Sabtu, 27 Februari 2016

Pembuktian Terbalik



INDONESIA diyakini tidak akan mampu memberantas kasus-kasus korupsi atau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) atau jenis lain yang terkait dan identik dengan tindak pidana korupsi. Kasus korupsi di Indonesia akan diproses secara momentum bukan secara completely and continue (secara tuntas dan berkesinambungan)
Persoaloannya pun mendasar. Sebab, tanpa melalui proses hukum pembuktian terbalik (verification upside down). Kasus korupsi sulit untuk diberantas tuntas atau maksimal dan kerkesinambungan. Modus penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi di Indonesia hampir 100 persen karena pengaduan atau laporan. Padahal, kasus korupsi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan (dari siapapun).
Bahkan, karena ingin mencapai target penanganan kasus korupsi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung, bahwa setiap Kejari di seluruh Indonesia harus mampu menangani minimal 3 (tiga) kasus korupsi setiap tahunnya. Yang membuat aparat jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) merekayasa laporan atau pengaduan, bahkan mengutip dan menindaklanjuti berita di koran. Kemudian, ada tidaknya tindak pidana pada dugaan kasus korupsi, banyak aparat penegak hukum hanya melihat Rp 100 juta dikurangi Rp 15 juta ada Rp 65 juta. Korupsi hanya dilihat dari angka-angka pengurangan atau kelebihan dari penggunaan anggaran. Secara umum demikian semakin membuat aparat penegak hukum tidak paham betul, bagaimana mencari unsur korupsi pada kasus penyalah-gunaan kewenangan, keuangan dan pembiayaan proyek dan sebagainya.
Korupsi, juga dilihat dari biaya pembuatan SIM, pembayaran pajak kendaraan bermotor—di mana angka yang tertulis di STNK tidak sama dengan angka rupiah yang dikeluarkan seorang pembayar pajak kendaraan. Bahwa, biaya pembuatan SIM yang tertera dan tertulis di UU atau peraturannya, tidak sama dengan apa yang diberikan si pencari SIM dan sebagainya. Demikian juga soal pajak, berapa banyak perusahaan di daerah atau di mana saja, jumlah pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan jumlah harta benda dan pemasukannya setiap hari atau setiap bulan. Padahal, seorang penulis opini atau artikel di media massa, setiap kali mengambil honorariumnya, sudah langsung dipotong pajak. Kendati, honornya hanya Rp 100 ribu.
Orang kecil—kebanyakan begita takut dan akhirnya taat pajak. Sedangkan pejabat dan pengusaha atau PNS golongan tertentu, sulit dilacak, berapa mereka bayar pajak setiap tahunnya. Apakah pajak penghasilan atau pajak pertambahan nilai atau pajak lainnya. Semua itu, karena kelemahan sistem hukum di Indonesia. Seandaikan sistem hukum di Indonesia menggunakan teori pembuktian terbalik. Maka, rakyat akan melongo melihat daftar orang yang melakukan korupsi melalui ‘rekayasa’ jumlah pajak yang harus mereka bayarkan. Akhirnya, seperti jaksa Poltak Manulang yang pernah melaporkan harta kekayaannya saat bertugas di bagian TU Kejati Bengkulu, 200. Ia hanya memiliki harta sebesar Rp 335 juta. Lalu tanah 2000 m2 dan 100 m2 di Kabupaten Bogor senilai Rp 150 juta. Tanah seluas 283 m2 di Jakarta Barat pada tahun 1999 senilai Rp 140 juta juga tercatat dalam laporannya. Ditambah tanah 1500 m2 di Kabupaten Kolaka, hasil sendiri tahun 1995 senilai Rp 45 juta.
Kenyataannya, tahun 2010 harta kekayaan Poltak Manulang yang menangangi kasus Gayus mendadak menjadi miliar rupiah. Belum kasus Gayus, Edmon dan mantan Kapolda Lampung dan sebagainya. Indonesia takkan bisa ke luar dari praktek korupsi.

Tidak ada komentar: