Rabu, 14 Juli 2010

Legalitas Dalam Ilegalisme

Oleh Naim Emel Prahana
FENOMENA apa yang dipertontonkan para pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi dari berbagai unsur, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Semuanya merupakan implementasi dari karakteristik pegawai pemerintah. Yang selalu dualisme dalam berpijak, termasuk mengeluarkan pendapat. Sepanjang sejarah kemerdekaan republik ini, para abdi negara pada umumnya tidak memiliki identitas yang ‘pasti’. Ibarat ilalang, ke mana angin bertiup, ke sanalah mereka mencenderungkan kehidupannya. Kendati harus mengorbankan keyakinan atau ideologi pribadi dan keluarga.
Seandainya mereka sudah pensiun atau ‘dipensiunkan’, maka secara pasti pula pada umumnya mengeluarkan identitas diri sebagaimana mestinya. Koreksi, kritik, sampai ocehan kepada pejabat dan pegawai pemerintah atau kepada kebijakan pemerintah mengalir bagaikan air bah! Jika kita mengingat masa silam—disaat Orde Baru dikuasai oleh Golkar. Nyaris tidak satupun PNS atau pejabat yang bertindak netral—walau ketentuannya harus netral, terutama dalam pemilu, pemilihan kepala daerah dan sebagai.
Kenyataannya sangat kontroversial. Mengerti atau tidak, paham atau tidak, sejalan atau tidak, korban atau tidak, menderita atau tidak dan sebagainya. Mereka tetap membela panji-panji Golkar yang menjadi tulang punggung utama penguasa orde baru, era keemasan Soeharto sebagai presiden republik ini. Oleh karena itu, kendati seorang atasan meniduri isterinya—si pegawai negeri tetap diam (maaf!). semua serba ketakutan akan dicopot status kepegawaiannya atau dipindahkan ke lokasi tempat jin buang anak (sebuah istilah).
Mungkin demikian pula dengan apa yang terjadi dengan mantan Menteri Depkum dan HAM, Prof DR Yusril Ihza Mahendra. Yang secara terang-terangan mengatakan status Hendarman Supanji (Jaksa Agung) tidak sah. Sehingga, ia tidak mau diperiksa atas sangkaan melakukan korupsi ketika ia menjabat sebagai menteri. Mungkin pula, apa yang dilakukan Susno Duadji yang menentang keras atasannya ketika ia hendak diperiksa. Toh, akhirnya Sausno Duadji ditahan. Yang diprediksi, pada akhirnya persoalan itu penuh dengan deal-deal di balik layar.
Dari fenomena-fenomena yang dipertontonkan para penguasa dan mantan penguasa (petinggi dan mantan petinggi pemerintah) masuk dalam koridor legalitas pada illegaliisme. Artinya, sesuatu yang dilegalkan padahal tidak legal, namun hukum kita menganut ilegalisme penerapan. Sebab, penerapan hukum kita dikombinasikan dengan unsur politik. Politik sendiri selalu menekankan kepada kepentingan tujuan (mempertahankan status quo kekuasaan).
Sementara itu, pilar – pilar politik di Indonesia sangat rapuh, tidak mendasar dan betul-betul menjalankan politik kepentingan. Ketika lembaga legislatif disanjung-sanjung sebagai forum politik. Maka, apapun keputusannya, termasuk pengesahan berbagai UU (produk hukum) maupun peraturan daerah (perda) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selalu “bongkar pasang”, selalu diingkari ketika berbenturan dengan kepentingan mereka (walau mereka sendirilah yang membuat peraturan itu).
Legalitas dalam ilegalisme dapat dilihat dan dirasakan hampir semua warga masyarakat, seperti perjudian. Undang-undang yang dibuat dan dijadikan acuan aparat penegak hukum, pada kenyataannya perjudianpun tetap berjalan. Baik yang benar-benar liar dan ilegal maupun yang dibungkus dengan praktek-praktek sosial, semacam kuis berhadiah dan sebagainya. Termasuk masalah narkoba dan miras yang masuk dalam paket UU Narkotika.
Yang paling spektakuler tentu masalah ilegalisme korupsi yang dilegalkan dengan berbagai bungkus kamuflase. Terutama UU Narkotika yang baru (2009). Pengguna atau lazim disebut sebagai orang yang menyalahgunakan narkotika sekitar 80% dimasukkan ke dalam daftar ‘korban’. Ketika bicara soal korban, maka kita harus membongkar bahasa Indonesia kembali. Definisi ‘korban’ dalam bahasa Indonesianya itu, apa? Apakah seorang yang ketagihan minuman keras, dianggap sebagai korban? Korban itu sediri apa. Tolong dijelaskan.
Tetapi, siapakah yang mampu menjelaskan, kendati banyak pakar hukum, pakar bahasa sampai pakar-pakaran di Indonesia ini. Tetapi, tetap saja belum mampu melahirkan sebuah teori sendiri. Kecuali teori-teori yang mengutip teori-teori lama dari orang asing. Orang Indonesia sangat bangsa dalam bukunya, dalam tesisnya, dalam tulisannya mengutip dan menulis bahasa asing. Bahasa ibu pertiwinya sendiri diabaikan, dianggap tidak ‘bertuah’—tidak bermakna. Oleh karena itu, mari kita lanjutkan pepatah yang mengatakan “katakan YA kalau benar, katakan TIDAK kalau memang salah”

Kamis, 17 Juni 2010

Mengelola Teknologi

Mengelola Teknologi
TEKNOLOGI yang merambah di semua sektor kehidupan, tidak semua elemen masyarakat dapat memanfaatkan, menggunakan dan mengelolanya sesuai fungsi dan tujuan diciptakannya produk teknologi. Karena itulah, banyak penggunaan produk teknologi menghancurkan tatanan kehidupan itu sendiri. Bukan hanya salah kaprah mengelola teknologi yang menyebabkan hancurnya unsur-unsur sumber daya manusia dan sumber daya alam. Akan tetapi, produk kebijakan atau slogan yang dibuat oleh pemerintah pun (juga swasta) sering menjadi penyebab rusak—hancurnya SDM dan SDA.
Sebagai contoh di antara salah kaprah mengelola produk teknologi dalam penggunaannya, seperti pemanfaatan teknologi digital yang secrba praktis, otomatis dan akhirnya menjadi alat yang berfungsi sebagai pembunuhan yang sadis tehadap sendi-sendi kehidupan umat manusia dan funa flora. Karena mudah dan gampang menggunakan kamera digital yang dapat merekam aktivitas rutin seseorang, lahirlah video-video mesum alam Maria Eva, Ariel ‘Peterpan’—Luna Maya—Cut Tari dan sebagainya.
Demikian pula kebiasaan menggunakan televisi dengan acara tertentu, mampu mempengauhi kehidupan seseorang. Yang semula alim, taat agama, dan menjaga moralitasnya. Kemudian melahirkan seseorang yang ‘liar’ dan mengalalkan segala cara. Juga, seperti pemanfaatan handphone yang berkamera. Penggunaan tanpa panduan dan pengawasan menjadikan pemilik atau pemegang handphone (HP) melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak memberi manfaat bagi dirinya sendiri.
Namun, demikianlah perkembangan peradaban umat manusia. Yang pintar belum tentu cerdas menghadapi persoalan dalam hidupnya, yang cerdaspun belum menjamin kalau seseorang itu mampu mengatasi pengaruh-pengaruh negatif kepada dirinya. Maka, pendidikan untuk manusia diabad tekinologi sekarang ini seyogyanya diarahkan kepada pendidikan moral, etika, adab kesopanan yang intinya memberikan panduan untuk orang agar ia terus menjadi baik.
Sama halnya penggunaan kendaraan jika tidak disesuaikan dengan fungsi dan manfaat kendaraan itu, biasanya akan melahirkan musibah atau kecelakaan. Seharusnya kendaraan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan-kepentingan strategis bagi pemilik dan penggunanya. Bukan untuk dipakai kepada kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan manfaat sama sekali. Misalnya untuk kebut-kebutan, keluyuran dan membuat gang bagi anak-anak sekolah atau remaja dan pemuda. Bila itu mereka lakukan, maka lahirlah berbagai bentuk kriminalitas yang mereka sendiri tanpa disadari mengkriminalisasikan diri mereka sendiri.
Masih banyak contoh kasus yang tidak menggembirakan terhadap kesinambungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Termasuk persoalan senjata yang diproduksi oleh negara-negara industri persenjataan, yang bila disalahgunakan penjualan dan penyebaran senjata tersebut. Akan melahirkan berbagai konflik bertsenjata di banyak negara. Itu semua, akibat memproduksi senjata hanya dilihat dari sisi ekonomi belaka.
Sebelum semuanya menjadi terlambat karena tidak mampu mengendalikan diri pada saat bersinggungan dengan teknologi, maka tidak ada kata lain yang lebih baik dilakukan manusia dewasa ini. Kecuali menyadari betapa pentingnya unsur baik dalam dri masing-masing.

Rabu, 05 Mei 2010

Hari Indonesia

Kolom Naim Emel Prahana
INDONESIA adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki banyak hari-hari peringatan di luar hari nasional yang memang sudah ditetapkan dan sudah banyak pula jumlahnya. Kadang, melihat pegawai negeri yang ke sana-ke mari mempringati berbagai hari, timbul kasihan. Bukan lantaran biaya (kost) yang ke luar, akan tetapi nasib mereka yang terus dipaksa.
Hanya ada satu Indonesia tidak memiliki hari peringatan, yaitu Hari Laki-Laki atau Hari Pria. Selain dari itu, semuanya ada. Begitu hebatnya pemerintah Indonesia menghargai banyak status, keadaan, faktor dan bidang dan sebagainya. Tentu saja peringatan hari-hari di Indonesia itu membutuhkan biay, kadang-kadang dan sering peringatan hari-hari itu mengambil biaya dari pos pembangunan yang sudah ditetapkan. Dan, sering peringatan hari-hari itu menguras isi kantong para pegawai.
Ada kesan luar biasa. Tetapi, di balik kesan itu ada kesan yang “tak ada kesan”. Seperti angin lewat, ya lewat begitu saja. Seperti air, ya mengalir begitu saja. Di rumah atau keluarga atau rumah tangga saja, peringatan hari-hari itupun semakin semarak dan banyak. Ada hari ulang tahun yang dirayakan setiap tahunnya. Ada peringatan 25 tahun perkawinan, ada peringatan perkawinan perak, peringatan perkawinan emas dan sebagainya.
Pemerintah menduduki jumlah aktivitas peringatan hari yang paling banyak, ditambah lagi peringatan hari-hari lahirnya organisasi-organisasi profesi, kemasyarakatan, sosial dan lainnya. Peringatan hari-hari itu selalu diacarakan dengan berbagai jenis acara. Termasuk siraman rohani oleh penceramah.
Waktu acara berlangsung, semua peserta begitu khidmat, sementara peringatan hari di jalanan, juga tidak kalah maraknya. Unjukrasa, demo bentrok dengan polusi, demo anarkis, polisi yang anarkis, Pol PP yang bruta, dan sebagainya. Semuanya dalam rangka memperingati hari-hari tertentu.
Habis peringatan, habis pula ingatan. Semua kembali ke habitat masing-masing, prilaku sosial yang jadi trend, kembali beraktivitas. sepertinya isi pidato yang baik-baik, bagus-bagus, termasuk siraman rohani yang menyentuh kalbu hingga meneteskan air mata. Habis peringatan habis ingatan! Hanya itu yang ada.
Mungkin di antara hari-hari yang diperingati itu, yang paling berkesan dan selalu diingat adalah hari hujan, hari panas, hari gelap gulita dan hari-hari yang membuat orang trauma seperti hari gempa mengingati (bukan memperingati) kejadian gempa, tsunama, badai, longsor, biasanya selalu dalam ingatan. Tapi, yang namanya hari ibu, hari kebangkitan nasional, hari balita, hari lingkungan hidup, hari pendidikan nasional dan semacamnya.
Semua monoton dan tidak ada kesan, apalagi dampak positif yang bisa dijalankan masyarakat setelah peringatan harinya. Apalagi peringatan hari-hari besar yang disertai dengan pameranpembangunan. Sepertinya kita dipertontonkan kesia-siaan belaka. Kita disodorkan gambaran tentang kebodohan pemerintah dari tahun ke tahun. Padahal, biayanya luar biasa. Andaikan biaya seperti itu untuk diberikan kepada rakyat miskin, tentu manfaatnya akan lebih terasa dan pasti diinget terus oleh rakyat.
Hari apa lagi yang belum ditetapkan oleh pemerintah, agar diperingati setiap tahunnya dan agar dijadikan proyek multiyears. Mudah-mudahan DPR-RI bisa mengesahkannya, seperti hari kecelakaan lalulintas, hari perselingkuhan, hari kebohongan atau hari-hari kematian.

Kampanye “Kecap No 1”

kolom Naim Emel Prahana

MUSIM kampanye pilkada (pemilukada) di beberapa kabupaten/kota di Lampung secara resmi belum. Akan tetapi, kampanye lewat acara kamuflase nyaris tanpa waktu, apalagi melalui atribut (alat peraga) seperti baleho, spanduk, banner dan stiker maupun kaos. Merek atau tulisan di alat peraga itu memang penuh dengan rayuan. Kalau tidak kita katakan “rayuan gombal”
Tapi, itulah namanya kampanye! Bahasa yang disampaikan semuanya bahasa janji, rayuan yang manis-manis antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Bahkan, saling intip apa mereka di alat peraga pasangan lain. Maka, pasangan lainnya lagi membuat tandingan.
Semuanya seperti merek kecap. Sebab, kecap yang dijual di pasar, semuanya memasang merek kualitas nomor 1. di dalam kampanye alat peraga yang berbentuk teks (tulisan) membuat yang membacanya sering geleng kepala. Kok semuanya nomor 1. bahkan, membawa-bawa nama dalam ajaran agama. Misalnya “Pesan Rahmat”. Padahal, kata Rahmat itu merupakan singkatan. Namun, jika sepintas masyarakat membacanya berkpmentar, “wah, alim banget tu pasangan
Tapi, memang itulah potret yang terjadi di tengah masyarakat kita. Black Campaign (kampanye hitam) sudah menjadi lumrah dan tujuannya bagaimana menjatuhkan pasangan lainnya. Bisa dikatakan hal itu sebagai menghalalkan segala macam pelanggaran atau tindak amoral, asusila sampai ke asosial. Padahal, masyarakat sebenarnya sudah tahu. Siapa pasangan calon yang itu dan yang ini atau yang di sana.
Pada akhirnya, warga masyarakatpun menjalankan strategi, siapapun calonnya mereka dekati, yang penting uang. “Soal suara, itu nanti,” kata mereka. Kacau sudah demokrasi di tengah masyarakat dewasa ini. Demokrasi yang didasarkan kepada materi (salah satu bentuk kehancuran sistem demokrasi).
Apaboleh buat, pelanggaran atau tindak pidana dalam pemilu, pilpres atau pemilukada memang tidak jelas. Padahal, aturannya sudah sangat jelas. Pelanggaran dan tindak pidana dalam pilkada pada akhirnya menjadi proyek pihak berkepentingan dalam penyelenggaraan pilkada. Semua bisa diatur, walau sudah diekspos di media massa. Itulah hebatnya demokrasi Indonesia saat ini.
Yang lebih parah lagi banyak calon yang incumbent memanfaatkan jabatannya untuk memobilisir fasilitas jabatan dan uang rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri. Apalagi sekarang, calon incumbent hanya cuti sebentar sebelum hari pencoblosan. Banyak anggaran yang sudah di poskan di APBD, dipakai oleh calon incumbent. Anehnya, penegakan hukum di daerah, membenarkan penyalahgunaan penggunaan anggaran itu untuk kapnaye calon.
“Yah, mereka ingin tetap menjadi nomor satu di daerahnya, apapun pertaruhannya, mereka lakukan sampai mendatangkan dukun/orang piunter lintas daerah..!”
Luar biasa, nomor satu itu memang kecap. Nama kecap itu akhirnya dipatri oleh kosa kata dalam bahasa Iondonesia sebagai orang yang suka membual—“mengecap”. Tong kosong nyaring bunyinya. Masih banyak harapan untuk berlaku sopan, jujur dan jentelmen (gentlemen) dalam pilkada. Kita tidak mau mendengar adanya humar error atau kekhilafan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU pemilu.
Gakumpun mulai memasang jaringan, jaringan itu selalu dilekatkan dengan lebel like and dislike.