Senin, 22 Maret 2010

UU Penodaan Agama

Okeh Naim Emel Prahana

KALAU bangsa dan semua elemen masyarakat di Indonesia masih mempercayai dan memegang teguh falsafah negara Pancasila. Sudah sangat jelas, kalau bangsa dan negara ini hanya mengakui 5 (lima) agama. Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Hindu. Secara otomatis, selain dari kelima agama yang diakui dan sah di negara ini, tentunya tidak ada dan tidak diakui sebagai agama.
Ironisnya, kendati pengakuan hanya kepada lima agama, akan tetapi pemerintah sepertinya mengakui semua agama. Sebagai contoh Konghucu, kepercayaan dan animisme yang dianut oleh suku-suku terasing. Asumsinya, berarti pemerintah tidak konsisten menjalankan amanah yang terkandung di dalam Pancasila—khususnya soal agama yang sah dan diakui keberadaannya.
Jadi, apakah yang sebenarnya yang sedang dijalankan oleh penguasa (pemegang tampuk kekuasaan di Indonesia) yang menjalankan roda pemerintahan selama ini? Munculnya berbagai aliran atau sekte yang kemudian dianggap ‘terlarang’ dan kemudian diadili sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Maka, munculnya pertanyaan, siapakah (pihak) atau orang mana yang mealakukan “penodaan agama” itu.
Bentuk dan kriteria penidaan itu yang bagaimana? Sebab, belajar dari ajaran agama yang ada, maka yang melakukan penodaan agama adalah penganut agama itu sendiri. yaitu dengan tidak menjalankan ajaran agama masing-masing secara murni dan konsekuen. Itulah yang disebut penodaan agama. Oleh karena itu, di dalam ajaran agama, Tuhan menyebutkan ada golongan yang mensyirikkan diri-Nya. Ada golongan yang mempersekutukan-Nya.
Dan, ada golongan yang kafir, murtad dan sebagainya. Golongan-golongan itulah yang seharusnya disebut sebagai kelompok yang melakukan penodaan terhadap agama. Dan, tentunya tidak terlepas dari apa yang disampaikan iblis kepada Sang pencipta (Allah SWT), ketika kaum iblis diusir dari surga.
Seandainya ada orang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang menjelek-jelekkan suatu agama tertentu dihadapan umatnya atau dalam lingkungan sendiri. sepertinya kriteria penodaan agama tidaklah tepat. Sebab, perbuatan mereka adalah perbuatan merusak, penghinaan terhadap orang lain dan itu merupakan perbuatan pidana yang dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bagaimana dengan stempel “penodaan agama?” yang selama ini diberikan kepada kelompok orang tertentu yang melakukan kegiatan keagamaan agak berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang secara umum. Apakah disebut juga dengan penodaan agama atau penodaan kesusilaan seseorang. Sebagai contoh aliran sesat yang mengharuskan anggota jemaatnya melakukan hubungan seksual dengan pimpinan agama?
Tentu bukan penodaan agama, melainkan penodaan kesusilaan terhadap seseorang yang berada di bawah kekuasaannya. Soal membawa nama-nama agama, itu hanya sebuah rekayasa bagaimana mereka dapat melaksanakan hajat bejatnya terhadap orang lain. Dengan gambaran itu, persoalan pengakuan atas lima agama di Indonesia harus diperhatikan betul dalam kenyataannya. Jangan karena sesuatu, orang lain menjadi korban dengan alasan penodaan agama. Padahal, itu hanyalah perbuatan pidana yang meresahkan masyarakat, karena banyak korban yang diakibatkan oleh kegiatan ritual mereka.

Tidak ada komentar: