Oleh Naim Emel
Prahana
SANGAT beralasan,
jika orangtua berulangkali menghimbau anak-anaknya, agar jangan makan di pintu,
jangan menyapu di tengah malam, waktu makan jangan pake piring double atau
nasihat bijak lainnya. Semuanya sangat bermakna sangat memiliki hubungan dengan
nuansa alam yang didiami. Barangkali itu hanya mengulangi ingatan kita tentang
lagu “nina bobok” yang dilantunkan oleh kakek atau nenek yang menidurkan
cucunya.
Masihkah ingatan
kita cemerlang, ketika tidur-tiduran di atas tempat tidur atau di bale-bale
depan rumah atau di bawah sebuah pohon rindang yang ada di tengah sawah. Apa
yang terpikirkan dan yang jelas terlihat di mata, mata hati kita? Gumpalan awan
terlihat sebagai lukisan-lukisan yang sangat indah, ada wajah seseorang, ada
mata yang sedang memandang dan ada makna di balik lukisan tersebut.
Lalu, bagaimana
kita melihat dengan mata tetapi memaknainya dengan kata dan mata hati di
semak-semak dan di balik semak-semak itu. Saat itu melintaslah bayangan seperti
film. Apalagi kalau kita sering menonton film-film kolosal (sejarah) dan
bermacam-macam yang tergambar, semua tergantung saat melihat itu seseorang
dalam keadaan bagaimana pikiran dan hatinya.
Kalau seorang
pemain teater, ketika memerankan sebagai seseorang dengan karakternya, misalnya
jadi pengemis, pengamen, penjahat, orang kaya, playboy dan pelacur. Ia
akan ke luar dari jati dirinya menjadi sosok orang yang ia perankan dalam
status sosial. Atau ada banyak orang yang menyesali dirinya, ketika ketika ia
masih muda (belum nikah) saat pacaran yang begitu akrab, tidak melakukan
hubungan seks dengan pacarnya. Padahal, waktu ia pacaran peluang dan
kemungkinan untuk melakukan hubungan seks begitu terbuka dan lurus.
Tapi, ia menyesal
karena tidak melakukannya. Penyesalan itu datang setelah sekian lama dan
setelah ia berumah tangga. Dan, penyesalan itu terjadi ketika ia melamun atau
dalam keadaan pikirannya gundah gulana karena sesuatu sebab dalam kehidupan
sosialnya. Semuanya ada dalam film dirinya sendiri. Ia dengan jelas mampu
melihat kembali perjalanan hidupnya di masa silam.
Sehingga tidak
dapat diragukan lagi, bahwa hanya terhadap Allah dan diri sendirilah yang tidak
bisa dibohongi. Dus karena itu, diri itu adalah AKU. Aku adalah diri seseorang
tersebut. Dengan kata lain, aku bukan siapa-siapa adalah percuma ketika orang
lain merasa memiliki ‘aku’. Sebab, aku adalah aku. Kau itu, juga adalah kau
dalam diri aku-mu (aku-kau). Walaupun aku tersenyum bersama kau, kau dan kau
yang setiap hari ketemu, tetapi ‘aku’ tetaplah aku yang tidak bisa diketahui
oleh siapapun; apa yang terjadi dalam diriku, diri kau (dalam kau ada aku-mu).
Jadi, aku adalah
catatan-catatan dan catatan-catatan itu adalah tentang diriku. Ketika orang
lain membuat catatan tentang diriku (orang lain lagi), maka sudah dapat
dipastikan, pasti ada perbedaan dalam perlawanan yang karakteristik,
psikotropikaistik dan kontroversialistik. Oleh karenanya, tidsak otomatis
‘kebutuhan’ dan ‘kepentingan’ itu adalah kebutuhan dan kepentingan ‘riil’—ku.
Karena sebab lain, maka ada kebutuhan dan kepentingan karena sebab lain itulah
kebutuhan dan kepentingan yang tengah diburu bukan tujuan sebenarnya dalam
kebutuhan dan kepentingan-ku.
Catatan yang paling
orisinil adalah catatan dalam jiwa dan ingatan, dan bukan yang ditulis-tulis
seperti cerpen, puisi dan roman dalam karya sastra. Atau mungkin banyak di
antara biografi seseorang itu sudah jauh dari kenyataan. Tetapi, banyak pula
tulisan-tulisan yang disastrakan itu merupakan catatan-catatan personal atau
kelompok komunitas, yang sudah tentu sudah disedemikian
rupa bahasa tulisnya, sehingga enak untuk dibaca, dicerna dan dibayangkan. Apa
yang ada di balik cerita dalam catatan-catatan itu.
Yang ada di balik
catatan-catatan itu adalah tentang aku, kamu, dia, mereka, kita. Mungkin, juga
tentang konflik keluarga, konflik warga, konflik guru di sekolah, konflik
pribadi dan perbuatannya. Konflik pandangan, ideologi, persepsi,
dugaan—perkiraan, bisnis, komoditas dan hasilnya. Mungkin masalah persaingan
pilkada dengan segala sepakterjang tim suksesnya, partai pengusungnya. Atau
bisa apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang perlu direkayasa di dalam
kehidupan itu.
Kehidupan seseorang
sangat mirip dengan permainan sepakbola di sebuah lapangan. Jika seorang pemain
hanya “bermain-main” belaka. Maka, hasilnya tidak akan memberikan kepuasan dan
kebanggaan hidup. Sebab, kepuasan dan kebanggaan merupakan bagian dari
perjuangan kehidupan yang hidup sepanjang hayat dikandung badan. Tetapi, jika
seorang pemain dan pemain lainnya melakukan permainan sepakbola di lapangan
dengan serius. Tentu, hasilnya akan menjadi suatu kebanggaan dan pendorong
semangat hidupnya setelah permainan itu selesai.
Banyak pledoi
(pembelaan) diri seseorang yang terabaikan dalam konteks keadilan dan
kebenaran, terkait dengan moral dan nilai-nilai sosial, agama, etika—sopan
santun, hukum positif. Namun, pembelaan itu tenggelam oleh glamourisme
pola kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Perburuan kebutuhan yang
sebenarnya tidak dibutuhkan memiliki volume yang lebih besar daripada perburuan
kebutuhan riil yang sebenarnya harus dimiliki dan dikejar.
Pada kenyataannya
materi (uang) saat ini menjadi idola dan mimpi indah kehidupan seseorang atau
format sebuah rumah tangga (keluarga). Walau pada kenyataannya format materi
itu tidak terlalu besar pengaruhnya kepada kehidupan yang damai, tentram,
sejahtera, aman dan harmonis. Pemilihan dan peletakan materi di atas
segala-galanya dalam kehidupan dewasa ini—sebagai kecenderungan pola hidup
masyarakat. Memang tidak banyak membawa berkah dan manfaat dalam format
kejiwaan hidup itu sendiri. Mungkin akan lebih banyak kepada dampak yang akan
mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai peradaban masyarakat yang beretika sopan
santun dan berakhlak.
Keinginan untuk
menjadi terkenal dengan tidak populer, saat ini sudah menjadi trend kehidupan
di kalangan masyarakat tertentu. Artinya, mereka mencari cara-cara ‘aneh!’
untuk mendapatkan predikat populer—terutama yang ada aksesnya dengan
publisitas. Mungkin gaya hidup seperti itu banyak diperlihatkan—dipublikasikan
oleh para artis (dunia panggung hiburan). Tentunya, kita tidak harus menilai
sedalam mungkin prilaku nyeleneh itu, akan tetapi kita pasti memahami
dan mendeteksi bahwa hal-hal yang nyeleneh itu, hanyalah sensasional untuk
ambisi popularitas nama belaka (predikat).
Yang tentunya,
tidak ada jaminan kuatm, bahwa hal itu
akan menjadi dasar hidup yang tentram, nyaman, damai, aman dan harmonis antara
lahir dan bathin. Apakah bentuk prilaku kehidupan yang mengandalkan
sensasional, nyeleneh, aneh dan kontroversial itu dapat dijadikan dasar
kehidupan modern yang serba glamour dewasa ini. Mungkin jawabannya ada pada
realita dan nonrealitas yang dirasakan setiap anggota masyaraklat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar