Sabtu, 27 Februari 2016

Memainkan diri Sendiri



Sajak Naim Emel Prahana

Kenapa aku?
Tidak selamanya kaya
Berjalan tanpa menoleh kiri kanan
Tidak selamanya status sosial
Bergelimang aroma hiruk pikuk kota
Kenapa kita, di sini?

Ceritanya dari kisah
Warga tidak peduli tetangga
Mengira punya harta sendiri
Bersembunyi di balik di dalam tembok
Rumahnya yang hebat
Kenapa ia tidak hadir
Lari dari undangan mengalir tetangga?

Kini, kenapa dia, kita keberadaan
Siklus kehidupan membuktikan
Ketika jaya jangan sombong
Arus zaman akan menerjang, ambruk
Jangan salahkan tetangga

+2010

Sayap-Sayap Merdeka

Bahasa apa lagi kawan
Mengucapkan salam pandang
Hutan pegunungan yang berlubang-lubang
Rumah-rumah tumpang tindih
Jelaskan batas si kaya si miskin
Yang dihapus dalam data base

Kebebasan itu cuma mereka, kawan?
yang hilang ditelan dunia baja
dan dibiaskan kaca jadi rumah
dingin berselimut alat pendingin
yang kedinginan disirami hot water
kompak, komplit
makin kompleks masalah kemerdekaan ini

keributan di media massa
melarang aku merokok
menangkap para pelacur murahan
yang hidupnya sudah hancur
zaman ini sudah merdeka
kebebasannya yang tidak pernah ada

katakanlah, di sini atau
di mana saja kaki berpijak
di ruang apa saja suara berteriak
siapa berani mengatakannya
benarkah negeri ini sudah merdeka
Katakanlah!
kemerdekaan seharusnya for all
mustikah dibedakan
kemerdekaan rakyat berbeda
kemerdekaan penguasaha, berbeda dengan
kemerdekaan penguasa
dan kemerdekaan bagi premanisme
penjajahan personal?

+2010

Aku Adalah Catatan-Catatan



Oleh Naim Emel Prahana

SANGAT beralasan, jika orangtua berulangkali menghimbau anak-anaknya, agar jangan makan di pintu, jangan menyapu di tengah malam, waktu makan jangan pake piring double atau nasihat bijak lainnya. Semuanya sangat bermakna sangat memiliki hubungan dengan nuansa alam yang didiami. Barangkali itu hanya mengulangi ingatan kita tentang lagu “nina bobok” yang dilantunkan oleh kakek atau nenek yang menidurkan cucunya.

Masihkah ingatan kita cemerlang, ketika tidur-tiduran di atas tempat tidur atau di bale-bale depan rumah atau di bawah sebuah pohon rindang yang ada di tengah sawah. Apa yang terpikirkan dan yang jelas terlihat di mata, mata hati kita? Gumpalan awan terlihat sebagai lukisan-lukisan yang sangat indah, ada wajah seseorang, ada mata yang sedang memandang dan ada makna di balik lukisan tersebut.

Lalu, bagaimana kita melihat dengan mata tetapi memaknainya dengan kata dan mata hati di semak-semak dan di balik semak-semak itu. Saat itu melintaslah bayangan seperti film. Apalagi kalau kita sering menonton film-film kolosal (sejarah) dan bermacam-macam yang tergambar, semua tergantung saat melihat itu seseorang dalam keadaan bagaimana pikiran dan hatinya.

Kalau seorang pemain teater, ketika memerankan sebagai seseorang dengan karakternya, misalnya jadi pengemis, pengamen, penjahat, orang kaya, playboy dan pelacur. Ia akan ke luar dari jati dirinya menjadi sosok orang yang ia perankan dalam status sosial. Atau ada banyak orang yang menyesali dirinya, ketika ketika ia masih muda (belum nikah) saat pacaran yang begitu akrab, tidak melakukan hubungan seks dengan pacarnya. Padahal, waktu ia pacaran peluang dan kemungkinan untuk melakukan hubungan seks begitu terbuka dan lurus.

Tapi, ia menyesal karena tidak melakukannya. Penyesalan itu datang setelah sekian lama dan setelah ia berumah tangga. Dan, penyesalan itu terjadi ketika ia melamun atau dalam keadaan pikirannya gundah gulana karena sesuatu sebab dalam kehidupan sosialnya. Semuanya ada dalam film dirinya sendiri. Ia dengan jelas mampu melihat kembali perjalanan hidupnya di masa silam.

Sehingga tidak dapat diragukan lagi, bahwa hanya terhadap Allah dan diri sendirilah yang tidak bisa dibohongi. Dus karena itu, diri itu adalah AKU. Aku adalah diri seseorang tersebut. Dengan kata lain, aku bukan siapa-siapa adalah percuma ketika orang lain merasa memiliki ‘aku’. Sebab, aku adalah aku. Kau itu, juga adalah kau dalam diri aku-mu (aku-kau). Walaupun aku tersenyum bersama kau, kau dan kau yang setiap hari ketemu, tetapi ‘aku’ tetaplah aku yang tidak bisa diketahui oleh siapapun; apa yang terjadi dalam diriku, diri kau (dalam kau ada aku-mu).

Jadi, aku adalah catatan-catatan dan catatan-catatan itu adalah tentang diriku. Ketika orang lain membuat catatan tentang diriku (orang lain lagi), maka sudah dapat dipastikan, pasti ada perbedaan dalam perlawanan yang karakteristik, psikotropikaistik dan kontroversialistik. Oleh karenanya, tidsak otomatis ‘kebutuhan’ dan ‘kepentingan’ itu adalah kebutuhan dan kepentingan ‘riil’—ku. Karena sebab lain, maka ada kebutuhan dan kepentingan karena sebab lain itulah kebutuhan dan kepentingan yang tengah diburu bukan tujuan sebenarnya dalam kebutuhan dan kepentingan-ku.

Catatan yang paling orisinil adalah catatan dalam jiwa dan ingatan, dan bukan yang ditulis-tulis seperti cerpen, puisi dan roman dalam karya sastra. Atau mungkin banyak di antara biografi seseorang itu sudah jauh dari kenyataan. Tetapi, banyak pula tulisan-tulisan yang disastrakan itu merupakan catatan-catatan personal atau kelompok komunitas, yang sudah tentu sudah disedemikian rupa bahasa tulisnya, sehingga enak untuk dibaca, dicerna dan dibayangkan. Apa yang ada di balik cerita dalam catatan-catatan itu.

Yang ada di balik catatan-catatan itu adalah tentang aku, kamu, dia, mereka, kita. Mungkin, juga tentang konflik keluarga, konflik warga, konflik guru di sekolah, konflik pribadi dan perbuatannya. Konflik pandangan, ideologi, persepsi, dugaan—perkiraan, bisnis, komoditas dan hasilnya. Mungkin masalah persaingan pilkada dengan segala sepakterjang tim suksesnya, partai pengusungnya. Atau bisa apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang perlu direkayasa di dalam kehidupan itu.

Kehidupan seseorang sangat mirip dengan permainan sepakbola di sebuah lapangan. Jika seorang pemain hanya “bermain-main” belaka. Maka, hasilnya tidak akan memberikan kepuasan dan kebanggaan hidup. Sebab, kepuasan dan kebanggaan merupakan bagian dari perjuangan kehidupan yang hidup sepanjang hayat dikandung badan. Tetapi, jika seorang pemain dan pemain lainnya melakukan permainan sepakbola di lapangan dengan serius. Tentu, hasilnya akan menjadi suatu kebanggaan dan pendorong semangat hidupnya setelah permainan itu selesai.

Banyak pledoi (pembelaan) diri seseorang yang terabaikan dalam konteks keadilan dan kebenaran, terkait dengan moral dan nilai-nilai sosial, agama, etika—sopan santun, hukum positif. Namun, pembelaan itu tenggelam oleh glamourisme pola kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Perburuan kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan memiliki volume yang lebih besar daripada perburuan kebutuhan riil yang sebenarnya harus dimiliki dan dikejar.

Pada kenyataannya materi (uang) saat ini menjadi idola dan mimpi indah kehidupan seseorang atau format sebuah rumah tangga (keluarga). Walau pada kenyataannya format materi itu tidak terlalu besar pengaruhnya kepada kehidupan yang damai, tentram, sejahtera, aman dan harmonis. Pemilihan dan peletakan materi di atas segala-galanya dalam kehidupan dewasa ini—sebagai kecenderungan pola hidup masyarakat. Memang tidak banyak membawa berkah dan manfaat dalam format kejiwaan hidup itu sendiri. Mungkin akan lebih banyak kepada dampak yang akan mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai peradaban masyarakat yang beretika sopan santun dan berakhlak.

Keinginan untuk menjadi terkenal dengan tidak populer, saat ini sudah menjadi trend kehidupan di kalangan masyarakat tertentu. Artinya, mereka mencari cara-cara ‘aneh!’ untuk mendapatkan predikat populer—terutama yang ada aksesnya dengan publisitas. Mungkin gaya hidup seperti itu banyak diperlihatkan—dipublikasikan oleh para artis (dunia panggung hiburan). Tentunya, kita tidak harus menilai sedalam mungkin prilaku nyeleneh itu, akan tetapi kita pasti memahami dan mendeteksi bahwa hal-hal yang nyeleneh itu, hanyalah sensasional untuk ambisi popularitas nama belaka (predikat).

Yang tentunya, tidak ada jaminan kuatm,  bahwa hal itu akan menjadi dasar hidup yang tentram, nyaman, damai, aman dan harmonis antara lahir dan bathin. Apakah bentuk prilaku kehidupan yang mengandalkan sensasional, nyeleneh, aneh dan kontroversial itu dapat dijadikan dasar kehidupan modern yang serba glamour dewasa ini. Mungkin jawabannya ada pada realita dan nonrealitas yang dirasakan setiap anggota masyaraklat itu sendiri.

Pemberantasan dan Proyek Narkoba




Oleh Naim Emel Prahana
Pemerhati masalah-masalah sosial budaya, hukum dan politik


SUATU malam di kota Palembang, aku dipesani si tukang ojek yang memperingatkan, agar kalau masuk kompleks Darma Agung, “hati-hati!” Bersamaan peringatan itu, dia bilang, di situ cewek-ceweknya banyak yang ngerangkap jadi tukang copet. “Oya,...!” jawab temanku. Dan, kata tukang ojek itu, jangan mau dijebak kalau ada cewek yang mengatakan, ia tahu dan bisa membeli inek alias ekstasi.

Warning demikian bukan hanya sekali dua kali kudengar, entah di mana lagi tempatnya. Dalam hatiku, kalau peringatan (warning) demikian, gak usah disampaikan. Karena sudah tahu, kalau di dunia hiburan itu pasti masalah bisik-bisik hingga terang-terangan bertransaksi narkoba (umumnya ekstasi) sudah bukan hal yang baru.

Namun, walau demikian tetap saja menyisakan pertanyaan-pertanyaan—kenapa mata rantai peredaran dan penyalahgunaan narkoba di tempat kita (Indonesia) ini, sangat sulit diberantas. Seperti kesulitan mengakhiri krisis multidimesional yang dialami bangsa ini sampai sekarang.

Banyak komentar merespon maraknya peredaran narkoba—karena Indonesia sudah tidak lagi utuh sebagai negara tujuan peredaran narkoba Internasional, karena sudah menjadi salah satu negara produsen. Kadang oleh rekan-rekan aparat penegak hukum dikatakan sok tahu—sok pinter atau apalah bantahannya.

Rasanya, pemberantasan narkoba adalah tidak cukup dengan menerbitkan Keputusan Presiden atau yang lagi dirancang adalah Peraturan Presiden (Perpres)—rencananya sebagai pengganti Keppres No 17/2002 tentang lembaga nonstruktural yang langsung di bawah komando presiden. Tapi, definisi action (aksi) hingga sekarang pun masih belepotan tentang wajah sebenarnya dari kata aksi itu.

Banyak dari kita (masyarakat) sebenarnya belum paham betul itu yang bernama narkoba, apa lagi “apa dan bagaimananya?” Padahal, penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan dan sebagainya—sebagai upaya untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan pemberantasan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). Sudah sangat banyak dilakukan. Toh, persoalan peredaran dan penyalahgunaan tetap menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.

Dua Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika masing-masing No 22/1997 dan No 6/1997, yang kemudian lembaganya Keppres No 17/2002 dan Inpres No 3/2002 soal Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK)—sudah dapat menjadi acuan dalam rangka P4GN.

Keberhasilan selama ini, kita sambut gegap gempita. Bersorak-ria. Namun, kegembiraan dan keberhasilan mengungkap kasus-kasus narkoba selama ini, jangan membuat kita terlena. Sehingga produsen dan pedagang narkoba mengambil kesempatan. Padahal, sudah berapa triliun uang rakyat dihabiskan dalam program-program pemberantasan narkoba tadi?

Di negara ini, kita sering berandai-andai, mengkhayal, dan menimbun cita-cita. Pada gilirannya masalah hasil yang dicapai P4GN masih sulit diakui mendekati sasaran. Kita pun belum melapor ke lembaga-lembaga Internasional bagi pemberantasan narkoba. Akibatnya, sindikat narkoba dengan leluasa merayu, meningkatkan volume janji kesejahteraan kepada masyarakat. Daro anak-anak sekolah dasar hingga kaum intelektual dan cendekiawan, untuk menggunakan narkoba. Tentu dengan berbagai modus, agasr mencapai target penjualan narkoba.

Pada bagian lain, kita akhirnya gagap menghadapi perkembangan dan kemajuan pesat perdagangan narkoba. Kegagapan itu berimbas kepada pengungkapan dan penanganan kasus narkoba itu sendiri. Sampai kepada putusan pengadilan yang dirasakan sering nyeleneh. Lebih parah lagi dirasakan belum mendekati sasaran putusan yang ‘adil’ bagi masyarakat.

Hal itu, barangkali wajar. Mengingat banyaknya kasus-kasus narkoba yang terungkap pelakunya hanyalah berada pada posisi “pembantu para pembantu dari para pembantu bandar, bandar dan produsen narkoba” Artinya, mereka hanya menjual sebutir dua butir ineks, memegang setengah atau satu btir inek. Mungkin hanya dititipi selinting ganja siap pakai atau siap edar.

Dari sekian tersangka yang kelasnya masih ‘teri’  yang digelandangkan, tidak sebanding dengan para bandar yang masih banyak berkeliaran di sekitar kita. Lebih kronisnya lagi, kasus seorang bandar besar dan pemegang setengah butir inek, seperti langit dan bumi. Artinya, yang ketangkap karena memegang setengah butir inke di karaoke, pidana yang diputuskan pengadilan sangat berat. Padahal, putusan untuk seorang cukong (bandar) narkoba dengan barang bukti mencapai 350 butir, cukup 3 tahun, dan itu tersangka jarang berada di dalam LP.

Masih segar ingatan kita kasus seorang wanita muda berinisial W yang ditangkap di salah satu ruang karaoke di kawasan Telukbetung. Ditangkap bersama beberapa wanita muda lainnya yang menemani beberapa pria untuk berkaraoke. Saat ditangkap ia diberi setengah butir inek dan masih utuh ditangannya ketika tertangkap oleh aparat polisi.

Bagaimana dengan keputusan PN Tanjungkarang beberapa tahun silam itu? Cukup mengagetkan, vonisnya 1,5 tahun. Alasan majelis hakim, ia tidak memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Sementara itu, ingat kasus karaoke Nirwana, ketika bandar narkoba berinisial T ditangkap, barang buktinya mencapai 300-an butir. Berapa tahunkah pidananya yang dijatuhkan majelis hakim PN Tanjungkarang?

“Cuma (kalau tidak lupa) 3 tahun penjara, untuk barang bukti sekitar 324 butir inek!” Dan, bagaimana dengan wanita muda berinisial W yang usianya sekitar 20-an tahun, yang ketangkap dengan barang bukti ½ butir inek dijatuhi hukuman 1,5 tahun (baca: setahun setengah). Wanita muda ( W ), bukan pengedar, bukan pengguna narkoba secara rutin, bukan pemasok, apalagi bandar, apalagi produsen. Tapi, hukumannya begitu berat dibandingkan dengan hukuman untuk bandar T—pemilik karaoke Nir di Jl Soekarno Hatta.

Logikanya, kalau ½ butir hukumannya setahun setengah, maka 1 butir hukumannya 3 tahun penjara. Nah, kalau 300 butir inek yang jadi barang bukti. Otomatis 300 X 3 tahun adalah 900 tahun. Seharusnya demikian vonis yang dijatuhkan. Tapi, kembali kita menyadari, kalau sistem peradilan kita masih sulit ditebak. Seperti angin berubah-ubah arah setiap saat atau setiap harinya. Tanpa ada pedoman (yurisprudensi) yang dijadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara dengan substansi yang sama. Hanya beda volume barang bukti dan status tersangkanya.

Penanganan proses kasus narkoba sampai detik ini, betul-betul tidak memberikan pencerahan kepada penegakan supremasi hukum di negara ini. Diduga, banyak putusan yang kalah pamor dibandingkan dengan beberapa faktor. Misalnya kekuasaan pejabat, uang dan status sosial keluarga tersangka. Sedikit banyak dari uraian di atas—bisa dijadikan bahan evaluasi peradilan kasus narkoba di Indonesia.

Sudah barang tentu, kita tidak ingin lagi mendengar plesetan KUHP, KUHAP atau Kitab Undang-Undang lainnya, maupun UU atau PP—yang sering terdengar lucu, aneh, ngenguyon tapi menyakitkan. Pada gilirannya, menghadapi persoalan narkoba, bukan hanya si produsen dengan distributor-distributornya, distributor dengan bandar-bandarnya, bandar-bandar dengan pengedar, pengecer dan pemakai saja yang terbuai suara surga. Tetapi di rentang proses perjalanan kasus narkoba pun bagi beberapa lembaga penegakan hukum, juga terdengar suara-suara surga yang mengasyikkan kalau dilewati begitu saja.

Soal uang, soal kesenangan, soal kesejahteraan sampai soal dopping bisa diraba dirasa bila dapat memahami kasus narkoba sebagai sawah ladang. Narkoba adalah sawah ladang dan kebun yang tak pernah gagal memetik keuntungan materi, bahkan keuntungannya berlipat ganda. Itu kan suara surga dalam neraka narkoba. Gak percaya, menyamarlah—masuk ke masyarakat pengguna narkoba. Suara surga yang memang tidak pernah kita tahu itu, tapi dengan narkoba (katanya) semua serba terasa dan indah.

Kalau sudah demikian, maka sulitlah untuk menekan apalagi memberantas peredaran gelap narkoba—karena disisi lain dunia medis masih sangat membutuhkannya, tanpa pengawasan yang berarti. Memberantas narkoba harus ada jaminan bahwa, KATA TERUCAP LANGKAH DITANCAP! Narkoba No! Sekali TIDAK tetap TIDAK!

Jumat, 26 Februari 2016

HM HARUN MUDA INDRAJAYA

Pemimpin Redaksi (SKU Tamtama), Harian Tamtama, Lampung Ekspres (JPNN) 
dan Lampung Ekspres plus dalam memorial






FOTO KENANGAN RAPAT-RAPAT REDAKSI HARIAN TAMTAMA (Lampung Ekspres)


 Fajrun Najah Ahmad (Fajar), M Yusuf Puspita Jaya, Kolam Pandia 
dana Naim Emel Prahana sedang berdialog
 M Yusuf Puspita Jaya dan Effendi Yusuf
 Kolam Pandia, Faizal Ahmad, Naim Emel Prahana
dan Heriansyah AK
 M Yusuf Puspitajaya, Rumiati, Effendi Yusuf, Burhan
dan Sanusi
 Fajrun Najah Ahmad, Yulizar Kundo, Ahmad Novriwan
Pimpred, HM Hrun Muda Indrajaya sedang memimpin rapat koordinasi


RAPAT KOORDINASI PEMBANGUNAN BALAI WARTAWAN PWI DI KOTA METRO


 Dewan Kehormatan PWI Cabang Lampung berkunjung
ke Metro dalam rangka membahas pembentukan pengurus
PWI Wilayah Timur di Kantor Deppen Lampung Tengah
tahun 1998
 Rapat Dengar Pendapat mengenai rencana pembangunan
gedung (Balai) Wartawan Wilayah Timur di Aula Pemkot Metro
dalam gambar nampak (ki-ka) Ketua Komisi D DPRD Metro, 
Amir Hamzah SH, Wakil Ketua PN, Wakil Kapolres sedang
berbincang
 para Kepala Dinas, Badan dan lembaga pemerintah
berkumpul di Aula Pemkot Metro membahas rencana
pembangunan Balai Wartawan di Kota Metro (1999)
 Walikota Metro, Drs H Moses Herman sedang berdialog
dengan beberapa pengurus PWI Wilayah Timur usai dengan pendapat.
Nampak walikota, Dencik Effendi M (Sekretaris PWI-PWT), 
Dahlan Sikumbang (bendahara)

 Wakil Walikota, Lukman Hakim dan Kasi Intel Kejari Metro, 
Hendrik Selalau SH
 Walikota Moses Herman bersalaman dengan pengurus
PWI-PWT (1999)

 para Kepala Dinas, Badan dan lembaga pemerintah
berkumpul di Aula Pemkot Metro membahas rencana
pembangunan Balai Wartawan di Kota Metro (1999)
 Pemaparan: Ketua PWI - PWT Naim Emel Prahana
tengah memberikan pemaparan masalah pembangunan Balai
Wartawan PWI di Kota Metro
 Wakil Walikota berdialog dengan Ketua PWI-PWT Naim
Emel Prahana dan wartawan Lampung Post, Edy Ribut Herwanto
 Walikota Metro berdialog dengan Wakil Ketua PWI-PWT Sudirman KN
, Sekretaris PWI-PWT, Dencik Effendi M didampingi Kabag Humas Drs Basran dan 
seorang wartawan mingguan Handal, Tedy

Wushu Kota Metro Dilantik



Metro - Pengurus Cabang Olahraga Wushu Indonesia Kota Metro dilantik secara resmi oleh Ketua Wushu provinsi Lampung di Vihara Graha Suka, Iringmulyo Kamopus, Metro Timur
Kemarin sore.
Pelantikan Pengurus Kota Wushu Indonesia (Pengkot WI) Kota Metro periode 2016—2020 didasarkan kepada SK WI Lampung No: SKEP/01/WI-LPG/IH/I-2016 tanggal 16 Januari 2016.
WI Provinsi Lampung secara resmi mengangkat dan menetapkan Handi Tjandrianto sebagai  ketua umum WI Kota Metro.
Dalam pelantikannya, Kamis (25/2) pukul 17.00 WIB di Graha Suka Iringmulyo, Metrto Timur, ketua WI Lampung, Indra Halim agar WI Metro dapat melaksanakan kegiatannya sesuai program.
“Karena Wushu adalah olahraga seni bela diri, untuk kesehatan sekaligus berolahraga,” kata Indra Halim.
Hadir dalam acara pelantikan WI Kota Metro kemarin sore, antara lain Kapolres, Dandim 0411 Lampung Tengah, Kadisbudparpora, Wakil Ketua III KONI Metro dan enam pengurus WI provinsi Lampung.
Usai pelantikan WI Metro, diteruskan dengan pelantikan BOPI Kota Metro. Susunan pengurus WI Kota Metro terdiri dari Pembina adalah Gunawan Qiu SH, Nurdin Cahyadi, dr Hartawan, Gunawan Waluyo, Susanto, Atun Wijaya, Tony Tambara, Lina Oktira SP Meng dan Ancilla Hernani SE Spsi MPd.
Di susunan pengurus dipercayakan kepada Handi Tjandrianto (ketua) dengan wakil-wakil ketua terdiri dari Dedi Cayana, Ir Jenny Soelistiani MM, Indra Sandadi.
Untuk sekretaris dipegang oleh Khie Siong dan wakilnya Stefanie Dini dengan bendahara dan wakilnya Tjendrawasih, Renny Lius.
WI Kota Metro, juga ditambah dengan personalia di bidang pembinaan prestasi, yang dibagi lagi menjadi subbid pembinaan prestasi dan subbid pelatihan, perwasitan dan teknis.
Kemudian bidang dana dan usaha dengan subbid dana dan usaha serta subbid sarana dan prasarana. (RD-2)

 Foto bersama: Dandim 0411 Lampung Tengah, 
Kapolres Kota Metro, Kadisbudparpora, Wakil Ketua III
KONI Kota Metro foto bersama pengurus Wushu
Kota Metro yang baru dilantik


 Foto bersama: Dandim 0411 Lampung Tengah, 
Kapolres Kota Metro, Kadisbudparpora, Wakil Ketua III
KONI Kota Metro foto bersama pengurus Wushu
Kota Metro yang baru dilantik

 Penyerahan bendera organisasi Wushu
KETERANGAN GAMBAR:
DILANTIK—Ketua Wushu Indonesia Provinsi Lampung, Indra Halim mengambil sumpah pengurus WI Metro periode 2016—2020 di Graha Suka Iringmulyo 15A Metro Timur, Kamis (25/2) pukul 17.00 WIB kemarin. Foto: naim ep/LE

Rara Emeliana semasih kecil

 Rara bersama Gilbran dan Abil
 Rara bergambar di depan rak buku papanya di rumah
 Rara: bergaya di depan pintu

 Rara: usai sholat magrib
 Mama Rara lagi main handphone di tempat
wisata di Lembah Hijau
 Rara dan Rehan
 Rara dan Rehan
 Rara, Rehan dan tante Titis-nya
 Abil dan Rehan
 Rara lagi mainan
 Rara dan Rehan lagi makan pop mie 
di Lembah Hijau