Sabtu, 27 Februari 2016

Aku Adalah Catatan-Catatan



Oleh Naim Emel Prahana

SANGAT beralasan, jika orangtua berulangkali menghimbau anak-anaknya, agar jangan makan di pintu, jangan menyapu di tengah malam, waktu makan jangan pake piring double atau nasihat bijak lainnya. Semuanya sangat bermakna sangat memiliki hubungan dengan nuansa alam yang didiami. Barangkali itu hanya mengulangi ingatan kita tentang lagu “nina bobok” yang dilantunkan oleh kakek atau nenek yang menidurkan cucunya.

Masihkah ingatan kita cemerlang, ketika tidur-tiduran di atas tempat tidur atau di bale-bale depan rumah atau di bawah sebuah pohon rindang yang ada di tengah sawah. Apa yang terpikirkan dan yang jelas terlihat di mata, mata hati kita? Gumpalan awan terlihat sebagai lukisan-lukisan yang sangat indah, ada wajah seseorang, ada mata yang sedang memandang dan ada makna di balik lukisan tersebut.

Lalu, bagaimana kita melihat dengan mata tetapi memaknainya dengan kata dan mata hati di semak-semak dan di balik semak-semak itu. Saat itu melintaslah bayangan seperti film. Apalagi kalau kita sering menonton film-film kolosal (sejarah) dan bermacam-macam yang tergambar, semua tergantung saat melihat itu seseorang dalam keadaan bagaimana pikiran dan hatinya.

Kalau seorang pemain teater, ketika memerankan sebagai seseorang dengan karakternya, misalnya jadi pengemis, pengamen, penjahat, orang kaya, playboy dan pelacur. Ia akan ke luar dari jati dirinya menjadi sosok orang yang ia perankan dalam status sosial. Atau ada banyak orang yang menyesali dirinya, ketika ketika ia masih muda (belum nikah) saat pacaran yang begitu akrab, tidak melakukan hubungan seks dengan pacarnya. Padahal, waktu ia pacaran peluang dan kemungkinan untuk melakukan hubungan seks begitu terbuka dan lurus.

Tapi, ia menyesal karena tidak melakukannya. Penyesalan itu datang setelah sekian lama dan setelah ia berumah tangga. Dan, penyesalan itu terjadi ketika ia melamun atau dalam keadaan pikirannya gundah gulana karena sesuatu sebab dalam kehidupan sosialnya. Semuanya ada dalam film dirinya sendiri. Ia dengan jelas mampu melihat kembali perjalanan hidupnya di masa silam.

Sehingga tidak dapat diragukan lagi, bahwa hanya terhadap Allah dan diri sendirilah yang tidak bisa dibohongi. Dus karena itu, diri itu adalah AKU. Aku adalah diri seseorang tersebut. Dengan kata lain, aku bukan siapa-siapa adalah percuma ketika orang lain merasa memiliki ‘aku’. Sebab, aku adalah aku. Kau itu, juga adalah kau dalam diri aku-mu (aku-kau). Walaupun aku tersenyum bersama kau, kau dan kau yang setiap hari ketemu, tetapi ‘aku’ tetaplah aku yang tidak bisa diketahui oleh siapapun; apa yang terjadi dalam diriku, diri kau (dalam kau ada aku-mu).

Jadi, aku adalah catatan-catatan dan catatan-catatan itu adalah tentang diriku. Ketika orang lain membuat catatan tentang diriku (orang lain lagi), maka sudah dapat dipastikan, pasti ada perbedaan dalam perlawanan yang karakteristik, psikotropikaistik dan kontroversialistik. Oleh karenanya, tidsak otomatis ‘kebutuhan’ dan ‘kepentingan’ itu adalah kebutuhan dan kepentingan ‘riil’—ku. Karena sebab lain, maka ada kebutuhan dan kepentingan karena sebab lain itulah kebutuhan dan kepentingan yang tengah diburu bukan tujuan sebenarnya dalam kebutuhan dan kepentingan-ku.

Catatan yang paling orisinil adalah catatan dalam jiwa dan ingatan, dan bukan yang ditulis-tulis seperti cerpen, puisi dan roman dalam karya sastra. Atau mungkin banyak di antara biografi seseorang itu sudah jauh dari kenyataan. Tetapi, banyak pula tulisan-tulisan yang disastrakan itu merupakan catatan-catatan personal atau kelompok komunitas, yang sudah tentu sudah disedemikian rupa bahasa tulisnya, sehingga enak untuk dibaca, dicerna dan dibayangkan. Apa yang ada di balik cerita dalam catatan-catatan itu.

Yang ada di balik catatan-catatan itu adalah tentang aku, kamu, dia, mereka, kita. Mungkin, juga tentang konflik keluarga, konflik warga, konflik guru di sekolah, konflik pribadi dan perbuatannya. Konflik pandangan, ideologi, persepsi, dugaan—perkiraan, bisnis, komoditas dan hasilnya. Mungkin masalah persaingan pilkada dengan segala sepakterjang tim suksesnya, partai pengusungnya. Atau bisa apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang perlu direkayasa di dalam kehidupan itu.

Kehidupan seseorang sangat mirip dengan permainan sepakbola di sebuah lapangan. Jika seorang pemain hanya “bermain-main” belaka. Maka, hasilnya tidak akan memberikan kepuasan dan kebanggaan hidup. Sebab, kepuasan dan kebanggaan merupakan bagian dari perjuangan kehidupan yang hidup sepanjang hayat dikandung badan. Tetapi, jika seorang pemain dan pemain lainnya melakukan permainan sepakbola di lapangan dengan serius. Tentu, hasilnya akan menjadi suatu kebanggaan dan pendorong semangat hidupnya setelah permainan itu selesai.

Banyak pledoi (pembelaan) diri seseorang yang terabaikan dalam konteks keadilan dan kebenaran, terkait dengan moral dan nilai-nilai sosial, agama, etika—sopan santun, hukum positif. Namun, pembelaan itu tenggelam oleh glamourisme pola kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Perburuan kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan memiliki volume yang lebih besar daripada perburuan kebutuhan riil yang sebenarnya harus dimiliki dan dikejar.

Pada kenyataannya materi (uang) saat ini menjadi idola dan mimpi indah kehidupan seseorang atau format sebuah rumah tangga (keluarga). Walau pada kenyataannya format materi itu tidak terlalu besar pengaruhnya kepada kehidupan yang damai, tentram, sejahtera, aman dan harmonis. Pemilihan dan peletakan materi di atas segala-galanya dalam kehidupan dewasa ini—sebagai kecenderungan pola hidup masyarakat. Memang tidak banyak membawa berkah dan manfaat dalam format kejiwaan hidup itu sendiri. Mungkin akan lebih banyak kepada dampak yang akan mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai peradaban masyarakat yang beretika sopan santun dan berakhlak.

Keinginan untuk menjadi terkenal dengan tidak populer, saat ini sudah menjadi trend kehidupan di kalangan masyarakat tertentu. Artinya, mereka mencari cara-cara ‘aneh!’ untuk mendapatkan predikat populer—terutama yang ada aksesnya dengan publisitas. Mungkin gaya hidup seperti itu banyak diperlihatkan—dipublikasikan oleh para artis (dunia panggung hiburan). Tentunya, kita tidak harus menilai sedalam mungkin prilaku nyeleneh itu, akan tetapi kita pasti memahami dan mendeteksi bahwa hal-hal yang nyeleneh itu, hanyalah sensasional untuk ambisi popularitas nama belaka (predikat).

Yang tentunya, tidak ada jaminan kuatm,  bahwa hal itu akan menjadi dasar hidup yang tentram, nyaman, damai, aman dan harmonis antara lahir dan bathin. Apakah bentuk prilaku kehidupan yang mengandalkan sensasional, nyeleneh, aneh dan kontroversial itu dapat dijadikan dasar kehidupan modern yang serba glamour dewasa ini. Mungkin jawabannya ada pada realita dan nonrealitas yang dirasakan setiap anggota masyaraklat itu sendiri.

Tidak ada komentar: