Sabtu, 04 Juni 2016

Wisata Alam Curup di Lampung Utara



Wisata Alam Curup Gangsa
AIR terjun Curup Gangsa merupakan air terjun bertingkat, sehingga panorama yang nampak sungguh luar biasa. Air terjun ini mempunyai ketinggian 50 meter lebih dengan lebar pematang airnya mencapai 20 meter. Air terjun ini salah satu dari sekian banyak obyek wisata alam Lampung Utara yang menjadi bagian rancangan pengembangan dan pelestarian lebih lanjut pihak pemda setempat.
Lokasi air terjun ini hanya 10 km dari ibukota kecamatan - Kasui, terletak di dusun Tanjung Raja desa Kota Way Kecamatan Kasui. Atau dari Kotabumi berjarak 126 km dan 223 km dari Bandarlampung.

Curup Gangsa berasal dari aliran sungai (way) Tangkas yang mengalir melewati Bukit Punggur menuju desa Tanjung Kurung dan Lebak Peniangan. Di sekitar air terjun Gangsa udaranya cukup sejuk, banyak ditanami penduduk jenis tanaman kopi dan tembakau. Biasanya, disekitar daerah obyek wisata ini selalu diselimuti kabut.
Bila kita kesana jangan lupa membawa jaket atau baju dingin, terutama bagi mereka yang tidak tahan dengan cuaca dingin. Tidaklah sulit untuk mencapai lokasi obyek wisata alam ini, bisa dilalui dengan kendaraan roda dua dan roda empat di atas jalan aspal sampai Tanjung Bulan. Kemudian, 2 km terdiri dari jalan onderlag dan 1,5 km masih berupa jalan tanah.
Namun, pihak Diparda Lampung Utara siap membangun sarana jalan ke lokasi obyek wisata Curup Gangsa tersebut. “Kini sudah kita bangun beberapa sarana, terutama jalan penghubung dan jalan turun ke bawah air terjun,” ungkap Ali Duki SH dua hari lalu.

Air Terjun Curup Indah 
Kalau Kotabumi dengan daerah Lampung Utaranya terkenal dengan sebutan negeri air terjun hal itu tidak berlebihan. Karena daerah ini memiliki cukup banyak sungai dan kondisi alam yang berlekuk-lekuk, lembah, gunung dan dataran rendah.
Selain air terjun Selampung, Gangsa, masih ada lagi air terjun yang tidak kalah indahnya pemandangan di air terjun tersebut.
Misalnya air terjun Curup Indah yang terletak di dusun Gunung Klawas desa Pekurun Kecamatan Abung Barat, Lampung Utara. Air terjun ini memiliki ketinggian lebih dari 20 meter dengan lebar penampang airnya mencapai 10 meter.
Untuk ke sana, jarak paling dekat dari Ogan Lima- 20 km, dari Kotabumi - 30 km, dan bila dari Bandarlampung jaraknya hanya 140 km.
Di lokasi air terjun Curup Indah akan dikembangkan taman parkir yang luas, kantin dan warung makan serta pasar seni, untuk menampung kerajinan tangan penduduk sekitarnya. Hasil kerajinan itu berupa barang-barang  kenangan bagi pengunjung.

Air Terjun Bumi Harjo 
Lokasi air terjunnya ada di desa Bumiharjo Kecamatan Bahuga. Air terjun ini tidak terlalu tegak lurus, kiri kanannya masih ditumbuhi tetumbuhan hutan. Namun termasuk prioritas pengembangan dan peningkatan pembangunan sarananya oleh Pemda Lampung Utara melalui Diparda.
Air terjun Bumiharjo hanya berjarak 7 km dari Bahuga (ibukota kecamatan) atau 126 km dari Kotabumi dan 250 km dari Bandarlampung.
Ketinggian air terjunnya lebih kurang 10 meter dengan penampang airnya seluas 10 meter. Lokasi ini sangat ideal itu petualangan alam bebas para pecinta alam, terutama tahap pelatihan dan pengenalan medan.
Namun, tidak menutup kemungkinan tempat rekreasi keluarga yang cukup prospektif di masa depan.(nep/t-14)

Curup-1
4. Air Terjun Kriting di Curup Selampung
KONON- Berapa tahun lalu di sekitar dusun Olak Nila desa Gunung Betuah Kecamatan Abung Barat, Lampung Utara hidup seorang lelaki bersama isterinya di pinggir dusun. Lelaki itu bernama Selampung. Menurut kisahnya, Selampung adalah seorang Petapa, juga guru silat aliran putih.
Sebelum Selampung punya anak dan murid silatnya, ia selalu bertapa (bersemedi, red) di suatu lokasi dipinggiran dusun tempat tinggalnya. Namun, waktu itu orang belum ada yang tahu, walau sudah diusahakan mencari tempat bersemedinya, tak juga ketemu. Tapi jelas, Selampung adalah orang pintar di kampungnya.

Semedi Dibalik Air Terjun
Kepiawaian Selampung sebagai orang pintar, memang diakui hampir seluruh rakyat desanya, bahkan kini sudah melegenda. Dari riwayat Selampung itulah, semula air terjun (Curup dalam bahasa Lampungnya) bernama Curup Gunung Betuah diganti namanya jadi air terjun Selampung.
Kenapa nama awal air terjun itu diganti? Karena di air terjun itu, tepatnya dibalik curahan air itu ada gua yang kedalamannya mencapai 7 meter lebih. Di dalam gua itulah Selampung setiap saat mengadakan semedi (bertapa) memperdalam ilmu-ilmunya. Dan ketika ia mengangkat beberapa murid, para muridnya dilatih ilmu silat, semedi dan pelatihan lainnya.
Karena daerah itu termasuk daerah perkebunan Selampung, maka air terjun yang ada itu diurus oleh Selampung, mungkin kayak juru kuncinya air terjun tersebut, seperti pada makam-makam yang dianggap keramat di beberapa daerah.
Sejak ditemukannya air terjun Gunung Betuah, maka nama Selampung diabadikan pada nama curup ini, sekaligus mengganti nama lamanya Gunung Betuah. Di atas curup ini terdapat sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Kubu Hitu.
Sekarang, setelah Selampung meninggal dunia, alam sekitar air terjun -’curup’ Selampung diurus oleh anaknya yang bernama Kobi.
Menurut Ali Duki, SH Kepala Dinas Pariwisata Lampung Utara, air terjun Selampung maupun Gunung Betuah dan Gunung Kubu Hitu bukanlah tempat yang dikramatkan, tetapi hanya tempat petilasan Selampung dan murid-muridnya.

Keindahan Alamnya
Air terjun Selampung dan alam sekitarnya memang indah, apalagi bagi mereka yang terbiasa tinggal di kota. Udaranya sejuk, hembusan angin yang menyertakan air yang mengalir melalui air terjun Selampung, benar-benar nikmat. Saat itu juga kita lalu memuji kebesaran Allah akan ciptaannya, salah satunya adalah air terjun ini.
Lebih-lebih hamparan kebun lada milik petani dusun Olak Nila Desa Gunung Betuah, menambah nikmatnya kita menjelajahi alam sekitar air terjun Selampung.
Ada yang unik di air terjun ini, berbeda dengan air terjun lainnya. Bila pada air terjun lainnya, air yang tercurah dari atas bukit atau gunung berderai, mirip seperti embun; putih seperti busa. Tapi, air terjun Selampung berbeda, curahan air dari atas dengan ketinggian antara 15 - 20 meter, airnya tidak berderai, melainkan tetap menyatu sampai dasar sungai di bawahnya.
Yang unik lagi, air terjun itu seperti rambut panjang yang kriting. Inilah kelebihan air terjun Selampung, ungkap Ali Duki SH kepada Tamtama tiga hari lalu.

Jarak ke Curup Selampung
Untuk dapat mengunjungi air terjun Selampung, bisa dicapai melalui Ogan Lima 10 km, dari Kotabumi 35 km dan dari Bandarlampung berjarak 145 km. Dari Kotabumi ongkos yang harus dikeluarkan hingga ke air terjun Selampung, hanya Rp 1.000,- dan ditambah ongkos Bandarlampung - Kotabumi Rp 2.000,- s/d Rp 2.500,-/orang.
Data curup Selampung antara lain, ketinggian mencapai 15-20 meter, lebar penampang airnya sekitar 13 meter, dan kedalaman goa dibalik air terjun mencapai 7 meter. Air terjun ini pertama kalinya ditemukan oleh Almarhum Selampung dari Negara Sakti Kecamatan Pakuan Ratu pada tahun 1937.
Air terjun ini berasal dari aliran Way Tulung Mas, dan hubungan ke lokasi dapat ditempuh melalui kendaraan roda dua, roda empat dengan kondisi jalan kabupaten.(nep/t-14)

Melongok Metro Kibang, “Negeri Di atas Angin”



 Di Lampung Tengah, kendati wilayahnya terdiri dari dataran, jarang dijumpai pebukitan atau gunung tinggi. Toh, masih ada daerah yang terkenal dengan “negeri di atas angin” - artinya daerah itu terletak di dataran tinggi. Itulah wilayah Kecamatan Metro Kibang.
Wilayah ini terletak diseberang Way Sekampung dan berbatasan langsung dengan kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Secara kelakar orang menyebutnya negeri di atas angin, karena Metro Kibang letaknya lebih tinggi dari kecamatan Bantul, Trimurjo, dan Batanghari.
Menurut cerita tua-tua kampung di Metro Kibang, daerah ini dibuka menjelang pendudukan tentara Jepang. Berarti sekitar tahun 1939 - 1941, yang merupakan daerah pertanian bagi penduduk wilayah Bantul dan Lampung Selatan.
Namun, karena perkembangan pertambahan penduduk Metro dan sekitarnya begitu pesat, maka daerah yang merupakan kawasan hutan register tersebut berkembang jadi tempat pemukiman penduduk, dan akhirnya muncullah desa dan kampung di daerah tersebut.
Wilayah kecamatan Metro Kibang terdiri dari lima desa definitif dengan luas keseluruhannya mencapai 5,887 Km2. Secara administratif kepemerintahan, kecamatan Metro Kibang pertama kali diperintah oleh camat Ismail Malam, kemudian diteruskan oleh Pamujo, BA, Busman Zainuddin, SH dan sekarang camatnya adalah Royani A Rachman.
Mayoritas sumber mata pencaharian penduduk Metro Kibang berasal dari pertanian; padi, jagung dan singkong, yang dimanfaatkan pada areal seluas 4.633,21 hektar. Disamping itu, masih ada komoditi untuk ekonomi keluarga seperti kelapa, jengkol, melinjo, pete, kopi serta bambu dan sebagainya.
Di Metro Kibang tersebar home industri atau kerajinan rumah tangga berupa anyaman bambu dan industri skala kecil seperti meubel.
Berdasarkan data kecamatan tahun 1997, penduduk daerah negeri di atas angin berjumlah 18.414 jiwa dengan 3.178 jiwa berada di ibukota kecamatan (Kibang). Penduduk daerah ini dua tahun silam sudah dapat menikmati penerangan listrik PLN dari ranting Metro. Demikian pula kebutuhan air bersih sudah dapat dinikmati dari PDAM Way Irang cabang Metro Kibang.
Dibidang pendidikan masyarakat, sudah dibangun sarana pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Umum (SMU) dan sudah diresmikan pula Kantor Inspeksi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tingkat kecamatan.
Data tahun 1997 menunjukkan jumlah TK sebanyak 5 buah, SD 16 buah, SLTPN 1 buah dan SLTP swasta 2 buah. Tahun 1990-an sudah ada SMU yaitu SMA Fajar yang dikelola oleh Drs Sukino. Sayangnya, sekolah itu hanya sampai tahun 1995, kemudian bubar alias gulung tikar.
Sementara itu sarana ibadah bagi 18.414 jiwa penduduk Metro Kibang, sudah tersedia tempat-tempat ibadah. Jumlah keseluruhannya 65 buah terdiri dari 17 masjid, 40 mushallah, 6 langgar dan 2 gereja.
Kemudian sarana umum olahraga dapat dengan mudah ditemui, misalnya lapangan sepakbola yang hampir setiap desa memilikinya, bahkan ada desa yang memiliki lapangan sepakbola lebih dari dua buah. Lapangan Badminton, volly ball, juga ada base camp “Kibang Boxing” yang dirintis oleh mantan Kapolsek Hasbullah (alm) tahun 1994.
Untuk mencapai daerah Metro Kibang, dapat dilakukan melalui beberapa arah seperti dari Bantul ada dua jalan yang semuanya sudah beraspal. Kemudian dari Banarjoyo (Kec Batanghari), dari Buana Sakti yang ditembusi oleh jalan dari desa Karyamukti kecamatan Sekampung. Dan dari desa Sukadamai Kecamatan Natar.Jaraknya pun dekat.
Dari Metro menuju Metro Kibang dapat ditempuh lewat jembatan Way Sekampung yang baru (jembatan lainnya adalah jembatan gantung Pulau Payung), terdapat komplek pemakaman C khusus untuk orang-orang Cina di Metro. Kompleks pemakaman C menempati tanah desa Margototo  dan Kibang. Yang selalu dipersengketa kedua kepala desanya. Pemakanan itu merupakan perpindahan dari komplek pemakaman di Jalan . Yani Metro (Tejosari Bd 24 Bantul), yang menurut rencananya adalah daerah pengembangan Kotip Metro untuk terminal.
Di Metro Kibang ada sebuah perusahaan yang bergerak dibidang  pakan ternak, PT. Jafna Comfeed. Juga terdapat 3 buah pasar. 12 perusahaan penggilingan padi (huller ), 3 buah industri anyaman bambu dan 3 buah industri meubel skala kecil.
Penduduk Kecamatan Metro Kibang terdiri dari penduduk Suku Jawa, Semendo dan Lampung. Mayoritas agamamnya adalah Islam. Diboidang kesehatan pemerintah telah menempatkan 1 buah Puskesmas ditambah dengan 2 buah Puskesmas Pembantu yang didukung 1 orang dokter, 3 orang Bidan dan desa dan 10 orang dukun. Disamping itu, menurut catatan Kecamatan Metro Kibang pada tahun 1997 peserta Keluarga Berencana sudah mencapai 2.540 orang.
Untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilyah, di Kecamatan Metro Kibang sudah ada Mapolsek dan Koramil, dan pelaksanaan Siskamling berjalan lancar. Kerawanan daerah ini semata-mata karena berbatasan langsung dengan wilayah Lampung Selatan.
Bidang transportasi dan lalulintas, untuk mencapai Metro Kibang sangat mudah. Dapat ditempuh melalui Bantul (dua jurusan), melalui Karang Anyar/ Way Halim- Sukadamai (Lampung Selatan) dan Tegineneng (Kec Natar) atau bisa melalui Kecamatan Batanghari : Bandarjoyo-Nampirejo-melewati jembatan gantung ) Buanan Sakti ke Margototo. atau melalui Kecamatan Sekampung : Karyamukti-Buanasakti-Margototo. Dengan lama tempuh rata-rata 20- 40 menit dari Way Halim.(t-14) 

Berpuasa Menggapai Taqwa

Memaknai Tafsir Surat Al Baqarah 183: 

Penulis: Yulian Purnama

Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)

Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Wahai orang-orang yang beriman
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].
Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’alamemerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”[4]

Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[5].

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan atas kamu berpuasa 

Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].

Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].

Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].

Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.

Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].

Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”[10].

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Agar kalian bertaqwa
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab(harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].

Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?

Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[15].

Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)

Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.

Penulis: Yulian Purnama

[1] Lihat Al Itqan Fi Ulumil Qur’an karya Imam As Suyuthi, 55
[2] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/409
[3] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497
[4] HR. Muslim no.102, 108
[5] Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, 4/149
[6] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, 2/272
[7] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/500
[8] Shifatu Shaumin Nabi Fii Ramadhan, 1/21
[9] Ruuhul Ma’ani Fii Tafsiir Al Qu’ran Al Azhim, 2/121
[10] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497
[11] Lihat Ad Durr Al Masun karya As Samin Al Halabi hal 138, dan Al Itqan Fii Ulumil Qur’an karya As Suyuthi hal 504
[12] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/413
[13] Ma’alim At Tanziil, 1/196
[14] Tafsir Al Jalalain, 1/189
[15] Siyar A’lamin Nubala, 8/175
[16] Taisir Kariimir Rahman, 1/86


KILAS SEJARAH KOTA METRO

 Zaman Belanda
 TAMAN MERDEKA - Merek taman ini dibuat tahun 2015 se masa Kota Metro dipimpin Pj walikota, Achmad Crisna Putra

















Belanda
Wilayah Kota Metro sekarang pada waktu zaman pemerintahan Belanda merupakan Onder Distrik Sukadana pada tahun 1937 masuk Marga Nuban. Masing-masing Onder Distrik dikepalai oleh seorang asisten Demang, sedangkan Distrik dikepalai oleh seorang Demang. Sedangkan atasan dari pada Distrik adalah Onder afdeling yang dikepalai oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda.
Tugas dari asisten Demang mengkoordinir Marga yang dikepalai oleh pesirah dan di dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh seorang Pembarap (wakil pesirah), seorang juru tulis dan seorang Pesuruh (opas). Pesirah selain berkedudukan sebagai kepala marga juga sebagai Ketua Dewan Marga. Pesirah dipilih oleh Penyimbang-penyimbang Kampung dalam marganya masing-masing.
Marga terdiri dari beberapa kampung yaitu dikepalai oleh Kepala Kampung dan dibantu oleh beberapa Kepala Suku. Kepala Suku diangkat dari tiaptiap suku di kampung itu. Kepala Kampung dipilih oleh penyimbang-penyimbang dalam kampung. Pada waktu itu Kepala Kampung harus penyimbang kampung, kalau bukan penyimbang kampung tidak bisa diangkat dan Kepala Kampung adalah anggota Dewan Marga.

Zaman Jepang

Pada zaman Jepang Residente Lampoengsche Districten dirubah namanya oleh Jepang menjadi Lampung Syu. Lampung Syu dibagi dalam 3 (tiga) Ken, yaitu:
  1. Teluk Betung Ken
  2. Metro Ken
  3. Kotabumi Ken
Wilayah Kota Metro sekarang, pada waktu itu termasuk Metro ken yang terbagi dalam beberapa Gun, Son, marga-marga dan kampung-kampung. Ken dikepalai oleh Kenco, Gun dikepalai oleh Gunco, Son dikepalai oleh Sonco, Marga dikepalai oleh seorang Margaco, sedangkan Kampung dikepalai oleh Kepala Kampung.

Zaman Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka dan dengan berlakunya pasal 2 Peraturan Peralihan UUD 1945, maka Metro Ken menjadi Kabupaten Lampung Tengah termasuk Kota Metro didalamnya. Berdasarkan Ketetapan Residen Lampung No. 153/ D/1952 tanggal 3 September 1952 yang kemudian diperbaiki pada tanggal 20 Juli 1956 ditetapkan:
  • Menghapuskan daerah marga-marga dalam Keresidenan Lampung.
  • Menetapkan kesatuan-kesatuan daerah dalam Keresidenen Lampung dengan nama "Negeri" sebanyak 36 Negeri.
  • Hak milik marga yang dihapuskan menjadi milik negeri yang bersangkutan.
Dengan dihapuskannya Pemerintahan Marga maka sekaligus sebagai nantinya dibentuk Pemerintahan Negeri. Pemerintahan Negeri terdiri dari seorang Kepala Negeri dan Dewan Negeri, Kepala Negeri dipilih oleh anggota Dewan Negeri dan para Kepala Kampung. Negeri Metro dengan pusat pemerintahan di Metro (dalam Kecamatan Metro).
Dalam praktek, dirasakan kurangnya keserasian antara pemerintahan, keadaan ini menyulitkan pelaksanaan tugas penierintahan oleh sebab itu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung pada tahun 1972 mengambil kebijaksanaan untuk secara bertahap Pemerintahan Negeri dihapus, sedangkan hak dan kewajiban Pemerintahan Negeri beralih kepada kecamatan setempat.
Pada zaman Pemerintahan Belanda Kota Metro masih merupakan hutan belantara yang merupakan bagian dari wilayah Marga Nuban, yang kemudian dibuka oleh para kolonisasi pada tahun 1936. Pada tahun 1937 resmi diserahkan oleh Marga Nuban dan sekaligus diresmikan sebagai Pusat Pemerintahan Onder Distrik (setingkat kecamatan).
Pada zaman pemerintahan Jepang onder distrik tersebut tetap diakui dengan nama Sonco (caniat). Pada zaman pelaksanaan kolonisasi selain Metro juga terbentuk onder distrik yaitu Pekalongan, Batanghari, Sekampung dan Trimurjo.
Kelima onder distrik ini mendapat rencana pengairan teknis yang bersumber dari Way sekampung yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh para kolonisasi-kolonisasi yang sudah bermukim di bedeng-bedeng dimulai dari Bedeng I bertempat di Trimurjo dan Bedeng 62 di Sekampung, yang kemudian nama bedeng tersebut diberi nama, contohnya Bedeng 21, Yosodadi.
Pada zaman Jepang pengairan teknis masih terus dilanjutkan karena pada waktu pemerintahan Belanda belum juga terselesaikan.
Dan pada zaman kemerdekaan pengairan teknis tersebut masih terus dilanjutkan sesuai dengan pengembangan teknis yang direncanakan hingga sekarang.
Adapun nama Kota Metro sebenarnya dari bahasa Jawa "Mitro", yang berarti sahabat (tempat berkumpulnya orang untuk bersahabat atau menjalin persahabatan).
Dan menurut bahasa Belanda "Meterm" yang berarti pusat (centrum) dengan demikian diartikan sebagai suatu tempat yang diletakkan strategis Mitro yang berarti sahabat, hal tersebut dilatarbelakangi dari kolonisasi yang datang dari berbagai daerah diluar wilayah Sumatera. Pada zaman kemerdekaan nama Kota Metro tetap Metro. Dengan berlakunya pasal 2 Peraturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 maka Metro menjadi Kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bupati pada tahun 1945, yang pada waktu itu Bupati yang pertama menjabat adalah Burhanuddin (1945-1948).
Sebelum menjadi Kota Administratif, Metro merupakan suatu wilayah kecamatan yakni kecamatan Metro Raya dengan 6 (enam) kelurahan dan 11(sebelas) desa.
Adapun 6 kelurahan itu adalah:
  1. Kelurahan Metro
  2. Kelurahan Mulyojati
  3. Kelurahan Tejosari
  4. Kelurahan Yosodadi
  5. Kelurahan Hadimulyo
  6. kelurahan Ganjar Agung
Sedangkan 11 desa tersebut adalah:
  1. Desa Karangrejo
  2. Desa Banjar Sari
  3. Desa Purwosari
  4. Desa Margorejo
  5. Desa Rejomulyo
  6. Desa Sumbersari
  7. Desa Kibang
  8. Desa Margototo
  9. Desa Margajaya
  10. Desa Sumber Agung
  11. Desa Purbosembodo
Atas dasar Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1986 tanggal 14 Agustus 1986 dibentuk Kota Administratif Metro terdiri dari Kecamatan Metro Raya dan Bantul diresmikan tanggal 9 September 1987 oleh Menteri Dalam Negeri.
Yang dalam perkembangannya lima desa di seberang Way Sekampung atau sebelah Selatan Wav Sekampung dibentuk menjadi satu Kecamatan, yaitu kecamatan Metro Kibang dan dimasukkan ke dalam wilayah pembantu Bupati Lampung Tengah wilayah Sukadana (sekarang masuk menjadi Kabupaten Lampung Timur). Dan pada tahun yang sama terbentuk 2 wilayah pembantu Bupati yaitu Sukadana dan Gunungsugih.
Dengan kondisi dan potensi yang, cukup besar serta ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai, Kotif Metro tumbuh pesat sebagai pusat perdagangan, pendidikan, kebudayaan dan juga pusat pemerintahan, maka sewajarnyalah dengan kondisi dan potensi yang ada tersebut Kotif Metro ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Metro.Otonomi Daerah pada 1999, dibentuknya Kota Metro sebagai daerah otonom berdasarkan UU No 12 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 20 April 1999 dan diresmikan pada tanggal 27 April 1999 di Jakarta bersama-sama dengan Kota Dumai (Riau), Kota Cilegon, Kota Depok (Jawa Barat ),Kota Banjarbaru (Kalsel) dan Kota Ternate (Maluku Utara).
Kota Metro pada saat diresmikan terdiri dari 2 kecamatan, yang masing-masing adalah sebagai berikut:
Kecamatan Metro Raya:
  1. Kelurahan Metro
  2. Kelurahan Ganjar Agung
  3. Kelurahan Yosodadi
  4. Kelurahan Hadimulyo
  5. Kelurahan Banjarsari
  6. Kelurahan Purwosari
  7. Kelurahan Karangrejo
Kecamatan Bantul, membawahi:
  1. Kelurahan Mulyojati
  2. Kelurahan Tejosari
  3. Desa Margorejo
  4. Desa Rejomulyo
  5. Desa Sumbersari
Kemudian berdasarkan Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pemekaran Kelurahan dan Kecamatan di Kota Metro, wilayah administrasi pemerintahan Kota Metro dimekarkan menjadi 5 Kecamatan yang meliputi 22 Kelurahan.

Kecamatan Metro Pusat

  • Kelurahan Metro
  • Kelurahan Imopuro
  • Kelurahan Hadimulyo Timur
  • Kelurahan Hadimulyo Barat
  • Kelurahan Yosomulyo

Kecamatan Metro Timur

  • Kelurahan Iringmulyo
  • Kelurahan Yosodadi
  • Kelurahan Yosorejo
  • Kelurahan Tejosari
  • Kelurahan Tejoagung

Kecamatan Metro Barat

  • Kelurahan Mulyojati
  • Kelurahan Mulyosari
  • Kelurahan Ganjar Asri
  • Kelurahan Ganjar Agung
Kecamatan Metro Utara


  • Kelurahan Banjar Sari
  • Kelurahan Karang Rejo
  • Kelurahan Purwosari
  • Kelurahan Purwoasri     

  • Kelurahan Sumbersari
  • Kelurahan Margorejo
  • Kelurahan Margodadi
  • Kelurahan Rejomulyo

Rabu, 01 Juni 2016

Butau Gesea



serial Cerita Rakyat Bengkulu (jilid 3)

DI Desa Kotadonok banyak didapati tempat-tempat yang dianggap keramat oleh masyarakatnya. Salah satu tempat yang dianggap mempunyai nilai misteri adalah Butau Gesea ( Batu Hampir Jatuh ). Letak batu itu memang menakjubkan, di samping berada di lereng bukit terjal, dan nampak hanya tertanam sedikit di tanah. Batu itu tidak pernah jatuh atau menggelinding ke bawah.
Batu yang aneh bin ajaib itu letaknya diseberang Desa Kotadonok atau tepatnya di lokasi yang dinamakan Teluk Lem ( Teluk Dalam ), yang tertanam di tanam sekitar 25 meter dari permukaan air Danau Tes. Konon ceritanya, batu yang permukaannya tidak lebih dari 8 meter persegi itu adalah tempat Raja Tepat Rukam mengadakan pertemuan membahas masalah-masalah penting.
Walau permukaan batu itu hanya selebar tikar berukuran 1,5 X 1,5 meter, tapi dapat menampung sekitar 30 orang yang duduk bersila. Bukankah itu hal yang aneh bagi manusia?
Tepat di bawah batu itu terdapat Serawung Dung Ulau Tujuak ( Gua Ular Kepala Tujuh ). Di sisi kiri batu tersebut terdapat jalan setapak masyarakat yang pergi ke kebun. Tentunya, jalan setapak itu menaiki lereng bukit yang cukup terjal. Hanya saja masih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Jadi, tidak kepanasan atau kepayahan untuk mendakinya.
Sampai sekarang Butau Gesea itu masih sering dikunjungi orang dari berbagai tempat, di atas batu itu mereka membakar kemenyan sebagai tradisi budaya masyarakat setempat. Batau Gesea itu memang berseberangan dengan bekas Istana Kerajaan Tepat Rukem atau dalam bahasa Rejangnya disebut Tepat Taukem. Tepat berarti keramat dan Taukem mempunyai arti Rukam, nama sebuah kerajaan di Lebong zaman dahulu kala.
Di lokasi Butau Gesea orang tidak sembarangan bicara, 
karena takut penunggu daerah keramat itu melakukan tindakan balas dendam. Apalagi bicara takabur seakan-akan diri adalah orang hebat.FOTO: NAIM EMEL PRAHANA
Pada suatu saat seorang raja Tepat Rukam pusing memikirkan kejadian-kejadian di negerinya, maka pergilah ia ke Butau Gesea untuk menenangkan pikiran dan mencari pemecahan masalah-masalah di dalam negerinya. Namun, ia tak lupa berpesan agar para penasehat, menteri kerajaan agar menghadap dirinya di Butau Gesea. Tentu saja kepergian Raja Tepat Rukam ke Butau Gesea itu tidak diketahui oleh rakyatnya. Sebab, kalau diketahui oleh rakyatnya dikhawatirkan akan diketahui oleh orang-orang yang akan berbuat jahat di negeri Tepat Rukam. Cukup diketahui oleh orang dekat dengan raja.
Pada suatu malam sang raja sudah duduk di atas Butau Gesea menghadap ke Danau Tes yang terletak di bawahnya, bertepatan diseberangnya istana kerajaan. Raja Tepat Rukam sudah dikelilingi oleh pembantu-pembantunya. Malam itu memang malam purnama. Dari celah dedaunan pohon – pohon besar mengelilingi Butau Gesea, sinar rembulan nampak seperti sutera menembus bumi. Keadaan saat itu hening, sunyi dan sepi sekali.
“Para penasihat dan menteri kerajaan, malam itu sengaja saya mengundang datang ke sini untuk membicarakan hal-hal penting di negeri kita,” ucap sang raja membuka pembicaraan. Malam itu memang hadir tiga penasihat dan 5 menteri raja.
“Saya ingin mendapatkan masukan-masukan untuk memecahkan persoalan yang menimpa rakyat Kerajaan Tepat Rukam,” kata raja lagi dengan bicaranya yang tenang dan duduknya yang tak bergeming sedikitpun. Sadarlah para penasihat dan menteri, kalau mereka dipanggil ke Butau Gesea itu karena urusan yang sangat penting. Mereka tak berani bicara sembarangan malam itu.
“ Kalaulah boleh hamba tahu Tuan Raja, gerangan apakah yang menjadi pikiran Tuan Raja tak bisa tenang,” tanya salah seorang penasihat dengan bahasa yang halus dan hati-hati. Sang raja menatap penasihatnya yang sudah agak tua itu. Lalu ia berkata, “ Begini, akhir-akhir ini banyak kejadian aneh di negeri kita yang membuat rakyat tidak berani lagi ke sawah atau ke ladang. Sekiranya para penasihat dan menteri tahu, siapakah orang yang membuat kacau negeri ini?” kata sang raja. Semua yang hadir terdiam.
Setelah raja menyampaikan masalahnya, semua diam, termasuk sang raja sendiri. Seakan-akan mereka sedang mencari jawaban yang tepat dan pas, agar raja dapat memutuskan  kebijakannya yang akan diambil demi kepentingan rakyat banyak. Keadaan malam itu memang hening wajah-wajah mereka di atas Butau Gesea itu diterpa sinar rembulan yang menerobos dari celah dedaunan. Terlihatlah kalau wajah mereka begitu tegang, termasuk wajah sang raja.
“Tuan Raja yang mulia, menurut pengetahuan hamba ketakutan rakyat selama ini memang berasal dari sekelompok perampok yang berkeliaran di sekitar kampung-kampung. Mereka menakuti anak-anak dan orangtua,” seorang menteri menjelaskan apa yang ia ketahui tentang latarbelakang ketakutan rakyat untuk pergi ke sawah dan ladang mereka. Mendengar keterangan sang menteri itu, raja diam sejenak. “Dan, bagaimana pendapat para penasihat dan menteri lainnya?” tanya sang raja.
Semua penasihat dan menteri malam itu sependapat dengan menteri yang mengemukakan pendapat dan masukannya kepada sang raja.
“Kalau demikian, saya minta kelompok perampok itu segera diatasi dan hasilnya segera dilaporkan kepada saya,” pinta sang raja. Setelah para penasihat dan menteri menyatakan kesanggupan mereka, maka raja minta penyelesaiannya tidak boleh lebih dari tujuh hari. Permintaan itupun tidak dapat ditolak.
Demikianlah kisah awal tentang Butau Gesea yang dijadikan tempat menenangkan diri, tempat pertemuan raja Tepat Rukam untuk menyelesaikan hal-hal penting yang tidak boleh diketahui oleh rakyat Kerajaan Tepat Rukam. Butau Gesea itu dijadikan tempat pertemuan rahasia karena letaknya menghadap pusat kerajaan dan kalau berada di atas Butau Gesea akan nampak semua yang ada di seberangnya, yaitu di sekitar istana raja.
Kebetulan di dasar air Danau Tes yang dinamakan Teluk Lem, bertepatan lokasinya di bawah letak Butau Gesea terdapat Serawung Dung Ulau Tujuak yang bagi penduduk setempat sudah paham betul situasi dan keadaannya. Sebab, untuk mencapai daerah itu dibutuh waktu sekitar 5—10 menit menggunakan perahu kayu. Menurut masyarakat Kotadonok, bila suatu saat kulit tubuh tersentuh air di Teluk Lem, kemudian terasa gatal-gatal berarti saat itu Ular Kepala Tujuh (Dung Ulau Tujuak) sedang berada di bawah air.
Kalau sudah demikian, cepatlah menyingkir dari air. Sebab, dalam kepercayaan yang sudah turun temurun disebutkan, Ular Kepala Tujuh itu dapat menjelma apa saja. Seperti menjelma jadi pohon kayu besar yang tidak tampak ujungnya, bisa juga menjadi ikan mas raksasa atau jelmaan lain yang memberikan peringatan kepada penduduk agar kalau melihat benda-benda atau binatang seperti itu di Danau Tes, supaya segera menyingkir.
Konon, bagi siapa yang pernah melihat kayu besar atau ikan mas raksasa beralamat ada orang yang akan meninggal dunia. Sampai sekarang legenda itu masih menjadi perhatian penduduk Kotadonok khususnya dan penduduk Lebong pada umumnya. Misteri di sekitar Danau Tes memang banyak, dan sampai saat ini dipercayai memiliki kekuatan ghaib yang sering membuat penduduk sekitarnya selalu berhati-hati bila berlayar di atas Danau Tes.
Di seberang Teluk Lem pada zaman kerajaan Tepat Rukam terdapat tempat permandian raja yang terbuat dari Eket ( rakit ) yang mengapung di atas permukaan air. Disanalah para raja dan keluarganya mandi. Di daerah itu sekarang terdapat tempat rekreasi yang dinamakan Podok Lucuk ( Pondok Runcing  ). Kenapa disebut dengan Podok Runcing? Karena bentuk bangunannya bundar dan atapnya seperti kubah masjid, meruncing ke atas.
Dan, tidak berapa jauh dari Podok Lucuk itu dibangun lokasi sekolah Tsanawiyah Negeri yang letaknya dipinggir Danau Tes—termasuk wilayah Desa Kotadonok. Dari lokasi itu setiap pengunjung dapat bebas melihat keramaian di permukaan Danau Tes para penduduk yang memiliki areal persawahan di Baten Kauk ( “Baten” adalah nama lokasi pertanian padi sawah, sedangkan “Kauk” artinya di bawah) dan Baten Daet ( “Daet” artinya darat atau di atas) hilir mudik dengan perahu kayu mereka. Atau penduduk yang pekerjaannya mencari ikan di Danau Tes. Sungguh suatu pemandangan yang sangat bagus sekali.
Cerita mengenai Butau Gesea terkenal ke mana-mana, tidak heran pula banyak penduduk keturunan Tionghoa yang melakukan semacam ziarah ke sana. Mereka beranggapan nenek moyang mereka juga berasal dari daerah Lebong. Penduduk keturuan Tionghoa juga menziarahi Tepat Taukem dan beberapa tempat lain yang dianggap keramat. Butau Gesea memang bukan istana raja Tepat Taukem, tetapi hanya sebagai tempat pertemuan tertutup dan semedi raja-raja Tepat Taukem.
Bila pikiran seorang raja Tepat Rukam mengalami keruwetan mengenai beberapa masalah di kerajaannya, biasanya ia pergi ke Butau Gesea menenangkan diri, berbincang dengan penasehat, hulubalang dan para menteri kerajaan. Butau Gesea itu sejak lama sudah ada di sana. Posisinya tetap seperti sediakala, tidak mengalami perubahan apa-apa. Hanya saja sekarang ini Butau Gesea jarang dikunjungi penduduk setempat. Namun, ceritanya tetap menjadi cerita dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi penduduk disekitar Danau tes. Cerita itu menjadi pelengkap kehidupan sehari-hari di daerah sekitar Danau Tes dan terkenal ke berbagai pelosok di tanah Lebong maupun sampai ke Bengkulu. Walaupun demikian, tidak banyak yang mengetahui asal usul Butau Gesea tersebut.

Kesimpulan:
Cerita Butau Gesea mengandung dua pemahaman. Pertama untuk memberitahukan kepada masyarakat sekarang, agar tempat-tempat leluhur dahulu kala harus dijaga, dipelihara dan jangan sampai diper-Tuhan-kan. Kedua, mengajari kita agar tidak berlaku sombong, walau punya kedudukan dan jabatan. Berlaku hidup wajar-wajar saja, serta selalu menghargai pendapat orang lain, kendati pendapat itu salah.

Senin, 23 Mei 2016

Opini: 'Lampung Post' dan Keberaksaraan Berkesenian

 Iswadi Pratama

August 16, 2008

SAYA tidak mengerti bagaimana harus memastikan peran penting Lampung Post bagi perkembangan dunia kesenian (kebudayaan) di Lampung selain membangun tradisi keberaksaraan di kalangan seniman maupun publik seni di daerah ini, baik pada masa 34 tahun yang telah dilalui maupun pada masa mendatang.

Pada periode 90-an, melalui rubrik Opini yang ketika itu diasuh Bung Heri Wardoyo atau halaman Seni di edisi Minggu, saya termasuk salah seorang yang turut menimba pengetahuan, wawasan, dan wacana bidang seni dan kebudayaan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Demikian juga karya sastra, prosa dan puisi, yang secara khusus mendapat "jatah tetap" hadir di harian ini.

Pada masa ketika teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang serta jumlah buku kesenian dan kebudayaan yang ada di satu-satunya toko buku besar di Lampung ketika itu masih sangat terbatas, pergaulan dan perjumpaan saya dengan teks-teks seni juga masih sangat miskin, tulisan-tulisan seni-budaya di halaman Opini Lampung Post dan di rubrik Seni Minggu adalah menu utama dan wajib untuk belajar. Minat saya terhadap seni dan kebudayaan tumbuh seiring dengan isu-isu, gagasan, wacana, yang berkembang di koran yang kini berada dalam payung Media Group ini.

Saya "membaca" Iwan Nurdaya Djafar, Prof. Hilman Hadikusuma, Ir. Anshori Djausal, Ir. Yoke Moelgini, Asrian Hendi Caya, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., Taufik Wijaya, Pramudya Mukhtar, Maspriel Aries, Naim Emel Prahana--sekadar menyebut beberapa nama penulis dari Lampung. Saya pun bertamasya ke masa lalu dan kini melalui artikel-artikel juga ulasan tentang sejarah orang Lampung, makam Patih Gajah Mada di Skala Bekhak, sastra kontekstual, pentas Teater Koma, Bengkel Teater Rendra, Teater Sae, pentas tari di Gedung Kesenian Jakarta, pameran lukisan tiga sekawan (Edi Suherli, Subardjo, Djoko Irianta), pergelaran jazz Bill Saragih.

Saya juga membaca esai tentang Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho yang menyentak perfilman nasional dari tidur panjang. Mereguk segarnya tulisan Mohamad Sobari, mencucup hikmah dari tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Khusyuk mengikuti perdebatan generasi lama dan generasi baru dalam dunia sastra di Lampung, mengeja wacana post-modernisme yang masih jadi makhluk asing bagi seniman di Lampung ketika itu.

Saya juga merekam kegelisahan para seniman terhadap ancaman kepunahan seni tradisi Lampung. Saya membaca cerita bersambung Maria Delgado yang teka-tekinya mirip Edgar Alan Poe, tapi bahasanya ringan dan cerdas. Saya membaca sekian banyak teks dan jaringan teks seni dan kebudayaan di koran ini. Dan semua itu, saya kira, telah ikut menyusun biografi pengetahuan yang kini ada di kepala saya.

Berbarengan dengan proses "membaca" itu, saya pun mulai belajar menuliskan, mentransformasikan gagasan-gagasan, permenungan, kegelisahan atau sekadar "gerundelan" yang saya pikir layak disosialisasikan. Saya pun, perlahan-lahan "dibaca". Dan barangkali juga telah ikut memengaruhi segelintir "pembaca" lainnya. Dan dari segelintir itu, saya ketahui ada pula yang mulai menulis dan tentu saja "dibaca". Begitu seterusnya.

Membangun tradisi keberaksaraan dalam seni semacam inilah yang telah dipelihara Lampung Post selama ini melalui rubrik Opini atau halaman-halaman Seni yang muncul setiap Minggu.

Dengan sedikit ilustrasi di atas, saya hendak lebih menegaskan bahwa keberaksaraan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan dialami seorang seniman manakala ia mulai melakoni kerja keseniannya. Tidak ada jaminan untuk itu.

Tradisi keberaksaraan adalah sesuatu yang harus dikonstruk dalam realitas hidup masyarakat. Ia bukanlah sebentuk kebiasaan membaca berita di koran atau menulis puisi/prosa bagi seorang sastrawan.

Sudah lumrah adanya apabila media massa cetak memiliki produk berupa tulisan (berita), sebagaimana seorang sastrawan (modern) yang harus menuliskan karyanya. Tradisi keberaksaraan yang saya maksud adalah bagaimana kita mengonstruk gagasan, sudut pandang, ide, pengamatan dengan bersandar pada teks atau jaringan teks yang telah ada sebelumnya sehingga merangsang lahirnya sebuah teks (tertulis) baru. Lalu, pada gilirannya memperkaya atau melengkapi teks-teks yang sudah ada.

Kehadiran Lampung Post bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Lampung menjadi amat penting bukan dalam konteknya sebagai "industri-informasi" yang berorientasi melulu pada pasar. Melainkan lebih dari itu, sebagai salah satu media pendidikan, pembelajaran, dan pencerdasan masyarakat. Hanya apabila prinsip ini dipertahankan-lah kita bisa menyebut Lampung Post sebagai salah satu pilar pembangunan masyarakat Lampung.

Namun, sejak era 90-an--era saat saya mulai menjadikan keberaksaraan sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dijalani--hingga kini, saya masih jarang membaca tulisan-tulisan di seputar seni rupa, film, musik, dan terlebih lagi tari. Apa problemnya?

Selama ini, dan banyak sekali pendapat mengenai hal ini; cuma karya-karya (bukan wacana) sastra yang bisa menjadi "teman dekat" sebuah media massa cetak. Hampir di seluruh koran Minggu di Indonesia selalu ada rubrik untuk puisi dan prosa. Sementara itu, film, musik, tari, teater atau seni rupa hampir tidak punya tempat.

Sastra yang bentuknya berupa tulisan tentu saja akan lebih mudah dipilih menjadi salah satu rubrik di sebuah koran. Artinya, karya sastra itu sendiri langsung bisa dapat tempat dipublikasikan. Namun, cabang-cabang seni lain yang produknya bukan berupa tulisan masih membutuhkan "tangan kedua" yang bisa mentransformasikan karya rupa, film, tari, musik, teater dalam bahasa tulisan agar karya tersebut bisa diapresiasi.

Tentu saja yang pertama kali berhadapan dengan masalah ini adalah media massa bersangkutan. Masalahnya, amat sulit mendapatkan seorang jurnalis yang bisa melangkah lebih jauh dari sekadar menulis berita. Sehingga, manakala ada pameran lukisan, pemutaran film, pergelaran musik, pentas tari, festival teater, akan "lumrah" bila tidak ada tulisan mendalam mengenai hal itu.

Masalah kedua, dari cabang-cabang seni yang produknya bukan tulisan itu, keberaksaraan belum menjadi tradisi sebagian besar senimannya. Bahkan, ada semacam rasa risi yang menghinggapi kebanyakan seniman apabila harus menuliskan konsepnya berkarya, gagasan artistiknya atau permenungan estetiknya. Rasa risi ini boleh jadi benar karena para seniman mengharapkan partisipasi "kreator lain" yang dapat membantunya menuliskan semua itu.

Tapi rasa risi itu juga bisa berarti pembenaran atas keberjarakannya dengan keberaksaraan. Ini bisa dilihat dalam hal masih kurang dipedulikannya katalog atau buku kecil pertunjukan sebagai media sosialisasi tertulis yang sangat penting bagi masyarakat, pers, dan kalangan seniman sendiri. Bahkan, ada banyak event atau cabang kesenian yang setiap menggelar acara hampir tidak pernah memiliki katalog, booklet atau sekadar selembar informasi tertulis.

Masalah ketiga, belum terdapat kritikus atau setidaknya pengamat seni yang mau suntuk menulis di media massa dengan alasan-alasan yang sering amat pragmatis: Honor yang kecil. Atau menganggap koran lokal kurang sepadan dengan gelar akademis, prestise, dan seabrek atribut tidak esensial lain. Tetapi, di koran nasional yang dianggap bergengsi pun tulisannya tidak kunjung muncul!

Saya juga masih sangat merindukan, tulisan-tulisan tentang seni dan budaya yang ditulis para cendekiawan atau dari sudut pandang lintas disiplin keilmuan. Banyak event seni dan budaya baik berupa festival, pergelaran, pameran, yang pernah diselenggarakan di daerah ini, tapi cukup sedikit tulisan yang bisa membuatnya memiliki "wibawa", "pamor", seperti halnya tulisan tentang isu atau peristiwa politik. Di mana letak masalahnya? n

* Iswadi Pratama, Pimpinan Teater Satu Lampung dan Anggota Litbang DKL

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Agustus 2008

TUN SADEI TE: Asal Usul Kota Metro

TUN SADEI TE: Asal Usul Kota Metro: Posted by blog mahasiswa lampung UNJ Bangsa Indonesia sudah lama dijajah Belanda. Banyak hasil bumi yang dibawa ke sana dan digunaka...

Asal Usul Kota Metro

Bangsa Indonesia sudah lama dijajah Belanda. Banyak hasil bumi yang dibawa ke sana dan digunakan untuk membangun negeri Kincir Angin tersebut. Tidak mengherankan ketika pemuda pemudi Indonesia mulai mendirikan perkumpulan untuk Indonesia merdeka, orang Belanda Tidak suka.
Akan tetapi, bagaimana pun kejamnya kaum penjajah itu, ternyata mereka juga meninggalkan banyak kenangan. Misalnya, perpindahan penduduk dari daerah padat dan miskin di Pulau Jawa, yang sekarang dikenal dengan nama transmigrasi. Program itu pada zaman penjajahan Hindia Belanda disebut kolonisasi. Tujuannya disamping pemerataan penduduk, orang-orang yang dipindahkan itu akan dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda yang berada di luar Pulau Jawa. Sebagian lagi ditempatkan di daerah-daerah baru untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan baru.
Program kolonisasi itu dimulai tahun 1905. Pada awalnya hanya dilakukan di dalam Pulau Jawa, kemudian berkembang di luar Pulau Jawa, yaitu ke Pulau Sumatera, tapatnya di daerah Lampung.
Menjelang tahun 1932 sudah banyak keluarga Jawa yang dikirim ke Lampung dan ditempatkan di daerah Gedongtataan, Kota Agung, Wonosobo, dan sekitarnya. Baru pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mulai mengirimkan para kolonis (penduduk) itu ke daerah utara. Mereka ditempatkan di daerah Trimurjo, tepatnya di desa Adipuro yang dikenal dengan sebutan bedeng 1 atau BD 1. Salah seorang yang ikut program kolonisasi itu adalah Mbah Sumohadi (sekarang usianya sekitar 80 tahun), yang tinggal di BD 41 Desa Batangharjo, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Tengah. Menurut Mbah Sum, panggilan akrabnya, waktu itu mereka ditempatkan di rumah-rumah yang dinamakan “bedeng”. Setiap orang mendapatkan alat-alat pertanian.
Lalu, kenang Mbah Sum, lahan pertanian yang disuruh kerjakan itu diberi patok=patok sebagai batas. Rumah atau bedeng itu dibuat dengan menggunakan tiang karena daerah itu masih berupa hutan lebat dan banyak binatang buas. Untuk setiap beberapa bedeng ditempatkan pengawas. Ada pula mantra kesehatan yang memberikan obat bila ada orang yang sakit. Penyakit yang diderita umumnya malaria.
Setiap calon desa waktu itu terdiri atas beberapa rumah bedeng. Makin lama derah yang ditempati makin ramai karena sudah banyak hutan yang dibuka, sedangkan penduduk ditempatkan di daerah yang dikenal dengan nama Metro. Untuk dapat ke lokasi BD 15 mereka harus menempuh perjalanan panjang melalui Kotagajah, Gedongdalem, kemudian terus ke Metro. Antara tahun 1932 – 1935 belum ada jalan yang bisa dilewati kendaraan dari Trimurjo ke Metro, walaupun jaraknya sekitar 10 km.
Akan tetapi, menurut beberapa cerita, jalan dari Trimurjo ke Metro dirintis oleh Kolonis atas perintah dari penjajah Belanda. Karena banyak tanah rawanya, di atas jalan itu diletakkan kayu-kayu bulat agar dapat dilalui gerobak dan kendaraan milik orang Belanda.
Akhirnya, daerah sekitar Kota Metro dapat dijangkau dalam waktu singkat. Setelah jalan tembus dibuka, kemajuan kolonis di BD 15 begitu cepat. Kolonis di daerah Sukadana pun mengalami perkembangan pesat bahkan melebihi perkembangan daerah kolonis pertama di Gedongtataan, Lampung Selatan. Desa induk yang dibuat Belanda tanggal 5 Juni 1937 dipindahkan secara resmi ke Metro sebagai desa induk pengganti. Itu dilakukan melihat perkembangan Metro yang sangat pesat.
Tentang asal nama Metro itu sendiri ada dua cerita. Pertama, diambil dari bahasa Belanda, yaitu centrum yang berarti pusat. Kedua, Kota Metro diberikan oleh para kolonis dari Jawa. Pada waktu itu, orang-orang Jawa yang ditempatkan di BD 15 merasa senasib sepenaggungan, memiliki bahasa yang sama. Jadi, semua kolonis menanggung susah dan senang bersama-sama.
Dari perasaan itulah mereka semula menyebutkan tempat itu sebagai Mitro, berarti rekan. Lama-kelamaan pengucapannya berubah menjadi Metro. Sampai sekarang daerah itu dinamakan Metro. Menutu buku Dari Kolonisasi ke Transmigrasi pada tahun 1939 di Metro terdapat seorang kontrolir Belanda, seorang insinyur, dan seorang dokter pemerintah. Metro sebagai ibukota kolonisasi Sukadana bahkan telah memiliki pasar besar, kantor pos, pesanggrahan, masjid, dan penerangan listrik.
Sampai tahun 1941 di Metro sudah ada 2 orang dokter, 13 orang mantri dan juru rawat, 1 orang mantri malaria, 80 orang pembagi kinina (?), 2 orang pembantu klinik, dan 1 orang bidan. Di samping itu ada berbagai sekolah khususnya sekolah yang dikelola misi Katolik. Sejak tahun 1941 saluran irigasi dari Trimurjo terus diperpanjang dan tahun 1942 saluran yang dikenal oleh masyarakat Lampung Tengah dengan sebutan ledeng sudah mencapai Batanghari. Dengan perkembangan yang begitu pesat, dengan sendirinya derah sekitar Metro juga ikut berkembang dan tetap menggunakan nama bedeng.
Ilustrasi
Tidak mengherankan kalau di sekitar Metro dibuka lagi bedeng-bedeng baru sampai bedeng 67 yang kini berada di Kecamatan Sekampung. Di kota Metro sendiri bedeng-bedeng itu dipecah lagi, seperti bedeng 15 polos, bedeng 15 A, bedeng 15 B Barat, bedeng 15 B Timur, bedeng 15 Kauman, bedeng 21 polos, bedeng 21 B, bedeng 21 C, bedeng 21 D, bedeng 22, bedeng 16, bedeng 16 A, dan sampai bedeng 16 C.
Biasanya, di belakang nomor bedeng ditulis nama desanya, misalnya bedeng 16 C Mulyojati. Demikian pula penamaan bedeng lainnya yang sampai sekarang terbatas pada bedeng 67. Namun satu bedeng tidak semua menjadi satu desa. Ada juga satu bedeng dibagi menjadi dua desa, tergantung luas desa dan jumlah penduduknya.
Demikianlah asal usul Kota Metro yang sampai saat ini sudah berusia 73 tahun. Saat ini Metro merupakan kota administratif kedua di Lampung setelah Bandar Lampung. Kota Metro terdiri kecamatan Metro Raya dan Bantul.
Kesimpulan
Dari asal usul Kota Metro, sangat terasa bahwa masyarakat Indonesia memiliki sifat gotong royong, saling menolong, serta sangat menghargai jasa-jasa dan karya cipta orang-orang yang lebih dahulu berbuat untuk orang banyak

TUN SADEI TE: Sejarah Kota Metro: Dari Kolonisasi ke Transmigras...

TUN SADEI TE: Sejarah Kota Metro: Dari Kolonisasi ke Transmigras...:  Een perceel met aanplant Landbouwkolonie van het  Indo Europeesch Verbond Giesling Z. Sumatra 1930  Gebouw, met vermoedelijk Ja...