Selasa, 26 Januari 2016

Faktor Kalah dan Menang Kontestan Pilkada



Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat seni budaya

Adagium lama, “kegagaan adalah kemenangan yang tertunda!” Mungkin tidak cocok dengan peristiwa pemilihan kepala daerah (pilkada), apalagi pilkada serentak 2015 yang baru saja lewat di depan rumah rakyat. Kekalahan pada pilkada sekarang ini, benar-benar kekalahan yang ‘kalah’ dari semua sisi. Kekalahan pasangan calon (paslon) kepala daerah tersebut bukanlah suatu kegagalan, melainkan kekalahan nyata.
Jika dikatakan pilkada itu punya cost mahal, benar sekali! Kendati, pada pilkada serentak 2015 banyak biaya yang biasanya dikeluarkan paslon menjadi berkurang, karena biaya-biaya utama ditanggung oleh pemerintah melalui KPU. Namun demikian, biaya pilkada setiap paslon jelas sangat tinggi. Sebab, aturan yang membatasi anggaran kampanye, pembuatan APK, transportasi, sosialisasi dan kampanye terbuka itu.
Bias disiati oleh paslon dan tim suksesnya. Itulah biaya pilkada yang tetap mahal. Apalagi paslonnya mengalami kekalahan. Jika ditinjau dari kekalahan paslon dalam pilkada yang baru saja berlalu. Banyak hal yang selama ini tidak terpikirkan oleh paslon.
Kekalahan pertama; kalah banyak meraih suara dari paslon lain. Berarti gagal mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Faktor penyebabnya banyak sekali. Diantaranya karena rakyat sudah semakin cerdas memilah dan memilih calon pemimpin mereka untuk waktu yang panjang – lima tahun!
Track record seorang calon selalu terekam dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan akan muncul pada saat pilkada. Track record itu, bisa saja si calon pernah jadi pejabat daerah atau pengusaha yang butuh masyarakat ketika ada maunya. Setelah tercapai masyarakat dibuang seperti sampah. Kekecewaan model itu sangat mempengaruhi perolehan suara pada pilkada oleh seseorang calon. Berarti, kekalahan itu ada pada diri si calin itu sendiri. Dan, itu kekalahan yang sangat dahsyat. Apalagi jika dikaitkan dengan biaya yang sudah dikeluarkan.
Kekalahan kedua; kemenangan calon kepala daerah pada pilkada sebenarnya mudah sekali diprediksi. Di samping track recordnya, juga masalah popularitas. Apakah popularitas seseorang itu didongkrak atau didapat dari kecintaan masyarakat terhadap apa-apa yang dikerjakannya selalu dekat dengan rakyat. Rakyat akhirnya sangat mengenal sosok si calon. Lain halnya dengan popularitas dongkrakan.
Kemenangan atau kekalahan di pilkada merangkum semua faktor penyebab yang ada pada diri si calon. Intern maupun ekstern. Memang, kekalan di pilkada sangat menyakitkan bagi paslon yang tidak siap yang hanya punya ambisi berlebihan. Tidak bagi paslon yang benar-benar siap. Artinya, pencalonan dirinya betul-betul sebagai wujud pemegang amanah rakyat.
Kampanye-kampanye berisi kebohongan sebaiknya tidak dilakukan paslon, jika ingin bertarung secara fair. Sebab, indikasi rakyat sudah semakin cerdas akan melibas kebohongan itu dengan tidak memberikan dukungan kepada paslon yang suka hoak!
Hal itu sudah banyak terbukti. Terutama di pilkada serentak 2015 yang baru usai melakukan pemungutan suara.  
Bberapa incumben harus takluk dengan pendatang baru yang dinilai masyarakat akan memberikan udara segar bagi pembangunan di daerahnya. Sementara incumben yang selalu mengumbar tentang keberhasilannya, dinastinya atau semacam itu ditinggalkan pemilih. Karena faktor pertama tentang track record di atas tadi.
Kekalahan ketiga; kompetisi di pilkada butuh taktik, strategi dan manajemen yang terukur, terarah dan terdata. Bukan manajemen ‘katanya’ tim sukses. Karena ketika strategi, taktik atau manajemen kurang bagus. Banyak pihak yang akan menggoreng paslon (mungkin termasuk tim suksesnya sendiri) dan para penjudi.
Paslon seperti pada pilkada serentak 2015 tidak dapat mengandalkan rencana dalam bentuk spekulasi tinggi, antara lain mengandalkan serangan fajar untuk meraih suara banyak dari pemilih. Sebab, teori spekulasi itu tidak cukup punya dana besar, tetapi ia harus punya orang-orang yang genius, trampil dan profesional. Jika tidak, dipastikan paslonnya akan digoreng habis-habisan.
Terutama paslon yang berasal dari jalur perorangan (independen). Benar-benar harus punya database real tentang dukungannya. Banyak percakapan real di tengah masyarakat menjelang hari pemungutan suara yang tidak tertangkap oleh paslon maupun tim suksesnya. Padahal, suara-suara langsung itu adalah nyata.
Penulis punya cerita sendiri. Beberapa tahun silam menjelang pemilihan gubernur Lampung (Pilgub) yang salah satu calonnya adal Sjachroedin ZP, kemudian ada Alzier Dianis Thabrani, Zulkifli Anwar, Andy Achmad SJ dll. Penulis melakukan perjalanan dari Bengkulu ke Lampung melalui Baturaja – Martapura – Waykanan, Bukitt Kemuning.
Sepanjang jalan di daerah Way Kanan saya bersama teman tidak melihat satupun baleho, spanduk atau banner paslon gubernur. Kecuali gambar Sjachroedin. Sesampai di Bukit Kemuning penulis bilang sama teman. “Jelas, Sjachroeddin ZP bakal menang!”. Usai pilgub, ternyata benar. Mungkin juga apa yang penulis katakan itu hanya faktor kebetulan. Tapi, tidak. Penulis melihat banyak msisi lainnya.
Pada saat pilgub Lampung yang salah satu calonnya ada Ridho Ficardo, penulis waktu itu melakukan perjalanan dengan seorang kawan lainnya dari Bengkulu ke Lampung melalui Pesisir Barat dan Lampung Barat. Sejak perbatasan dari Kabupaten Kaur (Bengkulu) dengan Pesisir Barat – sepanjang jalan, di kampung-kampung dan hutan tanpa penghuni (rumah penduduk). Penulis melihat hanya gambar Ridho Ficardo yang ada bahkan di dalam hutanpun gambarnya ditempel di kayu-kayu besar.
Penulis bilang sama kawan, “Waduh, nggak lawan. Ridho Ficardo pasti menang!” Sekali lagi ucapan penulis itu pada akhirnya bener. Pada pilkada serentak kemarin berulang kali penulis bilang, paslon di Lampung Selatan, Rycho Menoza, paslon Pesawaran Aries Sandy sudah kehilangan massa, karena selama kepemipinan keduanya terjadi banyak hal yang dinilai masyarakat tidak pantas dan tidak patut dilakukan. Ternyata, hasilnya memang benar, Zainuddin dan Dandi Ramodana berhasil menaklukkan kedua incumben tersebut.
Jadi, mengikuti pilkada memang harus siap segala-galanya, termasuk dana – walau sejak pilkada serentak dana kampanye sebagian besar ditanggung pemerintah cq KPU. Tapi, dana-dana lain sebagai bensin kegiatan paslon harus siap sedia sejak awal dan manajemen yang teratur dan terarah.
Dan, perlu diingat, bahwa pesta demokrasi seperti pilkada, pemilu, pilpres, pilgub atau pemilihan lain selalu saja dibayang-bayangi para penjudi yang karena perjudiannya, sering mengalihkan perhatian pemilih dalam pilihannya. Dengan begitu, maka kalah dan menang dalam pilkada tidak lepas dari persoalan nilai seorang kompetitor (kontestan).

Tidak ada komentar: