Minggu, 06 Maret 2016

ORGANISASI OLAHRAGA DI KOTA METRO


NO
N A M A
STATUS
01
Angkat Besi (PABBSI)
cabang
02
Atletik (PASI)
Cabang
03
Bulutangkis (PBSI)

04
Basket (PABBSI)
Cabang
05
Brigde
Cabang
06
Bowling (PBSI)
Cabang
07
Catur (Percasi)
Cabang
08
Futsal
Cabang
09
Gulat (PGSI)
Cabang
10
Judo (PJSI)
Cabang
11
Karate (Forki):
1.    Inkai
2.    Inkanas
3.    Lemkari
4.  Inkado
Cabang  
12
Motor (IMI) 
Cabang
13
Panjat Tebing
Cabang
14
Pencak Silat (IPSI)
Cabang
15
Renang (PRSI)
Cabang
16
Sepakbola (PSSI)
Cabang
17
Sepak Takraw (PSTI)
Cabang
18
Taekwondo (PTI)
Cabang
19
Tarung Drajat
Cabang
20
Voly (PBVSI)
Cabang
21
 Softball
Cabang
22
Wushu Indonesia (WI)
Cabang

Data : Naim Emel Prahana @ KONI Kota Metro, 2016

SPBU DI KOTA METRO


NO
NAMA
ALAMAT
1
SPBU Metro Utara
Jl Imam Bonjol Banjarsari
2
SPBU Metro Pusat
Jl Alamsyah RP - Kauman
3
SPBU Metro Barat
Jl Jend Sudirman Ganjaragung
4
SPBU Metro Timur
Jl Raya Stadion 24
5
SPBU Metro Timur
Jl AH Nasution Yosodadi
6
SPBU Metro Selatan
JL Soekarno – Hatta Mulyojati
Data : Naim Emel Prahana @2016

HOTEL DI KOTA METRO



NO
N A M A
ALAMAT
STATUS
01
Hotel Famili
Jl Sukarso
Bintang 1
02
Hotel Nuban
Jl Sukarso
Bintang 1
03
Hotel Grand Sekuntum
Jl AH Nasution
Bintang 1
04
Hotel Gracia
Jl A Yani
Melati
05
Wisma Baranangsiang
Jl Raya Tejosari
Melatih
06
Hotel Citra III
Jl A Yani
Melati
07
Hotel Citra I
Jl Raya Stadion
Melati
08
Hotel Masdalifa
Jl Sukarso
Melati
09
Hotel Nusantara
Jl Sukarso
Melati
10
Hotel Srikandi
Jl Sukarso
Melati
11
Hotel Indah Permai 1
Jl Jend Sudirman Magelangan
Melati
12
Hotel Indah Permai IV
Jl Jend Sudirman
Melati
13
Hotel Indah Permai V
Ganjaragung Metro Barat
Melati
14
Wisma Sinode
Jl Kol Sugiono
Melati
 Data : Naim Emel Prahana_sekretaris eksekutif@PHRI Kota Metro, 2016

RUMAH SAKIT DI KOTA METRO



NO
N A M A
ALAMAT
STATUS
01
RSUD A Yani
Jl Jend A Yani Metro
Pemerintah
02
RS Islam
Jl AH Nasution
Swasta
03
RS Mardi Waluyo
Jl Jend Sudirman Ganjaragung
Swasta
04
RS Muhammadiyah
Jl Soekarno – Hatta Mulyojati
Swasta
05
RS UMC
Kauman, Metro Pusat
Swasta
06
RB Santa Maria
Jl AH Nasution
Swasta
07
Klinik Azizah
Jl Hanafiah 15B Timur
Swasta
08
RS Medika
Jl Soekarno – Hatta
Swasta
09
RB Bunda
Jl A Yani 15A
Swasta
10
Klinik dr Haryadi
Jl Diponegoro, Kampung Baru

           PUSKESMAS RAWAT INEP
01
Puskesmas Yosomulyo
Yosomulyo, Metro Pusat

02
Puskesmas Yosodadi
Yosodadi, Metro Timur

03
Puskesmas Metro
Metro, Metro Pusat

04
Puskesmas Karangrejo
Karangrejo BD 23, Metro Utara

05
Puskesmas Hadimulyo
Hadimulyo, Metro Pusat

06
Puskesmas Banjarsari
Banjarsari, Metro Utara

07
Puskesmas Tejosari
Tejo Agung, Metro Timur

08
Puskesmas Kampus
Kampus, Metro Timur

09
Puskesmas Sumbersari
Sumbersari, Metro Selatan

10
Puskesmas Ganjaragung
Ganjaragung, Metro Barat

Data : Naim Emel Prahana @ Granat Kota Metro, 2016

Sabtu, 27 Februari 2016

Muara Pembangunan



PERBEDAAN – perbedaan memang sering terjadi antar masyarakat suatu bangsa (dan negara), antara lain karena faktor disiplin dan jati diri masyarakatnya. Seperti halnya pola pertanian masyarakat di Jepang. Mereka (masyarakat petani di Jepang) mampu menghasilkan hasil pertanian dengan stabilitas berkualitas yang mengagumkan. Apapun sumber yang ada dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan efisien dan bekerja secara efektif.
Stabilitas situasi dan kondisi masyarakat di Jepang sangat bagus, bukan hanya berkesinambungan, akan tetapu selalu meningkat. Khususnya masalah hasil panen pertaniannya. Di sisi lain, pola bertani mereka juga meningkat dari waktu ke waktu, tanpa menggangu ekosistem lingkungan (ekology). Siapapun yang pernah ke Jepang, pulangnya ke Indonesia akan berkata, “Wah, bicara soal kehidupan masyarakat di sana. Kita masih jauh ketinggalan.”
Di semua sektor bangsa Jepang sangat maju. Yang patut dibanggakan, kemajuan yang mereka capai, kemudian dipelihara untuk klesejahteraan bangsanya. Tidak mengganggu adat istiadat mereka, terutama etika pergaulan di tengah masyarakat antarwarga. Apalagi soal kualitas hasil pembangunan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, di Indonesia semakin pintar masyarakatnya, maka semakin rusak lingkungan dan adat istiadatnya. Sangat berbeda, kan? Sebagai contoh masyarakat suatu daerah dengan kemajuan pembangunan yang dicapai. Serta merta etika dan adat istiadatnya pasti ditinggalkan. Kalaupun ada, Cuma formalitas yang belum tentu sekali setahun dilakukan.
Jelasnya, sistem kemasyarakatan di Indonesia selalu terobsesi hal-hal yang pada akhirnya membuat mereka melupakan “jati diri” sendiri. Semakin besar manfaat imlu pengetahuan dan teknolog yang ada semakin jauh masyarakat Indonesia meninggalkan identitas mereka. Sedangkan identitas baru mereka dari pengaruh berbagai media di zaman global ini, belum mereka pahami betul.
Cerita kehidupan masyarakat Indonesia identik dengan cerita dunia pewayangan, tidak pernah ada awal dan tidak pernah ada akhirnya. Semua mengakui juara, semua ingin menjuarai kelompok lain. Sedangkan kelompok lain seperti itu juga. Kalau bulan ini ada masyarakat yang panen semangka dan mendapat keuntungan luar biasa, maka besok luisa dan bulan depannya. Semua menanam semangka. Pada gilirannya, buah semangka yang membanjiri pasar harganya semakin murah.
Seterusnya dan seterusnya. Bagaimana putaran sejarah setelah kejatuhan presiden Soeharto. Kebebasan yang diilhami gerakan reformasi 1998, kebebasan berbicara, berpendapat dan berbuat—membuat banyak orang menerbitkan surat kabar. Walau dengan modal karena proposal atau musim proyek. Kini, satu per satu media yang pernah terbit itu bergelimpangan. Sementara di Jepang, jati diri mereka sebagai masyarakat suatu bangsa yang keadaan alamnya tidak begitu sebaik Indonesia. Tekun, ulet, dan menghormati pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandalkan adat istiadat dan keaslian alam lingkungan mereka. Tata kehidupan (etika, sopan santun pergaulan saling menghormati) masih tetap mereka pelihara dengan baik. Apapun pangkat, status dan kedudukan sosial mereka. Menghormati orang lain merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Sementara orang Indonesia, semakin status sosialnya baik (sudah punya harta kekayaan), maka, semakin sombong dan angkuh dan tidak peduli dengan lingkungan. Apalagi adat istiadatnya.

Pekerja Asing



KENAPA baru sekarang aparat penegak hukum (polisi) baru mencurigai ada tenaga kerja asing di PT  Drydock World, Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau. Karena adanya kerusuhan yang melanda perusahaan galangan kapal milik WNA keturunan India? Kenapa yang l;ain tidak pernah diucapkan, atau karena tidak terjadi kekacauan. Kalau hanya itu, maka betapa parahnya sistem penertiban dan keamanan di tengah masyarakat Indonesia selama ini.
Sebab, bukan hanya pekerja asing. Di Indonesia diduga banyak sekali “pendatang haram” (prohibited outsider) yang sudah mengantongi kartu tanpa penduduk (KTP) negara Indonesia. Terutama warga dari daratan Tiongkok, Hongkong, dan Taiwan. Namun, sedikit sekali kita mendengar atau membaca adanya operasi yustisia di rumah-rumah WNI keturunan asing—khususnya WNI keturunan Tiongkok (China).
Padahak, masyarakat sering berjumpa dengan warga masyarakat asing yang sudah memiliki KTP di suatu kelurahan atau kecamatan, tidak bisa sama sekali berbahasa Indonesia. Sangat memalukan sekali, Indonesia yang merupakan negara yang didasarkan kepada hukum, ternyata hukumnya seperti karet. Siapa yang berkuasa dan punya uang, maka ia mampu memainkan hukum sedemikian rupa.
Seperti diketahui, banyak perusahaan besar bergerak di beberapa sektor di Indonesia dimiliki (modalnya) oleh orang asing, termasuk susunan personalia pengelola perusahaan. Suatu hal yang tidak mustahil, para manejer asing yang mengelola perusahaan asing di Indonesia memasukkan warga mereka secara ilegal melalui perusahaannya.
Tapi, sejauhmana pihak terkait melakukan pengawasan maksimalnya untuk mendeteksi pendatang haram di Indonesia yang masuk melalui berbagai kegiatan, seperti industri dan perusahaan yang dimodali dan dimiliki oleh orang asing. Pascakerusuhan di galangan kapal milik PT Drydock World, Tanjung Uncang, Batam, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan 36 Tenaga Kerja Asing (TKA). Polisi mengendus adanya TKA yang melabrak aturan keimigrasian.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kapolda Riau, Brigjen Pudji Hartanto Iskandar beberapa waktu lalu, mengatakan, terkait 36 TKA di perusahaan itu, sampai kini masih dimintai keterangan di Poltabes Barelang. Dari hasil pemeriksaan, pihak kepolisian sudah menemui titik terang akar persoalan terjadinya bentrok di lokasi perusahaan. Namun sejauh ini pihak Polda Kepri belum bersedia menjelaskan secara rinci pemicu kerusuhan tersebut.
Secara umum kita memang menyayangkan kerusuhan di perusahaan galangan kapal tersebut, namun di balik itu semua ada kelalaian dan keteledoran pihak aparat penegakan dalam mengawasi perusahaan tersebut, sebelum terjadinya kerusuhan.
Kenapa harus terjadi kerusuhan lebih dulu, baru dideteksi adanya pekerja asing (warga India) di perusahaan tersebut. Selama ini, Dinas Tenaga Kerja Kepulauan Riau, apa saja yang dilakukannya terhadap aktrivitas-aktivitas pekerja di sana? Seharusnya secarta rutin, baik pemda setyempat, polisi, TNI atau melalui lembaga pengawasan lain yang terkait, sudah harus mendeteksi adanya pendatang haram di daerah itu, yang masuk melalui perusahaan-perusahaan asing. Sayang, semuanya sudah terlambat. Ada dugaan selama ini aparat polisi dan disnakersos Kepulauan Riau lebih peka terhadap materi, upeti atau uang masuk ketimbang mempedulikan kedaulatannya.

Pembuktian Terbalik



INDONESIA diyakini tidak akan mampu memberantas kasus-kasus korupsi atau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) atau jenis lain yang terkait dan identik dengan tindak pidana korupsi. Kasus korupsi di Indonesia akan diproses secara momentum bukan secara completely and continue (secara tuntas dan berkesinambungan)
Persoaloannya pun mendasar. Sebab, tanpa melalui proses hukum pembuktian terbalik (verification upside down). Kasus korupsi sulit untuk diberantas tuntas atau maksimal dan kerkesinambungan. Modus penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi di Indonesia hampir 100 persen karena pengaduan atau laporan. Padahal, kasus korupsi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan (dari siapapun).
Bahkan, karena ingin mencapai target penanganan kasus korupsi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung, bahwa setiap Kejari di seluruh Indonesia harus mampu menangani minimal 3 (tiga) kasus korupsi setiap tahunnya. Yang membuat aparat jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) merekayasa laporan atau pengaduan, bahkan mengutip dan menindaklanjuti berita di koran. Kemudian, ada tidaknya tindak pidana pada dugaan kasus korupsi, banyak aparat penegak hukum hanya melihat Rp 100 juta dikurangi Rp 15 juta ada Rp 65 juta. Korupsi hanya dilihat dari angka-angka pengurangan atau kelebihan dari penggunaan anggaran. Secara umum demikian semakin membuat aparat penegak hukum tidak paham betul, bagaimana mencari unsur korupsi pada kasus penyalah-gunaan kewenangan, keuangan dan pembiayaan proyek dan sebagainya.
Korupsi, juga dilihat dari biaya pembuatan SIM, pembayaran pajak kendaraan bermotor—di mana angka yang tertulis di STNK tidak sama dengan angka rupiah yang dikeluarkan seorang pembayar pajak kendaraan. Bahwa, biaya pembuatan SIM yang tertera dan tertulis di UU atau peraturannya, tidak sama dengan apa yang diberikan si pencari SIM dan sebagainya. Demikian juga soal pajak, berapa banyak perusahaan di daerah atau di mana saja, jumlah pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan jumlah harta benda dan pemasukannya setiap hari atau setiap bulan. Padahal, seorang penulis opini atau artikel di media massa, setiap kali mengambil honorariumnya, sudah langsung dipotong pajak. Kendati, honornya hanya Rp 100 ribu.
Orang kecil—kebanyakan begita takut dan akhirnya taat pajak. Sedangkan pejabat dan pengusaha atau PNS golongan tertentu, sulit dilacak, berapa mereka bayar pajak setiap tahunnya. Apakah pajak penghasilan atau pajak pertambahan nilai atau pajak lainnya. Semua itu, karena kelemahan sistem hukum di Indonesia. Seandaikan sistem hukum di Indonesia menggunakan teori pembuktian terbalik. Maka, rakyat akan melongo melihat daftar orang yang melakukan korupsi melalui ‘rekayasa’ jumlah pajak yang harus mereka bayarkan. Akhirnya, seperti jaksa Poltak Manulang yang pernah melaporkan harta kekayaannya saat bertugas di bagian TU Kejati Bengkulu, 200. Ia hanya memiliki harta sebesar Rp 335 juta. Lalu tanah 2000 m2 dan 100 m2 di Kabupaten Bogor senilai Rp 150 juta. Tanah seluas 283 m2 di Jakarta Barat pada tahun 1999 senilai Rp 140 juta juga tercatat dalam laporannya. Ditambah tanah 1500 m2 di Kabupaten Kolaka, hasil sendiri tahun 1995 senilai Rp 45 juta.
Kenyataannya, tahun 2010 harta kekayaan Poltak Manulang yang menangangi kasus Gayus mendadak menjadi miliar rupiah. Belum kasus Gayus, Edmon dan mantan Kapolda Lampung dan sebagainya. Indonesia takkan bisa ke luar dari praktek korupsi.