Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat seni budaya
Adagium lama, “kegagaan adalah kemenangan yang tertunda!” Mungkin
tidak cocok dengan peristiwa pemilihan kepala daerah (pilkada), apalagi pilkada
serentak 2015 yang baru saja lewat di depan rumah rakyat. Kekalahan pada
pilkada sekarang ini, benar-benar kekalahan yang ‘kalah’ dari semua sisi.
Kekalahan pasangan calon (paslon) kepala daerah tersebut bukanlah suatu
kegagalan, melainkan kekalahan nyata.
Jika dikatakan pilkada itu punya cost mahal, benar sekali! Kendati,
pada pilkada serentak 2015 banyak biaya yang biasanya dikeluarkan paslon
menjadi berkurang, karena biaya-biaya utama ditanggung oleh pemerintah melalui
KPU. Namun demikian, biaya pilkada setiap paslon jelas sangat tinggi. Sebab,
aturan yang membatasi anggaran kampanye, pembuatan APK, transportasi,
sosialisasi dan kampanye terbuka itu.
Bias disiati oleh paslon dan tim suksesnya. Itulah biaya pilkada yang
tetap mahal. Apalagi paslonnya mengalami kekalahan. Jika ditinjau dari
kekalahan paslon dalam pilkada yang baru saja berlalu. Banyak hal yang selama
ini tidak terpikirkan oleh paslon.
Kekalahan pertama; kalah banyak meraih suara dari paslon
lain. Berarti gagal mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Faktor
penyebabnya banyak sekali. Diantaranya karena rakyat sudah semakin cerdas
memilah dan memilih calon pemimpin mereka untuk waktu yang panjang – lima
tahun!
Track record seorang calon selalu terekam dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari dan akan muncul pada saat pilkada. Track
record itu, bisa saja si calon pernah jadi pejabat daerah atau pengusaha yang
butuh masyarakat ketika ada maunya. Setelah tercapai masyarakat dibuang seperti
sampah. Kekecewaan model itu sangat mempengaruhi perolehan suara pada pilkada
oleh seseorang calon. Berarti, kekalahan itu ada pada diri si calin itu
sendiri. Dan, itu kekalahan yang sangat dahsyat. Apalagi jika dikaitkan dengan
biaya yang sudah dikeluarkan.
Kekalahan kedua; kemenangan calon kepala daerah pada
pilkada sebenarnya mudah sekali diprediksi. Di samping track recordnya, juga
masalah popularitas. Apakah popularitas seseorang itu didongkrak atau didapat
dari kecintaan masyarakat terhadap apa-apa yang dikerjakannya selalu dekat
dengan rakyat. Rakyat akhirnya sangat mengenal sosok si calon. Lain halnya
dengan popularitas dongkrakan.
Kemenangan atau kekalahan di pilkada merangkum semua faktor penyebab yang
ada pada diri si calon. Intern maupun ekstern. Memang, kekalan di pilkada
sangat menyakitkan bagi paslon yang tidak siap yang hanya punya ambisi
berlebihan. Tidak bagi paslon yang benar-benar siap. Artinya, pencalonan
dirinya betul-betul sebagai wujud pemegang amanah rakyat.
Kampanye-kampanye berisi kebohongan sebaiknya tidak dilakukan paslon,
jika ingin bertarung secara fair. Sebab, indikasi rakyat sudah semakin cerdas
akan melibas kebohongan itu dengan tidak memberikan dukungan kepada paslon yang
suka hoak!
Hal itu sudah banyak terbukti. Terutama di pilkada serentak 2015 yang
baru usai melakukan pemungutan suara.
Bberapa incumben harus takluk dengan pendatang baru yang dinilai
masyarakat akan memberikan udara segar bagi pembangunan di daerahnya. Sementara
incumben yang selalu mengumbar tentang keberhasilannya, dinastinya atau semacam
itu ditinggalkan pemilih. Karena faktor pertama tentang track record di atas
tadi.
Kekalahan ketiga; kompetisi di pilkada butuh taktik,
strategi dan manajemen yang terukur, terarah dan terdata. Bukan manajemen
‘katanya’ tim sukses. Karena ketika strategi, taktik atau manajemen kurang
bagus. Banyak pihak yang akan menggoreng paslon (mungkin termasuk tim suksesnya
sendiri) dan para penjudi.
Paslon seperti pada pilkada serentak 2015 tidak dapat mengandalkan
rencana dalam bentuk spekulasi tinggi, antara lain mengandalkan serangan fajar
untuk meraih suara banyak dari pemilih. Sebab, teori spekulasi itu tidak cukup
punya dana besar, tetapi ia harus punya orang-orang yang genius, trampil dan
profesional. Jika tidak, dipastikan paslonnya akan digoreng habis-habisan.
Terutama paslon yang berasal dari jalur perorangan (independen).
Benar-benar harus punya database real tentang dukungannya. Banyak percakapan
real di tengah masyarakat menjelang hari pemungutan suara yang tidak tertangkap
oleh paslon maupun tim suksesnya. Padahal, suara-suara langsung itu adalah
nyata.
Penulis punya cerita sendiri. Beberapa tahun silam menjelang pemilihan
gubernur Lampung (Pilgub) yang salah satu calonnya adal Sjachroedin ZP,
kemudian ada Alzier Dianis Thabrani, Zulkifli Anwar, Andy Achmad SJ dll.
Penulis melakukan perjalanan dari Bengkulu ke Lampung melalui Baturaja – Martapura
– Waykanan, Bukitt Kemuning.
Sepanjang jalan di daerah Way Kanan saya bersama teman tidak melihat
satupun baleho, spanduk atau banner paslon gubernur. Kecuali gambar
Sjachroedin. Sesampai di Bukit Kemuning penulis bilang sama teman. “Jelas,
Sjachroeddin ZP bakal menang!”. Usai pilgub, ternyata benar. Mungkin juga apa
yang penulis katakan itu hanya faktor kebetulan. Tapi, tidak. Penulis melihat
banyak msisi lainnya.
Pada saat pilgub Lampung yang salah satu calonnya ada Ridho Ficardo,
penulis waktu itu melakukan perjalanan dengan seorang kawan lainnya dari
Bengkulu ke Lampung melalui Pesisir Barat dan Lampung Barat. Sejak perbatasan
dari Kabupaten Kaur (Bengkulu) dengan Pesisir Barat – sepanjang jalan, di
kampung-kampung dan hutan tanpa penghuni (rumah penduduk). Penulis melihat
hanya gambar Ridho Ficardo yang ada bahkan di dalam hutanpun gambarnya ditempel
di kayu-kayu besar.
Penulis bilang sama kawan, “Waduh, nggak lawan. Ridho Ficardo pasti
menang!” Sekali lagi ucapan penulis itu pada akhirnya bener. Pada pilkada
serentak kemarin berulang kali penulis bilang, paslon di Lampung Selatan, Rycho
Menoza, paslon Pesawaran Aries Sandy sudah kehilangan massa, karena selama
kepemipinan keduanya terjadi banyak hal yang dinilai masyarakat tidak pantas
dan tidak patut dilakukan. Ternyata, hasilnya memang benar, Zainuddin dan Dandi
Ramodana berhasil menaklukkan kedua incumben tersebut.
Jadi, mengikuti pilkada memang harus siap segala-galanya, termasuk
dana – walau sejak pilkada serentak dana kampanye sebagian besar ditanggung
pemerintah cq KPU. Tapi, dana-dana lain sebagai bensin kegiatan paslon harus
siap sedia sejak awal dan manajemen yang teratur dan terarah.
Dan, perlu diingat, bahwa pesta demokrasi seperti pilkada, pemilu,
pilpres, pilgub atau pemilihan lain selalu saja dibayang-bayangi para penjudi
yang karena perjudiannya, sering mengalihkan perhatian pemilih dalam
pilihannya. Dengan begitu, maka kalah dan menang dalam pilkada tidak lepas dari
persoalan nilai seorang kompetitor (kontestan).