Kandidat ‘Debat’ Kandidat
SEKITAR waktu magrib seorang teman mengirim short message service melalui ponselnya. Mengabarkan, kalau pukul 23.00 WIB Jumat malam Sabtu (22/8) lalu itu di stasiun televisi swasta Jakarta akan ada acara “debat kandidat”. Namun, karena ada acara dialog panjang empat mata dengan seorang petinggi penegakan hukum. Nonton televisi akhirnya terlupakan. Nggak apa-apa sih sebenarnya. Nonton debat itu bukan suatu kewajiban.
Kayak seorang elite politik PPP (baca LE, 23/8) dengan judul “Mendukung Alzier Hukumnya Wajib”. Kan nggak kayak gitu nonton televisi. Karena diyakini, Sabtunya (23/8) lalu pasti koran nasional yang terbit di daerah Lampung, bakal menjadikan debat kandidat itu sebagai berita utama halama 1-nya.
Tapi, yang menarik bukan apa-apanya. Sebab, ketika diu suatu pesta pernikahan akbar seorang tokoh yang belum lama ini masuk dalam buku 100 tokoh Lampung. Cerita soal debat kandidat itu diceritakan kembali menurut kacamata masing-masing pemirsa televisi. Walau demikian, jalur netral si pencerita (kawan-kawan dari berbagai profesi), tetap menghadirkan cerita yang bernuansa kocak, evaluatif dan misteri hasil pemilihan gubernur Lampung 3 September 2008.
Debat kandidat sejak beberapa tahun terakhir menjadi trend kegiatan beberapa organisasi, termasuk media cetak dan elektronik. Sekarang sudah tidak menggairahkan lagi. Ini suatu pengakuan yang jujur. Pada awalnya debat semacam itu begitu memberi semangat kepada masyarakat untuk menyaksikannya dan menjatuhkan pilihan suaranya.
Kini, kita tidak bicara soal Lampung atau Indonesia yang lalu. Tetapi, sejak matahari terbit besok, kita harus meletakkan “Lampung yang bagaimana?”. Apakah Lampung yang penuh dengan konflik elite politik atau Lampung yang penuh dengan nuansa damai—yang pada akhirnya damai itu menjadi pendukung (faktor) utama proses pembangunan berkesinambungan dan berkualitas. Ketika kita meletakkan kata “debat” ditambah dengan kata “kandidat” memang seharusnya antarkandidat itu gontok-gontokan, saling menyerang, saling interupsi sesama, tentang apa yang dibicarakan atau ditanyakan pemandu acara. Namun, secara substansi, debat kandidat itu merupakan uji kemampuan kefiguran, keilmuawan, kemampuan, kematangan, sence of responsif dan kecakapan yang mengandung nilai benar dan salah serta keliru.
Di acara debat kandidat itu pemirsa sudah seharusnya memahami ke mana alur program para calon gubernur lima tahun mendatang membawa daerah Lampung ini. Sebab, seorang kandidat tidak hanya dituntut pintar berpidato atau mengemukakan teori-teori dan strategi pembangunannya, ‘jika’ kelak ia terpilih. Juga, tidak hanya ‘diam’ dengan kata-kata singkat, padat dan tepat.
Tapi, penampilan kandidat pada acara debat mempunyai makna yang sangat luas, merupakan gambaran sepintas seorang figur pemimpin yang didambakan masyarakatnya. Untuk pilgub Lampung 2008, para kandidat calon gubernur belum menjadi legalitas pilihan rakyat. Mereka adalah aktor-aktor yang diatur dan disetting oleh elite politik melalui parpol. Memang benar, mereka dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi makna dipilih langsung itu merupakan aturan dari rule of law pemilihan kepala daerah.
Sementara legalitas pilihan rakyat akan dapat dicermini melalui jumlah pemilih yang memberikan hak suaranya pada saat pemungutan suara dipersentasekan dengan jumlah penduduk yang memiliki hak suara.ditulis naim emel prahana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar