Sabtu, 16 Oktober 2010

Rekrutmen PNS

Naim Emel Prahana
TERUS terang di era digital dan dunia maya (internet) peluang rakyat miskin untuk mendapatkan pekerjaan bagi anak-anak mereka semakin sulit. Termasuk memasuki lanjutan pendidikan yang mereka miliki. Kenapa semakin sulit? Karena rekrutmen sekarang ini praktis dikuasai oleh rakyat yang memiliki uang banyak. Setidak-tidaknya mereka adalah masyarakat yang memiliki akses hubungan yang luas. Seperti melalui internet.
Hampir 100 persen saat ini rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), apalagi swasta banyak menggunakan internet. Sedangkan anak orang miskin tidak memiliki akses rutin untuk menggunakan internet, karena sangat terbatasnya uang yang ada. Jangankan membuka internet, untuk membeli buku saja mereka sulit. Jaringan mereka memang luas di tengah kehidupan. Itupun hanya jaringan pergaulan sebagai makhluk sosial. Namun, jaringan atau akses untuk berinternet di Warung Internet (Warnet) atau mempunyai internet di handphone maupun untuk memiliki internet dengan perangkat komputer di rumah, tentu akan lebih sulit mereka dapati.
Sementara, banyak departemen (pemerintah) maupun (apalagi) swasta nyaris semuanya memakai internet untuk rekrutmen yang waktunya hanya beberapa hari. Semuanya butuh anggaran besar dan rutin bagi pengguna untuk menakses berbagai informasi lewat internet. Apakah rakyat miskin, kendati anak-anak mereka mempunyai kecerdasan luar biasa mampu menggunakan internet dalam pengertian cukup memiliki uang untuk mengkases rekrutmen lewat internet. Satu persoalan mengandung sekian banyak masalah yang harus (akhirnya) ditinggalkan dan pada gilirannya akan tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi PNS atau karyawan swasta lainnya.
Sangat ‘keterbatasan’ merupakan potret rakyat Indonesia pada umumnya. Tidak ada solusinya dan tidak ada siapa-siapa yang akan membantu rakyat kecil dan miskin demikian. Sementara kita berteriak-teriak mengatasnamakan rakyat, memberikan pernyataan-pernyataan seperti akurat sekali dapat membantu rakyat kecil, miskin yang jumlahnya dua ratusan juta di Republik ini. Kenyataan sosial, terlalu pahit untuk dibahas di mana saja.
Kalaupun dapat dibahas di permukaan seminar, lokakarya, diklat, diskusi, debat di televisi dengan nara sumber yang sangat populer di mata masyarakat televisi. Itu hanya membuka akses proposal bagi masyarakat (oknum) pecundang yang selalu mentyasnamakan rakyat kecil. Sehingga muncullah apa yang dipopulerkan tentang “ekonomi kerakyatan”, “akad buadaya sendiri”, kemampuan sendiri sampai-sampai membuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk peduli rtakyat kecil.
Peluang itu memang terbuka lebar, akan tetapi peluang besar itu masih sangat jauh dari kehidupan rakyat kecil yang miskin (kaum papa). Bagaimana mereka mau menggunakan fasilitas internet yang 100 persen (murni) adalah bisnis. Bisnis online bisnis yang masih sangtat awam di kehidupan masyarakat miskin dan masyarakat modern di tingkat generasi tua pun masih banyak yang gagap teknologi (gatek) internet padahal dunia internet adalah bagian tak terpisahkan dari dunia global sekarang ini, di ana Indonesia tidak dapat menghindari pengaruh dunia global tersebut.
Pertanyaannya; kapan rakyat miskin yang mendominasi penduduk Indonesia itu bisa mendapatkan perhatian riil dari pemerintah? Rakyat miskin tidak makan modul, tidak makan sertifikasi dengan pola-polanya, juga tidak makan akses internet. Alkan tetapi mereka tetap makan nasi, minum air putih dan ingin tidur damai, aman, nyenyak dan bisa merasakan nikmatnya kenyang. Kapan?

Development Plan 5 Year



KALAU dikatakan seago-ago (semuanya) saja pemerintah menggunakan uang rakyat tanpa perencanaan pembangunan yang matang, banyak benarnya. Kalau di zaman Soekarno (kalau boleh bicara soal figur presiden-pemimpin bangsa), setiap tahun atau lima tahun ada nama-nama proses pembangunan yang harus dikejar dan dilaksanakan. Yang kemudian dikemas dengan berbagai nama, termasuk Pembangunan Semesta, Repelita dan sebagainya. Demikian pula di zaman Soeharto, Repelita menjadi Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Lepas dari dua pemimpin atau dua presiden Indonesia itu, pembangunan di Indonesia sepertinya tidak terencana dengan baik. Sehingga membuka peluang praktek korupsi semakin melebar di semua aspek kehidupan. Luar biasa bangsa ini. Pembangunan yang sudah direncanakan, bisa saja dibatalkan manakala ada proyek momentum, seperti PON, MTQ, Islamic Centre, Pemilukada, Pilpres, Pemilgub dan lainnya. Yang biasanya dikemas dalam paket multiyears. Atau anggaran penanggulangan bencana alam yang tiba-tiba dan mendadak disahkan dengan mengambil pos pembangunan lainnya.
Hal-hal demikian, sangat jelas mengarah kepada “tidak terencananya pembangunan” di Indonesia saat ini. Kalau pembangunan itu terencana, tidak mungkin setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri pemerintah sibuk membenahi Jalan Pantai Utara (Pantura), Lintas Selasan, termasuk ruas jalannyanya yang tersebar di provinsi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Benar-benar tidak terencana. Pembangunan berskala besar menggunakan anggaran besar, hanya disahkan secara mendadak.
Akhirnya polemik tak berkesudahan. Dan, proses pembangunan yang tak terencanapun hanya sebatas memenuhi pandangan mata. Belum juga usai para pemudik melewati jalan yang dibangun secara mendadak itu, ruas jalannya sudah pada berlubang lagi. Memang semua orientasi pembangunan saat ini menjadi kawasan komoditas para pejabat, pemborong dan comunitas masyarakat yang hanya mementingkan diri sendiri.
Di Lampung pembangunan yang tidak terencana yang kemudian menjadi sangkaan-sangkaan terjadi korupsi yang mengalahkan pos anggaran pembangunan lainnya sudah lama terjadi. Misalnya pembangunan Islamic Center di Mengalah, Sukadana, Gunungsugih dan lainnya. Termasuk pembangunan dadakan fasilitas pelayanan umum seperti Terminal di Gunungsugih, rumah sakit di Sukadana, rehaz rumah-rumah dinas bupati dan walikota setiap tahunnya dan rehaz total rumah dinas tersebut manakala bupati atau walikotanya berganti.
Sungguh ironis, siapa yang dapat memberikan masukan yang dapat diterima oleh kepala daerah beserta anggota legislatifnya? Permainan vicious circle (lingkaran setan) kental sekali. Untuk mengesahkan sebuah peraturan daerah (Perda), apalagi banyak, pihak eksekutif harus mengeluarkan anggaran cukup besar kepada anggota DPRDnya. Untuk menjamu petugas BPK yang Sangay rajin memeriksa administrasi keuangan Pemdakab atau Pemdakot, juga pihak eksekutif harus mengeluarkan biaya cukup lumayan.
Kemudian anggaran-anggaran yang dititpkan di pos anggaran di Dinas/Instansi/Badan/Lembaga pemerintah lainnya, ada indikasi hanya sebuah titilan dana murni untuk para pejabat, yang realisasinya ke masyarakat Sangat kecil. Termasuk pembelian kendaraan dinas yang tiap tahunnya diluncurkan pihak eksekutif di kabupaten, kota, provinsi hingga ke departemen atau di lingkungan istana negara. Pembangunan yang tidak terencana tersebut seperti singkat uraian di atas, tidak akan membuahkan hasil pembangunan yang berkualitas dan tidak akan mungkin dapat dinikmati oleh rakyat banyak.

Senin, 20 September 2010

trip goes village

trip goes village

Perjalanan Pulang Kampung

Pahlawan Devisa

ARUS puncak kembalinya pemudik ke tempat kerja sudah berlangsung sejak Sabtu—Minggu kemarin. Ada yang membawa anggota keluarga baru dan ada yang tidak kembali lagi ke kota tempat kerjanya, terutama ke Jakarta. Suasana lebaran setiap tahun sangat momental sekali dan menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Bukan hanya umat Islam yang akan merayakan Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya, tetapi umat lainpun ikut mudik. Karena momentum libur bagi mereka dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pulang ke kampung halaman.
Oleh karenanya, dalam kehidupan masyarakat (khususnya) di Indonesia dikenal ada dua istilah. (1) Tanah Kelahiran dan (2) Tanah Kehidupan. Tanah kelahiran itulah kampung halaman yang setiap tahun pada saat lebaran, banyak yang pulang kampung. Kampung menjadi tempat melampiaskan kerinduan, kebahagiaan, kedamaian dan silaturahim sesama keluarga dan kerabat tetangga handai taulan. Sementara, tanah kehidupan adalah daerah di mana mereka merantau, mencari nafkah. Atau tempat mereka urban. Apakah di kota, di daerah terpencil atau di luar negeri. Tetap saja namanya tanah kehidupan.
Kalau mereka yang bekerja di luar negeri menjadi (sebagai) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) oleh penyiar teleisi disebut-sebut sebagai pahlawan devisa. Tentu sesuatu yang membanggakan. Karena meningkatnya pendapatan anggota masyarakat, akibat hasil kerja yang dibawa pulang ke kampung halaman. Walaupun belum diketahui persis, devisa yang dihasilkan para TKI dan TKW itu berapa. Berapa yang masuk kas negara dan berapa yang masuk daftar penghasilan keluarga di kampung halaman.
Kita hanya latah menyebutnya sebagai “pahlawan devisa” tanpa rincian jelas. Sebutan itu, tentunya hanyalah bumbu masak untuk memikat pemirsa atau publik. Dan, bagi pemudik yang sampai ke kampung halamannya, tentu menjadi pahlawan bagi keluarganya atau kampungnya. Selama berada (beberapa hari) di kampung halamannya. Mereka berlanja dan menaburkan hasil jerih payah mereka di kampung halaman mereka itu. Kebiasaan itu sangat menarik sekali. Maka, jika dalam sistem pemerintah di Indonesia menggunakan nama ‘kampung’ dengan sebutan desa, umbul, pekon, kelurahan. Tentu sangat keliru sekali. Sebab dalam kamus masyarakat Indonesia hanya dikenal sebutan ‘kampung’
Tetapi, sejauh ini, sekian puluh tahun berlangsung tradisi mudik (pulang kampung-pulkam), apakah keadaan kampung halaman mereka menjadi lebih bagus, berkembang dengan pembangunan dan tingkat kesejahteraannya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, tidak juga. Yang memetik hasilnya adalah warga masyarakat yang cendrung hidup sebagai kaki tangan kaum kapitalis di kampung halaman. Barang-barang menjadi mahal, segala kebutuhan dinaikkan sepihak. Semua tidak dapat dielakkan oleh warga yang bukan kaum kapitalis.
Kaum pitalis yang sudah merambah ke pelosok desa memang sulit untuk menerapkan sistem perekonomian rakyat di negara ini. Yang lebih tidak jelasnya lagi ternyata perhatian pemerintah terhadap ekono rakyat hanya sebatas pernyataan dan bukan kenyataan. Kalaupun ada, maka wujudkannya akan ditampung oleh kaum kapitalis, seperti kalau terjadi opereasi pasar, pasar murah dan sebagainya untuk beberapa jenis kebutuhan pokok. Yang memborong barang kebutuhan pokok itu adalah orang-orang yang mempunyai uang.
Sejauh itu, bagaimana pola efektif dan pengawasan pemerintah dalam kegiatan seperti itu, sehingga kebutuhan pokok yang dijual murah tersebut, betul-betul sampai dan daat dibeli secara kuantitas oleh warga masyarakat. Bukan diborong oleh kaum kapital. Masih jauh Indonesia akan sejahtera.

Lama & Baru Tetap Kapolri


Lama & Baru Tetap Kapolri
KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pengganti Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri konon kabarnya sudah diajukan oleh Presiden SBY ke DPR. Beberapa nama mencuat, namun beberapa nama tenggelam. Sebelum kepastian, tentunya kjabar selalu saja bersimpang ‘siaur’ jalan. Hal itu, di negeri kita ini adalah sangat wajar dan lumrah. Para pengamatpun menggelitik sana-sini. Seperti halnbya masalah pengganti Jaksa Agung. Bedanya, kalau posisi Jaksa Agung bisa dijabat orang dari luar Kejaksaan. Akan tetapi, jabatan Kapolri sepertinya harus dari internal Polri.
Polri yang dikatakan sudah menanggalkan atribut militernya, juga sudah berganti-ganti peraturan maupun jenjang kepangkatan yang ada. Polri tetaplah ‘polri” yang dikenal sebagai polisi. Zaman Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ada wacana jabatan Kapolri hingga Kapolda, Kapolres atau Kapolsek bisa dijabat oleh sipil beneran. Artinyanya di luar dari internal Polri. Tapi, sampai saat ini ide kontoversial namun cemerlang dari Gus Dur itu belum sempat dilaksanakan, keburu Gus Dur digulingkan oleh MPR.
Atau wacana demi wacana membuka perjalanan (sejarah) polri di Indonesia, termasuk pergantian istilah jenjang kepangkatan dan baju seragam. Polri paling banyak melakukan perubahan-perubahan. Akan tetapi, perubahan yang mana yang diharapkan oleh masyarakat terjadi ditubuh polri? Atau perubahan yang mana yang dirasakan masyarakat polri sendiri, untuk mengembalikan  harkat dan martabatnya di depan dan di tengah masyarakat? Tentunya, banyak pertanyaan-pertanyaan tidak terlontar, karena pertanyaan-pertanyaan yang akandilontar sudah diketahui pasti jawabannya tetap ‘klasik’.
Banyak alasan pada akhirnya rakyat tidak mau menjadi saksi berbagai kasus, apalagi dipersidangan. Semua akibat citra polri yang betul-betul jatuh di mata masyarakat. Kapolri atau Jaksa Agung yang sekarang akan diganti, jika tidak mendapat gugatan sengit dari mantan Menhankum, Yusril Ihza Mahendra. Mungkin SBY akan tetap menggunakan kedua petinggi tersebut. Apalagi, SBY saat ini dikelilingi staf khusus, staf ahli dan jubir, rata-rata berusia muda yang punya kepentingan dalam komunitas-komunitas masing-masing sebelumnya.
Kembali kepada sebentar lagi akan adanya Kapolri baru, kabarnya antara Nana Soekarna dan Imam Soedjarwo, menunggu keputusan DPR-RI—yang juga sangat kental aroma politik dan kepentingan masing-masing. Memang, di tubuh Polri banyak perwira tinggi (pati) yang perjalanan karier mereka banyak yang menonjol dan berhasil. Tetapi, kembali kepada kepentingan, kekuasaan dan siapa yang memback up semua kekuasaan, itulah yang akan memenangkan pertarungan kepentingan tersebut.
Setiap pergantian rezim (presiden, red), pasti berganti pula cukong yang ada di belakangnya. Politik yang dijalankan oleh penguasa pada akhirnya dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Atau oleh kaum kapitalism. Kita ingat bagaimana berkuasa dan ditakutinya Om Liem (Liem Siong Liong), bagaimana ketakutan masyarakat terhadap nama dan jaringan Bob Hasan dan pengusaha hitam (istilah menyebut pengusaha asal India), bagaimana kekuasaan Tommy Winata (TW) dan lain sebagainya.
Suatu bukti, bahwa sejarah dalam pergantian pucuk pimpinan loembaga tinggi negara selalu berseteru kepentingan-kepentingan komunitas para kapitalis dan partai politik. Di situlah kelemahan sistem yang ada di Indonesia. Sehingga siapapun pengganti Kapolri, tetaplah menjadi Kapolri dengan pola yang sama. Hanya nama Kapolrinya saja yang berubah.  

Jumat, 23 Juli 2010

memories 30 year not meet

Exponent 79 FH UII at Coast Mutun, South Lampung, Jully 2010

Nikah Siri Bukan Pidana

RUU Nikah Siri
( Hanya Pelanggaran Administrasi )
Wacana pemidanaan pelaku nikah tanpa dokumen resmi seperti nikah siri terus menuai kontroversi. Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat Asrorun Niam Sholeh menilai praktek nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana.
"Rencana kriminalisasi praktek nikah siri dalam Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan," kata Niam dalam perbincangan dengan detikcom di Jakarta, Selasa (16/2/2010).
Menurut doktor lulusan UIN Jakarta ini, masalah pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya. Niam mendukung keharusan pencatatan pernikahan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak negatif dalam pernikahan.
"Pencatatan pernikahan penting untuk kepentingan administratif, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan. Bahkan bisa jadi hukumnya wajib", tegas Niam.
Walau demikian Niam mengingatkan perlu sikap proporsional pada kasus nikah siri. "Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana", tegas Doktor bidang Hukum Islam ini.
Intervensi Negara
Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam, sebagai tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta upaya kriminalisasi administrasi negara. Hal ini bertentangan dengan prinsip kehidupan bernegara.
Dalam penetapan regulasi mengenai masalah nikah siri, lanjut Niam, harus dilihat secara komprehensif. Faktanya, praktek nikah siri di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan akses dan juga ketidakmampuan secara ekonomi.
"Bagaimana mungkin orang yang miskin, yang tidak mampu mengurus dokumen pernikahan dan membayar administrasi, kemudian dia nikah siri, dipidana 3 bulan. Kan ini bertentangan dengan rasa keadilan", ujarnya.
Mengomentari adanya praktek nikah siri yang menyebabkan anak istri terlantar, Niam menjelaskan dengan rinci dan proporsional. "Kalau ada orang yang melakukan nikah siri kemudian menelantarkan anak istri, maka yang dipidana adalah tindakan penelantarannya, bukan nikah sirinya", ujarnya.
Dia menambahkan, sekalipun pernikahan telah dicatatkan, jika terjadi penelantaran anak dan istri tetap saja ini harus dihukum. "Dengan demikian, intinya bukan nikah sirinya, tetapi penelantarannya", pungkasnya mengingatkan. (detik.news/yid/iy)