Minggu, 11 September 2011
TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam
TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam: Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok Rekaman Oleh Naim Emel Prahana SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong...
Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam
Kisah Heroik
Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
Rekaman Oleh Naim Emel Prahana
SAWAH MANGKURAJO di tengah
masyarakat Lebong lebih populer namanya dengan Saweakkrajo. Pada zaman class II dengan tentara NICA-Belanda dan
zaman PRRI ketika Indonesia sudah merdeka, menjadi benteng yang sangat kuat
bagi Tentara Nasional (TNI). Sawah Mangkurajo djadikan markas besar (mabes)
perang gerilya melawan tentara Belanda dan gerombolan sempalan PRRI di daerah
Lebong.
Banyak perwira
tinggi dan menengah di tubuh Angkatan Darat yang bertugas di daerah Sumatera
Bagian Selatan (Bengkulu, Jambi, Palembang dan Lampung), pernah mengenyam
perang gerilya dari mabes mereka di Sawah Mangkurajo. Sebagaimana dituturkan
oleh putra Kotadonok, Rakmatsyah bin H Aburudin (alm) beberapa tahun lalu,
sebelum ia meninggal dunia tahun 2008 silam.
“Pada waktu itu,
para penduduk Kotadonok yang bertani di Sawah Mangkurajo menjadi menyuplai
bahan makanan Tentra Itam. Sebutan Tentra
Itam (tentara hitam) itu ditujukan kepada prajurit-prajurit TNI yantg loyal dan
setia kepada negara Indonesia, yang berjuang mempertahankan kedaulatan negara
Republik Indonesia, khususnya di Lebong,” Pak Rahmat—panggilan akrabnya di
Lebong memulai ceritanya.
Jika malam hari,
kata beliau semua prajurit (tentra tam) ke luar dari tengah hutan,
berkomunikasi dengan penduduk, sekaligus mengatur strategi setelah menerima
informas dari penduduk. Dan, kalau siang hari mereka bersembunyi di tengah
hutan.
“Saat itu, sekitar
tahun 1948 di atas kawasan Sawah Mangkurajo hampir setiap jam melintas pesawat
Mustang milik tentara Belanda. Sebenarnya, mereka sudah tahu kalau prajurit TNI
bersembunyi di Sawah Mangkurajo. Namun, mereka kesulitan untuk memasuki daerah
itu, karena kondisi jalan setapak yang ada, sangat berbahaya.
Tentra Itam
(Tentara Hitam) sangat menguasai setiap jengkal atau wilayah di dalam hutan
belantara dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan di daerah Lebong. Mereka mempunyai
kekuasaan di tengah hutan itu sejak dari Air Dingin—daerah Topos—sampai ke
Muara Aman.
Gerombolan Ngik Sempalan PRRI
Waktu itu, ujar
beliau (Pak Rahmat), muncul gerombolan sempalan PRRI yang dipimpin Ngik. Ngik adalah nama yang menakutkan
bagi masyarakat Lebong, khususnya masyarakat di daerah Air Dingin—Turun Lalang,
termasuk Topos dan sekitarnya. Ngk nama aslinya adalah Musa, putra asli
Kotadonok yang menjadi kepala gerombolan mengatas namakan PRRI. Markas Ngik,
kata Rahmat berada di Teluk Lem—seberang Desa Kotadonok. Dari daerah itulah
gerombolan Ngik menteror masyarakat dengan melakukan penculikan-penculikan
dengan meminta tebusan uang dan emas dengan jumlah yang sangat besar.
Rumah orangtua Ngik
berada di sekitar Masjid Nurul Iman Kotadonok, yang sekarang sudah tidak ada
lagi, karena terjadi musibah kebakaran puluhan tahun silam, menghanguskan rumah
keluarga Ngik. Dalam catatan perjalanan masa perlawanan mempertahankan daerah
Lebong dari cengkraman penjajah Belanda, termasuk huru-hara yang diciptakan
Ngik. Penduduk Lebong memang hidup dalam cengkraman ketakutan luar biasa.
Gerombolan Ngik
yang selalu menculik dengan meminta tebusan uang dan emas, juga tidak segan-segan
melakukan bumi hangus rumah penduduk yang menentang dirinya. Tidak peduli,
apakah saudaranya atau bukan.
Kekejaman gerombolan
Ngik sangat ditakuti masuayakat Lebong. Kalau ia masuk kampung siang hari,
biasanya gerombolan Ngik berada di rumah penduduk yang ada di atas jalan raya. Dari
rumah-rumah tersebut, Ngik dan gerombolannya dengan mudah memantau lalulalang
tentara NICA atau Belanda yang ada di Lebong.
Pada suatu saat
cerita Pak Rahmat, Ngik masuk desa dan datang ke rumah Masteman. Ketika berada
di rumah itu, ia melihat konvoi truk tentara Belanda. Waktu itu Ngik berkata, “Gen Maco, ite temibak bae stom Blando o!”
kata Ngik dalam bahasa Rejang yang sengaja ia ucapkan agar keluarga Masteman
mendengar. Kalau Ngik menembaki mobil tentara Belanda, maka Kotadonok akan
digeledah habis, bahkan akan dibakar oleh Belanda. Termasuk penangkapan
orang-orang yang dicurigai memihak gerombolan Ngik.
Padahal, ucapan
Ngik itu hanyalah untuk menakut-nakuti penduduk Kotadonok, agar makin lama
penduduk tidak berani melawan gerombolan Ngik.
Ada beberapa anak
Kotadonok—yang juga masih kerabat dekat Ngik, yang ditangkap Ngik dajn di bawa
ke daerah Teluk Lem—yang terkenal dengan serawung
dung ulau tujuak (gua ular kepala tujuh di Danau Tes) dan legenda Butau Gesea (Batu Hampir) yang terkenal
itu. Berbagai acara telah ditempuh oleh tokoh-tokoh masyarakat untuk membeaskan
anak-anak mereka dari cengkaraman penculikan gerombolan Ngik. Semua gagal. Karena,
permintaan Ngik agar penduduk datang ke Teluk Lem dengan membawa harta benda,
tidak ada penduduk yang berani. Takut ditembak oleh Ngik yang terkenal dengan
kekejamannya.
Adalah Rahmatsyah
putra Haji Aburuddin Kotadonok yang kala itu baru menikah, merasa terpanggil
untuk membebaskan sandera Ngik. Di sisi lain kenekatan Rahmat yang kemudian
dikenal dengan Pak Gu’au (Pak Guru)
di Lebong itu, karena salah satu sandera Ngik adalah keponakaannya. Anak dari
adeknya Zahra bernama Syaiful Tohir termasuk yang diculik Ngik.
Rahmat muda yang
juga memiliki rasa takut, akhirnya mendatangi markas Ngik di daerah Teluk Lem
(di atas pegunungan yang langsung mengarah ke wilayah Topos).
“Saya benar-benar
takut,” kata Rahmat seraya menambahkan, namun saya harus memberanikan diri
menemui Ngik. Saya kenal dengan dia.
Dengan naik perahu,
Rahmat mendayung perahunya ke arah Teluk Lem. Perasaannya saat itu berkecamuk
antara takut yang luar biasa dengan perasaan membela kehormatan keluarga
menjadi satu.
“Baru saja perahu
saya tambatkan di semaet Teluk Lem, saya sudah dihadang oleh anak buah Ngik. Badan
saya digeledah, pakaian saya dilucuti. Pokoknya menakutkan,” kenang Rahmat.
Akhrnya, kata
Rahmat dirinya digiring menaiki tebing di daerah Teluk Lem dan sekitar 1 jam
barulah ia bisa bertemu dengan Ngik.
“Saya hanya membaca
Bismillah, Cuma itu saja,” ungkap Rahmat.
Menurut Rahmat saat
itu ia hanya membawa sedikit emas, namun ia mewakili masyarakat Kotadonok, Talangratu,
dan Tes ingin membertahu Ngik, bahwa masyarakat tidak memusuhinya. Jadi,
tolonglah sandera dilepaskan.
Untuk membujuk Ngik
butuh waktu yang sangat lama, saya bahkan sampai menginap di markas Ngik di
daerah pegunungan Teluk Lem itu. Namun, saya memang tidak diapa-apakan, walau
wajah dan kata-kata Ngik sangat bengis dan kejam.
Ia (Ngik, pen)
sebenarnya kenal baik dengan saya, tapi saat saya ingin membebaskan ponakan
saya, ia seperti seorang jenderal bintang empat.
“Pokoknya,
menakutkan sekali. Di samping bedil (senjata) tidak pernah jauyh dari tempat
duduknya dan dikelilingi beberapa ajudannya yang berwajah seram,” urai Rahmat.
Setelah melalui
diplomasi (perundingan) yang alot, akhirnya Rahmat dapat memebaskan beberapa
sandera. Yang lainnya tidak mau dilepaskan Ngik, sebelum uang tebusan
diberikan. Menurut cerita, ada beberapa sandera Ngik, akhirnya ditembak mati di
tengah hutan belantara itu.
Perjalanan heroik
Rahmat memang patut kita jadikan tauladan untuk generasi mendatang. Sebab, pada
saat yang sama ia menjadi spionasenya prajurit TNI yang disebut Tentra Itam
yang bermrkas di Sawah Mangkurajo, di sana jugalah Rahmat membuka usaha
pertaniannya bersama keluarga dan bapaknya Haji Aburudin beserta beberapa
penduduk lainnya.
Sebagai gambaran
Sawah Mangkurajo pada saat itu sudah sedemikian maju. Diperkirakan kurun waktu
1942—1955. Di sana sudah ada sekolah rakyat, rumah-rumah penduduk dibangun dengan
teratur di atas tebing Air Pauh (Bioa Putiak) yang termasuk Tebo Mbuwea. Yang sekarang ini menjadi
areal perkebunan PT Indo Rabika.
Mesin penggiling
padi ada tiga buah, kemudan hasil padi sawahnya melimpah ruah, demikian juga
hasil perkebunan seperti jeruk, jambu, nenas dan sayuran. Namun kampung
penduduk di sawah Mangkurajo, akhirnya di bumi hanguskan Belanda, untuk
melemahkan posisi Tentra Itam.
Saat perjuangan
melawan tentara Belanda, Rahmat muda berperan sebagai kurir dari Sawah
Mangkurajo ke Kotadonok, Tes dan kampung (desa) sekitarnya. Di samping itu juga
ia menjadi guru di Sawah Mangkurajo dan Kotadonok. Rahmat adalah anak didik
guru Stiari yang terkenal di masa itu. Nama guru Stiari sangat disegani di daerah
Lebong. Salah satu muridnya adalah Rahmatsyah.
Rahmat-lah yang
sering memberikan informasi kalau tentara Belanda akan naik ke Sawah Mangkurajo
atau ke Lebong Simpang. Dengan nformasi itu, Tentra Itam menghadang tentara
Belanda di Tebo Buwea yang strategis itu. Penghadangan seperti itulah yang
sangat ditakuti tentara Belanda.
Walaupun apa yang
diperbuat Rahmat muda saat itu, jasanya sangat besar bagi masyarakat. Dia salah
satu pelaku sejarah di daerah Bermani Jurukalang. Ia bersahabat baik dengan
pasirah Gulam ketika tahun 70-an, ia juga menjadi kepercayaan Gubernur Hussein
yang ia panggil dengan sebutan mamak
(paman) itu.
Rahmat dan kakaknya
adalah dua pemuda Kotadonok yang ikut merintis pembangunan jalan raya dari
Kotadonok ke Sawah Mangkurajo ketika Mochammad Hussein mash menjabat gubernur
Sumatera Selatan di Palembang.
Sumber:
1.
Kakek Haji Aburuddin Kotadonok
2.
Rahmatsyah bin H Aburudin
Kotadonok
3.
Kapten TNI (purn) Arsyad Alwi
Tanjungkarang, Lampung
4.
Serma (purn) Ngadiyo di
Talangpadang, Tanggamus, Lampung
5.
dan beberapa sumber lainnya yang
diwawancara antara tahun 1980—1985.
Lebong Tandai
Jalur
si Molek untuk Monas
Kabupaten
Lebong Kebanggaan Masyarakat Bengkulu
|
Rel Lori Lebongtandai (Bengkulu)
Teman-teman,
barusan kumpul2 artikel & informasi mengenai rel lori 33,5 km ex-tambang Belanda
yang masih dipakai di daerah lebongtandai. wah asyik banget nih!!! Silakan disimak dan berkhayal nyoba naik nih lori...wassalam, intrias.
Lebong Tandai
Jalur
si Molek untuk Monas
Kabupaten
Lebong Kebanggaan Masyarakat Bengkulu
Namanya si Molek.
Bukan nama seorang gadis Bengkulu, melainkan kereta mini (lori) yang menempuh
rute sejauh 33,5 km. Jalur ini sangat rawan longsor, karena diapit oleh dinding
tebing setinggi 25 meter dan bibir sungai yang curam. Kengerian rute ini bisa
ditebus dengan keindahan hutan yang masih asli yang dapat dinikmati sepanjang
perjalanan. Rel ini menghubungkan Desa Lebong Tandai dengan Kota Kecamatan
Napal Putih. Molek merupakan kendaraan yang dibuat oleh warga setempat pada
tahun 1990-an. Dengan bahan bakar solar, Molek digunakan untuk menunjang
aktivitas ekonomi warga Napal Putih. Antara lain untuk mengangkut hasil bumi.
Jalur lori yang
dilewati si Molek sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun dulu yang lewat
hanyalah loko uap. Peran loko uap dan jalur relnya ini sangat penting. Antara
lain untuk mengangkut emas yang ditambang dari Lebong Tandai.
Emas dari sinilah
yang pada tahun 1970-an mengalir ke Jakarta. Emas yang diangkut loko uap ini
kini menancap di puncak Tugu Monas di Jakarta. Berat emas yang melapisi
"api" Monas sekitar 35 kg. Dengan kilauan emas yang menggambarkan
nyala api ini, Monas dikenal sebagai tugu api yang tak kunjung padam.
Loko uap itu kini
telah tiada dan digantikan peran si Molek. "Dengan Molek ini kita juga
bisa melihat goa-goa tambang peninggalan zaman kolonial yang menghasilkan
emas," jelas staf Humas Pemkab Bengkulu Utara, M Saleh, kepada detikcom di
Bengkulu Utara akhir pekan lalu.
Setelah Belanda
pergi dari Indonesia, emas di Lebong Tandai masih ditambang secara tradisional
oleh masyarakat setempat. Pada tahun 2006, Pemkab Bengkulu Utara mulai
merencanakan pembukaan kembali industri tambang emas ini.
"Kami kerjasama dengan pihak asing. Lahan tambang yang disurvei termasuk yang berada di wilayah Kabupaten Muko-muko dan Kabupaten Lebong," kata Bupati Bengkulu Utara Imron Rosyadi.
"Kami kerjasama dengan pihak asing. Lahan tambang yang disurvei termasuk yang berada di wilayah Kabupaten Muko-muko dan Kabupaten Lebong," kata Bupati Bengkulu Utara Imron Rosyadi.
Sumber: Kompas -
Rafiqa Qurrata
Sarana Transportas Motor Lori
Lebong Butuh Perbaikan
Selasa, 02 Februari
2010
Bengkulu 14/1
(ANTARA) - Motor lori ekspres (Molek) yang merupakan satu-satunya sarana
transportasi warga Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu
Utara, Provinsi Bengkulu, saat ini kondisinya amat memprihatinkan dan butuh
perbaikan.
"Sebenarnya molek itu tidak layak pakai lagi karena banyak relnya yang hilang dan rusak sehingga membahayakan penggunanya," kata Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu Syafrianto Daud, Kamis.
"Sebenarnya molek itu tidak layak pakai lagi karena banyak relnya yang hilang dan rusak sehingga membahayakan penggunanya," kata Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu Syafrianto Daud, Kamis.
Anggota DPRD dari
daerah pemilihan Bengkulu Utara ini mengatakan hingga saat ini sekitar 600 jiwa
warga desa tersebut masih menggunakan sarana transportasi Molek karena tidak
ada pilihan lain.
Molek adalah alat
transportasi peninggalan Belanda yang menggunakan mesin diesel yang gerbong
relnya seperti rel kereta api. Kendaraan ini terus dipakai ketika perusahaan
pertambangan emas beroperasi di daerah itu pada 1980-an dan hingga saat ini
menjadi satu-satunya transportasi warga desa menuju Kecamatan Napal Putih yang
berjarak sekitar 30 Km.
"Jadi tidak
ada akses lain, semua peralatan diangkut menggunakan Molek, makanya kalau terjadi longsor dan menutupi jalur desa
itu akan terisolasi," katanya.
Menurut Syafrianto, sarana transportasi ini tidak dapat lagi diandalkan karena relnya sudah banyak yang putus atau rusak serta beberapa jembatan sudah tua atau hampir ambruk, di sekitar rel juga sudah tertutupi semak belukar. Molek tersebut dikelola oleh masyarakat setempat dan saat ini tidak lebih dari lima gerbong yang masih beroperasi untuk melayani penumpang satu kali pemberangkatan per hari. "Kalau dari Desa Lebong Tandai berangkat subuh, sedangkan dari Napal Putih berangkat sore selepas Maghrib," katanya.
Menurut Syafrianto, sarana transportasi ini tidak dapat lagi diandalkan karena relnya sudah banyak yang putus atau rusak serta beberapa jembatan sudah tua atau hampir ambruk, di sekitar rel juga sudah tertutupi semak belukar. Molek tersebut dikelola oleh masyarakat setempat dan saat ini tidak lebih dari lima gerbong yang masih beroperasi untuk melayani penumpang satu kali pemberangkatan per hari. "Kalau dari Desa Lebong Tandai berangkat subuh, sedangkan dari Napal Putih berangkat sore selepas Maghrib," katanya.
Dari pengakuan
warga desa sudah beberapa kali mengajukan perbaikan rel kepada Dinas
Perhubungan Kabupaten Bengkulu Utara, namun hingga saat ini tidak ada
tanggapan.
"Kalau tidak segera diperbaiki maka transportasi ke Desa Lebong Tandai akan terputus dan berdampak terhadap kehidupan warga di sana," ujarnya. Diposkan oleh ANTARA
"Kalau tidak segera diperbaiki maka transportasi ke Desa Lebong Tandai akan terputus dan berdampak terhadap kehidupan warga di sana," ujarnya. Diposkan oleh ANTARA
Lebong Tandai Bengkulu, "Batavia Kecil" Lebong Tandai
"Perjalanan
menuju "Batavia Kecil" (nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang
digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di desa Lebong Tandai).
Mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, dimana tempat ini pernah menjadi
incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun Investor pada masa
kemerdekaan ini"....
Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.
Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.
Setiba dipangkal
desa Napal Putih Kecamatan Ketahun, sebaiknya kita turun terlebih dulu dari
kendaraan, karena disana ada bekas rumah bersejarah yang dulu didiami oleh
Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir
Marga Ketahun) dan juga pernah dijadikan rumah atau markas oleh Dr. AK Gani
Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan pada masa perang kemerdekaan.
Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer.
Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer.
Setelah itu, kita
kemudian menuju ‘Stasiun’ Molek (sebutan bagi kereta lori
berukuran 5 x 1 m,
bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Ongkos perorang
adalah Rp 20.000. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir sungai ketahun.
Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada
hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten
Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan
menuju desa Lebong Tandai. Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong
Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna
menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di
Napal Putih pukul 16.00 WIB. Meningat jalur rel hanya satu, jika terpaksa
bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet
dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan
tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel.
Biasanya, para
"Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan
menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang
menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan
Molek yang berjalan didepan atau dibelakang Molek yang kita tumpangi. Jangan
lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal dijalan karena perjalanan
ini cukup panjang karena menempuh 33 km panjangnya rel kereta ini. Untuk
diketahui sejak jaman penjajahan hingga sekarang ini, baru ada 2 wilayah yang
dilewati rute kereta api atau yang memiliki rel, yaitu disini dan di Kecamatan
Kota Padang (Kabupaten Rejang Lebong berbatasan dengan Kota Lubuk Linggau
Sumatera Selatan).
Setelah kita
menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam
sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan, yaitu
terowongan lobang panjang (+ 300 m), lobang tengah (+ 100 m) dan lobang pendek
(+ 50 m) sampailah kita didesa Lebong Tandai, pemandangan desa ini pada malam
hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film
Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang . Warung-warung berjejer
dengan rapi disepanjang jalan ditengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk
ngobrol, main kartu, dan menonton TV, tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek
yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa.
Semua orang pasti
akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3,
5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang
sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan
tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap
rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV,
Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup
didaerah terpencil ini. Berbicara tentang hiburan memang tradisi itu sudah
cukup lama tertanam dimasyarakat.
Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.
Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.
Desa ini terletak
500 meter dari permukaan laut, disebelah selatan berbatasan dengan bukit Husin
dan sebelah utara berbatasan dengan bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK
atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah
mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin.
Penduduk disini cukup heterogen ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda,
Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu.
Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2
bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan
sudah tersentuh modernisasi kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk
keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang. Karena kita tiba
didesa pada malam hari, rasanya tak sabar kita menunggu datangnya pagi. Rasa
penasaran ingin menyaksikan desa ini disiang hari. Para penambang maupun
perangkat desa akan membantu kita mengenal lebih dekat apa-apa saja yang ada di
desa ini. Namun jangan lupa membawa kamera handycam dan kamera fhoto jika kita
mengunjungi tempat ini. Karena banyak tempat wisata alam dan wisata sejarah
yang bisa kita kunjungi antara lain :
Tambang Emas Tradisional
Perusahaan yang
pertama kali melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran dengan peralatan
modern adalah Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910. Disini ada
3 lokasi tambang emas, yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.
Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang, Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kebupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.
Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.
Jika ingin ‘menguji nyali’, kita juga dapat mencoba menyusuri lobang terowongan utama bekas tambang Belanda. Lobang terowongan itu menghubungkan antara tambang Air Nuar dengan Tambang Lebong Tandai yang menembus perut bumi sepanjang + 5 Km, menaiki 16 buah tangga dengan ketinggian tangga rata-rata 6 m, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, didalam lobang terowongan itu juga masih tersisa bekas rel lori peninggalan Belanda.(Data LPAP FISIP UNIB, 2003)
Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang, Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kebupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.
Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.
Jika ingin ‘menguji nyali’, kita juga dapat mencoba menyusuri lobang terowongan utama bekas tambang Belanda. Lobang terowongan itu menghubungkan antara tambang Air Nuar dengan Tambang Lebong Tandai yang menembus perut bumi sepanjang + 5 Km, menaiki 16 buah tangga dengan ketinggian tangga rata-rata 6 m, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, didalam lobang terowongan itu juga masih tersisa bekas rel lori peninggalan Belanda.(Data LPAP FISIP UNIB, 2003)
Di lokasi Tambang
Lebong Tandai ini perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau membuat 16 level
terowongan yang jarak satu level dengan level yang lainnya rata-rata 50 meter
kebawah tanah. Pada waktu itu dibuat tangga lip untuk pekerja masuk ke
terowongan itu. Sampai sekarang tiang-tiang lip itu masih dapat kita jumpai.
Setelah
masuknya PT Lusang
Mining terowongan-terowongan ini kembali dikelola. Namun itupun hanya sampai
level 11 karena level 12-16 sudah penuh dengan air dan tertimbun tanah.
Pasca bangkrutnya PT Lusang Mining tahun 1994, terowongan sebagai lokasi tambang dikelola oleh rakyat, namun karena keterbatasan alat, para penambang hanya mampu masuk sampai level 6. Tak jarang para penambang harus berdiam didalam lobang terowongan selama berhari-hari jika menemukan ‘or’ (batu yang banyak mengandung emas). Untuk mengetahui perubahan waktu siang atau malam mereka cukup dengan melihat apakah kelelawar keluar atau masuk keterowongan. Kalau kelelawar masuk artinya siang begitu juga sebaliknya.
Pasca bangkrutnya PT Lusang Mining tahun 1994, terowongan sebagai lokasi tambang dikelola oleh rakyat, namun karena keterbatasan alat, para penambang hanya mampu masuk sampai level 6. Tak jarang para penambang harus berdiam didalam lobang terowongan selama berhari-hari jika menemukan ‘or’ (batu yang banyak mengandung emas). Untuk mengetahui perubahan waktu siang atau malam mereka cukup dengan melihat apakah kelelawar keluar atau masuk keterowongan. Kalau kelelawar masuk artinya siang begitu juga sebaliknya.
Saat ini, setiap
saat para penambang dapat mengetahui pasaran harga emas dunia, dengan memonitor
berita keluar negeri, misalnya BBC London. Dengan rumus tertentu mereka dapat
mengetahui harga emas dunia dengan standar dolar. Bahkan ada juga yang memiliki
pesawat telepon satelit. Penggunaan alat elektronik seperti TV, kulkas atau
radio komunikasi ditunjang oleh tersedianya aliran listrik dari tenaga air
terus menyala siang-malam tak pernah mati.
Eks Rumah Sakit Belanda
Lokasi rumah sakit
ini terletak dibukit barisan sebelah barat desa Lebong Tandai. Rumah sakit ini
menampung para pekerja perusahaan Mijnbouw maatschappij simau yang sakit.
Kebanyakan pekerja itu sakit paru-paru (TBC) disebabkan kondisi dan alat kerja
yang tidak menjamin keselamatan pekerja. Misalnya alat bor yang digunakan masih
sangat manual, tanpa semprotan air, bentuknya seperti senapan mesin dan bagian
belakang alat bor itu ditempelkan didada, pekerja bor beraktifitas tanpa masker
sehingga debu yang keluar dari batu yang dibor langsung terhisap.
Paling lama 6 bulan
pekerja ini sudah terserang penyakit. Kalaupun ada rumah sakit itupun tidak
banyak membantu. Menurut cerita warga bagi pekerja bagian pengeboran yang sakit
maka diberi 2 pilihan apakah akan dikirim pulang kekampung halamannya
(kebanyakan pekerja dari pulau Jawa tepatnya Banten) atau tetap dirawat dirumah
sakit itu sambil menunggu ajal tiba. Tak heran dibagian belakang rumah sakit
terdapat lokasi kuburan yang sebagian besar adalah ‘korban’ perusahaan
Mijnbouw Maatschappij Simau.
Untuk menuju ke lokasi eks rumah sakit ini ada 2 jalan. Yang pertama melalui jalam setapak, dulunya ini adalah jalan aspal yang dipakai untuk jalan mobil oleh perusahaan Belanda. Seperti dituturkan warga bahwa sekitar tahun 1960an masih ada bekas mobil sedan Ford didesa ini. Yang kedua melalui jalan tangga semen yang sampai saat ini masih cukup terjaga. Dikiri-kanan tangga ini masih banyak sekali tanaman bambu China dan bermacam jenis bunga. Dapat disimpulkan bahwa dulunya ini adalah taman yang indah menuju rumah sakit itu.
Untuk menuju ke lokasi eks rumah sakit ini ada 2 jalan. Yang pertama melalui jalam setapak, dulunya ini adalah jalan aspal yang dipakai untuk jalan mobil oleh perusahaan Belanda. Seperti dituturkan warga bahwa sekitar tahun 1960an masih ada bekas mobil sedan Ford didesa ini. Yang kedua melalui jalan tangga semen yang sampai saat ini masih cukup terjaga. Dikiri-kanan tangga ini masih banyak sekali tanaman bambu China dan bermacam jenis bunga. Dapat disimpulkan bahwa dulunya ini adalah taman yang indah menuju rumah sakit itu.
Kamar Bola
Tempat ini khusus
disiapkan oleh Belanda sebagai sarana hiburan bagi para pekerja tambang.
Letaknya dikaki bukit barisan dibawah eks rumah sakit jaman Belanda. Kita dapat
membayangkan waktu tahun 1900an ditempat ini sudah ada permainan yang yang
sebenarnya permainan itu lazim dimainkan oleh kelas menengah Eropa waktu itu.
Saat ini yang tersisa hanya gedungnya saja meja, stik dan bola billyard sudah
tidak ada lagi. Tapi walaupun demikian bagi yang ingin mencoba bermain billyard
dilokasi ini sambil membayangkan kehidupan waktu itu, kita masih bisa bermain
billyard karena beberapa warga membangun sarana billyard sendiri.
Rumah Simau
Bangunan kayu ini
mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, tapi dibuat seperti
bedeng-bedeng terdiri dari 13 pintu, tingginya sekitar 12 meter dari tanah,
panjangnya sekitar 70 meter. Ruangan bagian atas dan bawah bisa ditempati
sebagai tempat tinggal. Dinamakan Rumah Simau atau Pondok Baru karena bangunan
yang didirikan sekitar tahun 1940 ini merupakan bangunan terakhir yang
didirikan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau, sebelum tambang ini
dikuasai oleh Penjajah Jepang Tahun 1942-1945. Awalnya bangunan ini
diperuntukkan bagi para pekerja perusahaan Belanda itu.
ingga saat ini bangunan ini tidak ada perubahan bentuk termasuk dinding, lantai hanya atap yang bocor yang diperbaiki oleh warga yang menempatinya. Selain rumah Simau masih ada beberapa rumah lagi yang asli peninggalan Belanda, misalnya rumah yang ditempati oleh Bik Lis (40) ciri-ciri jendela yang besar dan bekas-bekas taman masih relatif terpelihara.
ingga saat ini bangunan ini tidak ada perubahan bentuk termasuk dinding, lantai hanya atap yang bocor yang diperbaiki oleh warga yang menempatinya. Selain rumah Simau masih ada beberapa rumah lagi yang asli peninggalan Belanda, misalnya rumah yang ditempati oleh Bik Lis (40) ciri-ciri jendela yang besar dan bekas-bekas taman masih relatif terpelihara.
Pemakaman Belanda
Pemakaman ini
berada disebelah selatan Desa Lebong Tandai yaitu sekitar 1 jam berjalan kaki,
banyak orang asing khususnya Belanda yang bekerja di Perusahaan Mijnbouw
Maatschappij Simau dikuburkan disini. Sebagian diantara orang asing itu
meninggal karena dibunuh oleh pekerja kontrak yang tidak tahan dengan
penderitaan. Menurut cerita disana dimakamkan juga tuan Smith yang dibunuh oleh
seorang inang (perempuan) dengan cara ditusuk dengan paku yang telah dipipihkan
sebagai senjata ke bagian leher tuan Smith. Ada juga orang Belanda yang
meninggal karena kepalanya di bor oleh pekerja tambang.
Pemakaman China
Lokasinya berada
sekitar 3 km dari arah Lebong Tandai menuju Desa Napal Putih. Berada disebuah
bukit kecil disebelah kanan rel kereta Molek. Sampai sekarang setiap hari raya
Tionghoa maupun acara keagamaan Konghucu, ahli waris masih melakukan upacara
atau ritual keagamaan dilokasi ini. Beberapa diantara warga desa Lebong Tandai
dan Napal Putih adalah keturunan Tionghoa.
Makam Pahlawan
Terletak dibelakang
eks rumah sakit jaman Belanda. Mereka yang dimakamkan disini adalah para
pejuang yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat dan sebagian memang tentara.
Mereka gugur karena ledakan bom, saat Belanda bermaksud menguasai kembali
lokasi tambang ini tahun 1947-1949. Rakyat yang tergabung dalam laskar-laskar
itu diberi pangkat setelah gugur sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam
mempertahankan kemerdekaan. Desa Lebong Tandai juga pernah dijadikan basis
gerilya pada waktu perang mempertahankan kemerdekaan.
Gedung Bulu Tangkis Belanda
Bentuk bangunan
masih relatif asli, dulu dipergunakan untuk tempat olahraga bagi para pekerja
tambang. Saat ini hanya dipergunakan sebagai gudang oleh warga. Bangunan ini
bersebelahan dengan bekas bioskop jaman Belanda.
Air Panas Alami
Lokasinya terletak
dibawah jembatan sungai Kelumbuk sekitar 8 km dari Desa Napal Putih. Air panas
ini mengandung belerang. Dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa airnya
bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit. Tidak jauh dari air
panas ini juga terdapat air terjun yang indah, masyarakat menyebutnya air
terjun Kelumbuk.
Alat tambang kuno
Alat tambang
peninggalan perusahaan Belanda Mijnbouw Maatschappij Simau masih cukup banyak,
diantara bor manual dan lori. Belum terlambat jika pemerintah mengumpulkan
barang-barang ini sebagai sebuah peninggalan sejarah. Bisa saja dibuat museum
yang khusus menyimpan barang-barang kuno ini.
Sungai Lusang
Nama PT Lusang
Mining diambil dari nama sungai ini. Sungai ini membelah desa Lebong Tandai,
airnya cukup deras dan sangat jernih serta penuh dengan bebatuan besar. Sangat
cocok jika dijadikan lokasi olahraga air seperti arung jeram. Beraneka macam
ikan langka khususnya ikan Putih atau ikan Semah (disebut ikan putih karena
warna sisiknya keputih-putihan) masih banyak terdapat disungai ini. Kelebihan
ikan ini dibanding ikan lainnya adalah sisiknya bisa dikonsumsi karena terdiri
dari tulang rawan.
Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai.
Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai.
Hutan TNKS
Hutan ini masih
relatif terjaga, karena warga Lebong Tandai juga berperan sebagai penjaga
hutan. Mereka sadar bahwa mata pencaharian mereka yaitu menambang emas sangat
tergantung pada hutan ini. Karena jika hutan ini rusak maka akan berpengaruh
pada sungai dan dam yang mereka gunakan untuk memutar Gelundung atau memutar
turbin listrik. Selain itu, jika hutan ini gundul maka dapat mengakibatkan
longsor, jika terjadi longsong maka akan tertimbunlah desa ini mengingat desa
ini diapit oleh 2 bukit barisan yang masuk kawasan TNKS (taman nasional kerinci
sebelat).
Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini.
Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini.
Kerajinan Perak
Kerajinan perak ini
masih diusahakan secara sederhana dan dalam skala kecil. Bermacam-macam
perhiasan yang terbuat dari perak seperti cincin, gelang dan kalung dapat
dibeli atau dipesan disini. Yang berbeda disini adalah kita dapat langsung
melihat proses sejak awal dari penambangan sampai proses perak dijadikan
perhiasan. Pengrajin juga menjamin perhiasan perak yang dibuat disini walaupun
dipakai sampai lama warnanya tidak akan berubah kehitam-hitaman. Karena
kwalitas bahan perak benar-benar dijaga alias perak murni. Pemasaran perhiasan
ini sebagian dijual ke luar Lebong Tandai dan sebagian dibeli oleh mereka yang
berkunjung ke sini.
Umat, 18 April 2008.
Sumber : Firnandes Maurisya
Lebong dan Masyarakat Adat
LINK:http://rejanglang.htm
Jika mengacu pada
sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di
Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan dengan istilah
lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan
kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan
yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem
lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah
sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa
kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan
lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut
dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan
tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak
(Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen
dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang”
menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling
murni.
Intervensi
kebijakan negara dengan regulasi UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
yang seragam membuat sistem kelembagaan lokal ini menjadi ‘perahu yang
kehilangan darmaga’ demikian disebut oleh Bapak Salim Senawar Tokoh Masyarakat
Adat Jurukalang Tapus, sehingga aplikasi sistem lokal ini kemudian dilakukan
proses marjinalisasi peran dan fungsi yang di miliki oleh masyarakat adat tidak
hanya di lakukan oleh Pemerintah secara fisiologis melalui kewilayahan adat,
akan tetapi juga dilakukan melalui penghancuran secara terstruktur melalui
sistem dan tata aturan kelembagaan adat, yang secara langsung secara struktural
dan paktual menghilangkan identitas dan integritas komunitas adat sebagai satu
persekutuan masyarakat yang pada dasarnya telah terbukti mampu mengelola dan
mengatur wilayah dan tertib sosialnya secara demokratis dan berkelanjutan.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedikit memberi peluang bersyarakat kepada komunitas lokal untuk meng-implementasi sistem lokal ini membuat seperti memakai bahasanya Bapak Yakub, Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX bak ‘tanaman yang mau tumbuh namun bumi engan untuk menerimanya’. Secara umum komunitas adat yang ada di Kabupaten Lebong yang merupakan masyarakat warga Petulai ini kemudian beberapa tokoh adatnya frustasi dan lebih banyak melibatkan diri pada sistem seremonial sosial seperti perkawinan, kematian dan ibadah.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedikit memberi peluang bersyarakat kepada komunitas lokal untuk meng-implementasi sistem lokal ini membuat seperti memakai bahasanya Bapak Yakub, Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX bak ‘tanaman yang mau tumbuh namun bumi engan untuk menerimanya’. Secara umum komunitas adat yang ada di Kabupaten Lebong yang merupakan masyarakat warga Petulai ini kemudian beberapa tokoh adatnya frustasi dan lebih banyak melibatkan diri pada sistem seremonial sosial seperti perkawinan, kematian dan ibadah.
Secara umum dalam
tertib sosial dan adat kesatuan masyarakat ini di ikat dengan tata cara Adat
Beak Nyoa Pinang/Adat Rian Cao yang sangat menghormati informed consent and
negotiated agreements dan di dalam pengelolaannya tenurial dilaksanakan
berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan
hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan
budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai)
bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya,
politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi.
Sebagai bagian dari
Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang teguh adat bersendi syara’
bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah atau keruangan yang disebut
untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), perladangan (disebut Talang) dan
hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya mengunjungi Pasara Desa (Peken)
untuk menjual hasil panen pertaniannya dan membeli kebutuhan pokok bagi
keluarga.
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Sebagian masyarakat
sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, berbagai
larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap
sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan
menebang pohon di sepanjang badan sungai kiyeu celako demikian jenis
kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan
sumber daya alam. Ke 4 komunitas masyarakat tersebut mengenal kepercayaan bahwa
ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati
sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan tuweak
celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas
masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar
tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun
rumah (temje bubung) dan lain-lain.
Sistem pemerintahannyapun mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.
Sistem pemerintahannyapun mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.
Lebong dan Konservasi
Di Propinsi Bengkulu,
secara administratif, wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) terdapat di
18 kecamatan, yaitu di Kabupaten Lebong, Kecamatan Lebong Utara, Lebong Atas,
Lebong Tengah, Lebong Selatan, dan Rimbo Pengadang. Kabupaten Rejang Lebong,
Kecamatan Curup, Selupu Rejang, Bermani Ulu, Sindang Kelingi, Padang Ulak
Tanding. Kabupaten Bengkulu Utara, Kecamatan Ketahun, Napal Putih, Putri
Hijau, sedangkan di Kabupetan Muko-muko, Kecamatan Lubuk Pinang, Muko-muko
Utara, Teras Terunjam, Pondok Suguh, Muko-muko Selatan. Dengan luasan di tiap
kabupaten, yaitu Bengkulu Utara 72.171 Ha, Muko-muko 131.341 Ha, Lebong
109.548 Ha, dan Rejang lebong 27.515 Ha.
Kabupaten Lebong
merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No 39
Tahun 2003 dan berada di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai
daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif
terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 5 Kecamatan dengan Luas wilayah
keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan
Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat
111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman
Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di
wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang
Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini
ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar
tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Dari total luas
kawasan hutan tersebut diperkirakan laju kerusakan mencapai 50.999,82 Ha (40%)
yang mengancam kelestarian lingkungan, bencana alam maupun berkurangnya pasokan
untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes. Sebagian besar laju
kerusakan ini diakibatkan oleh aktivitas ekonomi maupun aktivitas illegal
logging.
Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.
Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.
Tanam Nasional dan
Kawasan Lindungpun dikelola dengan prinsip-prinsip perlindungan alam yang ketat
tapi dalam waktu yang bersamaan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap
masyarakat yang bermukim didalam atau disekitar kawasan tersebut. Akibatnya
perlindungan alam seolah-olah merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan harus
dibenturkan dengan kepentingan masyarakat di sekitarnya. Konsep konservasi
semacam ini mulai berkembangan di negara-negara Barat, dimulai ketika Yellow
Stone ditetapkan sebagai tanam nasional tahun 1872 model ini dilakukan dengan
pendekatan perlindungan alam yang ketat yang tidak memperkenalkan adanya
kegiatan manusia baik untuk kebutuhan subsistem maupun untuk pemanfaatan sumber
daya alam demi tujuan komersial.
Penetapan wilayah Taman Nasional dan Lindung sebagai daerah yang di proteksi dengan tujuan penyelamatan kawasan guna keberlangsungan kehidupan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh dalam penetapannya, penetapan yang berdasarkan pentingnya pengelolaan secara terpadu, holistik dan integralistik ini dalam pelaksanaannya membawa dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat warga di Kabupaten Lebong.
Penetapan wilayah Taman Nasional dan Lindung sebagai daerah yang di proteksi dengan tujuan penyelamatan kawasan guna keberlangsungan kehidupan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh dalam penetapannya, penetapan yang berdasarkan pentingnya pengelolaan secara terpadu, holistik dan integralistik ini dalam pelaksanaannya membawa dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat warga di Kabupaten Lebong.
Wacana yang
dikembangkan oleh Pemerintahan Kabupaten Lebong untuk menjadikan Kabupaten
Lebong sebagai Kabupaten Konservasi, disatu sisi secara luasan hutan yang
dimiliki tanpa embel-embel kebijakan konservasi kabupaten ini sudah layak
disebut sebagai kabupaten konservasi, tetapi ada persoalan lain bagi
masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat adalah kelompok korban yang pertama akibat penetapan wilayah ini
menjadi wilayah taman nasional. Sampai sekarang tidak upaya konkrit yang
dilakukan oleh para pemangku kepentingan baik oleh Balai Taman Nasional maupun
oleh kelompok lainya untuk menengahi permasalahan ini. Hal ini berlangsung
terus-menerus dan semakin membuat carut-marutnya pengelolaan Taman Nasional
secara keseluruhan.
Persoalan ini
muncul ketika penetapan kawasan ini dilakukan sepihak oleh pemangku kebijakan
tanpa belibatkan secara utuh dan holistik masyarakat yang bersingungan dengan
kawasan hutan, dalam struktur lokal mereka merupakan bagian yang terintegrasi
ke dalam ekosistem hutan, bundle of right, tumpang tindih kepemilikan atas
objek tanah yang sama menjadi problem utama disamping pertambahan jumlah
penduduk yang berimplikasi langsung dengan kebutuhan akan lahan.
Dari informasi
masyarakat yang bersingungan langsung dengan Kawasan Taman Nasional dan Hutan
Lindung diketahui bahwa akibat tidak partisipatifnya penetapan Taman Nasional
masyarakat menyebabkan luasan kebun dan sawah yang berada di Taman Nasional
semakin luas. Kondisi seperti akan terus berlangsung karena masyarakat tidak
merasa memiliki Taman Nasional dan belum memandang arti penting keberadaanya
selain menjadi penyebab kemiskinan karena kehilangan tanah sebagai satu-satu
media pemenuhan kebutuhan untuk hidup.
Dalam mendukung di
jadikannya Kabupaten Lebong ini Bupati Lebong telah membentuk team
pemberantasan illegal logging dalam aktivitasnya mengaplikasikan metode
konservasi alam klasik (classic nature conservation), ini terlihat
seringnya team ini melakukan represif terhadap masyarakat, Pembacokan antara
Masyarakat dengan Kepala KESBANGLINMAS Kabupaten Lebong di Tapus, Pembongkaran
pondok masyarakat di Mangku Rajo, Penyitaan Kayu tanpa melakukan investigasi
lebih jauh.
Dari kejadian ini
dapat ditarik kesimpulan ada pemahaman tentang bias konservasi di masing-masing
pihak, Pemerintah melihat secara utuh bahwa kawasan konservasi ini harus dijaga
dan jika mengacu pada konsef classic nature conservation faktor perusak utama
kelestarian kawasan adalah manusia. Disatu sisi masyarakat adat mengangap bahwa
ada banyak kearifan dan metode lokal yang membahas tentang konservasi Imbo
Keramat, Hutan Sarang Macan, Larangan pada Spadan Sungai dll merupakan sistem
lokal dalam mengelola atas konservasi kawasan.
Dari analisas AKAR
teridentifikasi beberapa kelemahan dalam pengelolaan, yang selanjutnya
menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kerusakan di dalam kawasan Taman
Nasional, Hutan Lindung dan Cagar Alam seperti perambahan hutan, penebangan
liar, penyerobotan hutan, perburuan liar, dan penambangan emas.
Kelemahan-kelemahan tersebut meliputi: 1) Bentuk (form) bentang alam kawasan
TNKS yang memanjang (narrow elongated shape), keadaan kawasan dengan garis dan
daerah batas yang panjang dan luas membuka kemungkinan dan kesempatan yang luas
bagi terjadinya tekanan dan gangguan dari luar kawasan ke pusat-pusat hutan
yang merupakan zona inti. 2) Terjadi gangguan dan tekanan dari masyarakat
sekitar kawasan yang didorong oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mereka,
terlebih pada kondisi krisis saat ini. 3) Adanya aktivitas pertambangan di dalam
kawasan TNKS. 4) Kerusakan hutan lindung dan hutan produksi yang merupakan
daerah penyangga perluasan habitat dan sosial dari Taman Nasional. 5) Masih
lemahnya koordinasi dengan pihak dan instansi terkait, terutama di tingkat
daerah yang mendorong terjadinya benturan kebijaksanaan. 6) Pemekaran
kabupaten, terutama kabupaten yang memiliki sumberdaya alam terbatas menjadi
ancaman dan potensi dilakukannya eksploitasi TNKS.
Lebong, Masyarakat Adat dan Konservasi
1.
Pemerintahan Kabupaten Lebong
perlu memberikan penjelasan secara akademik mengenai perlunya isu-isu
pengelolaan kawasan konservasi dan lingkungan kepada masyarakat luas yang
diatur secara khusus di dalam peraturan daerah yang dibuat secara partisifatif
dengan melibatkan masyarakat yang secara langsung bersentuhan dengan kawasan
konservasi, yang berasaskan:
• Asas Kelestarian dan Keberlanjutan
yang tidak hanya mengacu pada konsef konservasi alam klasik tetapi lebih jauh
mengakomodir sistem lokal
• Asas
Pengakuan dan Kepemilikan Masyarakat Adat
• Asas
Keadilan dan Demokrasi
•
Asas Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Publik
•
Asas Holistik
•
Asas Kehati-hatian dini
•
Asas Eko-Efisiensi
•
Asas Perlindungan Optimal dan Keanekaragaman Hayati
•
Asas Pluralisme Hukum
2. Secara konprehensif dan integralistik melakukan
penataan antara kepentingan masyarakat adat/lokal, dunia usaha dan pemerintah
dalam pemanfaatan, akses dan kontrol terhadap kawasan konservasi termasuk
penyelesaian kontroversi tata batas kawasan, penyelesaian yang dimasud harus
mengacu pada metode Pelaksanaan Implementasi Free, Prior and Informed Consent
and Negotiated Agreements FPIC mempunyai implikasi pada berbagai hal baik
secara politik, hukum maupun secara sosial, dimana secara politis implementasi
FPIC menunjukan bahwa kekuasaan paling tinggi adalah suara rakyat. Sementara
secara hukum adanya kesamaan hak (equality before law) di antara stekeholders
dan secara sosial adanya hak dan otoritas masyarakat adat atas tanah dan
wilayah adatnya untuk mencegah konplik dan kontroversi di kemudian hari.
3. Sistem pengelolaan dan managemen kawasan
konservasi di Kabupaten Lebong harus berdasarkan nilai-nilai lokal (local
wisdom) yang masih berkembangan dan dihormati oleh masyarakat adat sekaligus
sangsi atas pelangarannya yang di akui dalam bentuk kebijakan daerah
4. Mendorong Pemerintah Daerah dan para
pihak terkait di Kabupaten Lebong untuk lebih memperhatikan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di desa-desa tertinggal sebagai basis bagi pembangunan
kabupaten Konservasi dengan cara membangun model-model percepatan pembangunan
desa tertinggal
5. Diperlukan kampanye multimedia sistematik yang
diperuntukkan bagi para pihak untuk mempengaruhi paradigma pembangunan yang
tidak berpihak pada rakyat tersebut.
Tumpang Tindih Atas Kepemilikan Tanah (Bundle Of Rights)
Di
Marga Jurukalang Kabupaten Lebong”
Posted
by Tuntopos
on 19/01/2011 in Tuntopos News | 0
Comment
Konflik pengelolaan
lahan di Indonesia bukanlah barang baru lagi, pada Zaman Hindia Belanda pun hal
ini telah berlansung dimulai semenjak ditetapkannya Agrarische Wet 1870 yang
mengatur tentang Domainverklering (tanah Negara) oleh Pemerintah Hindia
Belanda, kemudian pada tahun 1927 ditetapkannya Bosch Ordonantie 1927 (mengatur
masalah kehutanan) yang isinya mengikuti Domeinverklaring yakni penguasaan
pemerintah terhadap sumber daya alam.
Didalam Bosch
Ordonantie ini pemberlakuannya hanya di Jawa dan Madura sedangkan Agrarische
Wet 1870 berlaku di daerah-daerah yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaan
lansung Pemerintah Hindia Belanda dengan ditetapkannya batas hutan BW di setiap
wilayah hutan di Indonesia.
Didalam doktrin Res
Nullius yang memiliki ajaran bahwa kepemilikan terhadap bumi tidak bisa di
kelompokkan didalam kepemilikan seseorang atau kelompok tertentu, dalam artian
seluruh tanah berada pada posisi absente atau tanah tak berpenghuni dan tak
berpunya, maka menjadi alasan yang jelas bagi pemerintah hindia belanda
untuk mencaplok seluruh kawasan hutan, tanah ulayat yang berada dan menjadi
semacam identitias kelompok tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan milik
Negara karena tidak memiliki alat bukti atau dapat dibuktikan secara tertulis
didepan hukum Pemerintah Hindia Belanda (Domeinverklaring).
Pasca Indonesia
merdeka,seiring dengan semangat kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai
mengembangkan dan menasionalkan peraturan-peraturan yang ditinggalkan oleh
pemerintah hindia belanda, namun secara substansi yang menyangkut arah
pengaturan, kemudian penguasaan Negara dalam hal proses regeler khususnya pada
permasalahan tanah dan penguasaan Negara kejadiannya hampir sama, dimana
didalam agrarische wet 1870 yang mengatur tentang domainverklaring, maka
didalam UUPA 1960, Domainverkalring Cuma berganti nama menjadi Hak Menguasai
Negara.
Begitupun dengan
penetapan kawasan hutan dan penguasaan serta pengaturan terhadap kawasan hutan
berikut dengan proses peruntukannya, melalui UU 41 tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kehutanan yang secara jelas mencabut Bosc Ordonantie 1927 yang
dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, berusaha untuk menjamin keberadaan
masyarakat adat beserta entititas pendukungnya, namun yang menjadi patokan
dalam proses permasalahan tentang pengakuan hak masyarakat adat dalam UU ini
masih mengikuti prilaku UU ibunya (Bosc Ordonantie 1927) yakni dimana pengakuan
Negara masih terbatas dalam bentuk yang terbatas yang menggantungkan diri
didalam kebijakan umum pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Tentu mengenai
proses pengakuan ini tetap menjadi semacam ancaman pokok yang melandasi seluruh
konflik tenurial di Indonesia, termasuk di Kabupaten Lebong, khususnya pada
masyarakat eks marga juru kalang.
Dalam tinjauan
sejarah masyarakat eks juru kalang dalam menempatkan posisi kepemilikan
komunitas terhadap tanah yang sekarang menjadi kawasan TNKS (taman nasional
kerinci sebelat) adalah berdasarkan pada kebutuhan akan ruang penghidupan untuk
masyarakat berladang, kebutuhan akan wilayah hunian, dan kebutuhan komunitas,
dalam hal penempatan suatu kawasan sebagai tanah marga.
Pola penyebaran
masyarakat adat Jurukalang hingga menjadi desa bermula dari tempat yang bernama
Talang-Talang atau pemukiman-pemukiman penduduk yang berada di wilayah
perkebunan, dimana sekumpulan kecil orang-orang membangun pondok-pondok yang
digunakan untuk menjaga kebun dari ancaman hama serta dilatarbelakangi juga
oleh jarak wilayah perkebunan dengan desa asal yang memiliki jarak tempuh yang
cukup jauh.
Maka dari proses
pemukiman yang bernama talang ini pada kemudian hari mengalami
perkembangan secara kuantitas jumlah jiwa yang menghuni suatu daerah talang
sampai pada bertambahnya kuantitas lahan yang menjadi kawasan areal perkebunan
masyarakat. Maka atas perkembangan tersebut, beberapa kelompok masyarakat yang
berada di talang berinisiatif untuk menjadikan talang tersebut menjadi desa.
Pada tahun 1971
Pemerintahan Marga maka tanah marga yang selama ini menjadi milik mareka
beralih menjadi tanah Negara, salah satunya adalah Bukit Dinding (Tebo Dinding)
menjadi area Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), hal ini terjadi ketika
diperbaharui kembali patok hutan BW oleh Pemerintah Indonesia.
Jika ditarik
kebelakang lagi mengenai sejarah keberadaan hutan BW ini, maka pada pra
kolonialis hadir ditanah Rejang, kondisi Masyarakat Rejang pada waktu itu
merupakan satu kesatuan, yang egaliter tanpa ada perbedaan antara satu dengan
yang lainnya, dimana dalam proses pengolahan tanah atau kawasan setiap
masyarakat memiliki hak yang sama dengan proses regelernya diserahkan kesetiap
tetua yang dipercayai sebagai orang yang bijaksana, adil.
Kemudian pada masa
kolonial, Pemerintah Kolonial dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda,
memperbaharui seluruh sistem penguasaan tanah, termasuk dalam menetapkan
batasan kawasan berdasarkan kebutuhan belanda dengan jalan memecah kesatuan
masyarakat dalam bentuk marga-marga.
Pada zaman
marga-marga ini, proses regelernya dibawah kondisi kompromis antara
kepentingan masyarakat adat dalam lingkup suatu marga dan kepentingan
pemerintah kolonial dalam menjamin kekuasaannya di tanah jajahan.
Proses
pengklasifikasian jenis hutan sudah mulai berlansung atas dasar kesepakatan
antara Marga dengan Pemerintah Kolonial (Wedana), yang merupakan cikal bakal
dari kelahiran dari hutan BW (Boscweissen) dengan menetapkan jenis hutan
kedalam tiga bentuk yakni hutan marga, hutan rakyat dan hutan cadangan, dengan
memberikan sedikit keluasan bagi masyarakat dengan jarak 500 meter setelah
batas BW untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat.
Baru kemudian pada
tahun 1983 Sistem Pemerintahan Marga dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Dengan
pencabutan sistem marga ini berimbas secara lansung dengan proses pengelolaan
kawasan hutan, dan pada tahun inipulalah bisa dikatakan bahwa seluruh klaim
tanah adat, tanah marga, dihapus oleh Pemerintah Indonesia, kemudian
menggantinya dengan patok Tata Guna Hutan Kesepepakatan (TGHK, 1984).
Dari laporan
assesment yang dilakukan oleh Yayasan Akar pada wilayah Eks Marga Jurukalang
ini, jika dipriodeisasikan proses pengelolaan masyarakat pada lahan yang
diklaim oleh pemerintah sebagai Hutan Negara adalah sebagai berikut[1]:
1. Zaman Sebelum Penjajahan
Masyarakat
sudah mulai membuka hutan untuk berkebun di daerah Bukit Pedinding dan Mudik
Keligai dengan bertanam padi darat. Pemukiman masyarakat masih berbentuk
Kutai di pinggir Sungai Ketahun, pada waktu itu belum ada sistem pengairan
irigasi tekhnis, masyarakat hanya mengandalkan hasil panen dari Padi Darat (Padi
Siam) yang dipanen setahun sekali. Kondisi hutan di sekitar Bukit Serdang
masih memiliki kerapatan yang tinggi, maka dari kondisi ini pola interaksi
masyarakat ke hutan tidak hanya sebatas berburu,dan meramu hasil hutan tapi
mempunyai dimensi lain, kepercayaan terhadap gaib, dengan mengukuhkan bahwa
hutan sebagai pusat pertahanan komunitas, dengan pandangan bahwaa perwujudan
dari kedaulatan mereka berasal dari tanah yang mereka atur sendiri
keberfungsiannya menurut system yang mereka miliki.
Masyarakat
juru kalang pada masa ini memiliki mitologi sendiri tentang fungsi hutan yang
berada di sekitar mereka yang mereka wariskan secara turun temurun (mitologi
disini adalah perangkat khusus bagi masyrakat jurukalang untuk menyajikan
kebijaksanaan tentang keselarasan alam dimana manusia juga berada didalamnya),
yakni Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini
dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian
ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan
masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya
guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas
anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi
melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan
keamanan yang tinggi[2]
2. Zaman Penjajahan Belanda
Pada
era tahun 1927 hingga 1932 Penjajah Belanda memasang patok BW di wilayah hutan
masyarakat juru kalang, dan menetapkan kawasan hutan ini sebagai kawasan hutan
lindung. Pada masa ini masyarakat sudah mengenal tanaman kopi yang
ditanam di kebun mereka (jenis kopi lokal/kopi rejang). Sebelumnya pemerintah
hindia belanda mulai memberlakukan system domainverklaring melalui agrarische
wet tahun 1870, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang berada dibawah
pemerintah hindia belanda secara lansung dikuasai oleh pemerintah hindia
belanda dalam proses regelernya.
Posisi
ini mendudukkan masyarakat jurukalang pada posisi yang kompromis, dimana system
kutai yang diganti oleh pemerintah hindia belanda dengan system kerasidenan
(wedana), dan memposisikan dan membagi tanah masayrakat juru kalang ke dalam
tiga cluster seperti yang telah diceritakan diawal tulisan ini.
3. Zaman Penjajahan Jepang
Masyarakat
masih berkebun di Bukit Pedinding dan pemukiman masih di pinggir sungai Danau
Pada masa ini masyarakat sudah ada yang membuka hutan di sekitar pitok nutus
(bukit pedinding) untuk berkebun.
Pada
masa penjajahan jepang ini tidak banyak perubahan kebijakan pemilikan dan
pengolahan tanah, karena pemerintah jepang sendiri masih menggunakan system
hokum yang tellah di buat oleh pemerintah hindia belanda
4.
Zaman Orde Lama
Masyarakat
masih berkebun di Bukit Pedinding dan Bukit Mangkurajo, pada era ini pembukaan
lahan untuk penanaman tanaman kopi semakin meluas di daerah sekitar bukit
serdang.
5. Zaman Orde Baru
Pada
masa ini pemukiman masyarakat semakin meluas di pinggir sungai ketahun,
masyarakat sudah mulai bertanam padi sawah dengan pengairan berasal dari aliran
DAS Ketahun dan beberapa sub DAS yang berada di sepanjang DAS Ketahun.
Pertanian masyarakat masih bertumpu di wilayah Hutan adat Jurukalang dengan
alasan kesuburan tanahnya.
Pembukaan
lahan di ke dua bukit ini semakin meluas, khususnya untuk bertanam kopi.
Kemudian pada tahun 1995, desa ini mengalami musibah banjir yang mengakibatkan
dusun terpecah menjadi dua yaitu dusun bawah dan dusun atas. Banyak lahan
persawahan masyarakat di pinggir sungai ketahun rusak dan tidak termanfaatkan,
begitu juga beberapa lahan yang ada di sekitar desa yang mengakibatkan lahan
tidur semakin luas.
Pada
masa ini pemerintah merubah status Bukit Pedinding menjadi kawasan hutan
lindung dan konservasi sebagai TNKS dan HL Rimbo Pengadang Reg.43 yang pada
akhirnya memicu konflik tenurial wilayah kelola tradisional masyarakat.
Pada tahun 1997 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan sebagian hutan dan
lahan budidaya masyarakat di Bukit Pedinding dan diikuti oleh program reboisasi
dan rehabilitasi lahan melalui penanaman beberapa tanaman pelindung seperti
sengon.
6. Zaman Sekarang
Pada
masa sekarang, walaupun wilayah kelola tradisional mereka di bukit Pedinding
telah diklaim menjadi hutan negara (TNKS), namun sebagian masyarakat masih
tetap berkebun disana. Ketidakjelasan tata batas dan kesuburan tanah
menjadi Alasan mereka untuk tetap berkebun di sana. Di sisi lain tingkat
pembukaan lahan pada kawasan hutan ini semakin luas untuk memenuhi kebutuhan
lahan baru bagi masyarakat.
Apalagi
volume tanah terlantar (lahan kritis/tidak produktif) semakin meningkat, pada
posisi lain juga semenjak bergeraknya pola desentralisasi dan otonomi daerah,
pemerintah kabupaten lebong semakin memperketat pengawasannya terhadap kawasan
hutan, dan kembali menggunakan streotif masyarakat perambah kepada masyarakat
jurukalang
Erwin Basrin Dan Ronald
Reagen”Jurukalang Tanah yang Terlupakan” Kata Pengantar Rahimullah, buku ini
untuk sementara diterbitkan oleh Yayasan AKAR Sendiri. Penerbit AKAR, Bengkulu
2010
Kuli Kontrak Menjadi Penduduk Bengkulu
Sejarah
Bengkulu 1908-1941
Dr Lindayanti
MHum
Dari hasil
penelitian A.M.P.A. Scheltema [1]
disebutkan bahwa 48% dari kuli yang diberangkatkan pada tahun 1928 berasal dari
daerah-daerah Banyumas Barat, daerah Bagelen, yaitu Purworejo, Kutoarjo, dan
Kebumen, dan Jawa Timur, yaitu Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk,
Jombang, dan Malang. [2]
Mereka berasal dari kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa yang kepadatan
penduduknya di atas 500 orang/km2, seperti Tegal, Karanganyar, Banyumas,
Purbolinggo, Purworejo,
Kebumen, dan
beberapa daerah di
Vorstenlanden.[3]
Para kuli
kontrak bekerja di perusahaan-perusahaan yang berada di Luar Pulau Jawa, salah
satunya adalah di Bengkulu. Sehabis kontrak sebagian dari kuli kontrak tidak
kembali ke daerah asal tetapi menetap di Bengkulu. Kehidupan bekas kuli kontrak
setelah menetap di Bengkulu akan dibahas dalam bab ini, dari terbentuknya desa
migran kuli di sekitar lahan milik perusahaan, bekas kuli kontrak yang
mengikuti prgram kolonisasi, dan kuli kontrak yang terjebak
di lahan milik perusahaan akibat terjadi kemelut politik tahun 1942.
A. Desa-desa
pionir di Rejang dan Lebong
Orang dari Jawa
yang bekerja sebagai kuli kontrak direkrut dengan berbagai cara. Sebagian
dari mereka ada yang mendaftar langsung pada agen tenaga kerja di kota,
mendaftar kerja melalui werek, mengikuti jejak saudara atau teman sedesa yang
telah lebih dahulu menjadi kuli kontrak. Sebagian lain terpaksa menjadi kuli
karena diculik, dibohongi oleh werek ataupun dijual oleh keluarganya.
Selanjutnya, calon
kuli dibawa ke agen besar, misalnya Deli Planters Vereeniging (
D.P.V.) atau Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra
(A.V.R.O.S). Setelah calon kuli didaftar oleh agen dan diperiksa kesehatannya
oleh dokter perusahaan maka kuli kontrak diberangkatkan ke berbagai
perkebunan di Sumatera. Menurut pengalaman beberapa orang kuli, saat
mereka mendaftar, mereka hanya mengetahui akan dipekerjakan di perkebunan
Deli-Sumatera. Sampai mereka diberangkatkan kuli kontrak tidak
mengetahui, dimana mereka akan ditempatkan.
Para kuli ini
bekerja berdasarkan kontrak yang dilengkapi peraturan poenale sanctie. Setelah
habis kontrak, sebagian besar kuli kembali ke daerah asal dan sebagian
lain menetap di Bengkulu. Para bekas kuli kontrak yang kembali ke Jawa sebagian
mendaftar kembali menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar pada agen tenaga
kerja. Selanjutnya, mereka akan diberangkatkan kembali sebagai kuli kontrak ke
perusahaan perkebunan ataupun pertambangan lain.
Untuk mendapat
gambaran mengenai jumlah kuli yang menetap di Bengkulu dapat dilihat dari
perbandingan jumlah kuli yang masuk dan keluar. Misalnya, pada
tahun 1917 kuli masuk ke Bengkulu berjumlah 718
orang, sedangkan kuli keluar
hanya berjumlah 365 orang. (Gambar 6.1). Perbedaan jumlah kuli
ini dapat disebabkan kuli meninggal dunia, memperpanjang
kontrak kerja, ataupun menetap di Bengkulu. Bekas kuli kontrak
yang memutuskan untuk menetap dapat disebabkan karena terjerat hutang
pada perusahaan ataupun mereka memang berminat menetap.
Migran bekas kuli yang memutuskan menetap di Bengkulu dapat
menempuh jalan sebagai berikut:
1) menetap di desa penduduk
asli orang Rejang dan menikah dengan seorang wanita Rejang
2) membuka sebuah
perkampungan baru di lahan milik perusahaan ataupun di tanah
milik marga setempat
3) menetap di desa
kolonisasi yang dibuka oleh pemerintah.
Sebagian
dari bekas kuli memilih bertempat tinggal di luar tanah konsesi perusahaan,
sebagian lain menetap dan mendirikan pemukiman baru di tanah konsesi
perusahaan. Menurut laporan aspirant kontrolir Lebong pada tahun 1905, banyak
bekas kuli kontrak bertempat tinggal di desa-desa orang Rejang dan
migran menikah dengan seorang wanita Rejang. [4]
Bekas kuli kontrak
yang menetap di tanah konsesi perusahaan berkaitan dengan kebijakan perusahaan
untuk mengatasi kekurangan kuli. Perusahaan mengalami kekurangan tenaga kerja
karena sebagian besar kuli setelah habis kontrak tidak memperpanjang kontrak,
kuli meninggal dunia ataupun kuli sakit. Biaya mendatangkan kuli, baik
dari Singapura maupun dari Jawa, sangat mahal,[5]
sedangkan usaha perusahaan mengambil kuli dari dusun sekitar
tidak berhasil [6]
maka perusahaan mengambil
kebijakan
menyediakan lahan bagi kuli yang bersedia tetap bekerja di perusahaan.
Bagi kuli yang telah berkeluarga dan kadangkala membawa serta anak
dan isterinya, perusahaan menyediakan pondok dan makan bagi anak dan
isteri kuli.
Sebagian bekas kuli
kontrak berminat dengan tawaran perusahaan, mereka mendirikan
pemukiman di tanah konsesi milik perusahaan. Misalnya, pada tahun 1905 pada
tanah konsesi milik Perusahaan Tambang di Lebong Donok terdapat kampung migran
kuli bernama Kampung Jawa dan dihuni 40 orang Sunda dan
orang Jawa bekas kuli kontrak.
Pada tahun 1907 jumlah penduduk di Kampung Jawa meningkat menjadi 80 orang seiring
dengan semakin banyaknya bekas kuli kontrak yang menetap.[7]
Pemukiman kuli
lainnya adalah Ladang Palembang,[8]
tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang telah dibuka menjadi
perladangan oleh orang-orang Palembang. Semula Ladang
Palembang dijadikan tempat tinggal bagi kuli yang tidak dapat
bekerja lagi, karena sakit ataupun sudah tua. Dalam perkembangan
selanjutnya, Ladang Palembang menjadi tempat tinggal bekas kuli
kontrak yang masih muda dan sehat. Mereka membuka ladang, disamping tetap
bekerja sebagai kuli lepas di perusahaan tambang.
Pemukiman
orang-orang dari Jawa dipimpin oleh seorang kepala kampung pribumi,
terlepas dari kekuasaan Datuk Pasar Muara Aman. Akan tetapi
kampung berada dalam pemerintahan marga yang dikepalai oleh seorang
pasirah. Para bekas kuli kontrak ini disamakan kedudukannya dengan
penduduk marga setempat, yaitu Marga Suku IX. Oleh sebab itu mereka diwajibkan
mengikuti kerja wajib marga dan membayar pajak sebesar f. 8/tahun.
Selain di
Lebong, pemukiman bekas kuli kontrak terdapat di sekitar perkebunan di
Rejang. Misalnya, Kampung Jawa, yaitu sebuah perkampungan bekas kuli
kontrak yang berada di dekat dusun Curup. Pada tahun 1903, Kampung Jawa
dihuni oleh sekitar 86 orang bekas kuli kontrak perkebunan. Selanjutnya,
di sekitar Perkebunan Soeban Ajam terdapat beberapa perkampungan
bekas kuli, pada tahun 1907 penduduk di kampung-kampung tersebut
berjumlah antara 300 sampai 400 orang dan beberapa orang dari mereka menikah
dengan seorang wanita dari suku Rejang.[9]
Selanjutnya, di Kepahiang terdapat pemukiman bekas kuli kontrak bernama
Kampung Pensiunan. Pada tahun 1903 Kampung Pensiunan (Kepahiang)
berpenduduk 86 orang dan bertambah menjadi 118 orang pada tahun 1907.
Para bekas kuli
ini menetap atas kemauan sendiri, tidak mendapat bantuan dari
pemerintah. Mereka membuka lahan persawahan dan kebun di tanah marga,
sebagian dari mereka masih tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan
perkebunan. Sebagian bekas kuli hanya bekerja di ladang dan berkebun. Mereka
menanami kebun dengan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dan
hasilnya dijual ke Curup, atau Kepahiang. Perkampungan bekas kuli kontrak di
Rejang maupun di Lebong memiliki seorang kepala kampung dari Jawa. Meskipun
demikian kampung tetap berada di dalam pemerintahan marga.[10]
Pertumbuhan pemukiman-pemukiman bekas kuli kontrak di sekitar perkebunan telah
mengubah Curup, dari sebuah dusun kecil menjadi pusat perekonomian
daerah Rejang. Status Dusun Curup meningkat menjadi Pasar Curup dan dipimpin
oleh seorang datuk.
B. Kuli
dan Kolonisasi
B.1. Kolonisasi
Kuli di Lebong
Sebelum pemerintah
melaksanakan program kolonisasi, perusahaan-perusahaan
tambang telah memberikan sebagian tanah konsesi bagi kuli yang bersedia
menetap. Oleh sebab itu saat pemerintah membuka daerah kolonisasi di Lebong
maka tujuan kolonisasi bukan hanya untuk membuka lahan pertanian
tetapi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan tambang. Di
Lebong terdapat dua macam desa migran kuli, yaitu desa migran kuli
yang berdiri dengan bantuan pemerintah dan tanpa bantuan pemerintah. Desa
migran kuli yang dibantu pemerintah, misalnya Sukaraja, Sukabumi, dan
Kotamanjur, sedangkan desa migran kuli tanpa bantuan pemerintah, antara
lain Ladang Palembang, Kampung Jawa Baru,
Ajer Dingin, Lebong Supit.
Pemerintah
melakukan pencarian penduduk baru ke Pulau Jawa untuk menambah penduduk di desa
kolonisasi kuli. Misalnya, pada bulan Mei tahun 1911 pemerintah
mengutus orang Banten ke Pandeglang untuk mencari orang-orang yang bersedia
pindah ke Lebong. Penduduk baru yang berhasil dibawa berjumlah 77
orang dan ditempatkan di tiga desa migran kuli, Sukaraja, Sukabumi, dan
Kotamanjur. Kedatangan mereka menambah penduduk Desa Sukaraja, Sukabumi,
dan Kotamanjur sehingga penduduk di ketiga desa tersebut berjumlah 268 orang
pada tahun 1912. (Gambar. 2)
Di luar desa
migran kolonisasi, menurut laporan kontrolir Rejang Lebong, pada tahun 1912 di
Lebong terdapat sekitar 257 orang bekas kuli kontrak yang menetap.
Mereka berada di perkampungan
yang terletak di tanah milik perusahaan tambang, misalnya Ladang
Palembang, Kampung Jawa Baru, Ajer
Dingin, Lebong Supit, dan Ajer
Pulang. Sebagian lain, yaitu sekitar 20 orang bertempat tinggal di
kampung-kampung orang Lebong.[11]
Para bekas kuli kontrak yang menetap selain bekerja di perusahaan
tambang, juga berladang dan menjual berbagai produk pertanian, dan hasil
hutan, antara lain kayu ke perusahaan.
Ketiga desa
kolonisasi kuli yang mendapat bantuan pemerintah, yaitu Sukaraja, Kotamanjur,
dan Sukabumi berada dekat dengan perusahaan dan pusat pemerintahan di
Muara Aman.[12] Desa dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda bekas kuli
kontrak dan peserta kolonisasi yang didatangkan langsung dari Jawa.
Perkampungan terletak di dataran cocok untuk persawahan, sehingga mereka
selain bekerja sebagai kuli dapat bertani. Diantara ketiga desa tersebut, lahan
sawah beririgasi hanya terdapat di Kotamanjur, sedangkan lahan di Sukabumi dan
Sukaraja adalah sawah tadah hujan. Kebanyakan dari mereka mencari tambahan
penghasilan dengan bekerja di perusahaan, menjual kayu bakar, ataupun hasil
padi mereka.
Jumlah penduduk di
ketiga desa migran kolonisasi kuli dari tahun ke tahun mengalami peningkatan,
dari sekitar 282 orang pada tahun 1914 menjadi
496 orang pada tahun 1918. (Gambar. 6.3)
Akan tetapi
desa-desa migran ini mengalami permasalahan kekurangan penduduk wanita.
Misalnya, pada tahun 1918 jumlah penduduk wanita
dewasa hanya 113 orang, sedangkan penduduk laki-laki
dewasa berjumlah 245 orang. (Gambar. 6.4) Hal ini
menyebabkan angka kelahiran anak pun
rendah. Ketimpangan komposisi penduduk bertambah karena
banyak migran laki-laki yang masih lajang menikah dengan wanita Lebong.
Laki-laki migran setelah menikah meninggalkan desa kolonisasi dan menetap
di desa isteri. Oleh sebab itu
pemerintah di Bengkulu
mengeluarkan
kebijakan mengutamakan perekrutan wanita lajang untuk ditempatkan
di desa-desa kolonisasi di Lebong.
Pada tahun
1919 pemerintah membuka desa kolonisasi baru, yaitu Desa Magelang Baru.
Penduduk di Desa Magelang Baru berasal dari regentschap Magelang.
Dilaporkan bahwa pada tahun 1924 penduduk di Magelang
Baru berjumlah 147 orang dengan perincian: 64 orang
laki-laki, 43 orang wanita, dan 40 anak.[13]
Setelah ini pemerintah Bengkulu tidak menambah penduduk desa kolonisasi dengan
cara mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa, tetapi pemerintah
mengutamakan program kolonisasi bekas kuli kontrak yang sudah
berkeluarga. Misalnya, pada tahun 1924 pemerintah merekrut bekas kuli
dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong sebanyak 18 orang dan 12 migran spontan
yang datang atas biaya sendiri, [14]
untuk ditempatkan di Desa Magelang Baru. Meskipun demikian, pada tahun 1925
penduduk Desa Magelang Baru berkurang menjadi 136 orang, dengan
perincian: 59 orang laki-laki, 36 orang wanita, dan 41 anak..[15]
Hal ini disebabkan penduduk meninggal dunia ataupun mereka meninggalkan
desa kolonisasi.
Penduduk hidup
dari bertanam padi dan palawija, memelihara ternak: ayam dan bebek.
Di samping sebagai petani, mereka memiliki pilihan kerja lain, misalnya
bekerja sebagai kuli di Dinas Pekerjaan Umum ataupun bekerja pada perusahaan
tambang emas perak milik pemerintah di Tambang Sawah dan Lebong
Simpang.
B.2
Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di Tanah Konsesi Milik
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
Di bekas tanah
konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, sampai saat penelitian
berlangsung (tahun 2005), dihuni oleh bekas kuli dan keturunan kuli kontrak
dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Mereka adalah keturunan kuli kontrak
dan lahir di Bengkulu. Kebanyakan mereka pun bekerja sebagai kuli tambang, akan
tetapi hanya sebagian kecil bekas kuli perusahaan tambang yang masih hidup,
misalnya Sukarjo dan Jumat. Para keturunan kuli kontrak ini memberi nama dusun
dan desa mereka sesuai dengan nama tempat di perusahaan tambang. Misalnya,
mereka yang tinggal di bekas lokasi rumah sakit perusahaan menamai dusun mereka
Dusun Rumah Sakit, sedangkan mereka yang menempati bekas lokasi pemondokan kuli
orang Cina menamai dusun mereka Dusun Pondok Cina. Selain dusun-dusun di bekas
kompleks perusahaan tambang, keturunan kuli kontrak juga bertempat tinggal di
dusun yang telah lama dibuka di tanah milik perusahaan, misalnya Dusun Ladang
Palembang.
Di Dusun Ladang
Palembang terdapat satu keluarga keturunan kuli kontrak yang dapat memberi
keterangan tentang orangtua mereka, yaitu keluarga Sofyan. Ayah Sofyan bernama
Suwanda, seorang kuli kontrak berasal dari Cirebon.[16]
Suwanda berangkat menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar langsung ke agen
tenaga kerja. Pada sekitar tahun 1930-an dia berangkat sebagai kuli kontrak
untuk Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah habis kontrak, Suwanda
dan beberapa kawannya tidak pulang ke Jawa, melainkan mendirikan pemukiman di
lahan konsesi tambang milik Perusahaan Redjang-Lebong, yaitu di Ladang
Palembang. Ladang Palembang saat itu masih berupa hutan dan berpenduduk sedikit.
Mereka membuka ladang sambil tetap bekerja sebagai kuli bebas di
perusahaan tambang. Kemudian Suwanda menikah dengan Hindun, seorang kuli
kontrak wanita dan memiliki 12 orang anak, salah satunya bernama Sofyan.
(Gambar. 6.5)
Setelah Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup tahun 1940, Suwanda bekerja sendiri sebagai penambang tradisional di bekas lahan tambang milik perusahaan.[17] Suwanda bersama kawan-kawannya pergi menambang ke berbagai bekas penambangan, misalnya Lebong Simpang, Lebong Sulit[18] bahkan sampai ke Lebong Tandai. Hal ini disebabkan kandungan emas di Lebong Tandai lebih besar dibandingan dengan bekas penambangan lainnya. Mereka bekerja kelompok, sekitar delapan sampai 10 orang.
Setelah Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup tahun 1940, Suwanda bekerja sendiri sebagai penambang tradisional di bekas lahan tambang milik perusahaan.[17] Suwanda bersama kawan-kawannya pergi menambang ke berbagai bekas penambangan, misalnya Lebong Simpang, Lebong Sulit[18] bahkan sampai ke Lebong Tandai. Hal ini disebabkan kandungan emas di Lebong Tandai lebih besar dibandingan dengan bekas penambangan lainnya. Mereka bekerja kelompok, sekitar delapan sampai 10 orang.
Sofyan hanya
sempat sekolah sampai kelas lima Sekolah Rakyat yang
letaknya di desa Lebong Tambang.[19]
Setelah itu Sofyan mengikuti ayahnya
bekerja sebagai penambang tradisonal. Kemudian Sofyan menikah
dengan Aisyah, cucu dari seorang kuli
kontrak yang bernama
Rodiah dari Bogor. [20]
Dari hasil perkawinannya Sofyan memiliki lima orang anak. Tiga orang
anaknya bekerja menjadi petani,
di samping itu mereka juga
bekerja sebagai penambang tradisional.[21]
Selain itu, di
lokasi bekas kompleks perusahaan tambang masih dapat ditemui beberapa orang
keturunan kuli kontrak yang pernah bekerja sebagai kuli bebas di
perusahaan, misalnya Sukarjo dan Jumat. (Gambar. 6.6) Jumat
adalah anak dari kuli kontrak yang
bernama Kanta yang berasal dari Cimahi (Jawa Barat).[22]
Kanta berangkat kerja menjadi kuli kontrak, sekitar tahun 1920-an, dan
dipekerjakan sebagai kuli tambang di Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah
kontrak habis Kanta memilih menetap di Lebong Donok dan menikah dengan Marni,
seorang kuli kontrak di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.[23]
Marni dan Kanta memiliki 4 orang anak, yaitu Jumat, Sumi, Rasih, dan
Mikan. Kanta adalah kuli tambang dalam yang nasibnya seperti kebanyakan kuli
tambang dalam lainnya, Kanta terserang sakit TBC (tuberculose) dan meninggal
dalam usia relatif muda di bawah usia 50 tahun.
Sebagai anak kuli
tambang, Jumat bersekolah hanya sampai kelas 3 di sekolah desa.
Pada saat itu anak-anak
kuli tambang masih sedikit yang bersekolah,
satu kelas hanya berisi 20 anak laki-laki,
dan lima orang murid wanita.[24]
Setelah dewasa Jumat mengikuti jejak ayahnya menjadi kuli
tambang dan setelah Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup
Jumat bersama kawan-kawannya melanjutkan bekerja sebagai penambang tradisional.
Dari hasil pernikahannya Jumat memiliki 6 orang anak. Keenam anaknya
bertempat tinggal menyebar di berbagai daerah dan tidak satupun yang menjadi
penambang.
Sebelum tentara
Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, Perusahaan Tambang
Redjang-Lebong telah berhenti beroperasi dan sebagian kuli pindah kerja ke
Tanjung Enim dan Perusahaan Tambang Simau di Lebong Tandai, sedangkan sebagian
kuli lain tetap tinggal di area penambangan milik perusahaan. Mereka bekerja
bersawah, berkebun, dan melakukan penambangan di bekas area penambangan. Pada
saat tentara Jepang masuk ke Bengkulu perusahaan tambang
diduduki oleh tentara Jepang. Tentara mengangkut besi-besi, mesin perusahaan
dengan bantuan para kuli yang masih berada di sekitar perusahaan.[25]
Bekas kuli perusahaan diwajibkan bertanam padi (Oryza sativa L.) dan
jagung (Zea mays L.), hasilnya diserahkan pada tentara Jepang.
Selanjutnya, pada
masa revolusi kemerdekaan Indonesia (tahun1945-1950) tanah konsesi milik
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong diduduki oleh tentara Indonesia. Untuk
membiayai perjuangan mereka, para tentara menjual atap seng bekas pondok
kuli perusahaan kepada penduduk yang mampu. Saat terjadi nasionalisasi
perusahaan tahun 1950-an, tanah bekas Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang
berada di marga Suku IX secara resmi diambil alih oleh pemerintah
Indonesia.
Para bekas kuli
yang bertempat tinggal di bekas penambangan diberi kesempatan membeli
tanah dengan harga murah. Pembelian itu dimulai dari pengukuran tanah
pekarangan dan sawah dan selanjutnya untuk menebus surat tanah itu,
mereka membayar dengan dua setengah gram emas. Penggantian itu
tidak memberatkan karena para kuli dengan mudah bisa memperoleh emas tersebut
dengan cara menggali di bekas penambangan. Oleh karena itu, setelah
nasionalisasi perusahaan tambang ini, di sekitar bekas penambangan
milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
telah berdiri desa-desa migran bekas kuli.
Bekas kuli dan
keturunannya yang tinggal di sekitar penambangan selain hidup dengan bersawah,
mereka juga masih melakukan penggalian tambang di bekas lahan penambangan,
misalnya di Lebong Tambang dan Lebong Sulit. Bekas-bekas kuli tambang, misalnya
Sukarjo, Jumat, dan Sofyan masih tetap bekerja menambang emas di bekas lahan
penambangan di Lebong Tambang, Lebong Sulit di bekas konsesi tambang Perusahaan
Tambang Redjang-Lebong, bahkan di Lebong Tandai yang terletak di
Bengkulu Utara.
B.3. Kolonisasi
Kuli di Rejang
Sejak awal program
kolonisasi dilaksanakan pengusaha swasta Barat di
Rejang tidak keberatan dengan kolonisasi yang
akan diselenggarakan oleh pemerintah.[26]
Malahan, pengusaha perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij memanfaatkannya
sebagai penyedia tenaga kerja bagi perkebunan. Program
kolonisasi di Bengkulu
dapat terlaksana atas
perjuangan Kontrolir Rejang
D.G. Hooijer.[27]
Pada tahun 1908 percobaan kolonisasi dimulai di
daerah Rejang dengan bantuan dana dari para kepala Marga Selupu
Rejang, Merigi, dan Bermani Ilir. Migran kolonisasi yang datang pada
tanggal 1 Maret 1908, sebanyak 66 orang dewasa dan 56 anak-anak, [28]
yang ditempatkan di dekat perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij
berjumlah 26 orang dewasa dan 18 anak-anak. Para peserta kolonisasi selain
bertani, mereka bekerja sebagai kuli di perkebunan Algemeen Tabak
Maatschappij.
Migran kolonisasi
yang ditempatkan di dekat perkebunan sejak tanggal 3 Maret 1908 sudah harus
bekerja membersihkan lahan belukar muda yang dipenuhi alang-alang (Imperata
cylindrica L.) untuk dijadikan lahan perkebunan tembakau. Setelah itu,
lahan ditanami tembakau (Nicotania tabacum L.), tetapi penanaman
pertama ini mengalami kegagalan karena tanah yang belum cukup asam
sehingga belum siap untuk ditanami. Di samping berkebun tembakau, mereka
juga harus mempersiapkan lahan untuk membangun rumah dan memotong batang pohon
untuk dijadikan kayu bakar dan dijual pada penduduk asli, sehingga mereka
bisa mendapat penghasilan tambahan sebesar 50 sen/hari.
Pada bulan pertama
kedatangannya, migran mendapatkan jatah makanan, misalnya beras,
teh, garam, ikan, sabun, dan minyak. Di samping itu mereka mendapat uang
sebesar 25 sen/ minggu/kepala keluarga. Bulan berikutnya mereka hanya mendapat
jatah beras dan ikan karena keperluan lain sudah dapat dibeli sendiri
dari hasil menjual kayu ataupun bekerja di perusahaan. Setelah empat setengah
bulan kebun tembakau sudah dapat dipanen. Mereka menyetorkan daun
tembakau (Nicotania tabacum L.) ke perusahaan dan sebagai gantinya mereka
mendapatkan surat bukti yang dapat ditukarkan dengan bahan kebutuhan hidup
melalui Kontrolir. Pemerintah sengaja mengatur agar administratur
perkebunan tidak memberikan bayaran uang bagi daun tembakau dari para
migran karena dikhawatirkan mereka akan membelanjakan uang tersebut untuk
membeli barang yang tidak perlu. Uang kontan hanya dapat mereka terima apabila
mereka bekerja di perkebunan tembakau.
Saat kaum lelaki
mengurus kebun tembakau dan membuka lahan untuk berladang, kaum wanita dan
anak-anak bekerja di gudang perusahaan. Akan tetapi, dalam praktiknya
perusahaan kebun tetap mengalami kesulitan mendapatkan kuli karena migran
kolonisasi lebih suka berladang daripada kerja di perusahaan. Misalnya, setelah
lima bulan kedatangannya, migran orang Sunda yang mau bekerja di
gudang hanya tiga orang dan itu pun hanya untuk beberapa hari.
Kelangkaan kuli
terutama terjadi pada bulan Agustus ketika mereka sibuk membersihkan ladang
untuk menanam padi. Pada saat itu tidak ada migran kolonisasi yang
bekerja di gudang, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak. Setelah masa
tanam, biasanya para wanita dan anak-anak yang berusian
sembilan sampai 14 tahun kembali bekerja di gudang. Dalam satu minggu pekerja
wanita dan anak bisa mendapatkan penghasilan sebesar f. 6,90. Biasanya
migran laki-laki hanya bekerja di perusahaan selama dua hari dengan upah
sebesar f. 1, setelah itu mereka kembali bekerja di ladang.
Enam bulan setelah
kedatangan migran di Dusun Air Sempiang telah berdiri 15 rumah
migran kolonisasi dan lahan seluas sepertiga bau sudah ditanami padi ladang.[29]
Mereka telah memiliki uang sendiri untuk membeli padi seharga f.
2,50/pikul. Untuk membuka persawahan, mereka harus membangun
saluran irigasi terlebih dahulu. Selain bertanam padi, migran menanami
pekarangannya dengan sayuran. Hasil sayur mereka jual ke Pasar Kepahiang.
Berdasarkan
pengalaman keberhasilan menggabungkan kolonisasi kuli dan pertanian itu
maka pemerintah Bengkulu lebih memilih merekrut bekas kuli kontrak
daripada mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa. Kolonisasi model ini
adalah salah satu cara untuk mengatasi kekurangan kuli di perusahaan-perusahaan
swasta Barat di Bengkulu. Dalam rangka menjalankan program kolonisasi bagi
bekas kuli kontrak, pemerintah memberikan pinjaman uang sebesar f.
15/kepala keluarga bagi bekas kuli yang bersedia menetap.
Program kolonisasi
kuli yang dilaksanakan pada tahun 1920 diikuti 19 orang bekas
kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perkebunan Kopi Soeban
Ajam. Mereka ditempatkan di desa-desa migran kolonisasi yang telah ada di
daerah Rejang dan Lebong. Selanjutnya, pada tahun 1921 sejumlah orang bekas
kuli kontrak dari perkebunan tembakau Nederlandsch-Indie
Landbouw Syndicaat (N.I.L.S.), dan Perkebunan Ajer Sempiang yang
mengikuti kolonisasi ditempatkan di areal persawahan Lubuk Blimbing (Marga Suku
Tengah Kepungut-Rejang). [30]
Desa migran Lubuk Belimbing terletak di tanah beririgasi yang disiapkan
oleh Dinas Pekerjaan Umum, sehingga migran tidak mengalami kesulitan menggarap
lahan. Tujuan pembukaan desa kolonisasi ini adalah para migran dari Jawa
dapat memberi contoh bagi penduduk pribumi dalam menggarap sawah.[31]
Pembukaan desa
kolonisasi bekas kuli Lubuk Belimbing menelan biaya f. 16.000 untuk
membangun saluran irigasi. Akan tetapi, program ini gagal karena saluran
irigasi tidak dapat berfungsi baik. Akibat kesulitan hidup di desa
kolonisasi Lubuk Belimbing, pada tahun 1923 banyak penduduk
meninggalkan desa. Sampai dengan tahun 1928 areal persawahan yang dibuka
tahun 1923 belum menghasilkan padi yang mencukupi untuk hidup sehingga
mereka masih harus berladang. Di samping itu, mereka hidup dari
hasil kebun
kopinya.[32] Oleh sebab itu, jumlah penduduk pada tahun 1928 makin
berkurang, yaitu tahun 1921 Desa
Lubuk Blimbing berpenduduk sebanyak 94 orang, pada tahun 1928
desa hanya dihuni 60 orang karena sebagian penduduk pindah ke desa
kolonisasi lain.[33]
Selain itu,
masih banyak bekas kuli kontrak yang menetap dan membuka pemukiman
baru tanpa bantuan pemerintah. Misalnya, Desa Suro Muncar (Pulau Geto), Desa
Pekalongan (Merigi Kelubak). Desa Pekalongan adalah desa-desa yang
didirikan atas inisiatif bekas kuli kontrak dan migran spontan dari Pulau Jawa
dengan cara meminta izin untuk mendapatkan tanah pada kepala marga setempat.
Oleh karena mereka penduduk pendatang, maka diwajibkan membayar uang yang
disebut “Sawah Bukit” ke kas marga [34]
dan dengan sendirinya desa ini tergabung dalam ikatan marga dan
mereka mempunyai hak dan kewajiban sama dengan penduduk asli. Menurut laporan
kontrolir Rejang, pada tahun 1928 di Rejang terdapat sekitar 29 desa yang
dibuka atas inisiatif para bekas kuli kontrak. Desa-desa ini terdapat di Marga
Merigi, Desa Pekalongan di dekat Desa Suro Muncar dan Pulau
Geto, Desa Karanganyar yang terletak di dekat Kepahiang, dan
Kampung Jawa di Curup.[35]
B.4 Kehidupan
Bekas Kuli Kontrak di Perkebunan Soeban Ajam
Bekas lahan
Perkebunan Soeban Ajam, pada saat penelitian ini berlangsung (tahun 2005) dihuni
oleh orang-orang Jawa, Rejang, dan suku lainnya. Komposisi penduduk Desa Suban
Ayam tahun 2005 adalah 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari
macam-macam suku. [36]
Orang Jawa di Desa Suban Ayam pun tidak semua merupakan keturunan kuli kontrak
perkebunan, karena pada tahun 1960an desa menerima transmigrasi pindahan dari
Pekik Nyaring (Bengkulu Utara), dan transmigrasi swakarsa
dari Bengkulu Utara.[37]
Keturunan kuli kontrak perkebunan dan pernah bekerja di perkebunan, hanya
bersisa sekitar 4 orang, antara lain Rohid dan Husen.
Rohid, adalah anak
seorang kuli kontrak asal Subang yang bernama Ampai. Ampai sebelum
bekerja dan menetap di Suban Ayam, selalu berpindah-pindah kerja dari
satu perkebunan ke perkebunan lain. Dimulai dari Jawa, Ampai berangkat kerja
menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek.[38]
Pada mulanya Ampai menjadi kuli kontrak karena bujukan seorang werek.
Werek menawarkan upah sekitar f.1/hari untuk bekerja di perkebunan
Sumatera. Hal ini menarik bagi remaja yang belum memiliki pekerjaan. Akhirnya
Ampai mendaftar menjadi kuli kontrak dan dipekerjakan di sebuah perkebunan di
Aceh.
Selama Ampai
bekerja sebagai kuli kontrak tidak pernah mengalami kekerasan fisik
meskipun upah tidak sebesar yang dikatakan oleh werek. Setelah
habis masa kerja Ampai tidak memperpanjang kontrak, dia pulang ke Jawa.
Sesampai di Jawa Ampai mendaftar ke agen tenaga kerja dan diberangkatkan
sebagai kuli kontrak untuk perkebunan di Deli. Akhirnya, pada tahun
1925 Ampai bekerja sebagai kuli kontrak di Perkebunan Soeban Ajam. Selanjutnya,
dia menikah dengan seorang kuli kontrak wanita perkebunan Suban Ajam.
dan memiliki anak bernama Rohid.[39]
Oleh karena kedua orangtuanya bekerja sebagai kuli, Rohid bersama
anak-anak lain diasuh oleh seorang babu yang disediakan perusahaan. Saat
berumur kurang lebih 12 tahun Rohid mulai bekerja di perkebunan.
Rohid bersama
beberapa anak bekas kuli kontrak yang menetap di sekitar perkebunan, bekerja
menjadi penyadap karet. Upah yang diterima tergantung dari hasil getah yang
didapat setiap harinya. Para penyadap karet mulai pukul 04.00 sampai pukul
09.00 menyadap karet, setelah itu mereka pulang ke rumah untuk makan.[40]
Baru pada pukul 12.00 mereka kembali ke kebun untuk mengambil getah hasil
sadapan. Berbeda dari para kuli kontrak, kuli-kuli harian tidak mendapatkan
santunan dari perusahaan. Sebagai kuli bebas, tentu saja Rohid
tidak memperoleh fasilitas dari perkebunan, misalnya pemondokan,
perawatan rumah sakit, atau memperoleh pensiun dari perusahaan. Dalam sehari,
seorang kuli bisa mendapatkan kurang lebih 15 liter getah dan mendapatkan
upah sebesar 45 sen.[41]
Setelah dewasa,
Rohid menikah dengan Painah dari Desa Tangsi Baru di Perkebunan Kaba
Wetan. Painah juga anak seorang kuli kontrak. Ayah Painah bekerja di
Perkebunan Kaba Wetan yang kemudian setelah habis masa kontraknya menetap
di lokasi perkebunan dan menjadi kuli bebas, sedangkan isterinya berhenti
menjadi kuli kontrak dan bekerja sebagai penjual makanan di lokasi perusahaan. [42]
Demikian halnya dengan Rohid dan Painah, setelah menikah Rohid tetap bekerja di
perkebunan dan isterinya menjadi penjual makanan di lokasi Perkebunan Soeban
Ajam, seperti yang dilakukan oleh ibunya.
Bekas
kuli kontrak lain yang
menetap di lahan milik Perkebunan
Soeban Ajam adalah Anirang.[43]
Anirang yang berasal dari Banten berangkat menjadi kuli kontrak sekitar tahun
1920-an. Anirang bekerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek
dan ditempatkan di Perkebunan Dempo. Setelah kontrak habis, Anirang
mendaftar lagi menjadi kuli kontrak dan ditempatkan di Perkebunan Soeban Ajam.
Setelah kontrak habis Anirang menetap di lahan perkebunan dan tetap
bekerja menjadi kuli bebas. Kemudian Anirang menikah dengan Sawinah dan
memiliki seorang anak bernama Husen. (Gambar. 6.7)
Pada tahun 1941
Perkebunan Soeban Ajam tutup, kebanyakan kuli perkebunan pindah kerja ke
Perkebunan Kaba Wetan, termasuk Anirang. Di perkebunan Kaba Wetan
Anirang menjadi mekanik pabrik, dan menjadi mandor pada pembangunan
jalan perkebunan. Sekitar setahun bekerja, Anirang meninggalkan perkebunan,
selanjutnya dia menetap di desa migran Permu. Pada tahun 1943, saat
tentara Jepang menduduki Perkebunan Soeban Ajam, Anirang pulang ke Suban
Ayam.
Pada saat itu
kebun-kebun kopi dibongkar dan diganti tanaman jagung (Zea mays L.) dan
jarak (Ricinus communis L.). Para bekas kuli perkebunan dipekerjakan oleh
Jepang untuk menanam jagung dan rami (Boehmeria nivea L.). Perkebunan
dibagi menjadi dua, yaitu separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan
afdeeling Pondok Seng (Sambirejo) ditanami jarak, jagung, dan rami,
sedangkan separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Kali
Padang hanya ditanami jagung. Apabila seorang kuli dapat menyetor jagung
3 ton/sekali panen, maka akan dibebaskan dari kerja paksa, sedangkan mereka
yang tidak sanggup akan dibawa Jepang untuk ikut kerja paksa.[44]
Setelah Indonesia
merdeka, perkebunan diambil alih oleh pemerintah RI, dan pemerintah
membagikan tanah perkebunan kepada bekas kuli perkebunan dengan
pembayaran ganti rugi yang murah.[45]
Desa-desa pun terbentuk, misalnya Desa Kali Padang, Air Duku, dan Suban Ayam.
Masing-masing desa memiliki kepala
desa sendiri, dan Anirang diangkat menjadi kepala desa pertama
Desa Suban Ayam.[46]
Selanjutnya, pada tahun 1946 diadakan pemilihan kepala desa, Paimun, seorang
bekas kuli kontrak yang menetap di perkebunan Soeban Ajam terpilih sebagai
kepala desa. Sampai tahun 2005 desa Suban Ayam telah memiliki 10
orang kepala desa, kebanyakan orang Jawa. [47]
C.
Perubahan Politik dan Nasib Kuli di Perkebunan Kaba Wetan
Nasib bekas kuli
bekerja di Perkebunan Kaba Wetan berbeda dengan mereka di Suban Ayam maupun di
Lebong Donok. Mereka dapat menempati lahan bekas perusahaan dengan membayar
ganti rugi yang murah karena setelah Indonesia merdeka perusahaan tidak
dioperasikan lagi. Akan tetapi bekas kuli Perkebunan Kaba Wetan mengalami
sengketa tanah setelah berhasil mengambil alih lahan perusahaan. Hal ini
disebabkan setelah Indonesia merdeka perusahaan dioperasikan kembali, sehingga
pemerintah mengambil kembali lahan perusahaan yang telah diduduki oleh para
bekas kuli. Di lahan bekas perkebunan berdiri desa-desa yang dihuni oleh
keturunan kuli perkebunan, antara lain Kolonisasi Air Sempiang yang sekarang
bernama Kampung Bogor dan perluasan dari Kampung Bogor diberi nama Kampung
Babakan Bogor, Air Sempiang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lambou,
Barat Wetan, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren. Diantara keturunan kuli
kontrak tersebut masih terdapat beberapa orang bekas kuli perkebunan, misalnya
Jamal dan Maeran.
Jamal, (Gambar.
6.8) adalah salah satu kuli kontrak periode terakhir sebelum
Perkebunan Kaba Wetan jatuh ke tangan tentara Jepang. Jamal yang berasal dari
desa Salam (Yogyakarta), sebelum berangkat menjadi kuli kontrak bekerja
sebagai pemain ketoprak keliling yang tidak memiliki
tanah.[48] Selanjutnya,
Jamal mengikuti pamannya yang sudah.bekerja di Perkebunan Kaba
Wetan bekerja sebagai kuli di Perkebunan Kaba Wetan dengan kontrak selama
tiga tahun. Pada tahun 1935 Jamal beserta calon kuli lainnya
diberangkatkan naik kereta api dari Yogyakarta menuju Jakarta,
kemudian mereka diangkut dengan kapal menuju Bengkulu.
Sampai di Pelabuhan Bengkulu mereka dijemput truk milik perusahaan perkebunan
dan dibawa ke Perkebunan Kaba Wetan di Kepahiang
Jamal
menandatangi kontrak kerja untuk masa 3
tahun dengan bayaran 3000 rupiah uang putih (f. 30)[49] dan mendapatkan upah harian
sebesar 30 sen.[50] Akan tetapi, upahnya setiap
hari dipotong sebanyak satu sen untuk biaya makan. Setiap bulan
perusahaan memberikan bahan makanan berupa beras, minyak, gula dan lain-lain.
Selain upah, perusahaan juga memberi fasilitas berupa pemondokan kuli; alat
kerja untuk berladang, misalnya pacul
dan parang; penanganan kesehatan gratis di rumah sakit
perusahaan.[51] Saat bekerja menjadi
kuli, Jamal mendapatkan peningkatan status menjadi mandor kecil dan
kemudian meningkat lagi menjadi mandor besar.
Penghapusan poenale
sanctie, bukan berarti tidak terjadi lagi kekerasan terhadap kuli. Misalnya,
menurut cerita yang berkembang pada kalangan kuli di Perkebunan Suban
Ayam, di afdeeling Kali Padang (Suban Ayam) pernah ada kuli digantung
sampai mati oleh mandor besar Musa (orang Banten). [52]Di samping itu, hukuman ringan pada kuli
yang mangkir kerja oleh mandor masih sering terjadi. Pengalaman menjadi
kuli kontrak ini tidak berlangsung lama. Oleh karena nasib Jamal dan para
kuli kontrak lainnya di Perkebunan Kaba Wetan berubah saat tentara
Jepang mengambil alih perkebunan.
Pada tanggal
23 Februari 1943 Keresidenan Bengkulu secara resmi jatuh ke tangan Jepang dan
dengan gerak cepat tentara Jepang menuju ke dataran tinggi Rejang dan Lebong.[53] Rejang Lebong memiliki posisi strategis
bagi Jepang, sebagai daerah lumbung beras dan pusat perusahaan perkebunan dan
pertambangan. Perusahaan-perusahaan milik pengusaha swasta Barat diambilalih.
Nasib perusahaan beserta kuli yang ditinggalkan Belanda tidak sama satu dengan
yang lain. Perkebunan yang tidak menguntungkan dirombak menjadi kebun
tanaman pangan, sedangkan perkebunan yang menguntungkan tetap
dipertahankan. Misalnya, pada pertengahan April 1943 Perkebunan teh Kaba
Wetan dibongkar karena hasil teh tidak dapat diekspor ke luar negeri.[54] Selanjutnya, para bekas kuli dikerahkan
untuk mengganti dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang (Arachis
hypogeae L.), dan umbi-umbian.
Selama masa
pendudukan Jepang, kegiatan perkebunan terhenti. Para bekas kuli
dibiarkan mengambil alih tanah perkebunan. Jamal mendapatkan kesempatan
memperoleh tanah dan dia mendirikan rumah dan membuka ladang
di lahan perkebunan.[55] Sejak itu,
para bekas kuli
memiliki tanah pekarangan dan
lahan pertanian. Di bekas lahan perkebunan itu para bekas kuli
mendirikan rumah yang di sekitarnya ditanami jagung dan sayuran.
Kehidupan menjadi sulit karena mereka tidak mendapatkan upah kerja lagi. Mereka
hidup hanya dari hasil pertanian yang hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Kehidupan semacam ini berjalan terus sampai Indonesia
merdeka.
Pada tahun 1949
dilaksanakan perjanjian Konferensi Meja Bundar yang berisi antara lain bahwa
perkebunan swasta asing harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah,
sedangkan perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda diambil
alih oleh pemerintah Republik Indonesia, termasuk perusahaan milik swasta asing
yang sudah tidak beroperasi.[56] Perkebunan Kaba Wetan sejak tahun
1950, diputuskan menjadi milik pemerintah Indonesia, dan pelaksanaannya
diserahkan kepada daerah masing-masing. Oleh karena setelah merdeka Bengkulu
dimasukkan dalam pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan, maka pengelola
perkebunan adalah pemerintah daerah di Palembang. Selanjutnya, Perkebunan Kaba
Wetan dikelola oleh perusahaan swasta N.V. Kenawen Palembang,[57] Saat itu keadaan tanaman teh (Camellia
sinensis L.) di perkebunan sudah rusak. Sebagian lahan perkebunan
telah menjadi lahan pertanian dan terdapat rumah-rumah yang dihuni oleh bekas kuli
perkebunan.
Sebelum perkebunan
dapat berfungsi dengan baik pada tahun 1957 meletus peristiwa PRRI. Saat itu
pada pertengahan bulan Agustus 1957 Mayor Nawawi beserta pasukannya yang
menjadi pendukung gerakan PRRI di Sumatera Barat dan melakukan desersi ke
Bengkulu. Pada saat pasukan melewati areal perkebunan, mereka melakukan
pembakaran pabrik dan kebun, dan membunuh sekitar 11 orang di Kaba Wetan.
Setelah peristiwa PRRI ini seluruh aktivitas perkebunan teh terhenti.
Dalam masa vakum ini lahan perkebunan dijadikan kebun dan sawah oleh penduduk
setempat dengan status hak pakai yang artinya penduduk hanya
memiliki hak untuk menggunakan lahan, tidak dapat memilikinya, ataupun
menjualnya.
Selanjutnya, pada
tahun 1986 mantan Gubernur Bengkulu Abdul Chalik (Gubernur Bengkulu 1974-1979)
berencana membuka kembali perkebunan Kaba Wetan. Saat perkebunan didata
ulang hanya lahan seluas 1.900 ha dapat digunakan karena selebihnya adalah
dataran perbukitan. Akhirnya ditetapkan tanah seluas 1.000 ha diserahkan kepada
P.T. Sarana Mandiri Mukti sebagai lahan perkebunan. Dari lahan seluas 1.000
ha, kurang lebih 250 ha. terdapat lahan milik empat desa,
yaitu Desa Tangsi Baru, Desa Tangsi Duren, Desa Barat Wetan, dan Desa Aer
Sempiang, pekuburan umum, jurang, sungai, dan jalan, sehingga kegiatan
pertama dari perusahaan adalah memberi ganti rugi untuk tanaman penduduk.
Pada masa
peralihan ini terjadi ketegangan antara penduduk dan perusahaan, karena
masalah ganti rugi yang dirasa terlalu kecil. Akhirnya pada pertengahan tahun
1989 warga mulai pindah ke dalam batas-batas desa, dan pada sekitar tahun
1990-an perusahaan perkebunan mulai beroperasi. Di bekas lahan Perkebunan Kaba
Wetan ini sejak tahun 1990-an terdapat dua perkebunan teh : Perkebunan
Teh Trisula milik pengusaha Taiwan dan Perkebunan Teh Sarana
Mandiri Mukti milik Pemerintah Daerah Bengkulu. Kedua perkebunan
ini lebih suka mempekerjakan orang dari Jawa dibandingkan dengan pekerja
orang Rejang, karena pekerja orang Jawa dan orang Sunda dianggap lebih
tekun bekerja.[58]
Orang-orang dari
Jawa yang bermukim di Barat Wetan dan Babakan Bogor kebanyakan bekerja di
Perkebunan Trisula, sedangkan orang-orang dari Jawa yang berada di
desa Air Sempiang, yang lebih dikenal dengan sebutan desa Lambou, Tangsi Baru,
dan Tangsi Duren bekerja di Perkebunan Sarana Mukti Mandiri .[59]
Para bekas kuli dan keturunannya yang menetap di Bengkulu, memiliki
kehidupan baru yang berbeda-beda. Misalnya, desa-desa migran kuli di bekas
penambangan Lebong Donok merupakan pemukiman homogen yang hanya dihuni
oleh orang Jawa dan orang Sunda keturunan kuli tambang. Kebanyakan dari
keturunan kuli tambang masih bekerja sebagai penambang.
Desa migran
Suban Ayam, yang berada di bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam,
merupakan pemukiman yang dihuni oleh bermacam-macam suku, selain
keturunan kuli perkebunan. Hal ini dapat terjadi karena letak desa yang
berdekatan dengan desa penduduk asli Rejang dan berada di sepanjang jalan
propinsi. Kebanyakan keturunan kuli perkebunan bekerja sebagai petani, baik
bertanam padi maupun sayuran.
Desa-desa
migran kuli yang berada di Perbukitan Kaba, sangat berbeda dari
desa migran dari Jawa lainnya. Desa-desa mereka terletak di perbukitan dan
terpisah jauh dari desa-desa penduduk asli, sehingga kehidupan desa
migran kuli ini terkesan eksklusif. Pada saat perkebunan Kaba Wetan
berhenti berproduksi, terjadi peralihan status dari kuli kontrak menjadi petani
bebas. Setelah bertahun-tahun mereka dan keturunannya hidup bertani dan
berkebun, tetapi saat perkebunan teh pada tahun 1990-an diaktifkan
kembali, banyak dari keturunan kuli yang menjadi pekerja
perkebunan. Karena hidup bertani dan bekerja sebagai pekerja upahan di
perkebunan lebih baik daripada hanya bekerja sebagai petani.
( Dikutip dari dan
seizin Dr. Lindayanti. M.Hum “ (BAB VI) KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN
KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU 1908-1941”
Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah
Mada 9 Agustus 2007) Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu
dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra
Universitas Andalas Padang 1995. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI
BENGKULU 1927-1988”
DAFTAR PUSTAKA
1.
A.M.P.A.
Scheltema, “Eenige gegevens betreffende den economischen toestand in de
regentscahppen, van waar in 1928 de meeste contractkoelies vertrokken” dalam
Koloniale Studien, dertiende jrg. (Weltevreden: G. Kolff & Co., 1929), hlm.
411-429
2.
Ibid.,
hlm.
412
a.
Berdasarkan
data dari Kantor Pusat Statistik bekerja sama dengan Kantor Perburuhan (Kantoor
van Arbeid) dan dari Kontrolir ketenagakerjaan ( Wervingscontroleurs), tahun
1928 dalam Indisch Verslag, 1930, hlm. 53
3.
Mgs.
17 Juni 1911 no. 1476 afs. No: 1486/20. Adanya perkawinan antara laki-laki dari
Jawa dengan perempuan Rejang maka hak dan kewajiban laki-laki dari Jawa itu
akan sama dengan warga Rejang asli.
4.
Disebutkan
bahwa ongkos mendatangkan kuli setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk
mengolah 1 ton batuan tambang, Verslag van de Directie der
Mijnbouwmaatschappij Ketahoen, 1905.
5.
Menurut
laporan kontrolir onderafdeeling Rejang W.A. de Laat de Kantoor, orang
Rejang belum terbiasa memenuhi kebutuhan hidup dengan
kerja upahan. Mereka beranggapan pekerjaan semacam ini memalukan
dan tidak terhormat. Akan tetapi hal ini tidak berlaku, apabila mereka bekerja
di perkebunan milik orang pribumi yang dibayar dengan cara bagi hasil. Mvo.
Onderafdeeling Redjang, KIT. 946, hlm. 44
6.
Ibid.
Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476, Afschrift No. 1486/20
7.
Ladang
Palembang sampai sekarang dihuni oleh orang Sunda keturunan dari kuli
kontrak yang dahulu bekerja di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
8.
Mgs. 17
Juni 1911, loc cit.
9.
Ibid.
10. J.
van Breda de Haan, “Kolonisatie op de Buitenbezittingen” dalam Teysmania,
(Batavia: G. Kolff & Co., 1915), hlm. 415
11. Kotamanjur,
letaknya 3 ½ pal (5,25 km) dari Muara Aman, Sukabumi letaknya 5 pal (7,5 km)
dari Muara Aman, dan Sukaraja yang berpenduduk orang Sunda letaknya hanya 1 ½
pal ( 3 km) dari Muara Aman
12. Koloniaal
Verslag tahun 1925
13. Ibid
14. Koloniaal Verslag 1926
15. Wawancara dengan Sofyan, anak Suwanda
kuli kontrak Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa
Ladang Palembang, tanggal 9 April 2005
16. Wawancara
dengan Sofyan, anak Suwanda kuli kontrak Perusahaan Tambang Rejang
–Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang, tanggal 9 April 2005
17. Dari
Desa Ladang Palembang menuju penambangan Lebong Sulit hanya dapat ditempuh
dengan jalan kaki selama satu malam perjalanan
18. Jarak
Ladang Palembang dan Lebong Tambang sekitar dua km
19. Rodiah
, pada tahun 2005 telah berumur sekitar 95 tahun dan masih hidup, akan tetapi
sudah tidak dapat melihat dan mendengar. Menurut cucunya, Aisyah, Rodiah mulai
bekerja menjadi kuli kontrak wanita di Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada
sekitar tahun 1925. Rodiah menikah dengan seorang kuli kontrak dan menetap di
desa Ladang Palembang.
20. Pada tahun 2000 salah seorang anak Sofyan
meninggal dunia karena kecelakaan kerja sewaktu menambang emas di Gunung
Pongkor (Bogor).
21. Wawancara dengan Jumat, Pondok Cina-Muara
Aman, tanggal 10 April 2005
22. Marni
berasal dari Purworejo (jawa Tengah). Marni menjadi kuli kontrak
karena diajak adik perempuannya yang juga bekerja di perusahaan
tambang dan suami adiknya adalah jurutulis di kantor lobang.
23. Wawancara
dengan Jumat, Pondok Cina (Muara Aman), tanggal 10 April 2005
24. Wawancara dengan Sukarjo, Lebong Tambang
(Muara Aman), tanggal 9 April 2005
25. Hal
ini berlainan dengan asumsi umum bahwa para pemilik
perkebunan tidak setuju dengan kolonisasi karena dianggap dapat
menyebabkan kesulitan dalam perekrutan buruh dan
akan menghabiskan tenaga kerja orang dari Jawa. Patrice Levang, op cit, hlm.36
26. Percobaan
kolonisasi di Kepahiang disetujui oleh Menteri Jajahan Idenburg dan
merupakan perkecualian dengan alasan karena tanah yang akan digunakan sebagai
percobaan kolonisasi sangat subur maka Menteri tidak keberatan asal dalam
pelaksanaan tidak menyimpang dari tujuan program emigrasi, Bijlagen 4
Januari 1909 no. 23/9 dalam BT 25 Januari 1909 no. 17
27. Afs. No 158/20 10 September 1908
28. Afs.
No 158/20 loc cit.
29. Mvo.
Onderafdeeling Redjang, KIT 946, op cit., hlm. 3
30. Ibid., hlm. 2.
31. Ibid.,
hlm. 3
32. Mvo.
Residentie Benkoelen, 1932, KIT 202, op cit., hlm. 67
33. Mvo.
Onderafdeeling Redjang, 1928, KIT. 936, op cit., hlm. 3
34. Ibid.,
hlm. 2
35. Wawancara dengan Achmad Cholil, kepala desa
Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
36. Wawancara dengan Achmad Cholil
37. Wawancara
dengan Rohid, anak dari Ampai dan bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam, di desa
Suban Ayam tanggal 3 April 2005
38. Wawancara
dengan Rohid, bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di desa
Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
39. Wawancara dengan Paimin, bekas kuli harian
Perkebunan Soeban Ajam, Tritunggal Curup, tanggal 5 April 2005
40. Wawancara dengan Rohid, ibid.
41. Wawancara
dengan Painah, bekas kuli kontrak wanita dari Perkebunan Soeban Ajam dan
menetap di Desa Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
42. Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam,
tanggal 5 April 2005
43. Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam,
tanggal 5 April 2005
44. Sejak tahun 1968 lahan perkebunan Soeban Ajam
telah disertifikatkan menjadi hak milik penduduk.
45. Ibid.
46. Penduduk
Suban Ayam tahun 2005 adalah: 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10%
campuran dari macam-macam suku. Wawancara dengan kepala desa Suban Ayam
Achmad Cholil, tanggal 5 April 2005
47. Wawancara
dengan Jamal, bekas mandor perkebunan Kaba Wetan sehingga menetap di Air
Sempiang-Kepahiang, tanggal 1 April 2005
48. Wawancara dengan Maeran, bekas kuli
kontrak Perkebunan Kaba Wetan, Desa Barat Wetan, tanggal 3 April 2005
49. Upah seorang kuli kontrak wanita sebesar 25
sen/hari dan dipotong sebanyak 1 sen untuk biaya makan, Wawancara dengan
Jamal, bekas kuli kontrak Perkebunan Kaba Wetan, Desa Air Sempiang,
tanggal 3 April 2005
50. Rumah sakit perusahaan untuk penyakit ringan
terletak di afdeeling Tngsi Baru, sedangkan kuli yang menderita penyakit berat
dikirim ke Rumah Sakit Pusat Waringin Tiga.
51. Wawancara dengan Rohid, anak kuli kontrak
Perkebunan Soeban Ajam, Desa Suban Ayam, tanggal 7 April 2005
52. Kementerian Penerangan, Propinsi
Sumatera Selatan, 1955, hlm. 168
53. Perjuangan Rakyat Tanah Rejang, Sebuah Fragmen
Perjuangan Fisik Rakyat di Kota Curup dan Sekitarnya, (Pemerintah Kabupaten
Rejang Lebong, 2000), hlm. 22
54. Pada tahun 1953 desa Air Sempiang
diakui secara resmi oleh pemerintah dan jamal dipilih sebagai kepala desa yang
pertama di desa Air Sempiang. Kepala desa Air Sempiang baru diganti pada tahun
1993 dan penggantinya adalah anak dari Jamal.
55. Karl.
J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan melawan Petani (terj.),
56. (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hlm. 49
57. Wawancara dengan Wakun Karyo, desa Tangsi Baru
(Kaba Wetan), tanggal 2
58. April 2005
59. Wawancara
dengan Wakunkaryo, di desa Tangsi Baru, tanggal 2 April 2005
60. Wawancara,
Ibid.
Langganan:
Postingan (Atom)