Oleh Naim Emel Prahana
SEPANJANG tahun 2010 akan terjadi pergantian sejumlah kepala daerah dalam paket Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada). Alam demokrasi Indonesia akan memberikan warna demokrasi di Lampung. Barangkali, rakyat akan selalu bertanya-tanya, apa itu demokrasi? Lalu, ada yang menggambarkannya sebagai democrazy (seperti salah satu acara stasiun TV swasta Nasional).
Sejauh ini, pelajaran demokrasi yang dikatakan tumbuh sebagai simbol kerakyataan (dari dan untuk rakyat). Ternyata belum pernah diajarkan kepada rakyat yang sebenarnya. Bahkan, rakyat tidak tahu apa arti ‘milik’ mereka itu. Demokrasi berkembang pesat di kelas menengah ke atas.
Terlebih lagi demokrasi ala pemilu pemilihan ‘langsung’ di Indonesia. Rakyat tidak perlu membahas apa artinya demokrasi. Karena, rakyat selalu terbebani oleh kebutuhan hidup yang sulit mereka dapatkan saat ini. Kenapa serba sulit? Bayangkan saja, upah kerja rakyat di perusahaan-perusahaan jauh di bawah maksimal, tetapi harga kebutuhan pokok mereka, jauh di atas maksimal.
Demikian pula di dunia pegawai negeri sipil, militer, separuh militer separuh sipil (polisi), kemewahan nampaknya hanya dinikmati para petinggi mereka. Sementara pegawai rendahan, prajurit tetap saja melankolis dengan jumlah anggota keluarga yang umumnya banyak.
Sedikit gambaran kemajuan, beberapa tahun terakhir ini, para prajurit dan polisi berpangkat rendah dan menengah sudah pada cerdas dan pintar. Tidak sedikit dari isteri mereka adalah PNS (pegawai negeri sipil). Dengan demikian beban hidup keluarga, agak terbantu.
Sayangnya, jumlah yang demikian itu masih bisa dihitung dengan jari. Ketika kepada mereka; rakyat kebanyakan, PNS rendahan, prajurit dan polisi berpangkat rendah pada keluarga mereka disodorkan program pemilukada. Terlihat bingung, terlihat agak sulit menentukan pilihan dalam hajat demokrasi itu. Akhirnya mereka hanyalah menjadi bulan-bulanan para calon kepala daerah.
Sementara para calon kepala daerah di antaranya adalah pejabat incumbent; gubernur—wakilnya, bupati—wakilnya, walikota—wakilnya dan pejabat teras lainnya, anggota legislatif, serta pengusaha sudah menciptakan blok-blok persaingan yang cenderung perseteruan dan atau kelihatan jelas ada konflik yang tidak seharusnya lahir saat pesta demokrasi akan dimulai.
Ada apa sebenarnya dengan kursi orang nomor satu di suatu daerah? Betulkah kursi itu adalah segala-galanya, sehingga untuk mencapainya harus mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah. Padahal, uang sebanyak itu (berulangkali koran ini memjelaskan), tidak pernah memberikan manfaat terhadap tingkat kesejahteraan rakyat di daerah masing-masing.
Konflik dalam perseteruan merebut kekuasaan di daerah itu, tidak ubahnya konflik yang terjadi di tingkat pusat. Banyak mengabaikan etika, sopan santun dan rasa hormat satu dengan lainnya. Terutama yang dilakukan para pendukung dan tim sukses masing-masing. Hal itu terbaca dengan jelas, baik melalui komunikasi lisan di tengah masyarakat maupun komunikasi melalui facebook.
Yang pasti jabatan dan materi tidak akan pasti dan tidak akan memberikan nilai-nilai pendidikan yang standar, jika hanya dihamburkan pada saat pemilukada saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar