Selasa, 26 Januari 2016
Catatan Pinggir Di Sebuah Warung Bubur
Oleh Naim Emel Prahana
SUARA bernada tinggi itu tak begitu keras
terdengar. Lantaran pembicaranya berada di pusat pasar yang penuh dengan
keramaian. Serius tidak serius, tapi ‘serius’. Tidak serius, juga tidak juga!
Orang bilang itu obrolan di warung. Bolehlah. Tapi, ada yang perlu dicatat –
digaris bawahi dari obrolan semacam itu. Isinya konstektual sekali. Masalahnya,
apakah itu mewakili lapisan masyarakat tertentu, atau tidak. Boleh
dikesampingkan dulu.
Sebab, obrolan pasar atau ngobrol di warung kopi adalah
pribadi-pribadi warga masyarakat, terkadang sangat informatif. Untuk banyak hal yang telah, sedang dan akan terjadi.
Juga, ada benarnya obrolan di pasar di era global informasi itu ada kebodohan
atau mungkin serangkaian informasi yang tengah terjadi di tengah masyarakat itu
sendiri.
’Kayaknya begitu’. Apalagi suasana menjelang pemungutan suara pemilukada (pilkada)
serentak tanggal 9 Desember 2015 ini. Sepertinya, semua dikeluarkan. Mulai dari
sendal, sepatu, sarung tangan, kaos-kaos kaki dan tangan. Topi dan tentunya pos
anggaran untuk mengobrol tadi. Persis lahirnya banyak pengamat, motivator,
inisiator atau penyambung lidah ’katanya’.
Itulah fenomena keterbukaan demokrasi dengan tingkat kemajuan melebihi
kecepatan berjalannya kondisi di tengah masyarakat itu sendiri. Pemilihan
kepala daerah disebut-sebut sebagai ’pilkada’ itu adalah bagian dari dinamika
pembangunan karakter manusia. Over acting
atau ada deleting tertentu. Itulah kewajaran bahwa tingkat pendidikan
masyarakat sangat bervariatif.
Ngobrol di warung kopi pada umumnya melewati fase-fase perdebatan
masalah tertentu. Bisa urgen bisa tidak masalahnya. Ketika itu memasuki wilayah
demikian obrolan di warung kopi menjadi debat kusir yang tidak ada
kesimpulannya. Kecuali memunculkan watak individu anggota masyarakat itu
sendiri.
****
Dari situ akan muncul sikap individualisme yang tinggi. Mengarah
kepada pengeritik dan penerima kritikan. Sebagian besar pasti menimbang,
memperhatikan dan memutuskan debat kusir itu tidak perlu dibawa pulang ke rumah
atau ke kantor. Tapi, tradisi lisan sering pula tidak menimbang, tidak
memperhatikan dan tidak memutuskan isi debat itu secara bijak.
Terajilah sikut-sikutan berawal ngobrol di warung kopi. Apalagi
pilkada serntak 9 Desember 2015 memunculkan lebih dari satu pasangan calon
kepala daerah. Debat kusir, juga harus diakomodir sebagai proses demokratisasi
di suatu masyarakat. Proses itu tidak bisa 100% mencapai garis finish. Setidak-tidaknya
menjadi laga penting terhadap respon warga atas proses demokrasi tadi.
Standarisasi konteks obrolan pilkada memang tidak bisa dicapai dari
”obrolan di warung kopi”. Tapi, akan mencapai tujuannya, jika informasi itu
memiliki banyak data riil yang disampaikan secara santun, beretika dan bermoral.
Yang bilang, ”Semua rakyat sudah ngecap
politik di Indonesia itu jelek”
Adagium tersebut tidak benar. Sebab, dalam hal politik yang buruk
selama ini, rakyat tidak menjeneralisir keburukan seorang politikus menjadi
kejahatan politik secara keseluruhan. Banyak kasus politisi terjerat tindak
pidana korupsi, narkoba, arogansi yang dipublikasikan secara luas tersebut.
Rakyat – masyarakat tidak ’lantas’ menyebut semua politisi atau diunia
politik di Indonesia kacau balau, jahat, jelek, atau rusak! Masyarakat hanya mengaitkan
dengan partai si politisi yang terjerat kasus hukum. Tapi, di lain sisi
masyarakat tetap tidak memberikan lebel apa-apa terhadap politisi yang tidak
bersalah.
Artinya, seperti anggota polisi terjerat kasus kejahatan. Maka, secara
otomatis masyarakat menyebutkannya dengan ”kejahatan polisi” – korpnya dikait-kaitkan. Sedang anggota
polisi lainnya, tidak. Tetap mereka hormati. Di situ tergambar jelas bahwa
obrolan di warung kopi tidak ada jaminannya kalau apa yang disampaikan
seseorang itu mewakili rakyat luat.
” Yang jelas mewakili karakternya sendiri!”
*****
Sama halnya, juga masalah apa yang menimpa beberapa da’i – uztad yang
sering populer lewat acaranya di televisi atau beritanya di media cetak,
elektronik dan media sosial. Masyarakat sudah cerdas, memilah, memilih dan
menyimpulkan apa yang didengar, dilihat, ditemui atau dibaca masalahnya.
”Tidak serta merta,” demikian bisa disimpulkan. Sayangnya, kesimpulan
yang baik dan benar itu, pada tahapan realitasnya selalu dibenturkan kepada
individual yang mungkin memiliki karakter (sifat) yang temperamental,
emosional, egois sehingga debat di warung kopi atau warung apa saja sering
menimbulkan konflik komunikasi selanjutnya.
Pada tatanan obrolan masuk lebih dalam ke pemilukada. Salah satu yang
selalu ikut serta dalam pembicaraan adalah money
politic. Masyarakat hanya tahu ’suap’ dan tidak mau mengurus sebab
akibatnya. Dalam pesta demokrasi seperti pilkada, ”uang berpengaruh besar terhadap kecenderungan warga menyanjung pasangan
calon (paslon). Tapi, uang bukan jaminan sebuah kemenangan di pilkada”
Demikianlah profile pemilik suara yang cerdas mengatakan debat kusir
itu. Mereka akan terima dan menerima siapa yang akan memberikannya. Coblosan di
kertas suara memiliki faktor pengaruh yang multifaktor. Apalagi pemilih yang
hanya memberikan suara, tidak terkait dengan komunitas paslon pilkada.
Namun demikian, obrolan di warung kopi, warung apa saja (warung bubur,
red) pasti memiliki nilai tersendiri terhadap apa yang sedang terjadi dan
bagaimana kejadian selanjutnya. Masyarakat di pasar adalah ”masyarakat bebas”.
Mereka bukan pemain, bukan politikus, bukan pengamat. Tetapi mereka setiap saat
masuk ke wilayah pengamat, politikus maupun menjadi pemain yang bisa berperan
dan bisa tidak. ”semua tergantung kepada sesuatu yang sedang terjadi!”
Asumsinya, bisakah masyarakat pada umumnya yang sudah menjadi cerdas
’memilih’ kemudian memilih ’pemimpin’ yang standarnya sudah cerdas juga? Di
situ akan berlaku hukum relativitas.
KKI III Catatan Budaya Teknologi
Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat seni budaya sekarang tinggal di Kota Metro,
Lampung.
MENANDAI pelaksanaan Kongres
Kesenian Indonesia ke III
tahun 2015 yang dihelat di Kota Bandung, Jawa Barat. Patut
kita sambut baik salah satu sambutan itu melihat dari tema Kongres Kesenian Indonesia
(selanjutnya ditulis KKI) III, “Kesenian
dan Negara Dalam Arus Perubahan”. Tema itu demikian berat untuk
mengelaborasi, mengidentifikasi, serta menginventarisasi berbagai persoalan
kesenian yang terkait dengan konteks bernegara.
Menyadari posisi
kesenian sejak lama sampai KKI III di Bandung ini, para seniman dihadapkan
kepada banyak masalah yang telah dan sedang terjadi – khususnya menghadapi
peradaban teknologi. Asumsinya seperti tercantum dalam kerangka UU Kebudayaan
yang sampai sekarang belum jelas pengesahannya.
Bukan hanya masalah
‘penentuan’ peserta yang diundang dan dibayar oleh panitia KKI III.
Dimunculkannya teman Kesenian dan Negara Dalam Arus Perubahan semakin menarik
untuk ditebak, ke mana pemerintah mau mendisposisikan posisi kesenian di era
teknologi global dewasa ini.
Dalam siding-sidang
kongres diusung pula subtema seperti 1. Politik Kesenian Dalam Perspektif
Negara, 2. Kesenian, Negara, dan Tantangan di Tingkat Global, 3. Pendidikan
Seni, Media, dan Kreativitas, serta 3. Seni Dalam Pusaran Kompleksitas
Kekinian. Ini benar-benar tantangan, namun tidak bagi
seniman yang diundang yang jumlahnya mencapai 700 orang, termasuk wartawan atau
yang tidak ‘diundang’ yang jumlahnya sangat banyak.
Kongres Kesenian
terakhir diselenggarakan tahun 1995, masih dicari hasil rumusan kongres yang
sudah ditindaklanjuti. Sayangnya, belum ada. Kesenian di republik ini – kendati
ada Dewan Kesenian di tiap provinsi bahkan sampai kabupaten/kota, masih
dikelompokkan ke tiga wilayah. Pertama, kesenian formal yang dijadikan konten
promosi perdagangan, wisata maupun “pesona Indonesia”.
Sementara itu,
kesenian yang masuk wilayah masyarakat. Nyaris tidak memiliki kekuatan untuk menampilkan
cita rasa berkesenian mereka, akibat benturan dana yang selalu menghantui
kegiatan. Terakhir kesenian dikelompok Dewan Kesenian – yang tidak mampu
merangkum kesenian tradisional (seni, sastra, musik, drama dll). Dewan Kesenian
‘berkesenian’ antar pengurus mereka saja.
Kita jauhi dulu
persoalan di zaman Hindia Belanda atau orde lama maupun orde baru. Kenyataannya
kesenian Indonesia bisa jadi icon perdamaian – hidup berdampingan
di tengah masyarakat. Pada gilirannya dibenturkan kepada berbagai kepentingan
politik dan negara. Yang seharusnya negara dan kesenian hidup saling mengisi
dan membantu. Pada akhirnya terjadi pergulatan like and dislike negara terhadap kesenian itu sendiri.
Maka, lahirnya
kesenian-kesenian format yang mengumpulkan berbagai jenis kesenian tradisonal
yang kemudian dikemas – dimodifikasi tampilannya ‘kreasi’ yang sering
menmghilangkan nilai-nilai kesenian luhur itu sendiri.
Apalagi, sejak
beberapa tahun terakhir ini munculnya penerbit buku seperti terbitnya media
massa cetak. Banyak buku yang diterbitkan terkesan dipaksakan, guna mendongkrak
popularitas seniman, sastrawan dan cerpenisnya. Termasuk buku teater, musik,
film – sinetron terbit bak jamur dimusim penghujan. Sayangnya kritikus sastra
saat ini sudah menjadi sosok yang langkah.
Semua karya di-like-kan seperti di media jejaring
sosial. Like, delet atau blokir. Tidak
ada saran, kritik dan sumbangan pemikiran atas karya yang diterbitkan tersebut.
Di era teknoplogi global (bukan global) semuanya dikelompok-kelompokkan, termasuk
berkesenian. Kritikus yang rajin, objektif biasanya ditinggalkan di halte-halte
kesenian. Dianggap sebagai penghambat. Penobatan atau pendongkrakan populeritas
pegiat kesenian dewasa ini dianggap sangat penting. “Tidak penting karya saya diterbitkan oleh penerbit berkualitas, yang
penting punya uang hubungi penerbit lokal atau diterbitkan sendiri. Beres!”
Boleh jadi,
fenomena seperti itu adalah kemunduran kesenian di republik ini. Sebagai contoh
banyaknya karya-karya kesenian Indonesia diakui sebagai karya bangsa negara
lain sebagaimana yang sering diperlihatkan oleh Malaysia dan Singapura. Karena
nilai kesenian (seni) yang menjadi karya tidak lagi mementingkan kualitas. Para
senimannya sendiri jika diundang ke negeri jiran itu semakin bangga. Padahal, mereka
mengerti betul kalau negeri jiran itu telah mencaplok karya kesenian Indonesia.
Semua itu bukan
karena kesenian dan negara adalah satu, akan tetapi berkesenian oleh senimannya
karena popularitas belaka. Urusan klaim mengklaim karya seni milik negara mana,
tidak lagi penting. Di sana Nasionalisme di tubuh segelintir seniman semakin
merosot.
Apa yang harus
dibicarakan jika tema “Kesenian dan negara dalam arus perubahan?” di KKI III
Bandung 2015 yang akan dibuka secara resmi tanggal 1 Desember 2015 oleh Mendikbud
RI. Kita berharap, para seniman yang diundang dengan anggaran dari panitia dan
peserta sebagai peninjau mampu memberikan sumbangsaran yang positif melihat
posisi kesenian dan negara pada saat sekarang.
Jika pembicara
utama dalam KKI III 2015 Direktur Kesenian, Endang Caturwati dalam pemaparannya
bercerita tentang latar belakang KKI III, sebaiknya dipersingkat saja melalui
selebaran. Banyak yang lebih penting untuk dikedepankan. Satu hal lagi yang
menarik, dari 700 peserta yang diundang dan dibiayai transportasi, akomodasi
dan lainnya selama mengikuti KKI III. Ada peserta mewakili wartawan, jumlahnya
memang tidak banyak. Posisi wartawan sebagai ‘peserta’ di KKI III rasanya
menggelikan, lucu dan nyeleneh!
Akhirnya, perlu
saya ungkapkan bahwa masalah kesenian adalah masalah data base karya-karya seni
masyarakat Indonesia. Di dalamnya ada pengakuan resmi yang dipatenkan oleh
negara melalui pemerintah. Tujuannya, agar karya-karya seni bangsa Indonesia
tidak begitu mudah diakui oleh bangsa lain.
Di samping itu,
sarana dan prasarana berkesenian di setiap daerah perlu mendapat perhatian
khusus pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,
agar masyarakat dapat berkesenian dengan maksimal dan tidak dimonopoli oleh
Dewan Kesenian yang notabene selalu mewakili individu pengurusnya saja.
Faktor Kalah dan Menang Kontestan Pilkada
Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat seni budaya
Adagium lama, “kegagaan adalah kemenangan yang tertunda!” Mungkin
tidak cocok dengan peristiwa pemilihan kepala daerah (pilkada), apalagi pilkada
serentak 2015 yang baru saja lewat di depan rumah rakyat. Kekalahan pada
pilkada sekarang ini, benar-benar kekalahan yang ‘kalah’ dari semua sisi.
Kekalahan pasangan calon (paslon) kepala daerah tersebut bukanlah suatu
kegagalan, melainkan kekalahan nyata.
Jika dikatakan pilkada itu punya cost mahal, benar sekali! Kendati,
pada pilkada serentak 2015 banyak biaya yang biasanya dikeluarkan paslon
menjadi berkurang, karena biaya-biaya utama ditanggung oleh pemerintah melalui
KPU. Namun demikian, biaya pilkada setiap paslon jelas sangat tinggi. Sebab,
aturan yang membatasi anggaran kampanye, pembuatan APK, transportasi,
sosialisasi dan kampanye terbuka itu.
Bias disiati oleh paslon dan tim suksesnya. Itulah biaya pilkada yang
tetap mahal. Apalagi paslonnya mengalami kekalahan. Jika ditinjau dari
kekalahan paslon dalam pilkada yang baru saja berlalu. Banyak hal yang selama
ini tidak terpikirkan oleh paslon.
Kekalahan pertama; kalah banyak meraih suara dari paslon
lain. Berarti gagal mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Faktor
penyebabnya banyak sekali. Diantaranya karena rakyat sudah semakin cerdas
memilah dan memilih calon pemimpin mereka untuk waktu yang panjang – lima
tahun!
Track record seorang calon selalu terekam dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari dan akan muncul pada saat pilkada. Track
record itu, bisa saja si calon pernah jadi pejabat daerah atau pengusaha yang
butuh masyarakat ketika ada maunya. Setelah tercapai masyarakat dibuang seperti
sampah. Kekecewaan model itu sangat mempengaruhi perolehan suara pada pilkada
oleh seseorang calon. Berarti, kekalahan itu ada pada diri si calin itu
sendiri. Dan, itu kekalahan yang sangat dahsyat. Apalagi jika dikaitkan dengan
biaya yang sudah dikeluarkan.
Kekalahan kedua; kemenangan calon kepala daerah pada
pilkada sebenarnya mudah sekali diprediksi. Di samping track recordnya, juga
masalah popularitas. Apakah popularitas seseorang itu didongkrak atau didapat
dari kecintaan masyarakat terhadap apa-apa yang dikerjakannya selalu dekat
dengan rakyat. Rakyat akhirnya sangat mengenal sosok si calon. Lain halnya
dengan popularitas dongkrakan.
Kemenangan atau kekalahan di pilkada merangkum semua faktor penyebab yang
ada pada diri si calon. Intern maupun ekstern. Memang, kekalan di pilkada
sangat menyakitkan bagi paslon yang tidak siap yang hanya punya ambisi
berlebihan. Tidak bagi paslon yang benar-benar siap. Artinya, pencalonan
dirinya betul-betul sebagai wujud pemegang amanah rakyat.
Kampanye-kampanye berisi kebohongan sebaiknya tidak dilakukan paslon,
jika ingin bertarung secara fair. Sebab, indikasi rakyat sudah semakin cerdas
akan melibas kebohongan itu dengan tidak memberikan dukungan kepada paslon yang
suka hoak!
Hal itu sudah banyak terbukti. Terutama di pilkada serentak 2015 yang
baru usai melakukan pemungutan suara.
Bberapa incumben harus takluk dengan pendatang baru yang dinilai
masyarakat akan memberikan udara segar bagi pembangunan di daerahnya. Sementara
incumben yang selalu mengumbar tentang keberhasilannya, dinastinya atau semacam
itu ditinggalkan pemilih. Karena faktor pertama tentang track record di atas
tadi.
Kekalahan ketiga; kompetisi di pilkada butuh taktik,
strategi dan manajemen yang terukur, terarah dan terdata. Bukan manajemen
‘katanya’ tim sukses. Karena ketika strategi, taktik atau manajemen kurang
bagus. Banyak pihak yang akan menggoreng paslon (mungkin termasuk tim suksesnya
sendiri) dan para penjudi.
Paslon seperti pada pilkada serentak 2015 tidak dapat mengandalkan
rencana dalam bentuk spekulasi tinggi, antara lain mengandalkan serangan fajar
untuk meraih suara banyak dari pemilih. Sebab, teori spekulasi itu tidak cukup
punya dana besar, tetapi ia harus punya orang-orang yang genius, trampil dan
profesional. Jika tidak, dipastikan paslonnya akan digoreng habis-habisan.
Terutama paslon yang berasal dari jalur perorangan (independen).
Benar-benar harus punya database real tentang dukungannya. Banyak percakapan
real di tengah masyarakat menjelang hari pemungutan suara yang tidak tertangkap
oleh paslon maupun tim suksesnya. Padahal, suara-suara langsung itu adalah
nyata.
Penulis punya cerita sendiri. Beberapa tahun silam menjelang pemilihan
gubernur Lampung (Pilgub) yang salah satu calonnya adal Sjachroedin ZP,
kemudian ada Alzier Dianis Thabrani, Zulkifli Anwar, Andy Achmad SJ dll.
Penulis melakukan perjalanan dari Bengkulu ke Lampung melalui Baturaja – Martapura
– Waykanan, Bukitt Kemuning.
Sepanjang jalan di daerah Way Kanan saya bersama teman tidak melihat
satupun baleho, spanduk atau banner paslon gubernur. Kecuali gambar
Sjachroedin. Sesampai di Bukit Kemuning penulis bilang sama teman. “Jelas,
Sjachroeddin ZP bakal menang!”. Usai pilgub, ternyata benar. Mungkin juga apa
yang penulis katakan itu hanya faktor kebetulan. Tapi, tidak. Penulis melihat
banyak msisi lainnya.
Pada saat pilgub Lampung yang salah satu calonnya ada Ridho Ficardo,
penulis waktu itu melakukan perjalanan dengan seorang kawan lainnya dari
Bengkulu ke Lampung melalui Pesisir Barat dan Lampung Barat. Sejak perbatasan
dari Kabupaten Kaur (Bengkulu) dengan Pesisir Barat – sepanjang jalan, di
kampung-kampung dan hutan tanpa penghuni (rumah penduduk). Penulis melihat
hanya gambar Ridho Ficardo yang ada bahkan di dalam hutanpun gambarnya ditempel
di kayu-kayu besar.
Penulis bilang sama kawan, “Waduh, nggak lawan. Ridho Ficardo pasti
menang!” Sekali lagi ucapan penulis itu pada akhirnya bener. Pada pilkada
serentak kemarin berulang kali penulis bilang, paslon di Lampung Selatan, Rycho
Menoza, paslon Pesawaran Aries Sandy sudah kehilangan massa, karena selama
kepemipinan keduanya terjadi banyak hal yang dinilai masyarakat tidak pantas
dan tidak patut dilakukan. Ternyata, hasilnya memang benar, Zainuddin dan Dandi
Ramodana berhasil menaklukkan kedua incumben tersebut.
Jadi, mengikuti pilkada memang harus siap segala-galanya, termasuk
dana – walau sejak pilkada serentak dana kampanye sebagian besar ditanggung
pemerintah cq KPU. Tapi, dana-dana lain sebagai bensin kegiatan paslon harus
siap sedia sejak awal dan manajemen yang teratur dan terarah.
Dan, perlu diingat, bahwa pesta demokrasi seperti pilkada, pemilu,
pilpres, pilgub atau pemilihan lain selalu saja dibayang-bayangi para penjudi
yang karena perjudiannya, sering mengalihkan perhatian pemilih dalam
pilihannya. Dengan begitu, maka kalah dan menang dalam pilkada tidak lepas dari
persoalan nilai seorang kompetitor (kontestan).
Langganan:
Postingan (Atom)