Senin, 22 Maret 2010

Lampung: Video & PNS

Oleh Naim Emel Prahana

TIDAK boleh malu mengatakan apa adanya. Sebab, katakan YA kalau benar dan katakan TIDAK kalau tidak benar. Itu merupakan bagian dari prinsip hidup yang seharusnya ada pada setiap insan (manusia/orang). Terlepas ia menganut paham agama apa. Kejujuran adalah kehendak Sang Pencipta kepada makhluk-makhluk ciptaannya. Oleh karena itu, tidaklah naif jika bicara soal maraknya peredaran video porn dengan pemeran utamanya di kalangan PNS (pegawai negeri sipil)
Di Lampung cukup berkembang perekaman (record) adegan-adegan syuur (porn), baik video porn di kalangan umum, pelajar/mahasiswa maupun PNS. Kita masih menyimpan (mungkin) video porn seorang anggota DPRD Way Kanan dengan seorangt guru asal Bumi Emas, Batanghari, Lampung Timur beberapa tahun silam. Lalu, disodorkan video porn pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung yang sangat menggairahkan.
Jika membuka internet dengan kata kuncir “free download video porn PNS Lampung”, maka ret-retan file video porn asal Lampung masuk ke internet. Entah apa, yang jelas itulah dunia maya. Orisinil atau tidak, kita hanya membaca judul atau filenya saja. Biasanya, kalau video porn PNS, selalu dishoot pakaian seragamnya dan lambang daerah di pakaian seragam sang pemeran utama—khususnya perempuan.
Kalau video porn kalangan pelajar/mahasiswa Lampung, jumlahnya sangat banyak. Beraneka ragam adegan seksnya. Demikian pula lebel video porn umum. Walau kita yakini, sedikitnya ada rekayasa lebel dan status pelakunya. Tapi itu menggambarkan bagaimana perkembangan seks bebas yang didokumentasikan para pelakunya di Lampung, luar biasanya. Bahkan pelajar di Way Kanan, Bukit Kemuning yang tergolong jauh dari Bandarlampung, sudah ada aksi rekaman video porn, kendati ada lebel pemerkosaan rame-rame pelajar SMP di Bukit Kemunging dan lebel lainnya. Sejauh ini, peranan handphone (HP) berkamera yang sekarang rata-rata dimiliki pelajar SMP, SMA apalagi mahasiswas dapat dijadikan salah satu faktor utama maraknya rekaman video porn di kalangan pelajar/mahasiswa dan PNS.
Bisa jadi, video porn di kalangan pelajar/mahasiswa dan PNS seperti Gunung Es. Yang muncul ke permukaannya hanya kerucut atasnya saja, tetapi semakin ke bawah—tanpa diedarkan, bisa jadi jumlahnya sangat banyak dengan pelaku yang juga banyak. Seperti kita ketahui video porn PNS Lampung Tengah yang beredar menjelang akhir 2009. ternyata banyak disukai kalangan pejabat dan masyarakat umum di Lampung.
Dan, di Internet ternyata sudah ada. Tinggal download saja. Video porn PNS Lampung yang diduga pemeran wanitanya adalah PNS dari kalangan guru dilakukan di dalam sebuah mobil dan adegannya cukup detail dan durasinya cukup lama. Sejauh perkembangan soal video porn, khususnya di Lampung. Perlu diambil langkah-langkah yang bijak dan arif. Misalnya di kalangan pelajar/mahasiswa, pihak Dinas Pendidikan perlu menerbitkan surat edaran tentang larangan membawa HP berkamera ke sekolah. Tentu larangan itu harus diberi penjelasan detailk, kenapa dilarang. Sehingga pihak orangtua / wali murid akan mudah memahami larangan itu.
Kita prihatin, persoalan seks menjadi komoditas umum, terutama di kalangan pelajar dan PNS (guru) yang seharusnya mereka menjadi calon dan sosok panutan masyarakat. Tapi, justru menjadi contoh yang negatif bagi generasi muda bangsa ini. Kita tidak perlu komentar soal yang sama di daerah lain. Kita wajib memnbersihkan daerah Lampung saja.

Perseteruan Apa Konflik

Oleh Naim Emel Prahana

SEPANJANG tahun 2010 akan terjadi pergantian sejumlah kepala daerah dalam paket Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada). Alam demokrasi Indonesia akan memberikan warna demokrasi di Lampung. Barangkali, rakyat akan selalu bertanya-tanya, apa itu demokrasi? Lalu, ada yang menggambarkannya sebagai democrazy (seperti salah satu acara stasiun TV swasta Nasional).
Sejauh ini, pelajaran demokrasi yang dikatakan tumbuh sebagai simbol kerakyataan (dari dan untuk rakyat). Ternyata belum pernah diajarkan kepada rakyat yang sebenarnya. Bahkan, rakyat tidak tahu apa arti ‘milik’ mereka itu. Demokrasi berkembang pesat di kelas menengah ke atas.
Terlebih lagi demokrasi ala pemilu pemilihan ‘langsung’ di Indonesia. Rakyat tidak perlu membahas apa artinya demokrasi. Karena, rakyat selalu terbebani oleh kebutuhan hidup yang sulit mereka dapatkan saat ini. Kenapa serba sulit? Bayangkan saja, upah kerja rakyat di perusahaan-perusahaan jauh di bawah maksimal, tetapi harga kebutuhan pokok mereka, jauh di atas maksimal.
Demikian pula di dunia pegawai negeri sipil, militer, separuh militer separuh sipil (polisi), kemewahan nampaknya hanya dinikmati para petinggi mereka. Sementara pegawai rendahan, prajurit tetap saja melankolis dengan jumlah anggota keluarga yang umumnya banyak.
Sedikit gambaran kemajuan, beberapa tahun terakhir ini, para prajurit dan polisi berpangkat rendah dan menengah sudah pada cerdas dan pintar. Tidak sedikit dari isteri mereka adalah PNS (pegawai negeri sipil). Dengan demikian beban hidup keluarga, agak terbantu.
Sayangnya, jumlah yang demikian itu masih bisa dihitung dengan jari. Ketika kepada mereka; rakyat kebanyakan, PNS rendahan, prajurit dan polisi berpangkat rendah pada keluarga mereka disodorkan program pemilukada. Terlihat bingung, terlihat agak sulit menentukan pilihan dalam hajat demokrasi itu. Akhirnya mereka hanyalah menjadi bulan-bulanan para calon kepala daerah.
Sementara para calon kepala daerah di antaranya adalah pejabat incumbent; gubernur—wakilnya, bupati—wakilnya, walikota—wakilnya dan pejabat teras lainnya, anggota legislatif, serta pengusaha sudah menciptakan blok-blok persaingan yang cenderung perseteruan dan atau kelihatan jelas ada konflik yang tidak seharusnya lahir saat pesta demokrasi akan dimulai.
Ada apa sebenarnya dengan kursi orang nomor satu di suatu daerah? Betulkah kursi itu adalah segala-galanya, sehingga untuk mencapainya harus mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah. Padahal, uang sebanyak itu (berulangkali koran ini memjelaskan), tidak pernah memberikan manfaat terhadap tingkat kesejahteraan rakyat di daerah masing-masing.
Konflik dalam perseteruan merebut kekuasaan di daerah itu, tidak ubahnya konflik yang terjadi di tingkat pusat. Banyak mengabaikan etika, sopan santun dan rasa hormat satu dengan lainnya. Terutama yang dilakukan para pendukung dan tim sukses masing-masing. Hal itu terbaca dengan jelas, baik melalui komunikasi lisan di tengah masyarakat maupun komunikasi melalui facebook.
Yang pasti jabatan dan materi tidak akan pasti dan tidak akan memberikan nilai-nilai pendidikan yang standar, jika hanya dihamburkan pada saat pemilukada saja.

UU Penodaan Agama

Okeh Naim Emel Prahana

KALAU bangsa dan semua elemen masyarakat di Indonesia masih mempercayai dan memegang teguh falsafah negara Pancasila. Sudah sangat jelas, kalau bangsa dan negara ini hanya mengakui 5 (lima) agama. Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Hindu. Secara otomatis, selain dari kelima agama yang diakui dan sah di negara ini, tentunya tidak ada dan tidak diakui sebagai agama.
Ironisnya, kendati pengakuan hanya kepada lima agama, akan tetapi pemerintah sepertinya mengakui semua agama. Sebagai contoh Konghucu, kepercayaan dan animisme yang dianut oleh suku-suku terasing. Asumsinya, berarti pemerintah tidak konsisten menjalankan amanah yang terkandung di dalam Pancasila—khususnya soal agama yang sah dan diakui keberadaannya.
Jadi, apakah yang sebenarnya yang sedang dijalankan oleh penguasa (pemegang tampuk kekuasaan di Indonesia) yang menjalankan roda pemerintahan selama ini? Munculnya berbagai aliran atau sekte yang kemudian dianggap ‘terlarang’ dan kemudian diadili sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Maka, munculnya pertanyaan, siapakah (pihak) atau orang mana yang mealakukan “penodaan agama” itu.
Bentuk dan kriteria penidaan itu yang bagaimana? Sebab, belajar dari ajaran agama yang ada, maka yang melakukan penodaan agama adalah penganut agama itu sendiri. yaitu dengan tidak menjalankan ajaran agama masing-masing secara murni dan konsekuen. Itulah yang disebut penodaan agama. Oleh karena itu, di dalam ajaran agama, Tuhan menyebutkan ada golongan yang mensyirikkan diri-Nya. Ada golongan yang mempersekutukan-Nya.
Dan, ada golongan yang kafir, murtad dan sebagainya. Golongan-golongan itulah yang seharusnya disebut sebagai kelompok yang melakukan penodaan terhadap agama. Dan, tentunya tidak terlepas dari apa yang disampaikan iblis kepada Sang pencipta (Allah SWT), ketika kaum iblis diusir dari surga.
Seandainya ada orang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang menjelek-jelekkan suatu agama tertentu dihadapan umatnya atau dalam lingkungan sendiri. sepertinya kriteria penodaan agama tidaklah tepat. Sebab, perbuatan mereka adalah perbuatan merusak, penghinaan terhadap orang lain dan itu merupakan perbuatan pidana yang dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bagaimana dengan stempel “penodaan agama?” yang selama ini diberikan kepada kelompok orang tertentu yang melakukan kegiatan keagamaan agak berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang secara umum. Apakah disebut juga dengan penodaan agama atau penodaan kesusilaan seseorang. Sebagai contoh aliran sesat yang mengharuskan anggota jemaatnya melakukan hubungan seksual dengan pimpinan agama?
Tentu bukan penodaan agama, melainkan penodaan kesusilaan terhadap seseorang yang berada di bawah kekuasaannya. Soal membawa nama-nama agama, itu hanya sebuah rekayasa bagaimana mereka dapat melaksanakan hajat bejatnya terhadap orang lain. Dengan gambaran itu, persoalan pengakuan atas lima agama di Indonesia harus diperhatikan betul dalam kenyataannya. Jangan karena sesuatu, orang lain menjadi korban dengan alasan penodaan agama. Padahal, itu hanyalah perbuatan pidana yang meresahkan masyarakat, karena banyak korban yang diakibatkan oleh kegiatan ritual mereka.

Demokrat Dan Parpol

KOALISI beberapa partai politik (parpol) yang biasanya terjadi setelah pemilu legislatif dan Pemilu Presiden, hanya kepentingan sesaat bagi pengurus inti parpol, guna menguasai kekuasaan—yang tepat disebut dengan “pembagian kekuasaan” dan “ mempertahankan kekusaan”. Pada negara yang menganut sistem demokrasi, koalisi parpol itu jarang terjadi. Yang ada hanyalah parpol yang pro pemerintah atau parpol yang pro parpol pemenang pemilu.
Perbedaan antara koalisi dengan pro, di sisi ada parpol yang oposisi, terletak pada keterikatan antar parpol itu sendiri. kalau koalisi, maka item-item perikatannya jelas, pembagian jabatan jelas, pembagian kursi dalam kabinet jelas. Sedangkan dalam pola ‘pro’, perikatan pada item-itemnya tidak mengikat dan sewaktu-waktu dapat mencabut dukungan itu.
Sebenarnya, pada pola koalisi pun pencabutan perikatan memang tidak ada larangannya. Hanya ada persoalan etis dan tidak etis. Sebab, pada koalisi jatah-jatah jabatan, kursi di kabinet dan (mungkin) termasuk kucuran dana bantuan serta fasilitas akan menjadi korban.
Pada hakekatnya, parpol-parpol tidaklah mungkin untuk bertsatu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kekuasaan. Di samping perbedaan arah dan tujuan serta azas. Juga, punya banyak perbedaan ideologi yang menjadi karakteristik sebuah parpol. Semuanya tidak ada kejelasan jika bicara parpol dan pemerintahan di Indonesia. Karena parpol di Indonesia belum mandiri atau independen dalam menghidupkan dan menjalankan roda organisasi politik.
Ketergantungan kepada pemerintah sangat terasa, terutama bantuan yang diberikan setiap tahun yang dihitung berdasarkan jumlah suara dan jumlah anggota parpol di legislatif. dan bantuan itu, sangat didambakan setiap parpol. Kemudian, parpol pun melakukan pemerasaan terhadap kadernya yang duduk di legislatif. Dari persoalan-persoalan itu, terlihat jelas parpol di Indonesia belum mampu berdiri sendiri, walaupun kadernya banyak yang menjadi penguasaha nasional sukses.
Kemudian berkaitan dengan koalisi Partai Demokrat dengan beberapa parpol sebelum penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II), seperti dengan Golkar, PKS, PPP, PKB, PAN dan beberapa parpol kecil lainnya. Lebih banyak terlihat unsur manfaatisme. Partai Demokrat (PD) memanfaatkan beberapa parpol untuk melancarkan program-program kekuasaan, sementara parpol yang mengatakan berkoalisi pun memanfaatkan PD, untuk menerbangkan kader-kader mereka di berbagai jabatan strategis, khususnya pada susunan kabinet.
Koalisi parpol dengan PD memang tidak total. Sebab, papol di tingkat provinsi (daerah) sampai kabupaten/kota, nampaknya tidak terpengaruh dengan koalisi parpol mereka di tingkat pusat. Mereka pun di tingkat daerah, membangun koalisi baru. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan jatah dan kemudahan-kemudahan selama berlangsungnya pemerintahan di pusat maupun di daerah.
Oleh sebab itu, koalisi yang dibangun bersama PD 2009 hanyalah lelucon dan permainan politik yang sungguh-sungguh tidak memperhatikan alam demokrasi yang sebenarnya dan kepentingan rakyat pada umumnya—yangs eharusnya menjadi dasar koalisi parpol (jika memang harus berkoalisi. Siapa yang beruntung dalam format koalisi parpol di Indonesia? Ya, para pengurus inti parpol itu sendiri.