Sabtu, 27 Februari 2016

Pemberantasan dan Proyek Narkoba




Oleh Naim Emel Prahana
Pemerhati masalah-masalah sosial budaya, hukum dan politik


SUATU malam di kota Palembang, aku dipesani si tukang ojek yang memperingatkan, agar kalau masuk kompleks Darma Agung, “hati-hati!” Bersamaan peringatan itu, dia bilang, di situ cewek-ceweknya banyak yang ngerangkap jadi tukang copet. “Oya,...!” jawab temanku. Dan, kata tukang ojek itu, jangan mau dijebak kalau ada cewek yang mengatakan, ia tahu dan bisa membeli inek alias ekstasi.

Warning demikian bukan hanya sekali dua kali kudengar, entah di mana lagi tempatnya. Dalam hatiku, kalau peringatan (warning) demikian, gak usah disampaikan. Karena sudah tahu, kalau di dunia hiburan itu pasti masalah bisik-bisik hingga terang-terangan bertransaksi narkoba (umumnya ekstasi) sudah bukan hal yang baru.

Namun, walau demikian tetap saja menyisakan pertanyaan-pertanyaan—kenapa mata rantai peredaran dan penyalahgunaan narkoba di tempat kita (Indonesia) ini, sangat sulit diberantas. Seperti kesulitan mengakhiri krisis multidimesional yang dialami bangsa ini sampai sekarang.

Banyak komentar merespon maraknya peredaran narkoba—karena Indonesia sudah tidak lagi utuh sebagai negara tujuan peredaran narkoba Internasional, karena sudah menjadi salah satu negara produsen. Kadang oleh rekan-rekan aparat penegak hukum dikatakan sok tahu—sok pinter atau apalah bantahannya.

Rasanya, pemberantasan narkoba adalah tidak cukup dengan menerbitkan Keputusan Presiden atau yang lagi dirancang adalah Peraturan Presiden (Perpres)—rencananya sebagai pengganti Keppres No 17/2002 tentang lembaga nonstruktural yang langsung di bawah komando presiden. Tapi, definisi action (aksi) hingga sekarang pun masih belepotan tentang wajah sebenarnya dari kata aksi itu.

Banyak dari kita (masyarakat) sebenarnya belum paham betul itu yang bernama narkoba, apa lagi “apa dan bagaimananya?” Padahal, penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan dan sebagainya—sebagai upaya untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan pemberantasan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). Sudah sangat banyak dilakukan. Toh, persoalan peredaran dan penyalahgunaan tetap menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.

Dua Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika masing-masing No 22/1997 dan No 6/1997, yang kemudian lembaganya Keppres No 17/2002 dan Inpres No 3/2002 soal Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK)—sudah dapat menjadi acuan dalam rangka P4GN.

Keberhasilan selama ini, kita sambut gegap gempita. Bersorak-ria. Namun, kegembiraan dan keberhasilan mengungkap kasus-kasus narkoba selama ini, jangan membuat kita terlena. Sehingga produsen dan pedagang narkoba mengambil kesempatan. Padahal, sudah berapa triliun uang rakyat dihabiskan dalam program-program pemberantasan narkoba tadi?

Di negara ini, kita sering berandai-andai, mengkhayal, dan menimbun cita-cita. Pada gilirannya masalah hasil yang dicapai P4GN masih sulit diakui mendekati sasaran. Kita pun belum melapor ke lembaga-lembaga Internasional bagi pemberantasan narkoba. Akibatnya, sindikat narkoba dengan leluasa merayu, meningkatkan volume janji kesejahteraan kepada masyarakat. Daro anak-anak sekolah dasar hingga kaum intelektual dan cendekiawan, untuk menggunakan narkoba. Tentu dengan berbagai modus, agasr mencapai target penjualan narkoba.

Pada bagian lain, kita akhirnya gagap menghadapi perkembangan dan kemajuan pesat perdagangan narkoba. Kegagapan itu berimbas kepada pengungkapan dan penanganan kasus narkoba itu sendiri. Sampai kepada putusan pengadilan yang dirasakan sering nyeleneh. Lebih parah lagi dirasakan belum mendekati sasaran putusan yang ‘adil’ bagi masyarakat.

Hal itu, barangkali wajar. Mengingat banyaknya kasus-kasus narkoba yang terungkap pelakunya hanyalah berada pada posisi “pembantu para pembantu dari para pembantu bandar, bandar dan produsen narkoba” Artinya, mereka hanya menjual sebutir dua butir ineks, memegang setengah atau satu btir inek. Mungkin hanya dititipi selinting ganja siap pakai atau siap edar.

Dari sekian tersangka yang kelasnya masih ‘teri’  yang digelandangkan, tidak sebanding dengan para bandar yang masih banyak berkeliaran di sekitar kita. Lebih kronisnya lagi, kasus seorang bandar besar dan pemegang setengah butir inek, seperti langit dan bumi. Artinya, yang ketangkap karena memegang setengah butir inke di karaoke, pidana yang diputuskan pengadilan sangat berat. Padahal, putusan untuk seorang cukong (bandar) narkoba dengan barang bukti mencapai 350 butir, cukup 3 tahun, dan itu tersangka jarang berada di dalam LP.

Masih segar ingatan kita kasus seorang wanita muda berinisial W yang ditangkap di salah satu ruang karaoke di kawasan Telukbetung. Ditangkap bersama beberapa wanita muda lainnya yang menemani beberapa pria untuk berkaraoke. Saat ditangkap ia diberi setengah butir inek dan masih utuh ditangannya ketika tertangkap oleh aparat polisi.

Bagaimana dengan keputusan PN Tanjungkarang beberapa tahun silam itu? Cukup mengagetkan, vonisnya 1,5 tahun. Alasan majelis hakim, ia tidak memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Sementara itu, ingat kasus karaoke Nirwana, ketika bandar narkoba berinisial T ditangkap, barang buktinya mencapai 300-an butir. Berapa tahunkah pidananya yang dijatuhkan majelis hakim PN Tanjungkarang?

“Cuma (kalau tidak lupa) 3 tahun penjara, untuk barang bukti sekitar 324 butir inek!” Dan, bagaimana dengan wanita muda berinisial W yang usianya sekitar 20-an tahun, yang ketangkap dengan barang bukti ½ butir inek dijatuhi hukuman 1,5 tahun (baca: setahun setengah). Wanita muda ( W ), bukan pengedar, bukan pengguna narkoba secara rutin, bukan pemasok, apalagi bandar, apalagi produsen. Tapi, hukumannya begitu berat dibandingkan dengan hukuman untuk bandar T—pemilik karaoke Nir di Jl Soekarno Hatta.

Logikanya, kalau ½ butir hukumannya setahun setengah, maka 1 butir hukumannya 3 tahun penjara. Nah, kalau 300 butir inek yang jadi barang bukti. Otomatis 300 X 3 tahun adalah 900 tahun. Seharusnya demikian vonis yang dijatuhkan. Tapi, kembali kita menyadari, kalau sistem peradilan kita masih sulit ditebak. Seperti angin berubah-ubah arah setiap saat atau setiap harinya. Tanpa ada pedoman (yurisprudensi) yang dijadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara dengan substansi yang sama. Hanya beda volume barang bukti dan status tersangkanya.

Penanganan proses kasus narkoba sampai detik ini, betul-betul tidak memberikan pencerahan kepada penegakan supremasi hukum di negara ini. Diduga, banyak putusan yang kalah pamor dibandingkan dengan beberapa faktor. Misalnya kekuasaan pejabat, uang dan status sosial keluarga tersangka. Sedikit banyak dari uraian di atas—bisa dijadikan bahan evaluasi peradilan kasus narkoba di Indonesia.

Sudah barang tentu, kita tidak ingin lagi mendengar plesetan KUHP, KUHAP atau Kitab Undang-Undang lainnya, maupun UU atau PP—yang sering terdengar lucu, aneh, ngenguyon tapi menyakitkan. Pada gilirannya, menghadapi persoalan narkoba, bukan hanya si produsen dengan distributor-distributornya, distributor dengan bandar-bandarnya, bandar-bandar dengan pengedar, pengecer dan pemakai saja yang terbuai suara surga. Tetapi di rentang proses perjalanan kasus narkoba pun bagi beberapa lembaga penegakan hukum, juga terdengar suara-suara surga yang mengasyikkan kalau dilewati begitu saja.

Soal uang, soal kesenangan, soal kesejahteraan sampai soal dopping bisa diraba dirasa bila dapat memahami kasus narkoba sebagai sawah ladang. Narkoba adalah sawah ladang dan kebun yang tak pernah gagal memetik keuntungan materi, bahkan keuntungannya berlipat ganda. Itu kan suara surga dalam neraka narkoba. Gak percaya, menyamarlah—masuk ke masyarakat pengguna narkoba. Suara surga yang memang tidak pernah kita tahu itu, tapi dengan narkoba (katanya) semua serba terasa dan indah.

Kalau sudah demikian, maka sulitlah untuk menekan apalagi memberantas peredaran gelap narkoba—karena disisi lain dunia medis masih sangat membutuhkannya, tanpa pengawasan yang berarti. Memberantas narkoba harus ada jaminan bahwa, KATA TERUCAP LANGKAH DITANCAP! Narkoba No! Sekali TIDAK tetap TIDAK!

Tidak ada komentar: