Sabtu, 28 Februari 2009

Ayah, Kampung dan Perjalanan







SIANG itu aku sudah berada di seputaran tugu Radin Intan Rajabasa, Bandarlampung. Dengan menyandang tas ukuran cukup besar, aku melangkah melewati pos polisi Tugu Radin Intan menuju loket penjualan karcis tujuan Bengkulu dan sekitarnya. Memang, jaraknya tidak jauh dari tempat aku turun dari bis AC Metro—Rajabasa.
Keraguanku saat berada beberapa metrer dari loket yang bis yang berjejer di Jl Soekarno Hatta itu muncul. Tapi, ada satu kebulatan tekadku. Aku memilih loket yang bertuliskan PO Rejang Permata. Di halaman loket itu sudah ada sebuah minibus travel Rejang Permata berwarna kuning.
Dengan langkah pasti aku memasuki loket PO Rejang Permata. Setelah berdialog sebentar seputar transportasi ke Bengkulu. Ternyata kalau travel yang menggunakan minibus hanya sampai Bengkulu saja. Sedangkan kalau mau ke Curup, harus menggunakan bis Rejang Permata. ”Ok, aku pilih bis Rejang Permata dengan ongkos Rp 175.000,-
Sesudah membayar ongkos, sambil menunggu kedatangan bis Rejang Permata dari Jakarta. Aku pun memesan segelas kopi. Kebetulan di samping loket itu ada rumah makan (RM) Minang. Meneguk segelas kopi di siang itu membuat aku melayangkan pikiran entah ke mana saja. Terutama membayangkan perjalanan pulang kampung dengan bis yang sudah puluhan tahun tidak pernah kurasakan. Tentu, aku juga membayangkan bagaimana lelahnya perjalanan yang akan kutempuh hingga sampai kampung halaman di Kotadonok, Lebong, Bengkulu.
Kepulangan kali ini memang aku sendirian. Sebab, tujuanku pulang dikarenakan Ayahanda tercinta sedang sakit parah. Untuk itu aku membawa pakaian cukup banyak, sebab tidak tahu berapa lama aku berada di kampung nantinya. Tak terasa, kopi yang kupesan sudah hampir habis dengan beberapa batang rokok kesukaanku, rokok Gudang Garam Filter.
Sekitar pukul 14.40 WIB, bis yang kutunggu sudah datang. Warna bis PO Rejang Permata bernomor polisi BD itu, juga kuning. Dari luar kelihatannya bis Rejang Permata cukup bagus. Maka, akupun bergegas naik ketika sang kondekturnya meminta aku naik. Sesampai di dalam bis, aku kaget, mataku terbelalak.
Apa sebab, penumpang bis yang besar itu hanya sekitar 10 orang. Aku pun makin kaget, ketika duduk di salah satu bangku bis Rejang Permata. Ternyata, bangku bisnya (walau pakai AC) tidak bisa distel. Berupa bangku mati. Kelihatannya bis Rejang Permata adalah bekas bis Bengkulu Indah yang hanya diganti catnya saja.
”Ah, biarlah,” kata hatiku mencoba menahan penyesalan.
Bis Rejang Permata di loket Bandarlampung tidak lama, lalu berangkat ke arah utara menempuh jalur Lintas Sumatera (lintas tengah) yang akan melewati Gunungsugih, Kotabumi, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Martapura, Baturaja, Tanjung Enim, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi dan Lubuk Linggau. Kemudian, sudah pasti menuju Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Ada kebiasaan burukku kalau naik angkutan umum maupun mobil pribadi. Aku suka dan selalu tidur selama perjalanan. Begitu pula saat bis Rejang Permata meninggalkan Kota Bandarlampung, aku pun sudah memejamkan mata. Memang tidur selama perjalanan sangat nikmat sekali, termasuk kalau berpergian dengan pesawat udara. Tidur itu pasti. Faktor lain kenapa aku harus tidur? Karena dulu dalam setiap perjalanan, aku sering mengalami mual atau mabuk perjalanan. Tapi, kalau tidur kan tidak banyak yang dilihat di luar mobil.
****
Perjalanan pulang kampung kali ini memang menyiksaku. Sebab, bis Rejang Permata masih sering berhenti di perjalanan, mencari penumpang tambahan dan di beberapa tempat, mobil berhenti untuk makan. Seperti di Bukit Kemuning, Baturaja, Muara Enim, Tebing Tinggi.
Alu menggerutu selama perjalanan di dalam bis Rejang Permata, karena di mana-mana di atas tempat duduk dari plafon bis bocor. Bahkan, di atas tempat dudukku air terus menetes, apalagi selama perjalanan hujan turun dengan deras sekali. Sampai-sampai kaki celana jeans sebelah kiri dari lutut ke bawah basah semua. Itu terjadi, karena selama perjalanan aku tidur dan tidak meresakan tetesan air dari plapon ruang penumpang bis Rejang Permata itu.
Yang lebih parah lagi, ketika sampai di kampung aku ketahui, sepatuku di bagian depannya terkuak akibat kena air terus menerus semalaman suntuk. ”Ah, perjalanan yang asyik tapi menyebalkan sekali. Namun, semua terpaksa aku jalani karena ingin cepat sampai kampung melihat kondisi Ayahanda tercinta yang usianya sudah mencapai 88 tahun.”
Sekitar pukul 06.30 WIB Jumat pagi (6/2) bis Rejang Permata sudah sampai di Kota Lubuk Linggau. Di kota ini berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Curup. Kota yang terkenal dengan suhu dinginnya. Perjalanan melewati bujuran Bukit Barisan memang membuat penumpang angkutan umum sering mabuk perjalanan. Untung pada saat kami melewati jalan yang berliku antara Lubuk Linggau dan Curup.
Sekitar pukul 07.25 WIB pagi Jumat itu aku sudah turun di Terminal Simpang Nangko Kota Curup. Keadaan di terminal itu masih sepi, kabut embun pagi masih menyelimuti Kota Curup. Beruntung aku mengenakan jacket kulit, sehingga udara dingin tidak mampu menembus ke dalam tubuhku. Tidak jauh dari loket bis Rejang Permata ada beberapa unit angkutan kota (angkot) Kota Curup yang masih menggunakan mobil dengan belakangnya terbuka dengan pintu masuk bagian belakang.
Tak berapa lama kemudian, aku menelepon adikku yang paling bungsu, kebetulan ia tinggal di Curup, karena profesinya sebagai PNS (guru). Tak lama setelah menelepon, suami adikku bernama Nizam Asri datang membawa mobilnya. Kami pun segera ke Air Weles Bawah—di rumahnya.
Di rumah adikku yang paling bungsu di Kompleks Taman Gading Indah Air Weles Bawah, Curup Timur, sebelum ke kampung. Karena adikku ingin pulang juga sekaligus mengantarkan aku. Aku sempat sholat Jumat di masjid terdekat dari rumah adikku itu. Usai sholat Jumat, barulah kami berangkat ke kampung yang akan menempuh jarak 40 km sampai di Kotadonok.
Perjalanan pun melewati lereng pebukitan Bukit Barisan, terutama setelah melewati Jembatan Tabarenah yang terkenal dengan perjuangan heroik para pejuang Indonesia zaman class ke II sekitar tahun 1948 dan zaman pemberontakan PRRI. Suhu dingin terasa merambah tulang belulalangku, karena udara dingin sejak di Kota Curup terus sampai di Kotadonok.
Satu persatu desa yang ada kami lewati, seperti Pal VII, Pal 100, Simpang Bukit Daun, Air Bening, Air Dingin, Tikuto, Rimbo Pengadang, Talangratu (Tlang Bratau) dan sampailah kami di kampung—Kotadonok sekitar pukul 13.00 WIB.
Rumah kami berada di lereng bukit, tapi lokasinya berada di tengah desa yang rumah penduduknya cukup padat dengan rumah-rumah tua yang berarsitektur seni tradisionil Rejang. Untuk sampai ke rumah kami, kami harus menaiki tangga yang dibuat dari tanah. Anak tangganya ada sekitar 25 petak. Sebelum masuk halaman rumah kami, aku harus melewati halaman rumah kakekku, H Aburuddin (alm).
*****
”Assalammualaikum...........” itulah kalimat pertama yang selalu aku ucapkan ketika sampai dan masuk ke dalam rumah kami di kampung. Keadaan rumah keluarga besar kami tak pernah berubah. Beberapa kursi lama yang terbuat dari rotan yang aku ingat sudah ada ketika aku masih duduk di bangku SD, masih ada beberapa di ruang tamu. Hanya kondisinya sudah tidak layak dipajang lagi.
Aku dengan adikku melangkah ke ruang utama keluarga. Di situ pun tidak ada perubahan. Sebuah bufet tua yang masih bagus. Hanya kacanya yang pecah. Di dinding rumah yang terbuat dari papan berkualitas yang dibuat sekitar tahun 1940 masih tetap bagus, warna kecoklatan dan mengkilat masih terlihat jelas.
Sambil melangkah ke ruang keluarga, di dinding aku melihat foto-foto close up kami 7 (tujuh) beradik masih tergantung rapih yang dulu dipasang oleh adikku yan paling bungsu. Kemudian ada beberapa foto keponakan yang sekarang sudah berada di rantau dengan biang kerja masing-masing.
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh........” terdenga suara menjawab dari ruang keluarga. Ketika tirai gorden aku singkap. Aku melihat dengan jelas Ayahanda terbaring di atas kasur berlapis tiga. Badannya kurus, matanya tetap tajam,. Rambutnya sudah putih semua. Lalu, kudekati dan bersujud di sisinya. Aku cium kening Ayahanda dengan kasih sayang.
Lalu, aku mencium ibundaku yang duduk bersandar di dinding di bawah jendela. Ibuku menangis ketika aku peluk. Lalu, kupeluk juga kakakku yang paling tua, Huzzaima, kemudian kakak kedua tertua, Zahara. Mereka menangis, lalu mengatakan;
”Inilah keadaan Ayahanda....,” ujar mereka sambil berdiri.
Kemudian aku duduk kembali di sisi kasur tempat Ayahanda terbaring. Hatiku sangat sedih dan prihatin melihat kondisinya. Apalagi ketika ia bicara.
” Ya, kondisiku makin parah. Semuanya gak bisa digherakkan,” ucap Ayahanda dengan suara pelan. Tapi, jelas terdengar.
Tidak banyak yangt bisa aku ucapkan saat itu, kecuali memberi semangat kepada Ayahanda dan Ibunda, agar semuanya tenang, sabar, tabah, dan yakin bahwa semuanya akan baik dan Ayahanda pasti sembuh, kataku.
Singkat cerita sejak itu aku harus tinggal beberapa hari di kampung, menunggu perkembangan kesehatan Ayahanda. Tidak terasa aku di kampung selama 11 hari. Akupun pamit pulang karena melihat perkembangan kondisi kesehatan Ayahanda belum ada perubahan. Kepulanganku hanya sementara, sebab anggaran sudah menipis.
****
Aku berangkat dari kampung dan pulang ke Metro, Lampung terpaksa menggunakan pesawat udara dari Bandara Fatmawati (Padang Kemiling) Bengkulu. Untuk itu, aku harus memesan tiket di Curup di Jl Merdeka. Harga tiket hanya Rp 290.000,- sementara ongkos travel ke Bengkulu Rp 50.000,-
Sesuai jadwal pesawat lepas landas dari Bandara Fatmawati pukul 12.40 WIB. Ternyata didelay (dicancel) sampai pukul 14.20 WIB. Setelah waktunya tiba, ternyata pesawat Sriwijaya Airline belum sampai dari Jakarta. Para penumpang akhirnya diberitahu dan diberi jatah makan nasi bungkus. Dalam hati aku kesal, tapi aku mencoba untuk tenang. Sebab, belum pernah aku mengalami hal seperti itu, apalagi karyawan loket Sriwijaya Airline memberi para penumpang makan.
Walaupun sudah tidak betah berada di ruang tunggu/keberangkatan Bandara Fatmawati, tapi aku mencoba menguatkan diri untuk bertahan. Sebab, Sriwijaya Airline akhirnya tiba pukul 16.00 WIB dan berangkat ke Jakarta pukul 16.30 WIB. Kekesalanku beralasan, semula aku berpikir dengan menggunakan pesawat udara yang waktu tempuh Bengkulu—Jakarta sekitar 70 menit dan jika aku naik bis (lewat darat) dari Jakarta ke Lampung hanya 6 jam. Berarti perjalananku sampai di rumah dari Bengkulu hanya 10 jam (ditambah waktu dari Kotadonok ke Curup dan Curup ke Bengkulu).
Tapi, dengan jadwal yang molor itu, perjalananku menjadi 12 jam lebih. Berarti hanya selisih sekitar 7 jam kalau naik bis dari Curup—Lampung. Padahal, kalau jadwal penerbangan tidak didelay, selisih waktu sangat banyak sekitar 17 jam. ”Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman berharga.”
Sampai saat ini untuk pergi dan pulang dari/ke kampung, aku sudah menggunakan berbagai jenis angkutan dan hampir semuanya. Seperti antara tahun 1979—1983 aku sering naik Kereta Api dan bis. 1984—2000 aku lebih banyak membawa mobil sendiri dengan route yang paling sering dilewati adalah Lintas Barat: Kotabumi—Bukitkemuning—Liwa—Krui—Bintuhan—Manna—Bengkulu—Curup—kampung (Kotadonok) atau pernah melewati route Kotabumi—Bukit Kemuning—Martapura—Baturaja—Pagar Alam—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Jalur atau route ini cukup menegangkan, karena harus melewati jalan tanjakan dan berliku sebelum kota Pagar Alam yang disebut Jurang Lematang. Jalur itu sulit dilewati bis ukuran besar, kecuali supirnya nekad.
Sekarang jalan di sana sudah dibesarkan dan sudeah dibangun berbagai lokasi objek wisata. Hanya, menurut informasinya tingkat kriminalitas perampokan kendaraan, terutama jalur Kepahiang—Pagar Alam—Baturaja. Sama halnya jalur antara Muara Enim—Tebing Tinggi bewberapa tahun silam dan sekarang menurut informasinya masih ada kejadian-kejadian di lintas tengah itu.
Aku pernah melewati jalur (route) Metro—Kotaagung (Tanggamus, Lampung), Krui, Bintuhan—Manna—Bengkulu—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Tapi kalau dari Metro jarak tempuh dan waktu sampa dengan melalui Krui. Tapi, kalau dari Kota Bandarlampung jarak dan waktu tempuh relatif singkat. Route yang paling singkat dan cepat dari Lampung ke Curup hanyalah melalui Pagar Alam via Baturaja atau Lahat.
Kalau dari Baturaja—Simpang Meo—Pagar Alam, situasi keamanan di perjalanan sangat rawan. Terutama 10 km memasuki Simpang Meo dan dari Simpang Meo ke kampung Semendo. Kejahatan di daerah itu sangat tinggi, khususnya kejahatan terhadap kendaraan. Baik mobil pribadi maupun mobil umum. Kalau saya sarankanjangan melewati jalur Simpang Meo ke Pagar Alam. Berbahaya dan rawan kejahatan. Terutama di malam hari.
Oleh karena itu semua kendaraan yang melintasi jalur itu atau Lintas Tengah, jika malam hari kendaraannya konvoi. Jarang yang berani berjalan sendirian membawa mobil tanmpa ada mobil lain yang searah perjalanannya.

Ayah, Kampung dan Perjalanan


SIANG itu aku sudah berada di seputaran tugu Radin Intan Rajabasa, Bandarlampung. Dengan menyandang tas ukuran cukup besar, aku melangkah melewati pos polisi Tugu Radin Intan menuju loket penjualan karcis tujuan Bengkulu dan sekitarnya. Memang, jaraknya tidak jauh dari tempat aku turun dari bis AC Metro—Rajabasa.
Keraguanku saat berada beberapa metrer dari loket yang bis yang berjejer di Jl Soekarno Hatta itu muncul. Tapi, ada satu kebulatan tekadku. Aku memilih loket yang bertuliskan PO Rejang Permata. Di halaman loket itu sudah ada sebuah minibus travel Rejang Permata berwarna kuning.
Dengan langkah pasti aku memasuki loket PO Rejang Permata. Setelah berdialog sebentar seputar transportasi ke Bengkulu. Ternyata kalau travel yang menggunakan minibus hanya sampai Bengkulu saja. Sedangkan kalau mau ke Curup, harus menggunakan bis Rejang Permata. ”Ok, aku pilih bis Rejang Permata dengan ongkos Rp 175.000,-
Sesudah membayar ongkos, sambil menunggu kedatangan bis Rejang Permata dari Jakarta. Aku pun memesan segelas kopi. Kebetulan di samping loket itu ada rumah makan (RM) Minang. Meneguk segelas kopi di siang itu membuat aku melayangkan pikiran entah ke mana saja. Terutama membayangkan perjalanan pulang kampung dengan bis yang sudah puluhan tahun tidak pernah kurasakan. Tentu, aku juga membayangkan bagaimana lelahnya perjalanan yang akan kutempuh hingga sampai kampung halaman di Kotadonok, Lebong, Bengkulu.
Kepulangan kali ini memang aku sendirian. Sebab, tujuanku pulang dikarenakan Ayahanda tercinta sedang sakit parah. Untuk itu aku membawa pakaian cukup banyak, sebab tidak tahu berapa lama aku berada di kampung nantinya. Tak terasa, kopi yang kupesan sudah hampir habis dengan beberapa batang rokok kesukaanku, rokok Gudang Garam Filter.
Sekitar pukul 14.40 WIB, bis yang kutunggu sudah datang. Warna bis PO Rejang Permata bernomor polisi BD itu, juga kuning. Dari luar kelihatannya bis Rejang Permata cukup bagus. Maka, akupun bergegas naik ketika sang kondekturnya meminta aku naik. Sesampai di dalam bis, aku kaget, mataku terbelalak.
Apa sebab, penumpang bis yang besar itu hanya sekitar 10 orang. Aku pun makin kaget, ketika duduk di salah satu bangku bis Rejang Permata. Ternyata, bangku bisnya (walau pakai AC) tidak bisa distel. Berupa bangku mati. Kelihatannya bis Rejang Permata adalah bekas bis Bengkulu Indah yang hanya diganti catnya saja.
”Ah, biarlah,” kata hatiku mencoba menahan penyesalan.
Bis Rejang Permata di loket Bandarlampung tidak lama, lalu berangkat ke arah utara menempuh jalur Lintas Sumatera (lintas tengah) yang akan melewati Gunungsugih, Kotabumi, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Martapura, Baturaja, Tanjung Enim, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi dan Lubuk Linggau. Kemudian, sudah pasti menuju Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Ada kebiasaan burukku kalau naik angkutan umum maupun mobil pribadi. Aku suka dan selalu tidur selama perjalanan. Begitu pula saat bis Rejang Permata meninggalkan Kota Bandarlampung, aku pun sudah memejamkan mata. Memang tidur selama perjalanan sangat nikmat sekali, termasuk kalau berpergian dengan pesawat udara. Tidur itu pasti. Faktor lain kenapa aku harus tidur? Karena dulu dalam setiap perjalanan, aku sering mengalami mual atau mabuk perjalanan. Tapi, kalau tidur kan tidak banyak yang dilihat di luar mobil.
****
Perjalanan pulang kampung kali ini memang menyiksaku. Sebab, bis Rejang Permata masih sering berhenti di perjalanan, mencari penumpang tambahan dan di beberapa tempat, mobil berhenti untuk makan. Seperti di Bukit Kemuning, Baturaja, Muara Enim, Tebing Tinggi.
Alu menggerutu selama perjalanan di dalam bis Rejang Permata, karena di mana-mana di atas tempat duduk dari plafon bis bocor. Bahkan, di atas tempat dudukku air terus menetes, apalagi selama perjalanan hujan turun dengan deras sekali. Sampai-sampai kaki celana jeans sebelah kiri dari lutut ke bawah basah semua. Itu terjadi, karena selama perjalanan aku tidur dan tidak meresakan tetesan air dari plapon ruang penumpang bis Rejang Permata itu.
Yang lebih parah lagi, ketika sampai di kampung aku ketahui, sepatuku di bagian depannya terkuak akibat kena air terus menerus semalaman suntuk. ”Ah, perjalanan yang asyik tapi menyebalkan sekali. Namun, semua terpaksa aku jalani karena ingin cepat sampai kampung melihat kondisi Ayahanda tercinta yang usianya sudah mencapai 88 tahun.”
Sekitar pukul 06.30 WIB Jumat pagi (6/2) bis Rejang Permata sudah sampai di Kota Lubuk Linggau. Di kota ini berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Curup. Kota yang terkenal dengan suhu dinginnya. Perjalanan melewati bujuran Bukit Barisan memang membuat penumpang angkutan umum sering mabuk perjalanan. Untung pada saat kami melewati jalan yang berliku antara Lubuk Linggau dan Curup.
Sekitar pukul 07.25 WIB pagi Jumat itu aku sudah turun di Terminal Simpang Nangko Kota Curup. Keadaan di terminal itu masih sepi, kabut embun pagi masih menyelimuti Kota Curup. Beruntung aku mengenakan jacket kulit, sehingga udara dingin tidak mampu menembus ke dalam tubuhku. Tidak jauh dari loket bis Rejang Permata ada beberapa unit angkutan kota (angkot) Kota Curup yang masih menggunakan mobil dengan belakangnya terbuka dengan pintu masuk bagian belakang.
Tak berapa lama kemudian, aku menelepon adikku yang paling bungsu, kebetulan ia tinggal di Curup, karena profesinya sebagai PNS (guru). Tak lama setelah menelepon, suami adikku bernama Nizam Asri datang membawa mobilnya. Kami pun segera ke Air Weles Bawah—di rumahnya.
Di rumah adikku yang paling bungsu di Kompleks Taman Gading Indah Air Weles Bawah, Curup Timur, sebelum ke kampung. Karena adikku ingin pulang juga sekaligus mengantarkan aku. Aku sempat sholat Jumat di masjid terdekat dari rumah adikku itu. Usai sholat Jumat, barulah kami berangkat ke kampung yang akan menempuh jarak 40 km sampai di Kotadonok.
Perjalanan pun melewati lereng pebukitan Bukit Barisan, terutama setelah melewati Jembatan Tabarenah yang terkenal dengan perjuangan heroik para pejuang Indonesia zaman class ke II sekitar tahun 1948 dan zaman pemberontakan PRRI. Suhu dingin terasa merambah tulang belulalangku, karena udara dingin sejak di Kota Curup terus sampai di Kotadonok.
Satu persatu desa yang ada kami lewati, seperti Pal VII, Pal 100, Simpang Bukit Daun, Air Bening, Air Dingin, Tikuto, Rimbo Pengadang, Talangratu (Tlang Bratau) dan sampailah kami di kampung—Kotadonok sekitar pukul 13.00 WIB.
Rumah kami berada di lereng bukit, tapi lokasinya berada di tengah desa yang rumah penduduknya cukup padat dengan rumah-rumah tua yang berarsitektur seni tradisionil Rejang. Untuk sampai ke rumah kami, kami harus menaiki tangga yang dibuat dari tanah. Anak tangganya ada sekitar 25 petak. Sebelum masuk halaman rumah kami, aku harus melewati halaman rumah kakekku, H Aburuddin (alm).
*****
”Assalammualaikum...........” itulah kalimat pertama yang selalu aku ucapkan ketika sampai dan masuk ke dalam rumah kami di kampung. Keadaan rumah keluarga besar kami tak pernah berubah. Beberapa kursi lama yang terbuat dari rotan yang aku ingat sudah ada ketika aku masih duduk di bangku SD, masih ada beberapa di ruang tamu. Hanya kondisinya sudah tidak layak dipajang lagi.
Aku dengan adikku melangkah ke ruang utama keluarga. Di situ pun tidak ada perubahan. Sebuah bufet tua yang masih bagus. Hanya kacanya yang pecah. Di dinding rumah yang terbuat dari papan berkualitas yang dibuat sekitar tahun 1940 masih tetap bagus, warna kecoklatan dan mengkilat masih terlihat jelas.
Sambil melangkah ke ruang keluarga, di dinding aku melihat foto-foto close up kami 7 (tujuh) beradik masih tergantung rapih yang dulu dipasang oleh adikku yan paling bungsu. Kemudian ada beberapa foto keponakan yang sekarang sudah berada di rantau dengan biang kerja masing-masing.
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh........” terdenga suara menjawab dari ruang keluarga. Ketika tirai gorden aku singkap. Aku melihat dengan jelas Ayahanda terbaring di atas kasur berlapis tiga. Badannya kurus, matanya tetap tajam,. Rambutnya sudah putih semua. Lalu, kudekati dan bersujud di sisinya. Aku cium kening Ayahanda dengan kasih sayang.
Lalu, aku mencium ibundaku yang duduk bersandar di dinding di bawah jendela. Ibuku menangis ketika aku peluk. Lalu, kupeluk juga kakakku yang paling tua, Huzzaima, kemudian kakak kedua tertua, Zahara. Mereka menangis, lalu mengatakan;
”Inilah keadaan Ayahanda....,” ujar mereka sambil berdiri.
Kemudian aku duduk kembali di sisi kasur tempat Ayahanda terbaring. Hatiku sangat sedih dan prihatin melihat kondisinya. Apalagi ketika ia bicara.
” Ya, kondisiku makin parah. Semuanya gak bisa digherakkan,” ucap Ayahanda dengan suara pelan. Tapi, jelas terdengar.
Tidak banyak yangt bisa aku ucapkan saat itu, kecuali memberi semangat kepada Ayahanda dan Ibunda, agar semuanya tenang, sabar, tabah, dan yakin bahwa semuanya akan baik dan Ayahanda pasti sembuh, kataku.
Singkat cerita sejak itu aku harus tinggal beberapa hari di kampung, menunggu perkembangan kesehatan Ayahanda. Tidak terasa aku di kampung selama 11 hari. Akupun pamit pulang karena melihat perkembangan kondisi kesehatan Ayahanda belum ada perubahan. Kepulanganku hanya sementara, sebab anggaran sudah menipis.
****
Aku berangkat dari kampung dan pulang ke Metro, Lampung terpaksa menggunakan pesawat udara dari Bandara Fatmawati (Padang Kemiling) Bengkulu. Untuk itu, aku harus memesan tiket di Curup di Jl Merdeka. Harga tiket hanya Rp 290.000,- sementara ongkos travel ke Bengkulu Rp 50.000,-
Sesuai jadwal pesawat lepas landas dari Bandara Fatmawati pukul 12.40 WIB. Ternyata didelay (dicancel) sampai pukul 14.20 WIB. Setelah waktunya tiba, ternyata pesawat Sriwijaya Airline belum sampai dari Jakarta. Para penumpang akhirnya diberitahu dan diberi jatah makan nasi bungkus. Dalam hati aku kesal, tapi aku mencoba untuk tenang. Sebab, belum pernah aku mengalami hal seperti itu, apalagi karyawan loket Sriwijaya Airline memberi para penumpang makan.
Walaupun sudah tidak betah berada di ruang tunggu/keberangkatan Bandara Fatmawati, tapi aku mencoba menguatkan diri untuk bertahan. Sebab, Sriwijaya Airline akhirnya tiba pukul 16.00 WIB dan berangkat ke Jakarta pukul 16.30 WIB. Kekesalanku beralasan, semula aku berpikir dengan menggunakan pesawat udara yang waktu tempuh Bengkulu—Jakarta sekitar 70 menit dan jika aku naik bis (lewat darat) dari Jakarta ke Lampung hanya 6 jam. Berarti perjalananku sampai di rumah dari Bengkulu hanya 10 jam (ditambah waktu dari Kotadonok ke Curup dan Curup ke Bengkulu).
Tapi, dengan jadwal yang molor itu, perjalananku menjadi 12 jam lebih. Berarti hanya selisih sekitar 7 jam kalau naik bis dari Curup—Lampung. Padahal, kalau jadwal penerbangan tidak didelay, selisih waktu sangat banyak sekitar 17 jam. ”Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman berharga.”
Sampai saat ini untuk pergi dan pulang dari/ke kampung, aku sudah menggunakan berbagai jenis angkutan dan hampir semuanya. Seperti antara tahun 1979—1983 aku sering naik Kereta Api dan bis. 1984—2000 aku lebih banyak membawa mobil sendiri dengan route yang paling sering dilewati adalah Lintas Barat: Kotabumi—Bukit Kemuning—Liwa—Krui—Bintuhan—Manna—Bengkulu—Curup—kampung (Kotadonok) atau pernah melewati route Kotabumi—Bukit Kemuning—Martapura—Baturaja—Pagar Alam—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Jalur atau route ini cukup menegangkan, karena harus melewati jalan tanjakan dan berliku sebelum kota Pagar Alam yang disebut Jurang Lematang. Jalur itu sulit dilewati bis ukuran besar, kecuali supirnya nekad.
Sekarang jalan di sana sudah dibesarkan dan sudeah dibangun berbagai lokasi objek wisata. Hanya, menurut informasinya tingkat kriminalitas perampokan kendaraan, terutama jalur Kepahiang—Pagar Alam—Baturaja. Sama halnya jalur antara Muara Enim—Tebing Tinggi bewberapa tahun silam dan sekarang menurut informasinya masih ada kejadian-kejadian di lintas tengah itu.
Aku pernah melewati jalur (route) Metro—Kotaagung (Tanggamus, Lampung), Krui, Bintuhan—Manna—Bengkulu—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Tapi kalau dari Metro jarak tempuh dan waktu sampa dengan melalui Krui. Tapi, kalau dari Kota Bandarlampung jarak dan waktu tempuh relatif singkat. Route yang paling singkat dan cepat dari Lampung ke Curup hanyalah melalui Pagar Alam via Baturaja atau Lahat.
Kalau dari Baturaja—Simpang Meo—Pagar Alam, situasi keamanan di perjalanan sangat rawan. Terutama 10 km memasuki Simpang Meo dan dari Simpang Meo ke kampung Semendo. Kejahatan di daerah itu sangat tinggi, khususnya kejahatan terhadap kendaraan. Baik mobil pribadi maupun mobil umum. Kalau saya sarankanjangan melewati jalur Simpang Meo ke Pagar Alam. Berbahaya dan rawan kejahatan. Terutama di malam hari.
Oleh karena itu semua kendaraan yang melintasi jalur itu atau Lintas Tengah, jika malam hari kendaraannya konvoi. Jarang yang berani berjalan sendirian membawa mobil tanmpa ada mobil lain yang searah perjalanannya.

Sabtu, 14 Februari 2009

Kotadonok 2009 dalam Album





Kotadonok 2009 dalam Album

Kotadonok 2009 dalam Album

Runtuhnya Peradaban Masyarakat Rejang


Oleh Naim Emel Prahana

Keganasan produk teknologi canggih, informasi dan komunikasi sudah banyak merusak sistem dan nilai-nilai luhur masyarakat di hampir semua bangsa. Hanya sedikit bangsa (masyarakat) yang mampu mengendalikan teknologi canggih tersebut. Yang mampu memanfaatkan dan menggunakan produk teknologi yang tersebut dengan baik, efisien dan menjadi sarana pendukung untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan status sosial ekonomi.
Rumusan ’kemajuan’ memang masih dalam perdebatan. Secara definitif sudah jelas, akan tetapi secara subtsnasi mungkin masih diraba-raba ke mana arah kata maju (kemajuan) itu. Hampir sama dengan arti kata modern (modernis). Kalau dikaitkan dengan sarana transportasi, kemajuan itu tersirat pada rentang waktu yang digunakan dalam perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain.
Perjalanan menunaikan ibadah haji tempo dulu dapat menghabiskan waktu sampai sebulan penuh. Belum lagi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Sekarang, perjalanan haji dari Indonesia ke tanah Arab Saudi hanya membutuhkan beberapa jam saja. Seperti halnya untuk mendapatkan akses informasi dari berbagai belahan dunia, cukup mengklik beberapa kata di internet.
Di sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana transportasi; darat, laut dan udara serta produk transportasinya sendiri sudah sedemikian berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Kalau dulu masyarakat di pesesaan yang memiliki pesawat televisi boleh dikatakan tidak ada, padahal saat itu masyarakatnya terbilang makmur, tidak kekurangan sandang dan pangan. Tetapi, sekarang di tengah arus krisis multidimesional dan tinkat ekonomi masyarakat terus merosot.
Hampir setiap rumah penduduk di desa memiliki pesawat televisi—bahkan, di desa-desa di lereng pegunungan yang sulit ditembus jaringan satelit, mampu membeli parabola untuk penangkap siaran televisi. Secara tersirat masalah di atas, kemajuan itu disatu sisi, kemunduran di banyak sisi atau sebaliknya. Itulah yang dialami masyarakat Indonesia saat ini. Terutama masyarakat di pedesaan.
Salah satu hasil studi dan penelitian yang menarik yang saya dan kawan-kawan lakukan selama hampir 10 tahun terhadap masyarakat Redjang (Rejang, pen) di Kabupaten Rejang Lebong (kini menjadi 3 kabupaten; Rejang Lebong, Lebong dan Kepahiang). Adalah merosotnya peradaban masyarakat Rejang yang dahulu kala telah memiliki nilai dan status yang baik di antara sukubangsa lainnya di Indonesia.
Baik di bidang managemen pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, keagamaan, sosial budaya dan pendidikan. Setelah tahun 1970-an, masyarakat Rejang mengalami kemunduran, terutama pola pikir dan pandangan hidup yang mempengaruhi secara langsung adat kebiasaan sehari-hari dan peradaban masyarakat Rejang secara umum.

Terjebak Arus Informasi
Salah satu faktor yang mempengaruhi mundurnya nilai-nilai adat, kebiasaan dan peradaban masyarakat Rejang adalah informasi yang datang ke daerah Rejang. Informasi yang dimaksud adalah informasi dari media elektronik (televisi, radio) dan informasi orang-orang Rejang di perantauan yang sering kembali ke kampung halamannya. Terutama di daerah Lebong.
Kita ketahui sejak awal, selain mayoritas penduduk Lebong (Kabupaten Lebong sekarang) adalah sukubangsa Rejang. Terdapat pula sukubangsa Jawa, Sunda, Padang, Batak dan Palembang. Interaksi antarsuku memang tidak mengalami kesulitan. Akan tetapi, masyarakat Rejang sangat lamban menyerap pola kerja masyarakat dari suku lainnya di daerah Lebong. Masyarakat Rejang pada umumnya terjebak dengan pandangan hidup praktis, tetapi tidak ekonomis dan tidak efektif.
Sampai tahun 1970 masyarakat Rejang di Lebong dikenal sebagai masyarakat petani yang ulet, tekun, irit dan sangat kuat nilai ikatan kekeluargaannya. Terutama dalam makna gotong royong dalam bidang apapun. Di dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat Rejang sangat setia dan taat akan nilai-nilai sosial, agama, seni, budaya dan hukum. Dengan perubahan zaman, terutama berhembusnya filosofi global ke daerah itu, membuat masyarakat Lebong terperangah, kaget dan seakan-akan menemukan dunia baru yang penuh dengan janji-janji kehidupan yang layak.
Dalam normal sosial keagamaan masyarakat Rejang yang dipedomani dan dipatuhi dalam kehidupan saehari-hari adalah pantang anggota masyarakatnya yang kawin cerai. Pantang bagi mereka untuk melakukan perbuatan sumbang besar maupun sumbang kecil di tengah masyarakatnya. Sebab, jika terjadi maka sanksi sosialnya sangat keras dan statis sesuai format nilai-nilai yang mereka ketahui dan jalani selama itu.
Termasuk dalam pergaulan sehari-hari para remaja. Filosofi bahwa pernikahan itu adalah kemampuan dan kemandirian, sangat dijunjung tinggi dan dipatuhi semua lapisan masyarakat. Perbuatan jahat, seperti maling, merampok, membunuh atau pelecehan seksual sampai pemerkosaan akan menjadi traumatik setiap anggota masyarakat Rejang. Akibatnya, perbuatran-perbuatan seperti itu sangat kecil sekali kemungkinan dilakukan anggota masyarakatnya.
Tembok tebal dan kokoh masyarakat Rejang akhirnya satu senti per senti mulai rontoh, banyak anggota masyarakat Rejang yang melanggar norma-norma sosial keagamaan, hukum adat, hukum positif dan normal lainnya. Hal itu diakibatkan perngaruh kehidupan dari luar struyktur masyarakat Rejang. Diawali dengan pernikahan (perkawinan) dengan orang luar dari sukubanghsa Rejang yang hanya mengejar penampilan (format), gaya hidup atau gengsi sosial.
Gadis-gadis Rejang banyak yang tertipu oleh penampilan para pengemudi mobil. Mereka tidak lagi mempedulikan, siapa lelaki yang berkenalan dengan dirinya yang setiap kali bertemu memberikan uang atau oleh-oleh. Tanpa disadari akhirnya ikut berpetualang bersama sang supir mobil ke berbagai desa atau ke luar daerah sukubangsa Rejang. Mereka baru menyadari kalau lelaki yang sering mengencaninya itu adalah seorang lelaki yang sudah beristeri dan punya anak.
Penyesalan memang di belakang. Namun banyak kebanyakan gadis Rejang, penyesalan itu tidak membuat mereka kembali (sadar), bahkan melanjutkan kehancuran moral dalam kehidupan prostitusi terselubung. Baik di daerahnya sendiri maupun di luar daerah Lebong. Yang lebih buruk lagi adalah keluarga si gadis. Mereka menerima dengan kebanggaan hasil-hasil yang diperoleh oleh anak gadis mereka, tanpa ada keinginan untuk menyelidiki; darimana asal harta benda atau uang yang dibawa anak mereka.
Secara umum pada gilirannya masyarakat Lebong menjadi masyarakat yang konsumtif, materialistis dan patembayan. Pola kehidupan demikian sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat Rejang di tanah Rejang dan Lebong. Karena, nilai kreativitas, idealisme, moralitas dan mentalitas menjadi rapuh dan tidak mampu membendung infiltrasi budaya luar masuk ke susunan masyarakat Rejang.
Oleh karena itu, harus ada lembaga sensor atau filter terhadap infiltrasi budaya luar yang tidak memberi nilai tambah bagi kehidupan masyarakat Rejang itu sendiri. Kita dapat melihat sekarang, kebiasaan-kebiasaan yang sangat positif, disamping itu memberi dukungan terhadap pelestarian hasil karya masyarakar Rejang sudah ditinggalkan. Misalnya ke kebun, sawah atau ladang, masyarakat Rejang yang umumnya bermatapencarian dari sektor pertanian. Tidak lagi membawa pane (bronang). Semua diganti dengan tas kulit imitasi seperti layaknya anak sekolah.
Ditinggalkannya pane, seperti mereka melupakan alat penangkap ikan kewea (pancing) yang terbuat dari sebatang pohon bambu biyes atau buluak pukua cino. Batang bambu biyes itu memang kuat, lentur dan tidak mudah patah kendati batangnya kecil-kecil. Sehari-hari kita melihat orang Rejang memancing menggunakan alat pancing yang berasal dari kota. Termasuk makanannya. Padahal, pancing demikian hanya untuk ikan-ikan peliharaan di kolam. Sedangkan ikan air tawar yang ada di sungai dan danau mempunyai sifat dan kiarakter tersendiri terhadap makanan ikan-ikan tersebut.
Ini bukan berarti melarang penggunaan alat pancing modern (canggih). Namun, kita hanya melihat dari sudut budaya dan tradisi yang sangat melekat di masyarakat Rejang. Hal itu mengisyaratkan masyarakat Rejang sudah melupakan kaidah-kaidah norma yang hidup di dalam masyarakatnya sendiri.

Pergaulan Muda-Mudi
Melihat kenyataan (realitas) sosial kehidupan masyarakat Rejang awal tahun 2009, semua orang pasti mengatakan sangat prihatin. Nilai-nilai adab, sopan santun, etika dan nilai keagamaan sudah ditinggalkan hampir sebagian besar anggota masyarakatnya, terutama di kalangan generasi muda.
Gadis-gadis yang mengenakan celana pendek ketat, baju kaos ketat yang memperlihatkan paha, lekuk tubuh, pusar, perut, pinggang dan menampakkan dengan jelas celana dalam merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Rejang selama ini. Namun, sekarang hal itu sepertinya sudah tidak ada larangan dan sanksi sosial. Akibatnya, anak-anak gadis dengan bebas memperagakan bagian tubuhnya yang mempengaruhi pria untuk menikmatinya.
Kita tidak tahu persis persentasenya, yang jelas dari keterangan-keterangan dan cerita masyarakat Rejang saat ini, tentang mudahnya melakukan perkawinan dan perceraian yang bukan hanya berlaku di kalangan remaja (generasi muda). Tetapi, di tingkat orangtua pun sudah sedemikian merosotnya nilai-nilai sakral suatu perkawinan. Kita tidak tahu lagi, bagaimana 5 atau 10 tahun mendatang. Sekarang saja sudah sangat memkhawatirkan.
Orang Rejang pada saat sekarang pergi ke kebun, ladang atau sawah mengenakan baju bagus. Hal itu tidak pernah dilakukan selama ini di tanah Rejang. Bahkan, sekarang jika ada orang Rejang yang berkebun dan menginap di kebunnya sampai sebulan penuh menjadi cemoohan. Padahal, pekerjaan demikianlah yang dilakukan masyarakat Rejang selama ini untuk menghidupi keluarga mereka.

Kotadonok 2009






Oleh Naim Emel Prahana

SUHU dingin masih tetap menyelimuti daerah Lebong pada umumnya, khususnya di beberapa desa yang berada di lereng bukit pegunungan Bukit Barisan, seperti Air Dingin, Rimbo Pengadsang, Tikuto, Talangratu, Trans Mangkurajo, Sawahmangkurajo dan Kotadonok. Curah hujang yang tetap tinggi memang secara permanent tidak menghambat aktivitas masyarakat. Namun, secara langsung mengurangi beberapa aspek kehidupan.
Secara umum Kutei Donok (Desa Donok/Tengah) yang sekarang lebih populer disebut Desa Kotadonok mengalami mengalami kemunduran dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kalaupun ada proses pembangunan infrastruktur, itupun tidak membawa desa dan masyarakat Kotadonok lebih maju dibandingkan desa-desa lain.

Pemukiman
Pertambahan jumlah rumah penduduk tidak signifikan, bahkan banyak rumah-rumah lama (tua) yang terbengkalai. Pertambahan bangunan rumah yang ada, masih memanfaatkan pekarangan rumah-rumah lama. Rumah-rumah yang dibangun 5 tahun terakhir pada uymumnya berukuran kecil dan sangat sederhana. Hal itu dimungkinkan karena tingkat kemiskinan di desa itu semakin meningkat. Terutama setelah Lebong menjadi kabupaten konservasi tahun 1999.
Penduduk Desa Kotadonok masih mengalami beberapa kesulitan, air bersih. Walau sumber air dari sungai-sungai kecil (bioa tik) masih melimpah ruah dari pegunungan yang melingkari Desa Kotadonok. Namun, kebersihan sumber air sangat tidak menjamin dari segi kesehatan. Bahkan, keberadaan PAM (perusahaan air minum) swasta tidak banyak membantu penduduk untuk memperoleh air bersih. Karena, biaya penyambungan dan taruifnya sangat mahal, tidak terjangkau oleh penduduk Kotadonok.
Lingkungan pemukiman penduduk di Kotadonok (Kotadonok I dan Kotadonok II/Sukasari) ternyata semakin kumuh. Sampah berserakan di depan rumah, di pinggir jalan, dan saluran air di sisi jalan banyak yang tersumbat akibat pembuangan sampah sembarangan oleh penduduk serta tertutup oleh timbunan tanah galian; baik ketika pembangunan (pengaspalan) jalan maupun longsor. Desa Kotadonok seperti desa yang tidak terurus. Berbagai kesulitan menghadang dan dialami oleh penduduknya.
Bangunan-bangunan bersejarah, seperti rumah kediaman pribadi mantan gubernur Sumatera Selatan, M Husein, rumah pangeran Kotadonok, Balai Desa, Balai Pertemuan, Masjid Nurul Iman dan deretan rumah-rumah tua di kawasan Peken (Pekan) Kotadonok, termasuk bangunan SDN 1 (SD tertua). Masyarakat atau penduduk Kotadonok yang mayoritas sukubangsa Rejang asli sebagaimana karakter umum sukubangsa Rejang tergoilong masyarakat yang pemalas dan terbecah belah akibat pandangan hidup dari pengaruh peradaban masyarakat luar (misalnya masyarakat kota).
Desa dan masyarakat pelopor kemajuan di Rejang Lebong itu, kini semakin memperihatinkan. Tradisi positif (adat istiadat) yang selama ini menyelamatkan masyarakat Kotadonok, kini sudah ditinggalkan. Baik dari kalangan tua maupun dari kalangan anak, remaja dan generasi muda pada umumnya. Akibat langsung kemunduran itu terjadi terhadap situasi dan kondisi lingkungan pemukiman yang dulunya asri, kini semberawut. Lahan-lahan kosong yang ditinggalkan menjadikan lingkungan desa itu semakin tidak teratur, tidak terawat dan tidak ada upaya pemeiliharaan.
Perebutan lahan pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan memicu sengketa antar keluarga dan kerabat. Penggerusan tebing-tebing dilakukan oleh keluarga-keluarga dengan status sosial lebih baik dibandingkan dengan penduduk lainnya. Penggerusan tebing-tebing untuk menambah luasnya pekarangan rumah tersebut mengakibatkan terjadinya pencaplokan tanah milik penduduk lainnya. Pencaplokan tanah milik penduduk lainnya pernah dilakukan oleh keluarga almarhum Kamaludin yang mencaplok tanah tebing milik keluarga H Aburuddin mengakibatkan tiang rumah tua milik H Aburudin berada di sisi tebing dan jurang. Setiap saat akan roboh karena pengerukan tanah.
Hal yang sama dilakukan pula oleh keluarga Zainab—Amin yang melebarkan luas pekarangan rumahnya dengan mengeruk tebing (tanah) milik keluarga Rahmat dan milik keluarga Meraiji. Solidaritas warga yang tinggi di Kotadonok, menyebabkan penyerobotan tanah seperti itu didiamkan saja. Akan tetapi, dari sisi negatrifnya, pengerukan tanah demikian akan membahayakan rumah yang berada di atas tebing, karena kemungkinan longsor mudah terjadi. Masalahnya kebanyakan rumah-rumah penduduk di Desa Kotadonok dibangun di atas tebing. Baik di sebelah kanan jalan maupun di sebelah kiri jalan.
Untuk menghindari kemungkinan longsor hebat, di desa Kotadonok perlu ditata ulang status tanah dan kepemilikannya. Terutama penataan atau penertiban ulang bangunan yang ada. Sekaligus memberikan manfaat atas perlestarian lingkungan pemukiman dan lingkungan alam.
Kemerosotan pembangunan, penataan dan lingkungan di Desa Kotadonok mulai terasa terjadi sekitar 20 tahun terakhir, apalagi desa tersebut dipimpin oleh kepala desa yang usianya relatif muda dan miskin pengalaman organisasi, sehingga tidak mampu membangun alam pedesaannya yang sudah lama ditata rapih. Saat ini di awal 2009 hampir semua penduduk Kotadonok mengeluhkan kepemimpinan kepala desa mereka. Sayangnya, semua keluhan itu berawal ketika memilih kepala desa yang salah dan akibat money politic saat berlangsungnya pemilihan kepala desa (pilkades).

Dikembalikan Seperti Semula
Banyaknya bangunan lama terbengkalai di desa Kotadonok membuat banyak pihak merasa prihatin, terutama orang Kotadonok yang tinggal di perantauan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya mengembalikan status lahan dan bangunan tua yang memiliki nilai sejarah pada posisi semula.
Bangunan yang harus dikembalikan posisi semulanya adalah Pasar (Pekan) Lama Kotadonok yang sejak 20 tahun silam telah dibangun rumah oleh keluarga almarhum Ramli dan Sairun. Padahal, tanah tempat bangunan rumah itu adalah tanah desa atau tanah marga. Beberapa kali masyarakat menggugat rumah almarhum Ramli yang kini ditempati anaknya, namun selalu gagal karena praktek suami kepada Tuai Kutei, Kepalo Sadei (barap) dan para tokoh masyarakat yang diundang untuk bermusyawarah.
Kemudian kompleks Pekan Kotadonok, lahannya juga sudah dibangun sekolah dasar (SD). Sehingga pemandangan yang ada sangat tidak bagus, apalagi di sekitarnya berdiri bangunan rumah-rumah tua yang dibangun ratusan tahun silam.
Jika keadaannya dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan terjadi konflik antara warga dengan pemilik bangunan rumah. Kekhawatiran itu sudah terlihat beberapa tahun terakhir ini. Terutama di kalangan generasi muda yang masih mencintai alam dan peradaban masyarakatnya yang asli di Kotadonok. Roh Kotadonok yang dulunya begitu terhormat di mata masyarakat luar, kini hanya tinggal kenangan. Kerinduan akan lingkungan perkampoungan dan alam yang asri seperti sampai tahun 1970 hanyalah sebuah impian yang tidak mungkin akan terjadi lagi dan tidak mungkin akan dinikmati anak cucu orang Kotadonok sekarang dan masa akan datang.
Apalagi setelah pemekaran desa Kotadonok menjadi Desa Kotadonok dan desa Sukasari. Desa Sukasari tidak memiliki nilai historis terhadap perjalanan sejarah sukubangsa Rejang di Lebong. Sebab, lokasi desa Sukasari sekarang ini, dulunya bernama Tlang Ja’ang (Talang Jarang). Seharusnya nama Sukasari itu tidak ada dan diganti dengan nama Tlang Ja’ang. Belum ada kata terlambat, sebab penggantian nama Sukasari tinggal keinginan dan kemauan pemerintah kabupaten Lebong.
Substansi nama Sukasari tidak ada sama sekali, sehingga ada kesan pemberian nama Sukasari itu adalah rencana yang terorganisir dan rapih untuk menghapus jejak masyarakat Rejang di Kotadonok. Sebab, tidak ada nilai filosofi sukubangsa Rejang. Tempo dulu sebutan-sebutan untuk beberapa kawasan di Kotadonok memiliki nilai sejarah dan kebudayaan yang tinggi.
Misalnya kawasan Bioa Tiket, Tlang Ja’ang, Pacua Telai, Trang Kekek, Skula Bu’uk, Umeak Peken, Sadei, Ujung Semapak, Bioa Tamang, pondok Lucuk, Tepat Taukem, dan kawasan Mesjid dan lainnya. Semua nama-nama kawasan itu memiliki makna dan nilai sejarah.

Kotagajah


By Naim Emel Prahana

Estimated village Kotagajah built around year 1929 at first be to rush by kolonis from Telukbetung-Gunungsugih to Gedongdalem and Sukadana. Because follow tongue explanation parents, like to unfolded by mbah pulse from village Sumberejo BD 43 districts Batanghari. At that time, recall mbah pulse, metro opened in the year 1932 penetrated roads from Adipuro (Trimurjo) or Kotagajah to Metro not yet there. To carry away need ingredients kolonis at metro imported from pass road Kotagajah-Gedongtataan in, Rancangpurwo and new enter Metro.
So, said grandfather Nadi, Kotagajah there [are] before bedeng (bd) 15 at Metro opened officially. Mean Kotagajah grow and bloom, because located in stripe rushes by. But, Kotagajah as definitive village meresmikan by regent KDH Lampung Tengah based on number letter of appointment 25 year 1973. The opening self done in the year 1974. Kotagajah be potential region floats middle. At first the status" village" , now year 1997 rapidly grow to be strategic city. And year 2001 turn into definitive district be woman chief of a district leadership, Dra Bahagiati.
Location kotagajah even also very strategic, present menjalur traffic intersection like fun all day long. kotagajah has vast the area 1.372 km2 consist of 18 kebayan, 74 fruit RT, 36 fruit RW and 18 LK. Until beginning 1997 citizens Kotagajah as much as 14.258 soul.
kotagajah has various tool and infrastructure. at educational found 6 bursery school, 7 Fruit sd, 1 fruit SD private, 1 SMP negeri, 6 SMP private with 2 hovels Pesantren. Also, found public service likes chief of a district office, post and gyro, kua, transmigration office and mess transmigration, puskesmas, office p3a, village meeting hall, office PU, BRI, theater, village meeting hall, with big stores. And, found a private hospital Mardi Waluyo. Medical energy house ill that private consists of 2 doctors, 1 midwife, a nurse and 6 witch-doctors.
Kotagajah has also 2 theater and at intersection five, precisely in the middle of Kotagajah with solid traffic current, stand police station sector office Kotagajah. Membidang banking has stood bebebrapa bank, among others BRI unit Kotagajah, BPR order Artha, BPR Kotaliman and BPR build self-supporting. And found 5 cooperations among others kud farmer work, kopas balak, ajb bative, kopas and koveri.
facilities other that has among others, found PDAM, telephone tool with electricity from KLP Sinar Siwo Mego centre at Kotagajah. As potential city bloom fast here also there [are] 4 restaurant each rm healthy RM Ma'il, RM field. Kotagajah more time more bloom to so city. Terminal conditon to various direction likes direction Labuhanmeringgai, Menggala, Bandarjaya, Kotabumi, Bandarlampung, Raman north, Gayabaru and Metro.
Follow village head Bus in the year 1997 Kotagajah has 10 rice rice mill factories (huller) and bebebrapa factory berstatus household industry industrial. Market Kotagajah every the day enough crowded, because purchase at market Kotagajah every household industry the day. Market Kotagajah every day enough crowded, because the purchase at market Kotagajah come from various vinicity region. Traffic smoothness passes Kotagajah supported by good road condition and augmenting with sppbu (pom petrol).

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera
Oleh Suyadi San

PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.
Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.
Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.
Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.
Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.
Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).
Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karyakarya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.
Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 27 December, 2008, 20:10 Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.
Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .
Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.
Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.
Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.
Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara), D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).
Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.
Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.
Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.
Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan
diterbitkan.
Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.
Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.
Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.
Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.
Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.
Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.
Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.
Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM. Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.
Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 27 December, 2008, 20:10
Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AmuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).
Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.
Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.
Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.
Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.
Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, para perantau: Naim Emel Prahana, Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z dan Djuhardi Basri. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.
Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.
Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.
Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku
Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin. (Staf teknis Balai Bahasa Medan). (wns)