dari kampung dan pulang ke Metro, Lampung terpaksa menggunakan pesawat udara dari Bandara Fatmawati (Padang Kemiling) Bengkulu. Untuk itu, aku harus memesan tiket di Curup di Jl Merdeka. Harga tiket hanya Rp 290.000,- sementara ongkos travel ke Bengkulu Rp 50.000,-
Sesuai jadwal pesawat lepas landas dari Bandara Fatmawati pukul 12.40 WIB. Ternyata didelay (dicancel) sampai pukul 14.20 WIB. Setelah waktunya tiba, ternyata pesawat Sriwijaya Airline belum sampai dari Jakarta. Para penumpang akhirnya diberitahu dan diberi jatah makan nasi bungkus. Dalam hati aku kesal, tapi aku mencoba untuk tenang. Sebab, belum pernah aku mengalami hal seperti itu, apalagi karyawan loket Sriwijaya Airline memberi para penumpang makan.
Walaupun sudah tidak betah berada di ruang tunggu/keberangkatan Bandara Fatmawati, tapi aku mencoba menguatkan diri untuk bertahan. Sebab, Sriwijaya Airline akhirnya tiba pukul 16.00 WIB dan berangkat ke Jakarta pukul 16.30 WIB. Kekesalanku beralasan, semula aku berpikir dengan menggunakan pesawat udara yang waktu tempuh Bengkulu—Jakarta sekitar 70 menit dan jika aku naik bis (lewat darat) dari Jakarta ke Lampung hanya 6 jam. Berarti perjalananku sampai di rumah dari Bengkulu hanya 10 jam (ditambah waktu dari Kotadonok ke Curup dan Curup ke Bengkulu).
Tapi, dengan jadwal yang molor itu, perjalananku menjadi 12 jam lebih. Berarti hanya selisih sekitar 7 jam kalau naik bis dari Curup—Lampung. Padahal, kalau jadwal penerbangan tidak didelay, selisih waktu sangat banyak sekitar 17 jam. ”Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman berharga.”
Sampai saat ini untuk pergi dan pulang dari/ke kampung, aku sudah menggunakan berbagai jenis angkutan dan hampir semuanya. Seperti antara tahun 1979—1983 aku sering naik Kereta Api dan bis. 1984—2000 aku lebih banyak membawa mobil sendiri dengan route yang paling sering dilewati adalah Lintas Barat: Kotabumi—Bukit Kemuning—Liwa—Krui—Bintuhan—Manna—Bengkulu—Curup—kampung (Kotadonok) atau pernah melewati route Kotabumi—Bukit Kemuning—Martapura—Baturaja—Pagar Alam—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Jalur atau route ini cukup menegangkan, karena harus melewati jalan tanjakan dan berliku sebelum kota Pagar Alam yang disebut Jurang Lematang. Jalur itu sulit dilewati bis ukuran besar, kecuali supirnya nekad.
Sekarang jalan di sana sudah dibesarkan dan sudeah dibangun berbagai lokasi objek wisata. Hanya, menurut informasinya tingkat kriminalitas perampokan kendaraan, terutama jalur Kepahiang—Pagar Alam—Baturaja. Sama halnya jalur antara Muara Enim—Tebing Tinggi bewberapa tahun silam dan sekarang menurut informasinya masih ada kejadian-kejadian di lintas tengah itu.
Aku pernah melewati jalur (route) Metro—Kotaagung (Tanggamus, Lampung), Krui, Bintuhan—Manna—Bengkulu—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Tapi kalau dari Metro jarak tempuh dan waktu sampa dengan melalui Krui. Tapi, kalau dari Kota Bandarlampung jarak dan waktu tempuh relatif singkat. Route yang paling singkat dan cepat dari Lampung ke Curup hanyalah melalui Pagar Alam via Baturaja atau Lahat.
Kalau dari Baturaja—Simpang Meo—Pagar Alam, situasi keamanan di perjalanan sangat rawan. Terutama 10 km memasuki Simpang Meo dan dari Simpang Meo ke kampung Semendo. Kejahatan di daerah itu sangat tinggi, khususnya kejahatan terhadap kendaraan. Baik mobil pribadi maupun mobil umum. Kalau saya sarankanjangan melewati jalur Simpang Meo ke Pagar Alam. Berbahaya dan rawan kejahatan. Terutama di malam hari.
Oleh karena itu semua kendaraan yang melintasi jalur itu atau Lintas Tengah, jika malam hari kendaraannya konvoi. Jarang yang berani berjalan sendirian membawa mobil tanmpa ada mobil lain yang searah perjalanannya.

Sabtu, 14 Februari 2009

Kotadonok 2009 dalam Album





Kotadonok 2009 dalam Album

Kotadonok 2009 dalam Album

Runtuhnya Peradaban Masyarakat Rejang


Oleh Naim Emel Prahana

Keganasan produk teknologi canggih, informasi dan komunikasi sudah banyak merusak sistem dan nilai-nilai luhur masyarakat di hampir semua bangsa. Hanya sedikit bangsa (masyarakat) yang mampu mengendalikan teknologi canggih tersebut. Yang mampu memanfaatkan dan menggunakan produk teknologi yang tersebut dengan baik, efisien dan menjadi sarana pendukung untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan status sosial ekonomi.
Rumusan ’kemajuan’ memang masih dalam perdebatan. Secara definitif sudah jelas, akan tetapi secara subtsnasi mungkin masih diraba-raba ke mana arah kata maju (kemajuan) itu. Hampir sama dengan arti kata modern (modernis). Kalau dikaitkan dengan sarana transportasi, kemajuan itu tersirat pada rentang waktu yang digunakan dalam perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain.
Perjalanan menunaikan ibadah haji tempo dulu dapat menghabiskan waktu sampai sebulan penuh. Belum lagi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Sekarang, perjalanan haji dari Indonesia ke tanah Arab Saudi hanya membutuhkan beberapa jam saja. Seperti halnya untuk mendapatkan akses informasi dari berbagai belahan dunia, cukup mengklik beberapa kata di internet.
Di sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana transportasi; darat, laut dan udara serta produk transportasinya sendiri sudah sedemikian berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Kalau dulu masyarakat di pesesaan yang memiliki pesawat televisi boleh dikatakan tidak ada, padahal saat itu masyarakatnya terbilang makmur, tidak kekurangan sandang dan pangan. Tetapi, sekarang di tengah arus krisis multidimesional dan tinkat ekonomi masyarakat terus merosot.
Hampir setiap rumah penduduk di desa memiliki pesawat televisi—bahkan, di desa-desa di lereng pegunungan yang sulit ditembus jaringan satelit, mampu membeli parabola untuk penangkap siaran televisi. Secara tersirat masalah di atas, kemajuan itu disatu sisi, kemunduran di banyak sisi atau sebaliknya. Itulah yang dialami masyarakat Indonesia saat ini. Terutama masyarakat di pedesaan.
Salah satu hasil studi dan penelitian yang menarik yang saya dan kawan-kawan lakukan selama hampir 10 tahun terhadap masyarakat Redjang (Rejang, pen) di Kabupaten Rejang Lebong (kini menjadi 3 kabupaten; Rejang Lebong, Lebong dan Kepahiang). Adalah merosotnya peradaban masyarakat Rejang yang dahulu kala telah memiliki nilai dan status yang baik di antara sukubangsa lainnya di Indonesia.
Baik di bidang managemen pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, keagamaan, sosial budaya dan pendidikan. Setelah tahun 1970-an, masyarakat Rejang mengalami kemunduran, terutama pola pikir dan pandangan hidup yang mempengaruhi secara langsung adat kebiasaan sehari-hari dan peradaban masyarakat Rejang secara umum.

Terjebak Arus Informasi
Salah satu faktor yang mempengaruhi mundurnya nilai-nilai adat, kebiasaan dan peradaban masyarakat Rejang adalah informasi yang datang ke daerah Rejang. Informasi yang dimaksud adalah informasi dari media elektronik (televisi, radio) dan informasi orang-orang Rejang di perantauan yang sering kembali ke kampung halamannya. Terutama di daerah Lebong.
Kita ketahui sejak awal, selain mayoritas penduduk Lebong (Kabupaten Lebong sekarang) adalah sukubangsa Rejang. Terdapat pula sukubangsa Jawa, Sunda, Padang, Batak dan Palembang. Interaksi antarsuku memang tidak mengalami kesulitan. Akan tetapi, masyarakat Rejang sangat lamban menyerap pola kerja masyarakat dari suku lainnya di daerah Lebong. Masyarakat Rejang pada umumnya terjebak dengan pandangan hidup praktis, tetapi tidak ekonomis dan tidak efektif.
Sampai tahun 1970 masyarakat Rejang di Lebong dikenal sebagai masyarakat petani yang ulet, tekun, irit dan sangat kuat nilai ikatan kekeluargaannya. Terutama dalam makna gotong royong dalam bidang apapun. Di dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat Rejang sangat setia dan taat akan nilai-nilai sosial, agama, seni, budaya dan hukum. Dengan perubahan zaman, terutama berhembusnya filosofi global ke daerah itu, membuat masyarakat Lebong terperangah, kaget dan seakan-akan menemukan dunia baru yang penuh dengan janji-janji kehidupan yang layak.
Dalam normal sosial keagamaan masyarakat Rejang yang dipedomani dan dipatuhi dalam kehidupan saehari-hari adalah pantang anggota masyarakatnya yang kawin cerai. Pantang bagi mereka untuk melakukan perbuatan sumbang besar maupun sumbang kecil di tengah masyarakatnya. Sebab, jika terjadi maka sanksi sosialnya sangat keras dan statis sesuai format nilai-nilai yang mereka ketahui dan jalani selama itu.
Termasuk dalam pergaulan sehari-hari para remaja. Filosofi bahwa pernikahan itu adalah kemampuan dan kemandirian, sangat dijunjung tinggi dan dipatuhi semua lapisan masyarakat. Perbuatan jahat, seperti maling, merampok, membunuh atau pelecehan seksual sampai pemerkosaan akan menjadi traumatik setiap anggota masyarakat Rejang. Akibatnya, perbuatran-perbuatan seperti itu sangat kecil sekali kemungkinan dilakukan anggota masyarakatnya.
Tembok tebal dan kokoh masyarakat Rejang akhirnya satu senti per senti mulai rontoh, banyak anggota masyarakat Rejang yang melanggar norma-norma sosial keagamaan, hukum adat, hukum positif dan normal lainnya. Hal itu diakibatkan perngaruh kehidupan dari luar struyktur masyarakat Rejang. Diawali dengan pernikahan (perkawinan) dengan orang luar dari sukubanghsa Rejang yang hanya mengejar penampilan (format), gaya hidup atau gengsi sosial.
Gadis-gadis Rejang banyak yang tertipu oleh penampilan para pengemudi mobil. Mereka tidak lagi mempedulikan, siapa lelaki yang berkenalan dengan dirinya yang setiap kali bertemu memberikan uang atau oleh-oleh. Tanpa disadari akhirnya ikut berpetualang bersama sang supir mobil ke berbagai desa atau ke luar daerah sukubangsa Rejang. Mereka baru menyadari kalau lelaki yang sering mengencaninya itu adalah seorang lelaki yang sudah beristeri dan punya anak.
Penyesalan memang di belakang. Namun banyak kebanyakan gadis Rejang, penyesalan itu tidak membuat mereka kembali (sadar), bahkan melanjutkan kehancuran moral dalam kehidupan prostitusi terselubung. Baik di daerahnya sendiri maupun di luar daerah Lebong. Yang lebih buruk lagi adalah keluarga si gadis. Mereka menerima dengan kebanggaan hasil-hasil yang diperoleh oleh anak gadis mereka, tanpa ada keinginan untuk menyelidiki; darimana asal harta benda atau uang yang dibawa anak mereka.
Secara umum pada gilirannya masyarakat Lebong menjadi masyarakat yang konsumtif, materialistis dan patembayan. Pola kehidupan demikian sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat Rejang di tanah Rejang dan Lebong. Karena, nilai kreativitas, idealisme, moralitas dan mentalitas menjadi rapuh dan tidak mampu membendung infiltrasi budaya luar masuk ke susunan masyarakat Rejang.
Oleh karena itu, harus ada lembaga sensor atau filter terhadap infiltrasi budaya luar yang tidak memberi nilai tambah bagi kehidupan masyarakat Rejang itu sendiri. Kita dapat melihat sekarang, kebiasaan-kebiasaan yang sangat positif, disamping itu memberi dukungan terhadap pelestarian hasil karya masyarakar Rejang sudah ditinggalkan. Misalnya ke kebun, sawah atau ladang, masyarakat Rejang yang umumnya bermatapencarian dari sektor pertanian. Tidak lagi membawa pane (bronang). Semua diganti dengan tas kulit imitasi seperti layaknya anak sekolah.
Ditinggalkannya pane, seperti mereka melupakan alat penangkap ikan kewea (pancing) yang terbuat dari sebatang pohon bambu biyes atau buluak pukua cino. Batang bambu biyes itu memang kuat, lentur dan tidak mudah patah kendati batangnya kecil-kecil. Sehari-hari kita melihat orang Rejang memancing menggunakan alat pancing yang berasal dari kota. Termasuk makanannya. Padahal, pancing demikian hanya untuk ikan-ikan peliharaan di kolam. Sedangkan ikan air tawar yang ada di sungai dan danau mempunyai sifat dan kiarakter tersendiri terhadap makanan ikan-ikan tersebut.
Ini bukan berarti melarang penggunaan alat pancing modern (canggih). Namun, kita hanya melihat dari sudut budaya dan tradisi yang sangat melekat di masyarakat Rejang. Hal itu mengisyaratkan masyarakat Rejang sudah melupakan kaidah-kaidah norma yang hidup di dalam masyarakatnya sendiri.

Pergaulan Muda-Mudi
Melihat kenyataan (realitas) sosial kehidupan masyarakat Rejang awal tahun 2009, semua orang pasti mengatakan sangat prihatin. Nilai-nilai adab, sopan santun, etika dan nilai keagamaan sudah ditinggalkan hampir sebagian besar anggota masyarakatnya, terutama di kalangan generasi muda.
Gadis-gadis yang mengenakan celana pendek ketat, baju kaos ketat yang memperlihatkan paha, lekuk tubuh, pusar, perut, pinggang dan menampakkan dengan jelas celana dalam merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Rejang selama ini. Namun, sekarang hal itu sepertinya sudah tidak ada larangan dan sanksi sosial. Akibatnya, anak-anak gadis dengan bebas memperagakan bagian tubuhnya yang mempengaruhi pria untuk menikmatinya.
Kita tidak tahu persis persentasenya, yang jelas dari keterangan-keterangan dan cerita masyarakat Rejang saat ini, tentang mudahnya melakukan perkawinan dan perceraian yang bukan hanya berlaku di kalangan remaja (generasi muda). Tetapi, di tingkat orangtua pun sudah sedemikian merosotnya nilai-nilai sakral suatu perkawinan. Kita tidak tahu lagi, bagaimana 5 atau 10 tahun mendatang. Sekarang saja sudah sangat memkhawatirkan.
Orang Rejang pada saat sekarang pergi ke kebun, ladang atau sawah mengenakan baju bagus. Hal itu tidak pernah dilakukan selama ini di tanah Rejang. Bahkan, sekarang jika ada orang Rejang yang berkebun dan menginap di kebunnya sampai sebulan penuh menjadi cemoohan. Padahal, pekerjaan demikianlah yang dilakukan masyarakat Rejang selama ini untuk menghidupi keluarga mereka.