Minggu, 14 September 2008

Umek Keme Neak Kota Donok

Rara Emeliana Prahana

Rara Emeliana Prahana

Rumah Tua di Kota Donok

Danau Tes

jurnalist

sajak 20 Surat Cinta

Sajak Naim Emel Prahana
20 Surat Cinta
(padamu Tuhan)

I
Di balik tetes hujan
kusatukan kata
menuju gelombang menyapa bumi
dalam pelayaran di separuh bulan di siang hari sungai menelanjangi
dada diterik matahari
mimpi yang mengalir, berguling-guling
di antara desah kaki sesampai di tempatnya
seperti matahari dan cahayanya
saat mata kita membaca guratan
jalan nafas dan teriak
sesama pencuri
tetangga berebut dendam dan iri
mematai dengki
mengikuti jejak ambisi
di jalanku jalan siapa saja
inginku di jalan-Nya
meraih yang terakhir kalinya

sambil menggenggam angin
kucabut ilalang yang takut
melempar kalut,
kerut,
keluh,
kesah
pada catatan waktu tak disimak
lalu jadi ombak gelisah rindu tak berumah
terlukis di wajah, tapi rupa siapa
di balik ketinggian hati ini?

II
sapa tinggal seuntai
ditanya kepada siapa-siapa
semua yang memandang bergeser
batu yang hitam kelam
kudiami jua tanah
banyaknya kelahiran dan
kemiskinan ada di mana-mana
itulah kandang kita sekarang

aku pernah mendengar orang berucap :
tangan berulang
- menggapai
- diam dalam
- tubuh,
- luluhkan teguh
- di rapuh aliran
- di sungai-sungai
- menuju muara pembawa
- kata-kataku.

III
Tuhan, jalan ciptaMu yang satu
ketika sampai bumi berakar banyak
bersatu diraut bulan bintang
duka di ombak laut dan pantai
tak selesai dieja tulisan alam
timbul tenggelam di hati
jalanMu sering dilewatkan
waktu yang dibuang dan dilupakan

kulukai waktu dunia
menimbang penawaran
sebentar lagi kematian datang
menggugat hutan pribadi
benang kusut politik kusamnya cinta
melingkar di kediaman kita
ini tanah siapa,
siapa yang merebutnya
yang selalu datang
yang kembali datang
yang sedang pulang
yang sudah bertandang
orang-orang miskin
seperti aku dihempas ombak
dalam irama pembangunan?

IV
Sesekali kurebut malam
mencariMu dalam hiruk pikuk
lelah dan tersudut
rasa terbakar jiwa tak berdaya
menempatkan waktu
di hamparan status
dikemudi kapal di pelataran kampung
anak-anak berkaki telanjang
selalu dalam catatan harian ini.

Cita, cinta dan mimpi
mencari diri mencari ilmu
melankolis di sudut-sudut hunian
mengatakan; aku mengorbankan diri
meninggalkan ketenangan kampung
membina kebinasaan di sini
menjadi perambah kaum kumuh
dalam kecamuk filosofi gneuthi setion
diri
pribadi
kepribadian
berselingkuh di sajadah
malam yang terus membuka pintunya
bergema suara di auditorium kampus
dengan membelah darat
yang meresahkan air samudera
meliarkan angin jadi puting beliung
yang telah terbuka
sulit dilewati
apalagi pintu yang tertutup
menjauhkan diri dariMu
di balik kata ucap yang pandai
memainkan kata-kata
biarkan aku diam di waktu
walau lama kunikahi.

V
Hamba tak berdaya atas diri sendiri
sebelum Kau menyuruh kembali
kutulis puisi ini
dalam bait-bait panjang
desah menatap tempat titik pendaratan
Kau telah menyuruh menulis catatan ini
untuk ditempatkan di persinggahan
untuk dibaca semua yang lewat
tapi, apa yang kubawa kehadapanMu?
agar kelak mengental sepanjang langkah
jalan di jalan bijak

kepada siapa lagi
uraian kata surat ini dikirim
di dalamnya bercerita tentang:
- abang becak
- pesta orang miskin
- keramaian kota
- ombak menampar pantai menenggelamkan perahu nelayan
- anak cucu berebut warisan sejengkal
- semua lengkap seperti FirmanMu
- lapangan kosong
- rumah tak berjendela
- halaman terbakar
rumah siapa
siapa di rumah kita
di luar sepi
(hiruk pikuk memutuskan silaturrahmi)
di gang kampung
lonceng berdentang
sampai ke pegunungan membentang
kumainkan bidak catur
rugi untung diatur
musik yang membentur
selendang penari malam
tak pernah menerima cinta
mata dan kata
waktu sudah banyak terbuang!

VI
Mataku menatap mobil-mobil mewah
pengemudi yang gagah, pemiliknya wah
menuju pemakaman umum
membangkitkan satu pertanyaan
bayangan yang berjalan
menggerakkan bibir dan selendang
penari malam tercecer
di antara ketakutan hilangnya kemiskinan
malam terus menyebarkan gelapnya
beradu tubuh di larangan parkir
Engkau saja dilupakan
apalagi kata-kata dalam tulisan ini

inikah bagian dari cinta di bumi
membuang hutan belantara
memasukkan virus-virus berbahaya?

VII
Hanya kepadamu bukan kepada siapa-siapa
bagian terpenting dari cintaku
biar mengalir sesering dikurung di hutan kamar
dilarang di barak-barak
seringnya merobek langit menguras bumi dengan perasaan
dilepas tanpa batas

kubiarkan langkah ini hanyut di kedalaman lautan terdalam
terluas di atas jagat bumi

aku berdiri dan duduk sendiri di kamar paling sepi tanpa gambar
dan lebel-lebel mufakat sepi sunyi

VIII
Kita sering tidak rela Menjalani keseharian waktu
dibentangan hamparan hati
kata berlawanan langkah bertentangan sendiri
jadi tumpuan yang rapuh gelap gulita mencekam

aku di sini melihat diri sendiri memaknai kekejian teknologi
hamba menghamba materi standar keberhasilan

di saat warna memburamkan dirinya
dimakan usia zaman berpulang ke ruang tanpa penghuni
waktu adalah uang di rindu hilangnya cinta

IX
Dan 20 surat cintaku
melayang mencari teduhnya kata-kata
ditumpukan dokumentasi
catatan yang kubagikan
dibutuhkan atau diacuhkan
dibuang pun cintaku adalah cinta
datang ditujuannya.

X
Cinta adalah kesadaran, kenyamanan dan ketenangan
di kebahagiaan pelabuhan diakhir penyatuan tubuh dan ruh
berumah tiada berbeban berpikir tiada menyindir
biarlah penenggak bir menguasai malam
dan pojok-pojok kota
(sebagian dari puisi dalam antologi 20 Surat Cinta)

Tidurlah Dengan Mimpi

 Cerpen Naim Emel Prahana

“Yah, memang sudah saatnya kita pergi,” kata Nurdin kepadaku saat kami berada di pojok kota yang penuh dengan rumah-rumah kumuh.
“Kalau memang. Apa boleh buat, semuanya pasti ada solusi. Ya, ya kan?” kataku seraya menggerakkan telunjuk ke arah papan nama proyek di seberang jalan yang penuh dengan lubang.
“Ok!” jawab Nurdin.
Betapa ingatku ucapan kami itu dua puluh empat tahun silam. Yang belum mengerti apa itu mesin tik. Apalagi komputer seperti sekarang ini. Kudengar pula banyak omong orang, bahwa zaman sekarang adalah zaman komputer.
Tapi itulah kini. Kawan-kawanku menyebutnya teknologi canggih sebagai upaya mempertahankan hidup. Apa untuk mengganti zaman batu. Di mana saat itu orang-orang hanya mengenakan sehelai daun alam untuk menutupi auratnya. Kini, pabrik-pabrik kain ada di mana-mana. Kain untuk membuat baju corak dan motifnya sangat kaya.
Tapi, itu kan tidak mudah didapat, jikalau aku tak punya uang. Karena aku masih ingat waktu sekolah dasar. Seorang guru lantang berkata.
“kalau kelak dikemudian hari kalian sudah tamat sekolah, lalu pergi ke kota atau tempat lain. Saya sangat senang dan bangga, apalagi kalau kalian nantinya berhasil di tempat orang. Kalain harus ingat itu. Hanya bapak selalu terbayang, apakah di tempat orang yang jauh dari dusun kita, kalian itu cukup memiliki uang? Kalau tidak, bapak selalu terbayang dan bapak sungguh sedih............” kata Pak Halimi waktu memberikan pelajaran Bahasa Inggris.
Kini aku tidak tahu lagi, teman-teman se dusun dulu. Entah di mana. Yang tinggal di dusun memang masih ada. Mereka sudah memegang status penunggu harta pusaka nenek moyang. Dari rumah ke kebun ke sawah ke hutan dan ke sungai, kembali lagi ke rumah menjelang malam tiba.
Seterusnya begitu. Bila sempat setelah mandi mengobrol dengan sanak keluarga di warung di pinggir jalan. Yah, itulah hiburan satu-satunya, selebihnya hanya malam gelap gulita. Listrik sudah lama dicabut zaman Belanda hengkang dari dusun kami.
Sepanjang waktu sepanjang malam, setelah lampu dinding mulai kehabisan minyak. Semuanya tidur pulas, tidurnya orang kampung tidur yang ikhlas dan pasrah. Itu tidak sama dengan tidurnya orang kota yang gemerlapan dengan sinar lampu. Terang benderang di seluruh pelosok kota. Gemerlapnya lampu diskotik, karaoke dan pasar malam. Luar biasa keadaan di kota.
“Dusunku, Cuma sebuah perkampungan yang berada di sisi kiri kanan Bukit Barisan membujur dari Tenggara ke Utara. Nyanyian paling meriah adalah perpaduan suara katak, jangkrik, burung hantu dan teriakan siamang malam. Itu sangat mempesona. Kesejukan yang datang dari tengah hutan, membuat semuanya lelap dalam tidur yang teratur.
Mencoba mencari tahu, di mana dan apa kerja kawan-kawan yang juga pergi ke kota? Sehingga tak terasa doa pun mengalir dalam harapan-harapan pertemuan. Kembali, kembali harapan itu terbuang di tengah hiruk pikuknya suasana kota. Tidak siang tidak juga malam. Malah, waktu di kota lebih dari dua puluh empat jam sehari semalam.
Padahal, waktu sekolah di dusun. Pak guru hanya mengajarkan sehari semalam itu hanya dua pulug empat jam.
“Itu kenangan!”
“Kini mengerang bagaikan banteng lapar yang siap mengejar dan menerkam siapa saja yang mempermainkannya.”
Kemudian akupun beranjak dari pikiran yang menggeluti selama beberapa hari lalu. Aku ingin memberikan kehidupan dalam hidup ini, kepada siapa saja. Kepada apa yang bisa kuberikan, walau hanya selembar kertas kosong yang kurobek dari buku tulis anakku.
Aku sudah tak pernah lagi melihat, meneliti dan membaca lagi setumpuk ijazah dan fotocopynya di sorok lemari. Perjalanan hidup yang sudah di makan usia, telah membuang jauh-jauh kemungkinan-kemungkinan jauh milyuner di negeri ini. Atau jadi politiskus ternama dengan populeritas yang dikenal hingga anak-anak di sekolah taman kanak-kanak.
Atau, bahkan menjadi komentator beberapa acara di stasiun televisi. Betapa jauh rasanya status itu untuk dapat digenggam. Sebab, sejak kecil di dusun, kami diajarkan sopan santun berpakaian. Misalnya, sepulang sekolah kami diharuskan mengganti pakaian dengan pakaian mirip pakaian tidur. Tapi, bahannya dari belacu. Itu sangat membanggakan kalau ada anak di dusun yang punya pakaian untuk bermain yang dibuat dari kain ang dikenal namanya belacu.
Juga, di dusun kami tidak dibolehkan makan di depan pintu. Juga, tidak boleh menyapu rumah di malam hari. Kepada orangtua harus hormat, baik tegur sapa maupun tutur kata aat berbicara. Begitu juga dengan guru. Betapa takutnya kami ketika itu bila berjumpa dengan guru di jalanan.
Kalau melihat ada sosok guru dikejauhan. Kami sudah mulai berancang-ancang untuk bersembunyi atau pergi. Kami tidak sama sekali mengenal rokok apalagi merokok. Karena waktu itu kebanyakan orangtua itu merokok dari daun nipah. Daun nipah yang dipotong-potong sepanjang 10 centimeter itu, kemudian dibuka gulungannya dan dimasukkan tembakau.
“Semuanya dibuat sendiri oleh orangtua kami di dusun”
“Kami tidak mengenal koran!”
“Kami juga tidak mengenal televisi”
“Kami hanya punya radio transistor biasanya merek Cawang atau Philip yang lebih mahal dan mewah!”
Namun, semuanya itu tidak pernah membuat angka kemiskinan melonjak setiap tahun. Walau tidak banyak yang mempunyai kebun sayuran. Tapi, kami sudah dapat memetik berbagai jenis sayuran di pinggiur sawah atau pinggir Kali (sungai). Mulai dari sayuran pakis, genjer, kangkung, selada, jantung pisang dan ikan-ikan dari Kali. Tinggal kami pancing atau memasang tajur (sejenis pancing khusus untuk menangkap ikan berukuran besar) di malam hari. Itulah keadaan dulu, di mana zaman belum semaju sekarang ini.
Setahun lalu, aku pulang dusun bersama anak dan isteri. Sepintas dusunku tidak berubah. Jumlah sekolah masih seperti dulu. Walau jalan sudah diaspal. Tapi, rumah-rumah masih seperti dulu. Tidak ada tambahan. Malahan terasa makin sepi dan tak ada gairah.
Selama dua hari di dusun, barulah kusadari tentang kota di dusun. Anak-anak muda di dusun sudah lebih gila-gilaan dibandingkan anak kota. Pakaian, cara berpakaian dan sopan santunnya. Memang luar biasa majunnya. Anak-anak kecil dan remaja seperti tidak pernah menanggung beban dengan memanggil paman atau waknya dengan sebutan kamu. Seenaknya bercengkrama dengan kata-kata panas dan memanaskan suasana. Para orangtua kulihat hanya menatap. Menatap kepada anak-anak mereka dengan tatapan kosong. Walau kulihat diraut wajahnya ada kemarahan. Tapi, semuanya diam, diam dan tidak menegur apapun.
Sambil menatap pebukutan yang membuju di depan rumah kami yang panggung terbuat dari kayu. Aku berdiri di berendo (teras). Sambil menyapa embun pagi yang membuat lingkungan dusun berada di suhu dingin. Dengan memandang lingkungan pegunungan, aku bertanya; “kemanakah kawan-kawan dulu yang pernah bercita-cita ingin membangun dusun dengan tetap melestarikan akhlak dan sopan santun?”
“Di mana mereka?”
Adakah mereka mendengar panggilanku yang keras sekerasnya menghantam pegunungan Bukit Barisan di dalam diam dan bisuku saat berada di dusun?
“Entahlah”
Dusun dengan orang-orang dusun yang kukenal kebiasaannya tempo dulu. Kini hanyalah bayangan yang melintas di antara bukit-bukit yang sudah gundul. Air-air Kali yang sudah menjadi kecil. Perjumpaan di tengah jalan antar orang dusun yang biasanya penuh dengan tegur sapa, sopan dan ramah. Entah, entah dimana?
Anak-anak perempuan yang belum nikah sampai kepada wanita-wanita ibu rumah tangga. Kulihat betapa bangganya mereka mengenakan celana pendek tidak sampai lutut. Baju kaos sempit hingga memperuncing dua buah rudal di balik kaos ukuran kecil dan sempit itu. Sampai pula banyak yang bangga berlalulalang di jalan dengan mengenakan pakaian separuh badan.
Di bagian depan cuma memperlihatkan celah-celah pebukitan dan di bagian punggung hampir separuh badan, tidak ada kain bajunya. Lalu aku berbisik, “inikah yang mereka sebut zaman modern?”
Orang-orang dusun sudah sama dengan orang-orang di kota. Bahkan, lebih malas untuk berusaha dan bekerja. Mereka cukup nongkrong di warung-warung atau di rumah-rumah penduduk yang gaul. Sementara anak-anak mudanya sudah tidak lagi mengenal sawah, kebun atau ladang. Mereka mondar-mandir dengan sepeda motor yang suara knalpotnya meraung-raung.
“Begitu bangganya mereka berlaku demikian”
Kini, dalam pikiranku terjadi pergulatan yang sangat dilematis. Di kota, semuanya serba harta, jabatan, status dan kemegahan. Aku tak punya. Di dusun, semuanya serba gaya, padahal mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Aku harus di mana. Bisakah mimpiku jadi tempat tinggal untuk mereka? Kalau bisa, tidurlah senyenyak-nyenyaknya.

Metro, Juli 2008.

Naim—Syarifuddin Wakili Profesi dan Akademisi

Tim Seleksi Anggota KPU
Naim—Syarifuddin Wakili Profesi dan Akademisi
Dalam rapat pleno khusus DPRD Kota Metro, Kamis (28/8) mulai pukul 10.00 Wib kemarin, yang dihadiri 22 dari 25 anggota dewan setempat, akhirnya berhasil menetapkan 2 anggota tim seleksi calon anggota KPU lima tahun ke depan.
Kedua anggota tim terpilih itu masing-masing Naimmullah Prahana atau lebih dikenal dengan Naim Emel Prahana (wartawan LE) dari unsur profesional dan Dr Syarifuddin Basar Mag (Direktur STAIN Jusi).
Masing-masing menyisihkan calon lainnya dengan suara cukup signifikan. Syarifudin Bazar mengalah 3 pesaing lainnya dengan perolehan 16 suara, sedangkan Naim meraih 12 suara menyisihkan 3 calon dari unsur profesional lainnya.
Sejak dibukanya pendaftaran calon anggota tim seleksi calon anggota KPU Kota Metro, dua minggu lalu. Jumlah pendaftar sebanyak 12 orang terdiri dari unsur akademisi dan profesional.
Dari 12 pendaftar tersebut, 4 orang dinyatakan gugur karena kurang persyaratan dan belum cukup umur minimal 30 tahun. Akhirnya seleksi berkas menempatkan 8 kandidat untuk merebut dua tiket sebagai anggota tim seleksi anggota KPU Metro.
Dalam pemungutan suara yang dilakukan secara tertutup dan langsung dipimpin ketua DPRD Metro, H Amir Hamzah SH didampingi wakil ketua H Ampian Bustami dan Sugeng Haryono. Pelaksanaan pemungutan suara berjalan lancar.
Jumlah suara 22 buah, suara yang rusak 1 dan yang abstein 1. akhirnya dari akademisi terpilih Dr Syarifuddin Bazar dan Naim Emel Prahana dari unsur profesional.
Dalam penyampaian visi—misinya, baik Syarifuddin maupun Naim secara gamplang mengharapkan ke depan anggota KPU benar-benar mampu berdiri independen dan dapat mengakomodir berbagai masalah secara bijak. Posting oleh emel

Kandidat ‘Debat’ Kandidat

Kandidat ‘Debat’ Kandidat
SEKITAR waktu magrib seorang teman mengirim short message service melalui ponselnya. Mengabarkan, kalau pukul 23.00 WIB Jumat malam Sabtu (22/8) lalu itu di stasiun televisi swasta Jakarta akan ada acara “debat kandidat”. Namun, karena ada acara dialog panjang empat mata dengan seorang petinggi penegakan hukum. Nonton televisi akhirnya terlupakan. Nggak apa-apa sih sebenarnya. Nonton debat itu bukan suatu kewajiban.
Kayak seorang elite politik PPP (baca LE, 23/8) dengan judul “Mendukung Alzier Hukumnya Wajib”. Kan nggak kayak gitu nonton televisi. Karena diyakini, Sabtunya (23/8) lalu pasti koran nasional yang terbit di daerah Lampung, bakal menjadikan debat kandidat itu sebagai berita utama halama 1-nya.
Tapi, yang menarik bukan apa-apanya. Sebab, ketika diu suatu pesta pernikahan akbar seorang tokoh yang belum lama ini masuk dalam buku 100 tokoh Lampung. Cerita soal debat kandidat itu diceritakan kembali menurut kacamata masing-masing pemirsa televisi. Walau demikian, jalur netral si pencerita (kawan-kawan dari berbagai profesi), tetap menghadirkan cerita yang bernuansa kocak, evaluatif dan misteri hasil pemilihan gubernur Lampung 3 September 2008.
Debat kandidat sejak beberapa tahun terakhir menjadi trend kegiatan beberapa organisasi, termasuk media cetak dan elektronik. Sekarang sudah tidak menggairahkan lagi. Ini suatu pengakuan yang jujur. Pada awalnya debat semacam itu begitu memberi semangat kepada masyarakat untuk menyaksikannya dan menjatuhkan pilihan suaranya.
Kini, kita tidak bicara soal Lampung atau Indonesia yang lalu. Tetapi, sejak matahari terbit besok, kita harus meletakkan “Lampung yang bagaimana?”. Apakah Lampung yang penuh dengan konflik elite politik atau Lampung yang penuh dengan nuansa damai—yang pada akhirnya damai itu menjadi pendukung (faktor) utama proses pembangunan berkesinambungan dan berkualitas. Ketika kita meletakkan kata “debat” ditambah dengan kata “kandidat” memang seharusnya antarkandidat itu gontok-gontokan, saling menyerang, saling interupsi sesama, tentang apa yang dibicarakan atau ditanyakan pemandu acara. Namun, secara substansi, debat kandidat itu merupakan uji kemampuan kefiguran, keilmuawan, kemampuan, kematangan, sence of responsif dan kecakapan yang mengandung nilai benar dan salah serta keliru.
Di acara debat kandidat itu pemirsa sudah seharusnya memahami ke mana alur program para calon gubernur lima tahun mendatang membawa daerah Lampung ini. Sebab, seorang kandidat tidak hanya dituntut pintar berpidato atau mengemukakan teori-teori dan strategi pembangunannya, ‘jika’ kelak ia terpilih. Juga, tidak hanya ‘diam’ dengan kata-kata singkat, padat dan tepat.
Tapi, penampilan kandidat pada acara debat mempunyai makna yang sangat luas, merupakan gambaran sepintas seorang figur pemimpin yang didambakan masyarakatnya. Untuk pilgub Lampung 2008, para kandidat calon gubernur belum menjadi legalitas pilihan rakyat. Mereka adalah aktor-aktor yang diatur dan disetting oleh elite politik melalui parpol. Memang benar, mereka dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi makna dipilih langsung itu merupakan aturan dari rule of law pemilihan kepala daerah.
Sementara legalitas pilihan rakyat akan dapat dicermini melalui jumlah pemilih yang memberikan hak suaranya pada saat pemungutan suara dipersentasekan dengan jumlah penduduk yang memiliki hak suara.ditulis naim emel prahana