INDONESIA diyakini tidak akan
mampu memberantas kasus-kasus korupsi atau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)
atau jenis lain yang terkait dan identik dengan tindak pidana korupsi. Kasus
korupsi di Indonesia akan diproses secara momentum bukan secara completely
and continue (secara tuntas
dan berkesinambungan)
Persoaloannya pun mendasar. Sebab, tanpa melalui proses hukum pembuktian
terbalik (verification upside down). Kasus korupsi sulit untuk diberantas tuntas
atau maksimal dan kerkesinambungan. Modus penegakan hukum atas kasus-kasus
korupsi di Indonesia
hampir 100 persen karena pengaduan atau laporan. Padahal, kasus korupsi tidak
harus menunggu pengaduan atau laporan (dari siapapun).
Bahkan, karena ingin mencapai target penanganan kasus korupsi yang
ditetapkan oleh Jaksa Agung, bahwa setiap Kejari di seluruh Indonesia harus mampu menangani
minimal 3 (tiga) kasus korupsi setiap tahunnya. Yang membuat aparat jaksa di
Kejaksaan Negeri (Kejari) merekayasa laporan atau pengaduan, bahkan mengutip
dan menindaklanjuti berita di koran. Kemudian, ada tidaknya tindak pidana pada
dugaan kasus korupsi, banyak aparat penegak hukum hanya melihat Rp 100 juta
dikurangi Rp 15 juta ada Rp 65 juta. Korupsi hanya dilihat dari angka-angka
pengurangan atau kelebihan dari penggunaan anggaran. Secara umum demikian
semakin membuat aparat penegak hukum tidak paham betul, bagaimana mencari unsur
korupsi pada kasus penyalah-gunaan kewenangan, keuangan dan pembiayaan proyek
dan sebagainya.
Korupsi, juga dilihat dari biaya pembuatan SIM, pembayaran pajak
kendaraan bermotor—di mana angka yang tertulis di STNK tidak sama dengan angka
rupiah yang dikeluarkan seorang pembayar pajak kendaraan. Bahwa, biaya
pembuatan SIM yang tertera dan tertulis di UU atau peraturannya, tidak sama
dengan apa yang diberikan si pencari SIM dan sebagainya. Demikian juga soal
pajak, berapa banyak perusahaan di daerah atau di mana saja, jumlah pajak yang
dibayarkan tidak sesuai dengan jumlah harta benda dan pemasukannya setiap hari
atau setiap bulan. Padahal, seorang penulis opini atau artikel di media massa, setiap kali
mengambil honorariumnya, sudah langsung dipotong pajak. Kendati, honornya hanya
Rp 100 ribu.
Orang kecil—kebanyakan begita takut dan akhirnya taat pajak. Sedangkan
pejabat dan pengusaha atau PNS golongan tertentu, sulit dilacak, berapa mereka
bayar pajak setiap tahunnya. Apakah pajak penghasilan atau pajak pertambahan
nilai atau pajak lainnya. Semua itu, karena kelemahan sistem hukum di Indonesia.
Seandaikan sistem hukum di Indonesia
menggunakan teori pembuktian terbalik. Maka, rakyat akan melongo melihat daftar
orang yang melakukan korupsi melalui ‘rekayasa’ jumlah pajak yang harus mereka
bayarkan. Akhirnya, seperti jaksa Poltak Manulang yang
pernah melaporkan harta kekayaannya saat bertugas di bagian TU Kejati Bengkulu,
200. Ia hanya memiliki harta sebesar Rp 335 juta. Lalu tanah 2000 m2 dan 100 m2
di Kabupaten Bogor senilai Rp 150 juta. Tanah seluas 283 m2 di Jakarta Barat
pada tahun 1999 senilai Rp 140 juta juga tercatat dalam laporannya. Ditambah
tanah 1500 m2 di Kabupaten Kolaka, hasil sendiri tahun 1995 senilai Rp 45 juta.
Kenyataannya, tahun
2010 harta kekayaan Poltak Manulang yang menangangi kasus Gayus mendadak
menjadi miliar rupiah. Belum kasus Gayus, Edmon dan mantan Kapolda Lampung dan
sebagainya. Indonesia takkan bisa ke luar dari praktek korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar