Minggu, 21 September 2008

Membangun Obyek Wisata Danau Tes

Membangun Obyek Wisata Danau Tes
Oleh Naim Emel Prahana

Sungguh suatu keberuntungan bagi kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan UU No 39 tahun 2003 itu mempunyai potensi alam yang sangat refresemtatif untuk dikembang-bangunkan berbagai obyek wisata alam. Apalagi, dari 192.424 ha luas wilayah, 134.834,55 ha merupakan kawasan konservasi yang termasuk bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang luasnya mencapai 111.035 ha.
Ditambah lagi wilayah Kabupaten Lebong memiliki hutan lindung seluas 20.777, 40 ha dan hutan cagar alam seluas 3.022,15 ha. Memang secara produktivitas aspek-aspek kegiatan perekonomian mengalami kendala dengan adanya penetapan TNKS oleh SK Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang didukung oleh SK Menteri Pertanian dan Perkebunan RI No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung Rimbo Pengadang Register 42. sejarah penetapan kawasan hutan lindung yang mencakup wilayah Kabupaten Lebong itu dimulai pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai kawasan hutan Boven Lais atau disebut juga sebagai hutan batas Boswezen (BW).
Posisi itulah yang sering dijadikan alasan pemerintah kabupaten Lebong (Pemkab Lebong) untuk tidak bisa membangun wilayah itu semaksimal mungkin. Alasan itu sering menjadi sikap pesimis untuk memajukan Lebong, terutama meningkatkan kemajuan masyarakatnya di semua sektor kegiatan pembangunan. Namun demikian, kita tidak boleh terpaku dengan statuta kawasan hutan yang ada di Kabupaten Lebong itu. Apalagi bersikap pesimis.
Kabupaten Lebong dapat dikembangkan melalui pembangunan obyek wisata alam yang sangat besar pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah itu. Sayangnya, hingga sekarang Pemkab Lebong belum membuat proposal tentang potensi obyek wisata daerah itu secara baik. Beberapa obyek wisata di Lebong yang dapat dikembangkan, memungkinan terjadi percepatan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah itu.
Pengembangan dalam pembangunan sektor pariwisata di Lebong dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kelompok. Pertama, obyek wisata alam. Di mana alam Lebong yang sangat mempesona itu, dapat dikembangkan dan dibangun obyek wisata yang berskala Internasional. Misalnya keberadaan Danau Tes yang terletak antara Desa Kotadonok dengan Desa Tes (ibukota Kecamatan Lebong Selatan). Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu mempunyai panjang sekitar 5 km dengan lebar rata-rata 200 meter.
Danau Tes yang mempunyai potensi ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, jika dikembangkan menjadi obyek wisata. Kabupaten Lebong mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan PADnya melalui sektor pariwisata. Walaupun diusia yang hampir 10 tahun ini, Pemkab Lebong tidak mempunyai sense of build, khusus untuk pembangunan atau pengelolaan sektor wisata. Sementara mengolah daerahnya sendiri masih belum terorganisir secara proporsional dan profesional sebagaimana daerah kabupaten lainnya yang seusia dan lebih maju.

Profil Danau Tes
Danau Tes mempunyai kekayaan cerita rakyat berbentuk; legenda, mitos, kepercayaan dan sejarah nenek moyang orang lebong. Danau yang terletak di 2 (dua) wilayah kemasyarakatan (marga), yaitu Marga Jurukalang dan Marga Bermani itu—kemudian kedua marga itu digabungkan dalam satu marga (hingga sistem kemargaan dihilangkan) menjadi Marga Bermani Jurukalang. Wilayah Marga Bermani Jurukalang itu (salah satu asal suku Lebong) membawahi mulai dari Desa Tapus (Topos, desa tertua di Lebong) sampai Desa Turun Lalang. Sekarang secara administratif Marga Bermani Jurukalang terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan (awalnya hanya wilayah Kecamatan Lebong Selatan).
Danau Tes yang merupakan perut Bioa Ketawen (Air Ketahun) merupakan wilayah sumber mata pencarian penduduk sekitarnya, termasuk sepanjang Air Ketahun yang melintasi Kabupaten Lebong. Di danau itu, masyarakatnya dapat mencari ikan dengan pancing, jala, bubu, jaring, mengacea (mancing di air deras), tajua (pancing yang dipasang malam hari), menyuluak (mencari ikan di malam hari dengan peralatan lampu petromak, tombak ikan bermata tiga (trisula) dan menggunakan perahu) dan sebagainya alat penangkap ikan khusus masyarakat Kotadonok dans ekitarnya.
Bila siang hari, ketika melintas di jalan raya di pinggir Danau Tes, dengan jelas dapat dilihat masyarakat mencari ikan di tengah Danau. Sedangkan yang mencari ikan dengan peralatan kecil, biasanya berada di pinggir-pinggir danau.
Di sisi lain, Danau Tes merupakan sarana transportasi air bagi penduduk Kotadonok yang mengolah areal persawahan di kawasan sawah Baten (nama arean pertanian yang terletak diseberang Desa Tes, Taba Anyar, Mubai dan Turun Tiging). Alat transportasi penduduk ke sawah dengan jarak tempuh sekitar 4 km adalah menggunakan perahu kayu. Demikian juga, untuk mengangkut hasil panen, perahu adalah alat transportasi yang digunakan sejak zaman dahulu kala.
Di sepanjang jalan di tepi Danau Tes yang menghubungkan Desa Kotadonok dengan Ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes sepanjang 5 km—yang jalannya adalah jalan utama di Kabupaten Lebong. Dapat disaksikan betapa indahnya panorama Danau Tes. Di sana ada tempat wisata bernama Pondok Lucuk (Pondok Runcing; karena bentuk bangunannya sejak zaman Kolonial adalah atapnya mengerucut ke atas dengan luas bangunan sekitar 6 X 6 meter. Lokasinya berada di sebelah kanan arah jalan dari Kotadonok ke Tes, tepat berada di pinggir Danau Tes.
Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MtsAin) Kotadonok. Dan, di puncak bukit sebelah kiri, terdapat keramat yang populer disebut dengan nama Tepat Taukem (tepat= keramat, taukem= nama tempat). Di Tepat Taukem itu terdapat besi bundar. Yang konon kabarnya, bagi anak haram (orang yang dilahirkan karena perbuatan zina di luar ikatan perkawinan yang saha), tidak akan mampu mengangkat bola besi tersebut.
Di tempat yang sama terdapat peninggalan sejarah berupa meriam besi. Daerah Tepat Taukem saat ini sudah tumbuh subur hutan pinus yang ditanam pada zaman orde baru sebagai bentuk penghijauan daerah tersebut.

Lebong Tambah Emas

Lebong tambang emas
Lebong Tawarkan Wisata Alam, Tambang, dan Hutan
Pemkab Lebong mulai tahun anggaran 2008 akan menawarkan beberapa lokasi wisata alam, tambang, dan kawasan hutan belantara asli yang masih hijau ranau dengan target mendatangkan 100.000 pengunjung, lokal maupun nusantara.
Objek wisata alam yang akan ditawarkan itu antara lain keindahan Danau Tes, Danau Air Picung, Air Panas Air Putih, dan Air Terjun Palih, sedangkan wisata tambang antara lain Lobang Kacamata eks penggalian tambang emas zaman kolonial Belanda, serta kawasan hutan perawan untuk penelitian, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebong Yustin Hendri, Kamis (31/1).
Menurut dia, selama ini objek wisata di Kabupaten Lebong itu masih tidur dan belum pernah ditawarkan ke luar, karena wilayah itu sebelumnya masih merupakan sebuah kecamatan dari Kabupaten Rejang Lebong.
Setelah Lebong dimekarkan menjadi kabupaten sejak empat haun lalu maka sektor pariwisata mulai digiatkan, karena keindahannya tidak kalah dengan objek wisata lainnya di Sumatra.
Saat ini, pihaknya juga tengah membina sekitar 14 kelompok penari budaya lokal, nantinya diharapkan dapat menerima para pelancong yang datang ke Lebong untuk menikmati objek wisata alam di daerah itu.
Kabupaten Lebong juga memiliki tradisi sakral yang masih terpendam namun cukup menarik yaitu “Kedurai Agung”, acara adat tolak balak jika ada musibah alam, biasanya diperingati satu kali dalam setahun.
“Kedurai Agung” selama ini dipercaya warga sebagai tolak balak usai terjadi musibah, seperti banjir bandang, tanah longsor yang menelan korban jiwa, supaya ke depan tidak terulang, ujar Yustin.
Saat ini hari peringatannya belum ditentukan, masih dibahas dalam musyawarah adat setempat, namun selama ini sudah diperingati oleh sekelompok warga adat, terutama bila terjadi musibah.
Sementara beberapa objek wisata alam seperti air terjun dan wisata danau pada tahun 2008 akan ditingkatkan fasilitasnya, agar pengunjung betah dan tertarik untuk datang.
Objek wisata Lobang Kacamata eks pertambangan emas zaman kolonial Belanda, bila dilihat dari kejauhan hanya sebuah bukit kecil di atas pasar Muara Aman, namun begitu sampai di lokasi di dalam bukit batu itu sudah penuh dengan jalan dan lobang-lobang dengan empat lantai, bahkan lobang bagian bawah tanah dalamnya mencapai 1.000 meter.
Di sekitar bukit batu itu kini terdapat beberapa lokasi penambangan emas tradisonal dengan menggunakan gelundung sebagai alat pendulang, hasil tambangnya dijual ke penampung lokal.
Kabupaten Lebong sebagian besar dikelilingi kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), di dalam perut bumi kawasan hutan itu tersimpan potensi emas yang cukup banyak dan berkualitas tinggi, namun tidak bisa digarap.
Sejak zaman kolonial Belada Lebong dikenal sebagai penghasil emas terbesar di Sumatera sebagai bukti hidup saat ini emas yang ada di tugu Monas Jakarta sebagian besar sumbangan dari Lebong, tambah Yustin Hendri. (Ant/OL-06)

Lebong Rawan Longsor

Lebong Rawan Bencana
Lebong merupakan kawasan rawan bencana. Selain banjir dan tanah longsor, ancaman lainnya adalah gempa bumi. Soalnya, berdasarkan keterangan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Cabang Bengkulu, Bambang Purbiantoro, Lebong berada di lintasan patahan Sumatera.
Berdasarkan keterangan yang kita peroleh, Lebong sering menjadi pusat gempa karena patahan Sumatera yang melintas di Provinsi Bengkulu berdekatan dengan Lebong, terang Ketua PMI (Palang Merah Indonesia) Lebong, H Rusdi Mahmud SKM.
Terkait hal itu, lelaki yang juga menjabat sebagai Kadisdinkes Lebong itu mengharapkan masyarakat waspada. Hanya saja masyarakat tak perlu panik dan takut.
Sementara itu, kategori rawan bencana banjir dan longsor, lanjut Rusdi, mencakup hampir setengah wilayah pemukiman masyarakat. Dari total desa/kelurahan yang berjumlah 77, 38 desa/keluruhan masuk kategori tersebut. Pengkategorian tersebut berdasarkan pengalaman bencana yang telah terjadi dan pertimbangan kondisi geografis dan topografis. Terletak di daerah perbukitan yang sebagian besar berada diatas 1000 m dpl (di atas permukaan laut) serta memiliki kemiringan lebih dari 40 derajat.
Status tersebut ditetapkan sebagai langkah untuk meningkatkan kewaspadaan kita dalam mengantisipasi dan menanggulanginya. Intinya, kami berharap masyarakat bisa lebih waspada, kata Rusdi.
Dikatakan Rusdi, sejauh ini pihaknya sudah melatih 30 orang anggota KSR yang dipersiapkan sebagai tenaga sukarela yang handal. Sehingga, apabila terjadi bencana alam maka anggota KSR lah harus yang lebih proaktif memberikan bantuan pada warga.
Anggota KSR yang dilatih merupakan representasi dari setiap kecamatan. Sengaja dipilih seperti itu, supaya jalur komunikasi dan koordinasi yang dilakukan bisa efektif dan efisien, kata Rusdi. (467)
//grafiss

Nama Desa/Kelurahan Rawan Longsor dan Banjir
Desa/Kelurahan Status
1.Tanjung Agung Rawan Longsor
2.Danau Rawan Longsor
3.Atas Tebing Rawan Longsor
4.Talang Leak I Rawan Banjir
5.Talang Leak II Rawan Banjir
6.Bungin Rawan Banjir Bandang
7.Ujung Tanjung I Rawan Banjir
8.Ujung Tanjung II Rawan Banjir
9.Talang Ratu Rawan Longsor
10.Sukasari Rawan Longsor
11.Kota Donok Rawan Longsor
12.Mangkurajo Rawan Longsor
13.Tes Rawan Longsor
14.Tik Kuto Rawan Longsor
15.Rimbo Pengadang Rawan Longsor
16.Tanjung Rawan Banjir
17.Talang Donok Rawan Banjir
18.Tapus Rawan Longsor
19.Suka Negeri Rawan Longsor
20.Bandar Agung Rawan Banjir Bandang
21.Limau Pit Rawan Banjir
22.Taba Seberang Rawan Banjir
23.Seblat Ulu Rawan Longsor
24.Katenong I Rawan Banjir Bandang
25.Katenong II Rawan Banjir Bandang
26.Talang Bunut Rawan Banjir
27.Bentangor Rawan Banjir
28.Garut Rawan Banjir
29.Kota Agung Rawan Banjir
30.Kota Baru Rawan Banjir
31.Embong Uram Rawan Banjir
32.Lemeu Rawan Banjir
33.Ladang Palembang Rawan Longsor
34.Lebong Tambang Rawan Longsor
35.Talang Ulu Rawan Longsor
36.Kampung Dalam Rawan Longsor
37.Kampung Gandung Rawan Longsor
38.Lebong Donok Rawan Banjir

Lebong akan Berlakukan Hukum Adat Atasi Kerusakan Hutan

Lebong akan Berlakukan Hukum Adat Atasi Kerusakan Hutan
Hukum adat Rejang yang pernah diberlakukan para leluhur puluhan tahun silam akan kembali diterapkan untuk mengatasi kerusakan hutan di Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Upaya Pemkab setempat untuk mengatasi kerusakan hutan terus dilakukan, namun jika hukum adat diterapkan diharapkan akan lebih ampuh, kata Kepala Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lebong Drs Yustin Henri ketika dihubungi, Kamis.
Pada saat Kabupaten Lebong masih tergabung dalam Kabupaten Rejang Lebong saat itu masyarakat masih menganut aturan yang diberlakukan oleh Pasirah, termasuk menebang kayu di kawasan hutan.
Oleh karena itu, hukum adat Rejang dirasakan masih relevan diterapkan untuk mencegah kerusakan hutan mengingat Kabupaten Lebong sebagian besar wilayahnya mer4upakan kawasan hutan yang perlu dilindungi.
Hukum adat Rejang itu saat ini sedang diseminarkan kepada para kepala desa, kemudian akan dibakukan menjadi peraturan daerah (Perda) sekaligus untuk mendukung rencana Lebong dijadikan salah satu kabupaten konservasi.
Yustin menjelaskan, pada era Pasirah (kepala pemerintahan) setiap warga yang ingin menebang kayu dalam kawasan hutan harus izin dulu ke petugas pemerintahan dan kemudian disetujui oleh Pasirah atau Pangeran.
Katagori kayu yang ditebang itu juga diatur dan bukan kayu yang berada pada kawasan hutan penyangga daerah aliran sungai, tapi sebuah pohon yang aman dari gangguan lingkungan.
Pada saat itu setiap pohon yang ditebang harus ada penggantinya minimal lima pohon, karena areal bekas rubuhan kayu itu cukup luas.
Bila hukum adat ini bisa dibakukan dan diterapkan, Yustin yakin praktik pencurian kayu (ilegal logging) dan perambahan akan bisa diatasi.
Sementara kerusakan kawasan hutan yang sudah cukup memprihatinkan di daerah itu, juga bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila seluruh masyarakat dan perangkat pemerintahannya sudah sepakat.
Bupati lebong Drs Dalhadi Umar sebelumnya mengatakan, kerusakan kawasan hutan di Kabupaten Lebong sampai saat ini sudah mencapai 40 persen (54.000 Ha) dari kawasan hutan seluruhnya tercatat 134.845 Ha.
Kerusakan kawasan hutan itu terdiri atas hutan cagar alam, hutan lindug dan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kerusakan itu antara lain akibat perambahan masyarakat dan pencurian kayu.
Warga penggarap umumnya berada di sekitar kawasan hutan dan mayoritas miskin, untuk mencari nafkah sehari-hari tak ada jalan lain dengan menebang kayu dan merusak hutan.
Luas Kabupaten Lebong seluruhnya tercatat 192.424 Ha, sekitar 70 persen di antaranya merupakan kawasan hutan yang terdiri atas hutan lindung dan cagar alam, sedangkan hutan TNKS mencapai 117.000 Ha.
Melihat kondisi demikian, kata Bupati, daerah itu sejak dua tahun lalu diusulkan menjadi kabupaten konservasi. (*)
adebachtiar2000@yahoo.de adebachtiar2000@yahoo.de

Lebong Donok

Lebong Donok at 1910
Kemasyuran Kota Muara Aman sebagai Batavia Kecil memang tak di ragukan. Inilah kawasan sekitar Batavia kecil yaitu Lebong Donok yang ramai di abadikan pada tahun 1910 oleh Circa. Muara Aman kini hanya ibu kota Kabupaten baru yang sangat jauh dari kemegahannya di masa lampau. Semoga photo-photo ini dapat memberi cerminan ke masa sekarang, agar Kota kecil Muara Aman bisa sejajar dengan kota lain seperti masa lalunya.

Lebong Tandai Gold Mining at 1910 photos
Lebong Tandai at 1910
Photo - photo Puncak Kejayaan Tambang Emas di Lebong Tempo Dulu
Lebong Tambang Sawah
The Forgetable Big Gold Mining in Present
Photo- Photo Puncak Kejayaan Tambang Emas Tambang sawah Tempo Dulu
photo taken around year 1905-1930

Tambang Sawah Gold Mining.
Present at Rejang Land, the Lebong area famous with Big Gold mining in History. Such as Tambang Sawah at Muara Aman Town, this photo tell us how modern the mining in the era but for now, we can not found the mining any more. So thats way i call the place "the forgetable big gold mining".
Where is the Rejang Land? Rejang Land in past tense part of the resident Benkoelen, and now Rejang Land are to be part Province Bengkulu, especially Rejang-Lebong region and nearby, in Sumatera Island, Indonesia.

KORTE MEDEDELING

KORTE MEDEDELING
(Prof MA Jaspan Collections in The University)
at Friday, July 18, 2008
G. E. Marrisgn
Profesor MA Jaspan’s Collections in the University Ofhull.
Mervyn Jaspan was born in Johannesburg in 1926. He did anthropological
fieldwork in South and East Africa, leading to his Oxford B.Sc. in 1951.
From 1955 to 1961 he had appointments in Indonesia, and from 1961 to
1967 in Australia: from 1961 to 1964 he held a Research Fellowship at
the Australian National University, Canberra, in the course of which he
did fieldwork among the Rejang of southern Sumatra from 1961 to 1963,
leading up to his Ph.D. thesis for the ANU: From patriliny to matriliny:
Structural change among the Redjang of Southwest Sumatra, 1964. In 1967, he was appointed Visiting Professor of Anthropology and Sociology in the University of Leiden. From 1968 till his death.in 1975, Professor Jaspan was Director of the Centre for South-East Asian Studies in the University of Huil. During that period, he was working on two major projects: Theory andpractice of traditional medicine in South-East Asia, and a study of the Literature of South Sumatra, including Rejang oral literature and the South Sumatran Malay texts as preserved in the ka-ga-nga or rencong script: this latter work was begun in collaboration with Dr. P. Voorhoeve, who withhis wife and other helpers transliterated into Roman script^ large number of these texts.
Professor Jaspan presented a small number of South-East Asian Manu-
scripts to the Brynmor Jones Library, University of Huil. After his death,
a large collection of his working papers were deposited in the Library, and others were held by the Centre for South-East Asian Studies. Part of the library holdings are briefly described in M.C. Ricklefs and P. Voorhoeve:
Indonesian manuscripts in Great Britain (OUP, 1977), and in the sup-
plement to that work in BSOAS 45/2,1982, pp. 300-22., but there is much more awaiting cataloguing, including a further deposit of Jaspan's papers which will be placed in the Brynmor Jones Library shortly.
The collection contains over 800 items, most of which are typed or written by Jaspan. Nearly half are texts in languages of South-East Asia, rendered in the Roman script. The most substantial part is the Rejang Archive, which includes hand-written field notes, and typescripts of Rejang oral texts and of notes and short essays on various aspects of Rejang anthropology, together numbering over 200 items. There are also 145 South Sumatran Malay texts, some which he collected, but most are copies of transliterations made by Dr. Voorhoeve. Other linguistic materials include Cham traditional texts collected from villages on the Mekong in Cambodia, 1966-7, and notes, mostly of medical interest, in the dialect of Sagada, from the Bontoc Igorot region of northern Luzon. There are smaller numbers of items relating to Java, northern Sumatra, Malaysia and
Page 3
152
Korte Mededeling the Khmer, and some Indonesian texts from other hands relating to local affairs. There are other copies of some of the language texts in the Leiden University Library: Dr. Voorhoeve's original transliterations of South Sumatran Malay texts are at Cod.Or.8447, and a selection of Rejang folk tales from Jaspan's collection are at Cod.On 18.154. Jaspan 'sMaterials for a Rejang-Indonesian-EngUsh dictionary were edited from papers in Huil by Dr. P. Voorhoeve, and published by the Department of Linguistics, Rejang search School of Pacific Studies, Australian National University, Canberra, 1984. Since the beginning of 1987,1 have been cataloguing Professor Jaspan's collections in Huil with help and advice from Mrs. Helen
Jaspan, Dr. Voorhoeve, and members of Huil University Staff, and arran-
gements are in hand for this to be published by the Centre for South-East Asian Studies, University of Huil, probably in 1989.
Ulverston 15 February 1988

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan
(Dokumentasi Oliver)2008-06-09, at Monday, June 09, 2008
Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau groote stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika merasa dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian.
Soal pantun di kalangan suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun.
Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19):

Memoeti ombak di ratau Kalaun
Patang dan pagi tida berkala
Memoeti boenga di dalam Kobong
Sa tangkei sadja jang menggila.

Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi:

Parang bumbam di seberang
pohon di hela tiada karoean
Boelan pernama niatalah benderang
Sayangnia lagi die sapoer awan.


http://afandri81.wordpress.com/2007/12/10/8/#comment-32008-06-08
at Sunday, June 08, 2008, Edit and retype by Taneakjang Admin

DAFTAR NAMA GUBERNUR BENGKULU

DAFTAR NAMA GUBERNUR BENGKULU

Head of Communications: press wikimedia.org
Phone : +1 415-839-6885
If leaving a message, please ensure you provide all necessary calling details to ensure a reply to your call.
We also have local contacts throughout the world. Find a Wikimedian.
(We get a large number of calls; email is always a better first option. Please note: We do not wish to receive any press release or newsletter, nor any documentation about your organization. For specific questions regarding the content of one of our projects, please email info-en wikimedia.org, or visit Wikipedia:Contact us.)


Daftar gubernur Bengkulu
No. Nama Dari Sampai Keterangan
1. Ali Amin
1968
1974
2. Abdul Chalik
1974
1979
3. Suprapto
1979
1989
4. H. A. Razie Yahya
1989
1994
5. Adjis Ahmad
1994
1999
6. Hasan Zein
1999
29 November 2005
7. AgusrinMaryono Najamuddin
29 November 2005
sekarang

Harus Didukung oleh Semua Pihak

Harus Didukung oleh Semua Pihak
Keinginan mewujudkan Lebong, Provinsi Bengkulu, sebagai kabupaten konservasi adalah pekerjaan besar dan strategis yang harus didukung semua pihak. Agar dapat direalisasikan secara konkret, harus ada payung hukum agar saat pelaksanaannya tidak terjadi benturan di lapangan.
”Payung hukum yang kita harapkan itu harus dikeluarkan pemerintah pusat, tidak sekadar peraturan daerah. Kabupaten konservasi memiliki cakupan luas. Dalam pelaksanaan di lapangan, nantinya akan bersentuhan dengan berbagai kepentingan beberapa institusi dan lembaga di luar Pemerintah Kabupaten Lebong itu sendiri,” kata Bupati Lebong, Dalhadi Umar, menjawab pertanyaan Kompas di Muara Aman, ibu kota Lebong, pekan lalu.
Menurut Dalhadi, ide menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi pada dasarnya terkait dengan kondisi geografis dan ketersediaan lahan budidaya di daerah ini.
Dari luas wilayah Lebong yang mencapai sekitar 192.924 hektar, sekitar 70% di antaranya terdiri atas hutan lindung, cagar alam, dan areal Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Khusus areal TNKS yang berada di wilayah Lebong luasnya mencapai sekitar 117.000 hektar.
”Jika melihat ketersediaan lahan yang layak untuk budidaya, Lebong hanya memiliki sekitar 30 persen saja. Sisanya merupakan kawasan hutan yang semestinya tidak boleh disentuh dan digarap. Menyadari akan terbatasnya lahan budidaya tersebut, maka kami usulkan Lebong ini menjadi kabupaten konservasi,” ujar Dalhadi Umar.
Dia mengemukakan, untuk mewujudkan kabupaten konservasi tersebut memang tidaklah mudah. Apalagi di tingkat daerah sendiri masih ada pro dan kontra. Di satu pihak ada yang mendukung, tetapi di lain pihak juga ada yang tidak setuju.
”Sebagai bupati saya tidak akan mundur dan merasa optimistis kabupaten konservasi bisa direalisasi. Meskipun dirasakan sebagai pilihan yang dilematik, kabupaten konservasi tetap menjadi alternatif paling tepat, guna menyelamatkan wilayah Lebong dari ancaman degradasi lingkungan yang parah di masa datang,” ujarnya.
Semua pihak
Menurut Dalhadi Umar, Lebong sebagai kabupaten konservasi tidak akan bisa diwujudkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebong sendiri. Obsesi ini harus didukung semua pihak, terutama berbagai institusi yang menangani langsung kawasan hutan di daerah ini.
Dalhadi memberi contoh soal keberadaan beberapa kawasan hutan di daerah itu. Hutan lindung dan cagar alam yang ada di Lebong ditangani Departemen Kehutanan.
Adapun TNKS ditangani oleh Kepala Balai yang berkedudukan di Sungaipenuh, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Sementara di lapangan, ribuan hektar hutan lindung dan areal TNKS tersebut kini justru sudah berubah menjadi areal perladangan, yang digarap masyarakat secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.

Berbagai kepentingan
”Atas dasar itulah, kami minta agar pemerintah pusat segera membuat payung hukum yang jelas dan tegas. Ini penting agar berbagai kepentingan di lapangan tidak berbenturan. Di satu pihak, misalnya, Balai TNKS menganggap para peladang dan petani penggarap harus dikeluarkan dari hutan itu,” ujar Dalhadi.
Akan tetapi, di pihak lain, seperti Pemkab Lebong sendiri menganggap jika para peladang dikeluarkan begitu saja dari sana malah akan menimbulkan masalah sosial. (zul)

DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong

Dikembalikan ke DPR
DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong
Anggota DPD asal Bengkulu, Muspani mengusulkan agar penyelesaian sengketa batas wilayah antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara dikembalikan kepada DPR, sebagai pembuat undang-undang pembentukan kedua kabupaten tersebut.
“Timbulnya sengketa itu, karena adanya tumpang tindih antara dua UU, yakni UU darurat No 4 tahun 1956 tentang pembentukan kabupaten di Sumatera Bagian Selatan yang menjadi dasar pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara dan UU No 39 tahun 2003, tentang pembentukan Kabupaten Lebong dan Kepahiang,” katanya di Bengkulu, Rabu.
Dalam UU darurat No 4 tahun 1956 dijelaskan kalau Kecamatan Giri Mulya masuk ke wilayah Bengkulu Utara, sementara berdasarkan UU No 39 tahun 2003, Giri Mulya masuk ke Lebong, kemudian namanya diubah menjadi Kecamatan Padang Beno.
Masalah tersebut timbul, karena UU No 39 tidak mencabut UU darurat No 4 itu, khususnya mengenai status Kecamatan Giri Mulya (Padang Beno).
Karena itu, klaim Bengkulu Utara atas wilayah tersebut sah karena memang sesuai UU, demikian juga dengan pengakuan Lebong yang mengaku kecamatan itu masuk wilayahnya benar kerena juga berdasarkan UU.
“Karena masalahnya ada pada uU, maka sebaiknya diserahkan kembali pada pembuat UU, tidak bisa hanya diselesaikan di daerah,” katanya.
Musapani juga menyerankan, agar bupati dari kedua kabupaten dapat menahan diri, dengan tidak melakukan kegiatan pembanguna di wilayah yang masih disengketakan.
Ia juga mengaku khawatir kalau masalah itu berlarut-larut dan tetap diupayakan penyelesaian di daerah akan menimbulkan konflik fisik antar masyarakat seperti yang terjadi pada masalah batas antara Rejang Lebong dengan Kepahiang.
Paska pemekaran wilayah di Provinsi Bengkulu, menyisahkan konflik perbatasan yakni antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara, Kepahiang-Rejang Lebong, Seluma-Bengkulu Selatan dan Kaur dengan Bengkulu Selatan.
Penyelesaiaan persoalan batas yang berlarut-larut telah memicu bentrokan yang berunjung pembacokan yang dilakukan oleh Kepala Desa Durian Depun SF dan anaknya No terhadap Ketua BPD Zulkarnain.
Peristiwa itu terjadi, Senin (22/1) sekitar pukul 15.30 WIB, dan berawal dari keinginan korban bersama sekitar 200 warga dari enam desa yang berada di perbatasan untuk memasang batas wilayah di pinggir sungai Ka.
Namun, ketika mereka akan menurunkan papan tapal batas dari atas truck, tiba-tiba muncul SF dan No, dengan parang terhunus mereka langsung mengejar Zulkarnain dan terjadilah pembacokan itu.
Ia juga menjelaskan, masalah batas Rejang Lebong-Kepahiang kini sudah diserahkan ke DPR, dan kemungkinan besar akan dilakukan perubahan terhadap UU No 39 tahun 2003.
Kebupaten Lebong dan Kepahiang merupakan pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. (kpl/rit)