Minggu, 21 September 2008

Arachnis flosaeris from Rejang Land

Arachnis flosaeris from Rejang Land
(Sumatra Highland)

Found on the Malaysian pennisula as well as Sumatra, Java, Borneo and the Philippines in mangroves and along rivers at elevations of sea level to 1000 meters as a as a large to giant sized, warm growing monopodial, climbing epiphyte or scrambling lithophyte often over 15' tall, with terete, elongate, scandent stems carrying ligulate or linear-oblong, curved, slightly twisted, notched and gradually narrowing towards the apex, basally clasping leaves that are pierced below at intervals by roots and blooms on a simple or branched, axillary, to 4' [120 cm] long, ascending to drooping inflorescence with many widely spaced flowers with a strong musky to sweet scent occuring in humid environments almost continuously but most in the fall.

Synonyms Aerides arachnites Sw. 1799; Aerides flosaeris (L.) Sw. 1799; Arachnis flosaeris (L.) Schltr. 1911; Arachnis flosaeris var. gracilis Holttum 1935; Aerides matutinum Willd. 1805; Arachnis moschifera Blume 1826; Arachnanthe flos-aeris Rchb.f 1905; Arachnanthe moschifera Blume 1848; Epidendrum aerosanthum St.-Lag. 1880 ; *Epidendrum flos-aeris L. 1753; Limodorum flos-aeris Sw. 1799; Renanthera arachnites Lindley 1833; Renanthera flos-aeris Rchb.f 1858; Renanthera moschifera [Bl.] Hassk. 1848;

In Rejang Land especially sumatera highland, people call this flowers as Anggrek Kalajengking in mean as scorpion orchid in english, some literatur say in other place call as spider orchid. In Curup Town, with lied abaut 700 - 800 metres from level sea, the orchid grow rapidly with good condition, even in wild rainforest of heart Sumatrahigland. In this area I have found two varian, one of them as u can see below. The photo taken by Arga in Curup town, the other varian little bit more bigger than this one, and more dark brown color if we compare with this one.
Lets take alook the Anggrek kala jengking species from Rejang Land: Now we compare with species from other area, let see below : This is from Philipines :

This one below very rare is called as Arachnis flosaeris Insignis Photo :
http://www.tropicalexotica.com/c1.htm
Source : http://www.rv-orchidworks.com/orchidtalk/orchids-other-genera-bloom/10885-arachnis-flosaeris.html. http://www.orchidspecies.com/arachflos-aeris.htm
http://www.orchidsasia.com/arachnis.htm. http://www.tropicalexotica.com/c1.htm

Aksara Ka Ga Nga

Oleh tanah rejang
Aksara KA GA NGA terdiri dari 27 buah tua (19 huruf tunggal dan 8 huruf pasangan atau huruf ngibang), dan 13 tanda baca.

TATA CARA PENULISAN HURUF
1. Kemiringan huruf 45 º sampai dengan 50 º.
2. Menulis dari arah kiri ke kanan, dari sudut bawah kiri kesudut kanan atas, kecuali
huruf memakai garis tegak lurus permulaan atau penutupan. Garis tegak berukuran
setengah dari tinggi huruf.
3. Penulisan huruf KAGANGA memiliki garis halus dan kasar, garis yang ditarik keatas
halus sedangkan garis kebawah kasar atau tebal.
4. Untuk keseragaman penulisan dan agar tidak terjadi salah baca, maka penulisan harus dengan bantuan kotak-kotak pola persegi empat, contoh lihat pada halaman 52 (Aksara Rejang).
5. Setiap penulisan kata harus diatur jarak satu atau dua huruf ke kata berikutnya.
6. Awal penulisan yang menggunakan huruf Ē, E, I, O dan U harus menggunakan huruf A dengan merubah bunyinya.
7. Huruf latin yang tidak terdapat pada huruf Rejang adalah : F, V, Q, X, Z. untuk menggantinya dipergunakan huruf : F dan V dipergunakan huruf = PA Q dipergunakan huruf = KA X dan Z dipergunakan huruf = SA
8. Dalam huruf KAGANGA, tidak dikenal istilah huruf besar dan huruf kecil

HURUF TUNGGAL :
1. KA 5. DA 9. MA 13. SA 17. WA
2. GA 6. NA 10. CA 14. RA 18. HA
3. NGA 7. PA 11. JA 15. LA 19. A
4. TA 8. BA 12. NYA 16. YA

HURUF PASANGAN/NGIBANG :
1. MBA 3. NDA 5. NCA 7. NGGA
2. MPA 4. NTA 6. NJA 8. NGKA

TANDA BACA :
1. Mengubah bunyi huruf buah tua menjadi : I, E, O, U dan bunyi vokal rangkap : AI dan
AU.
2. Mengganti beberapa konsonan : NG, N, R, M dan H.
3. Tanda bunuh atau pemati konsonan bagi yang tidak mendapat tanda pengganti yaitu :
KA bunuh menjadi = K DA bunuh menjadi = D
GA bunuh menjadi = G PA bunuh menjadi = P
CA bunuh menjadi = C BA bunuh menjadi = B
JA bunuh menjadi = J SA bunuh menjadi = S
TA bunuh menjadi = T LA bunuh menjadi = L

KEDUDUKAN TANDA BACA :
1. Kiri atas untuk bunyi : I, Ē, O
2. Kiri bawah untuk bunyi : U, E, AU
3. Kanan atas untuk bunyi : NG, N, M, R, AI
4. Belakang untuk bunyi : H dan pemati konsonan

PENGEJAAN TANDA BACA :
Buah tua yang belum mendapat tanda baca, atau masih berbunyi = A disebut Bayang KA, GA, NGA dan seterusnya

Tanda baca gabung
Tanda baca gabung ini merupakan gabungan tanda baca I, E, O, U, Ē, AU dan AI dengan NG, N, M, R dan H atau tanda baca dengan tanda baca konsonan.

Tanda baca Tulang (NG), Ratau (N) dan Rating (M), dipergunakan hanya diujung saja.
Bila bunyi tersebut ditengan kata dan huruf berikutnya berbunyi K, G, S, depan NG, I, D, depan N, P, B, depan M, maka dipergunakan huruf pasangan yaitu : NGK, NGG, NT, ND, MP, MB, NJ.

KA Ga nGA
The Redjang or Kaganga alphabet is descended ultimately from the from Brahmi script of ancient India by way of the Pallava and Old Kawi scripts. Some linguists claim that there is are connections between the Redjang alphabet, Egyptian hieroglyphs and various Semitic languages such as Hebrew.
Redjang is a syllabic alphabet - each letter has an inherent vowel /a/. Other vowels can be indicated using a variety of diacritics which appear above or below the consonants.
Redjang/Rejang, an Austronesian language spoken by about a million people in Sumatra. The Redjang alphabet is used mainly to write magic spells and medical incantations and some poetry.
Consonants

Vowel diacritics with ka
Thanks to T. R. Carlton of the University of Alberta for corrections to the script chart and for additional information.

Rejang Alphabet
The Rejang script, sometimes spelt Redjang and locally known as Aksara Kaganga ('Ka Ga Nga alphabet') after its first three letters, is an abugida of the Brahmic family, and is related to other scripts of the region, like Batak, Buginese, and Kerinci. The script was in use prior to the introduction of Islam to the Rejang area; the earliest attested document appears to date from the mid-18th century CE.

The script was used to write Rejang, which is now spoken by about 200,000 people living in Indonesia on the island of Sumatra in the southwest highlands, north Bengkulu Province, around Argamakmur, Muaraaman, Curup, and Kepahiang, and also in the Rawas area of South Sumatra Province, near Muara Kulam. There are five major dialects of Rejang: Lebong, Musi, Kebanagung, Pesisir (all in Bengkulu Province), and Rawas (in South Sumatra Province). Most of its users live in fairly remote rural areas, of whom slightly less than half are literate.
The traditional Rejang corpus consists chiefly of ritual texts, medical incantations, and poetry.
Rejang abugida, with transliterations rejang ka ga nga alphabet OriginThe Redjang or Kaganga alphabet is descended ultimately from the from Brahmi script of ancient India by way of the Pallava and Old Kawi scripts. Some linguists claim that there is are connections between the Redjang alphabet, Egyptian hieroglyphs and various Semitic languages such as Hebrew.Notable featuresRedjang is a syllabic alphabet - each letter has an inherent vowel /a/. Other vowels can be indicated using a variety of diacritics which appear above or below the consonants.Used to write:Redjang/Rejang, an Austronesian language spoken by about a million people in Sumatra. The Redjang alphabet is used mainly to write magic spells and medical incantations and some poetry.ConsonantsVowel diacritics with kaThanks to T. R. Carlton of the University of Alberta for corrections to the script chart and for additional information.

Kabupaten Bengkulu Selatan

Kabupaten Bengkulu Selatan
Bengkulu Selatan adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu.
Kabupaten Bengkulu Selatan berdiri berdasarkan Keputusan Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan pada tanggal 8 Maret 1949 Nomor GB/ 27/ 1949, tentang pengangkatan Baksir sebagai Bupati Bengkulu Selatan (sebelumnya bernama Kabupaten Manna Kaur 1945 – 1948 dan Kabupaten Seluma Manna Kaur 1948 – 1949). Pada perkembangan selanjutnya dikuatkan dengan Surat Keputusan Presiden RI tanggal 14 November 1956 dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1956 (Tambahan Lembaran Negara 109).
Berdasarkan Kesepakatan Masyarakat Rakyat tanggal 7 Juni 2005, dikuatkan oleh Perda No. 20 tanggal 31 Desember 2005 dan diundangkan dalam Lembaran Daerah No. 13 Tanggal 2 Januari 2006 Seri C maka tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Bengkulu Selatan. Berdasarkan Undang- undang Nomor: 03 Tahun 2003 Kabupaten Bengkulu Selatan mengalami pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Kaur, Seluma dan Bengkulu Selatan.
Kabupaten Bengkulu Selatan juga dikenal dengan sebutan Seraway. Asal nama Seraway dikaitkan dengan dua pendapat yaitu :
1. Seraway berasal kata sauai yang maksudnya cabang dua buah sungai yaitu sungai Musi dan Sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Capang.
2. Seraway berasal kata dari seran yang artinya celaka (celako). Ini dihubungkan dengan suatu legenda dimana seorang anak raja dari hulu karena menderita penyakit menular lalu dibuang (dihanyutkan) ke sungai dan terdampar dimana anak raja inilah yang mendirikan kerajaan ini.
Kerajaan Seraway terpisah dengan Kerajaan Bengkulu (Bangkahulu). Kerajaan ini ditemui antara daerah sungai Jenggalu sampai ke muara sungai Bengkenang namun kerajaan ini akhirnya terpecah- pecah menjadi kerajaan kecil yang disebut margo (marga). Marga dipimpin oleh seorang datuk dan membawahi beberapa desa/ dusun. Marga- marga di Kabupaten Bengkulu Selatan itu adalah Pasar Manna, VII Pucukan, Anak Lubuk Sirih, Anak Dusun Tinggi, Kedurang, Ulu Manna Ilir, Ulu Manna Ulu, Anak Gumay dan Tanjung Raya. Namun mereka bersatu atas dasar satu kesatuan dan satu keturunan dan satu rumpun bahasa.
Bahasa di Kabupaten Bengkulu Selatan terdiri dari dua bahasa asli yaitu bahasa Pasemah yang banyak dipakai dari muara sungai Kedurang sampai dengan perbatasan Kabupaten Kaur sedangkan mayoritas menggunakan bahasa Seraway yang merupakan turunan dari bahasa Melayu. Berdasarkan Sensus Penduduk 2000 suku bangsa di Kabupaten Bengkulu Selatan adalah Serawai 76,87 persen, Pasemah 13,39 persen, Jawa 2,89 persen, Minangkabau 2,21 persen, Melayu 1,06 persen, Sunda 0,95 persen, Batak 0,73 persen dan lainnya 1,89 persen.

Kabupaten Bengkulu Utara

Kabupaten Bengkulu Utara
Lambang
Bengkulu Utara adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 9.585,24 km² dan populasi 380.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Arga Makmur. Wilayah Bengkulu Utara yang mencakup Pulau Enggano merupakan kabupaten paling luas di provinsi Bengkulu.
[sunting] Sumber daya alam
Tanah Bengkulu Utara subur dan cocok untuk perkebunan. Kelapa sawit, kakao, karet, dan kopi adalah andalan kabupaten ini, selain pernah menjadi tempat pendulangan emas oleh bangsa Inggris mendulang emas dan hingga kini masih didulang secara tradisional. Komoditas kayu gelondongan dan rotan juga dihasilkan di sini.

Sumber daya manusia
Mayoritas suku Rejang bersikap terbuka terhadap kedatangan masyarakat dari Jawa, Bali, Minang, Sunda, dan Batak. Program transmigrasi rutin diberlakukan sejak Gunung Agung di Bali meletus pada tahun 1963.

Pariwisata
Bengkulu Utara memiliki banyak tempat wisata alam dan budaya, di antaranya Tapak Balai di Palik, Batu Layang, Pantai Kota Agung, Sungai Suci, Makam Panglima Ratu Samban, Tebing Kaning, Sawah Kemumu, dan Palak Siring, yang merupakan salah satu habitat bunga Rafflesia.

Kabupaten Seluma

Kabupaten Kaur

Kabupaten Muko-Muko

Kabupaten Muko-Muko
Nama Kabupaten Muko-Muko
PEMEKARAN kabupaten dan kota telah menyapa hampir seluruh provinsi, tidak terkecuali Provinsi Bengkulu. Pada awal tahun 2003, provinsi ini bertambah tiga kabupaten baru yang ditetapkan dengan UU No 3/2003:
Kabupaten Bengkulu Utara dimekarkan menjadi Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko.
Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi Bengkulu Selatan, Seluma, dan Kaur.

Penduduk suku Jawa, Sunda, Minang
Bengkulu sejak zaman kolonial Belanda dijadikan "tanah harapan" bagi penduduk luar Bengkulu. Belanda mulai mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa sejak tahun 1930.
Pengiriman transmigran ke Bengkulu marak lagi sejak 1967. Bahkan, Keppres RI No 2/ 1973 menetapkan Provinsi Bengkulu dan sembilan provinsi lainnya sebagai daerah transmigrasi di luar Pulau Jawa. Salah satu kabupaten tujuan transmigran adalah Bengkulu Utara dan kebijakan itu berlanjut hingga sekarang. Tahun 2004 Bengkulu masih mendapat tambahan transmigran.

Kecamatan 1. Lubuk Pinang
2. Teras Terunjam
3. Pondok Suguh
4. Mukomuko Selatan
5. Mukomuko Utara.

Produksi pertanian palawija
Perkebunan

Penduduk 2000, 137.994 jiwa
1. Terdiri dari 37,4 % suku Jawa
2. 6,3 % suku Sunda
3. 5, 4 % Minangkabau
4. sisanya suku Bali, Bugis, Melayu, Rejang, Serawai,
Lembak, dan lainnya.

Setiap keluarga migran disediakan tanah dua hektar. Mayoritas transmigran dari Jawa adalah petani. Kini sentra-sentra penduduk migran itu tumbuh menjadi sentra ekonomi.
Sektor pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan menjadi tulang punggung perekonomian kabupaten baru ini. Dari sensus yang sama diketahui penduduk yang bekerja 63.494 jiwa. Sebesar 77,8 persen atau 49.399 jiwa menggeluti pertanian. Sisanya menggantungkan hidup di sektor industri pengolahan, perdagangan, angkutan, jasa, dan sektor lainnya.
Tahun 2002, ketika masih menjadi wilayah Bengkulu Utara, Mukomuko menghasilkan 39.532 ton padi, terdiri atas 34.689 ton padi sawah dan 4.843 ton tadah hujan. Produksi padi tersebut 29 persen berasal dari Bengkulu Utara. Palawija yang dihasilkan wilayah ini merupakan 50 persen produksi Bengkulu Utara.
Produksi jagung 21.529 ton (69 persen), ubi kayu 24.608 ton (61 persen), kedelai 646 ton (64 persen), dan kacang hijau 763 ton (52 persen). Adapun ubi jalar dan kacang tanah di bawah 50 persen.
Penghasilan petani tiga tahun ke depan diramalkan meningkat bila pembangunan proyek irigasi bendungan Air Manjunto Kanan selesai sesuai rencana. Bendungan yang menaikkan air Sungai Air Manjunto ini akan melewati Desa Lalangluas, Salatiga, Lubuk Pinang, Lubuk Gedang, dan membasahi ladang-ladang tadah hujan di permukiman para transmigran yang ada di sana.
Konon, bendungan yang dananya berasal dari bantuan Jepang ini akan mampu mengairi sawah 4.919 hektar. Petani yang tadinya panen sekali setahun bisa menanam padi dua kali dan palawija sekali setahun.
Lahan kering yang tadinya hanya mengandalkan air hujan akan terjangkau saluran irigasi teknis. Bulan Oktober 2003 Japan Bank International Corporation (JBIC) menyetujui untuk mengucurkan dana Rp 112 miliar selama tiga tahun anggaran dan pelaksanaannya dimulai akhir 2004 dan perkiraan selesai pertengahan 2008.
Sebagian luas bumi Mukomuko juga diusahakan untuk perkebunan. Paling tidak di sana terdapat 63.669 hektar lahan perkebunan rakyat yang ditanami kopi, lada, cengkeh, karet, kayu manis, kelapa, kelapa sawit, kemiri, dan kapuk. Andalan utamanya adalah kelapa sawit, kelapa, kopi, karet, kayu manis, dan lada.
Bagi penduduk Mukomuko, perkebunan ini sangat berarti karena asap dapur 30.711 rumah tangga penggarap selalu mengepulkan asap.
Produksi 1. Sawit tahun 2002 108.089 ton (62%) dari produksi
seluruh Bengkulu Utara.
2. Klapa 3.395.800 ton (52 %)
3. karet 36.571 ton (32%)
4. lada 79 ton (26 %)
5. kayu manis 936 ton (68%,
6. kopi 1.765 ton (18 %).
7. ikan 52.869 ton senilai Rp 158,6 miliar
Nelayan sebanyak 2.134 rumah tangga nelayan (2002)
Perikanan darat 173 ha
dipastikan mengalami peningkatan bila bendungan irigasi Air Manjunto terealisasi. Tahun 2002, dari kolam ikan petani dihasilkan 279 ton ikan yang bernilai sekitar Rp 2 miliar.

Ternak 1. 8.295 ekor sapi (2002)
2. 5.550 kerbau
3. 12.985 kambing

Kecamatan 5 kecamatan
1. Lubuk Pinang
2. Muko-Muko Selatan
3. Muko-Muko Utara
4. Pondok Suguh
5. Teras Terunjam

Kabupaten Rejang Lebong

Kabupaten Rejang Lebong
Nama Rejang Lebong
Luas wilayah 4.109,8 km²
Penduduk 450.000 jiwa.
Ibukota Curup
Lokasi Terletak di pegunungan Bukit Besar.
Penduduk asli 1. Suku Rejang
Suku Rejang mendiami kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi
2. Suku Lembak

Kecamatan 15 buah kecamatan
Perbatasan Utara dengan Kota Lubuklinggau dan Kab Musi Rawas
Selatan dengan kab Kepahiang
Timur dengan kab Lebong & prop Jambi
Barat dengan kabupaten Lahat.

Jarak ke provinsi 85 km dari kota Bengkulu
Mata pencarian 1. bertani
2. dagang
3. PNS dan
4. lain-lain.

Perkebunan rakyat 1. perkebunan kopi
2. karet
3. palawija

Kabupaten Lebong

KABUPATEN LEBONG
Spirits in the immaterial world
Lebong, a regency in bloom It would be easy to draw a comparison between the economic potential of a region and the blooming of a flower, especially in a fertile and green regency such as Kabupaten Lebong on the southwest of Sumatra island. But there is a specific reason why this part of Bengkulu province can lay claim to such an analogy.
Not only are the slopes of its forest-covered mountains home to many variations of wild orchids, but they are also home to the world’s largest flower, the Rafflesia Arnoldi. Sir Thomas Stamford Raffles and botanist Joseph Arnold first discovered the extraordinary flower, which has a diameter of 3 feet and can weigh up to 15 pounds, when the famed founder of Singapore was appointed Governor-General of what was then Bencoolen. Both British and Dutch rulers of the region came and went, but the Rafflesia continues to grace the regency to this day.
Naturally a flower does not an economy make, especially since it only blossoms for up to 15 days in the months between September and December. For economic prospects the recently elected Bupati Dalhadi Umar is looking towards a much more valuable commodity. Three million tons of pure gold deposits are contained in the earth beneath these Rafflesias. It was extracted by the Dutch right up to their departure during the second World War, and since then, some local tribes have been only marginally sifting for the precious metal. "The 33 kilograms of gold on top of the National Monument in the capital Jakarta actually comes from Kabupaten Lebong," states a proud Umar.
The deposits are far from depleted, but the structure to coordinate private mining had not been in place before local governments were given greater control of their regions. "Now we have full support from the Governor in Bengkulu," says Bupati Umar, "to make sure that with all the limitations we had, we will do our best to help investors process licenses in a short term, and that they need not pay for everything until they start their operations." The provincial capital’s port at Bengkulu is capable of becoming an appropriate transshipment gateway for Lebong’s
mining activities. Lebong also boasts deposits of granite stone, for which interested parties from Japan and Korea have conducted special surveys. The Bupati points out that state oil and gas company, Pertamina, is also looking into the possibility of developing a gas extraction and thermal power plant in the region, which could meet the energy needs of local businesses and citizens.
A formalization of Lebong’s mining sector would supplement its agricultural activities, on which 89 percent of the population is dependent. Robusta and Arabica coffee are the most cultivated commodities and make up 60 percent of all agricultural production in Kabupaten Lebong. Other crops include tea, young bamboo, chili, corn, and potatoes as well as avocados, pineapple, bananas, and oranges. The regency is seeking domestic or foreign partners to upgrade its farming and harvesting techniques, aiding the diversification of current crops and plantations.

The province of Bengkulu has a population of around one million. In the early stages of its history, Bengkulu was home to the Kingdom of Selebar, which served as a vassal state for the Javanese Kingdom of Banten. It was a main source of pepper, cloves, nutmeg, and coffee, commodities upon which Banten thrived. On July 12, 1685, Selebar signed a treaty with the British East India Company according to which the British had the right to establish a fortified trading post at Selebar. Thus the birth of Fort Marlborough, famous for being the second strongest fort in Asia after Fort George in Madras, India. Built between 1713 and 1719, it served as the seat of British power and influence in the western parts of the archipelago until 1825, when, under the terms of the Treaty of London, England handed over the territory to the Dutch, ending 139 years of British rule in Bengkulu. Restored in 1984, Fort Marlborough is now a popular tourist attraction.

Lebong has what it takes to expand upon Marlborough and take off as an alternative tourist destination in its own right. Its Bukit Barisan mountain range is home to the Rejang people, an ethnic group whose spiritual connection with their environment has transcended far beyond Sumatra, and even formed the basis of various literary works. The Rejang have their own language and alphabet (Kalui), and still practice a form of animism that is a central part of their daily lives. They believe that potent spirits live in the lakes of the surrounding mountains, ones that even visitors might be able to encounter, if they believe strongly enough. One particular spirit named Masumai is able to take the form of a tiger or a man. The use of magic and silent power in this unseen world serves a great range of purposes, ranging from ritual oaths to divination at holy shrines. This proximity to nature is said to safeguard man’s passage through life, leading him in the right direction. For Bupati Dalhadi Umar, that prosperous destination will always be Lebong, whether it is reached through agriculture, mining, or tourism.
Tags: al-azhar, al-azhar university, asal usul burung, bahaya islam liberal, bangsa punah, batu sangkar, bengkulu, egypt, ekonomi indonesia, ekonomi rakyat, fakta penciptaan, foto, gitar jang, indonesia, islam di indonesia, ismail raji al-fruqi, kairo, kepalsuan kristen, ketuhanan trinitas, kitab palsu, kristenisasi, legau jang, legau taneak jang, lembah sungai nil, mahmud syaltut, mengenal yahudi, mesir, mesir kuno, monumen islam, mp3, penciptaan, penemuan planet, peninggalan mesir, peradaban, peradaban manusia, peradaban mesir, perang dunia kedua, perang pemikiran, perang salib, prancis & agama, profil bengkulu, rasulullah, rejang, rejang lebong, rencana gereja, satelit pemburu, sejarah dunia, suku rejang, sumbar, tauhid, teori evolusi, tokoh islam, tokoh islam 2, tokoh kimia, turki utsmani, wisata mesir

Lebong-Bengkulu
Spirits in the immaterial world
Lebong, a regency in bloom
It would be easy to draw a comparison between the economic potential of a region and the blooming of a flower, especially in a fertile and green regency such as Kabupaten Lebong on the southwest of Sumatra island. But there is a specific reason why this part of Bengkulu province can lay claim to such an analogy. Not only are the slopes of its forest-covered mountains home to many variations of wild orchids, but they are also home to the world’s largest flower, the Rafflesia Arnoldi. Sir Thomas Stamford Raffles and botanist Joseph Arnold first discovered the extraordinary flower, which has a diameter of 3 feet and can weigh up to 15 pounds, when the famed founder of Singapore was appointed Governor-General of what was then Bencoolen. Both British and Dutch rulers of the region came and went, but the Rafflesia continues to grace the regency to this day.
Naturally a flower does not an economy make, especially since it only blossoms for up to 15 days in the months between September and December. For economic prospects the recently elected Bupati Dalhadi Umar is looking towards a much more valuable commodity. Three million tons of pure gold deposits are contained in the earth beneath these Rafflesias. It was extracted by the Dutch right up to their departure during the second World War, and since then, some local tribes have been only marginally sifting for the precious metal. "The 33 kilograms of gold on top of the National Monument in the capital Jakarta actually comes from Kabupaten Lebong," states a proud Umar.

The deposits are far from depleted, but the structure to coordinate private mining had not been in place before local governments were given greater control of their regions. "Now we have full support from the Governor in Bengkulu," says Bupati Umar, "to make sure that with all the limitations we had, we will do our best to help investors process licenses in a short term, and that they need not pay for everything until they start their operations." The provincial capital’s port at Bengkulu is capable of becoming an appropriate transshipment gateway for Lebong’s mining activities. Lebong also boasts deposits of granite stone, for which interested parties from Japan and Korea have conducted special surveys. The Bupati points out that state oil and gas company, Pertamina, is also looking into the possibility of developing a gas extraction and thermal power plant in the region, which could meet the energy needs of local businesses and citizens.

A formalization of Lebong’s mining sector would supplement its agricultural activities, on which 89 percent of the population is dependent. Robusta and Arabica coffee are the most cultivated commodities and make up 60 percent of all agricultural production in Kabupaten Lebong. Other crops include tea, young bamboo, chili, corn, and potatoes as well as avocados, pineapple, bananas, and oranges. The regency is seeking domestic or foreign partners to upgrade its farming and harvesting techniques, aiding the diversification of current crops and plantations.

The province of Bengkulu has a population of around one million. In the early stages of its history, Bengkulu was home to the Kingdom of Selebar, which served as a vassal state for the Javanese Kingdom of Banten. It was a main source of pepper, cloves, nutmeg, and coffee, commodities upon which Banten thrived. On July 12, 1685, Selebar signed a treaty with the British East India Company according to which the British had the right to establish a fortified trading post at Selebar. Thus the birth of Fort Marlborough, famous for being the second strongest fort in Asia after Fort George in Madras, India. Built between 1713 and 1719, it served as the seat of British power and influence in the western parts of the archipelago until 1825, when, under the terms of the Treaty of London, England handed over the territory to the Dutch, ending 139 years of British rule in Bengkulu. Restored in 1984, Fort Marlborough is now a popular tourist attraction.

Lebong has what it takes to expand upon Marlborough and take off as an alternative tourist destination in its own right. Its Bukit Barisan mountain range is home to the Rejang people, an ethnic group whose spiritual connection with their environment has transcended far beyond Sumatra, and even formed the basis of various literary works. The Rejang have their own language and alphabet (Kalui), and still practice a form of animism that is a central part of their daily lives. They believe that potent spirits live in the lakes of the surrounding mountains, ones that even visitors might be able to encounter, if they believe strongly enough. One particular spirit named Masumai is able to take the form of a tiger or a man. The use of magic and silent power in this unseen world serves a great range of purposes, ranging from ritual oaths to divination at holy shrines. This proximity to nature is said to safeguard man’s passage through life, leading him in the right direction. For Bupati Dalhadi Umar, that prosperous destination will always be Lebong, whether it is reached through agriculture, mining, or touris

Kabupaten Lebong
Kabupaten Lebong merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003, Kabupaten ini terletak di posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 6 Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).

Kabupaten Kepahiang

Kabupaten Kepahiang
Kabupaten Kepahiang adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Nama Daerah : Kabupaten Kepahiang Ibukota: Kepahiang Provinsi : Bengkulu Berdiri : UU No.39 Tahun 2003, 7 Januari 2004 Motto : Kepahiang Kabupaten Alami (Asri Laksana Emas Dan Intan) Visi (2005-2010) : “Kabupaten Kepahiang terdepan dalam industri dan pariwisata berbasis pertanian dan SDM, dengan program IKUTT (Ikan, Kebun, Tanaman pangan, Hortikultura, dan Ternak)”
Batas Wilayah : - Sebelah Utara, berbatasan dengan kecamatan Curup, kecamatan Sindang Kelingi dan kecamatan Padang Ulak Tanding, kabupaten Rejang Lebong - Sebelah Timur, berbatasan dengan kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. - Sebelah Selatan, berbatasan dengan kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara. - Sebelah Barat, berbatasan dengan kecamatan Pagar Jati, Kabupaten Bengkulu Utara dan Bermani Ulu, Kabupaten Rejang Lebong.

Ibukota : Kepahiang
Berdiri : UU No 39/2003
Tanggal :7 Januari 2004
Motto : Kepahiang Kabupaten Alami (Asri Laksana Emas Dan Intan)
Visi (2005-2010): “Kabupaten Kepahiang terdepan dalam industri dan pariwisa -
berbasis pertanian dan SDM, dengan program IKUTT (Ikan, Kebun, Tanaman pangan, Hortikultura, dan Ternak)”
Batas Wilayah : - Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Curup,kec Sindang Kelingi dan kec Padang Ulaktanding, kab Rejang Lebong
- Sebelah Timur, berbatasan dengan kecamatan Ulu Musi,Kab Lahat
Provinsi Sumatera Selatan.
- Sebelah Selatan, berbatasan dengan kecamatan Taba Penanjung,
Kab Bengkulu Utara.
- Sebelah Barat, berbatasan dengan kecamatan Pagar Jati,
Kabupaten Bengkulu Utara dan Bermani Ulu, Kab Rejang Lebong
Luas Wilayah : 66.500 hektar
Jumlah Penduduk : 136.894 jiwa
Jumlah Kecamatan: 8 Kecamatan
Jumlah Desa : 91 Desa
Potensi Investasi: Pariwisata, Pertanian, Perkebunan dan Perikanan (Mencakup
agribisnis dan agroindustri)

Zaman Perjuangan
Zaman perjuangan melawan kolonial Belanda menjadi saksi sejarah mulai dikenalnya nama Kepahiang. Pada masa itu, Kota Kepahiang dikenal sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong, yang disebut Afdeling Rejang Lebong beribukota di Kepahiang. Sesaat setelah peralihan kekuasaan dari penjajahan Belanda ke Jepang, hingga kemudian Jepang menjajah bumi pertiwi 3,5 tahun lamanya, kota Kepahiang tetap merupakan pusat pemerintahan bagi Kabupaten Rejang Lebong.
Bahkan, setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yakni sejak 18 agustus 1945 hingga 1948, kepahiang tetap menjadi ibukota Kabupaten Rejang Lebong sekaligus sebagai basis kota perjuangan. Sebab, mulai dari pemerintahan sipil dan seluruh kekuatan perjuangan, yang terdiri dari Laskar Rakyat, Badan Perlawanan Rakyat (BPR dan TKR yang kemudian sebagai cikal bakal TNI), semuanya berpusat di Kepahiang.
Di penghujung 1948, merupakan masa yang tak mungkin bisa dilupakan oleh masyarakat Kepahiang. Karena pada tahun itulah, khususnya menjelang agresi Militer Belanda kedua, seluruh fasilitas vital kota Kepahiang dibumihanguskan. Dimulai dari Kantor Bupati, Gedung Daerah, Kantor Polisi, Kantor Pos dan Telepon, Penjara serta jembatan yang akan menghubungkan Kota Kepahiang dengan tempat-tempat lainnya, terpaksa dibakar, guna mengantisipasi gerakan penyerbuan tentara kolonial Belanda yang terkenal bengis masuk ke pusat-pusat kota dan pemerintahan serta basis perjuangan rakyat.

Setahun kemudian, tepatnya 1949, seluruh aparatur Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong berada dalam pengasingan di hutan-hutan. Sehingga pada waktu terjadi penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia, yang oleh masyarakat waktu itu disebut kembali ke kota, terjadilah keharuan yang sulit dibendung. Sebab, aparatur Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong tidak dapat lagi kembali berkantor ke kota Kepahiang karena seluruh fasilitas pemerintahan daerah telah dibumihanguskan.
Namun, semangat mereka pantang surut. Dengan sisa-sisa kekuatan, serta semangat yang membaja, seluruh aparatur pemerintahan daerah terpaksa menumpang ke Kota Curup, karena disini masih tersisa sebuah bangunan Pesanggrahan (kini tempat bersejarah itu dibangun menjadi Gedung Olah Raga Curup).

Pudarnya Peran Kepahiang
Pada 1956, kota Curup ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan undang-undang. Sejak itu pula, peran Kepahiang mulai memudar, bahkan ada yang menyebut mahkota kejayaan Kabupaten Kepahiang surut. Sebab, dengan penetapan Curup sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong, maka kota Kepahiang sendiri ditetapkan sebagai ibukota kecamatan, bagian dari wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Pada masa-masa berikutnya, lantaran memiliki nilai historis tinggi, sejumlah tokoh masyarakat Kepahiang, pernah memperjuangkan Kepahiang menjadi ibukota Provinsi dan Kota Administratif.
Sayangnya, perjuangan mulia tersebut kandas di tengah jalan lantaran pemerintah pusat tak merespons keinginan dan aspirasi masyarakat tersebut.

Bangkitnya Kepahiang
Ketika era Reformasi bergulir pada 1998, gaungnya pun sempat menggema ke bumi Kepahiang. Oleh masyarakat Kepahiang, momentum ini merupakan kesempatan emas memperjuangkan kembali kebangkitan sekaligus awal kemandirian Kepahiang. Situasi kian terbuka lebar, setelah pemerintah dan DPR RI melahirkan produk Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga lazim disebut sebagai undang-undang tentang otonomi daerah. Setalah melalui tahap penyamaan persepsi dan konsolidasi, maka masyarakat Kepahiang sepakat untuk mngusulkan daerah ini menjadi Kabupaten baru.
Maka, sejak Januari 2000, para tokoh dan segenap komponen masyarakat Kepahiang, baik yang berdomisili di Kepahiang sendiri maupun yang berada diluar daerah, seperti di Curup, Bengkulu, Jakarta, Bandung, serta kota-kota lainnya, sepakat untuk mengembalikan mahkota Kepahiangsebagai Kabupaten kembali.
Sebagai realisasi dari kesepakatan bersama para tokoh masyarakat Kepahiang, maka dibentuklah badan perjuangan dengan nama Panitia Persiapan Kabupaten Kepahiang (PPKK). Follow up dari aktivitas badan perjuangan tersebut, maka secara resmi PPKK telah menyampaikan proposal pemekaran Kabupaten. Akan tetapi, rupanya perjuangan memekarkan Kepahiang menjadi kabupaten tak semulus yang diharapkan.
Sebab, meskipun Kepahiang merupakan daerah pertama di Provinsi yang memperjuangkan pemekaran era reformasi, toh Kabupaten Rejang Lebong tak serta-merta menyetujui aspirasi para tokoh masyarakat kepahiang tersebut. Dengan kata lain, Kabupaten Rejang Lebong (kabupaten induk) justru keberatan melepas Kepahiang, karena daerah ini merupakan wilayah paling potensial di Rejang Lebong.
Surutkah keinginan masyarakat Kepahiang menghadapi kenyataan ini? Justru tidak. Dengan kesabaran, niat tulus dan ikhlas, disertai lobi-lobi serta diplomasi intensif, akhirnya Kabupaten Kepahiang berhasil diwujudkan. Maka, sejak itu pula mahkota Kepahiang yang pernah "hilang" dapat direbut kembali.
Ibarat kata, pinang telah pulang ke tampuknya. Harapan itu pun kemudian berubah suka cita, ketika pada 7 Januari 2004, Kepahiang diresmikan sebagai kabupaten otonom oleh Menteri Dalam Negeri RI (saat itu), Jend. TNI (purn.) Hari Sabarno di Jakarta. Peresmian itu dikukuhkan berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2003, tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di Provinsi Bengkulu. Ditunjuk sebagai Kepala Daerah pertama (caretaker) Kabupaten Kepahiang adalah Ir. Hidayatullah Sjahid, MM., yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.28-8 Tahun 2004, pada 6 Januari 2004, tentang Pengangkatan Penjabat Bupati Kepahiang, Provinsi Bengkulu.
Pelantikannya sendiri dilakukan oleh Gubernur Bengkulu atas nama Menteri Dalam Negeri pada 14 Januari 2004. Hingga kini, Kabupaten Kepahiang telah dipimpin tiga orang Kepala daerah, Yaitu :
1.Ir. Hidayatullah Sjahid, MM
Periode 14 Januari 2004-29 April 2005, sbg Penjabat Bupati Kepahiang(caretaker).
2.Drs. Husni Hasanuddin
periode 30 April 2005-6 Agustus 2005, sbg Penjabat bupati (caetaker)
3.Drs. H. Bando Amin C. Kader Rio Rajo Dipati Junjung, MM
periode 7 Agustus 2005-7 Agustus 2010, sbg bupati Kepahiang definitif berdasarkan hasil Pilkada Kepahiang 2005.

Sabtu, 20 September 2008

Tun Lebong: Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)

Tun Lebong: Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)

Sastra Dan Komunitas

Sastra Dan Komunitas
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan
RAGAM perebutan kekuasaan dalam dunia sastra (seni dan budaya), terkadang tidak lagi menjadi jejak-jekak perkembangan sastra di Indonesia. Kendati, semacam komunitas sastra—seperti komunitas masyarakat seni budaya lainnya, komunitas-komunitas itu menjadi pernik-pernik perjalanan sastra itu sendiri. Untuk memelihara jejak tadi, dibutuhkan seorang kritikus dan penulis sastra yang bijak dan berpola pikir maju.

Pasca Kongres Komunitas Sastra Indonesia—KSI di Kudus awal 2008, tepatnya 19—22 Januari 2008 lalu. Disebut-sebut sebagai kongres pertama KSI memberikan saya semacam “catatan tengah” tentang pergulatan sastrawan Indonesia selama ini. Yang pernah dan masih diombang-ambingkan oleh icon-icon community—komunitas. Perdebatan pun melahirkan kelompok-kelompok penggiat sastra dan kelompok-kelompok itu pada akhirnya mengklaim wadah komunikasi mereka sebagai komunitas sastra.
Menyangkut peran, kelompok atau komunitas sastra dalam bentuk apapun, termasuk penggiatnya (sastrawannya) memiliki peran positif dan konstruktuf dalam perkembangan sastra Indonesia; dulu, esok dan seterusnya. Hanya saja, perdebatan mengenai komunitas itu sendiri membuat perkembangan sastra Indonesia tidak lebih dari debat kusir yang menginggalkan substansi kesastraan itu sendiri.
Menjelang tahun 1987 dikotonomi sastra di Indonesia benar-benar tidak baik dan sehat. Disebut-sebut ada komunitas sastra koran, sastra buku, sastra kamar, sastra lokal, sastra Jakarta, sastra konstektual, sastra pedalaman dan dikotonomi lainnya. Ide dasar penyebutan itu hanya melihat alur penempatan karya-karya sastra itu sendiri. Di sisi lain, perdebatan sengit antara sastra pop dengan sastra serius versi akademisi berlangsung terus. Tidak pernah berhenti dan tidak pernah ada yang mau mempertemukan perbedaan dan persamaannya.
Itulah, pada Forum Puisi Indonesia 1987 di TIM Jakarta, banyak sastrawan menjadi antipati untuk membangun dunianya dengan kesepakatan untuk kembali ke daerah masing-masing. Sementara di daerahnya sastra belum mendapat tempat sebagaimana mestinya. Kendati, denyut sastra di tengah masyarakat sudah menjadi filosofi kehidupan sehari-hari.
Dari sejumlah banyak media cetak yang peduli terhadap karya sastra—toh mitos Jakarta dan beberapa media cetak tertentu dijadikan kultus sebagai kiblat sastra. Itu, tidak ada referensi tertulis atas komitmen yang dikeluarkan dalam moment tertentu. Tapi, secara lisan dan karena adanya kamus sebutan komunitas sastra—menjadi kultus Jakarta dan media cetak tertentu, tetap hidup langgeng hingga saat ini.
Biodata penyair atau cerpenis yang menyebut karyanya pernah dimuat di majalah Horizon, Kompas atau menjadi peserta forum-forum sastra, menjadi biografi yang populer. Sekaligus melenyapkan penyair atau cerpenis yang yang karyanya dimuat di koran atau majalah di luar kedua media cetak tersebut. Ini kenyataan, padahal tidaklah demikian.
Parni Hardi menulis, “ Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya!”.
Dengan panjang lebar Parni Hardi menjelaskan, komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya. Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.

Uraian sederhana dan singkat Parni Hardi itu ada benarnya. Walau tidak menjabarkan soal sastra lokal, sastra komunityas atau komunitas sastra. Belum lagi soal sastra lisan yang banyak melahirkan sastrawan besar, karena kemampuannya meng-teks-kan karya sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sastra lisan yang cenderung berisi filosofi kehidupan masyarakatnya, jika ditulis ulang, kualitas dan populeritas materi maupun penulisnya dapat melampaui penulis sastra yang hanya bergelut dengan sastra tulisan.
Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang sastra itu; lisan atau tulisan. Sebab, sastra yang membumi adalah sastra yang tidak dibatasi oleh waktu, ruang dan tempat serta tidak hilang karena perkembangan peradaban manusia. Sayangnya, sastrawan sendiri lebih suka dikelompok-kelompokkan dan lebih merasa bangga jika disebut-sebutkan sebagai anggota sebuah komunitas sastra tertentu.
Urutan yang pantas kita satukan adalah proses kreatif dunia sastra itu sendiri. Dari bahasa lisan (sastra lisan) kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan, kemudian dimusikalisasikan, dipentaskan, diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (sesuai penilaian objektifnya). Pada fase berikutnya, mulailah sastra diajarkan di lembaga-lembaga formal (lembaga pendidikan) dengan membuat struktur, mekanisme dan format sastra dan karyanya.
Dan, selanjutnya sastra terus dikembangkan dan berkembang sedemikian pesat dan terus, terus berkembang tanpa henti. Politikus, penulis buku ilmu dan pengetahuan serta teknologi pun akhirnya mengutip karya-karya sastra seseorang (puisi khususnya). Itu berarti, para penulis karya sastra berusajha bagaimana mempublikasikan karya sastra untuk dimengerti oleh masyarakat luas. Perjalanan dalam perkembangan sastra itulah yang menjadi itu, bahwa karya sastra yang bagus itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Karya-karya sastra yang berdurasi sekian kurun waktu—seperti lagu-lagu anak-anak muda saat ini. Ketika lagu baru ke luar, maka lagu sebelumnya yang ngetop dan ngepop sirna secara otomatis. Karya sastra bukan seperti itu. Ia lahir tanpa paksaan, ia besar tanpa dicipta-ciptakan atau direkayasa sedemikian rupa oleh penghargaan yang diberikan oleh kelompok/komunitas sastra itu sendiri.
Lalu, masihkah kita mempersoalankan nama “sastra tradisionil” dengan “sastra modern”? atau kelas-kelas dalam kelompok penggiat sastra Indonesia. Hemat saya, persoalan itu diangkat ke permukaan, karena kedangkalan para sastrawan itu sendiri—dengan catatan mereka adalah anggota sebuah komunitas sastra.
Akhirnya, saya berpikir. Kalaulah sastra Indonesia itu diinginkan menjadi karya sastra dunia. Maka, pemahaman lebih luas tentang penggiat, karya dan sastra itu harus melekat pada diri sastrawan, kritikus, cerpenis, penyair dan penulis sastra. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk mempublikasi—menyebarkan sastra (karya sastra) yang lisan yang tulisan ke semua lapisan masyarakat. Di mana dan kapanpun.
Gashuku dan Ujian Inkai Metro
Direncanakan tanggal 5 Agustus 2008 mendatang, Pengcab Inkai Kota Metro akan melaksanakan ujian kenaikan dan gashuku yang diperkirakan akan diikuti sekitar 300 peserta.
Hal itu diungkapkan oleh Komisi Ujian Pengcab Inkai Metro, Rastoto kepada LE, Kamis (24/7) kemarin.
Dalam penjelasannya, Rastoto mengatakan, pihaknya sudah mempersiapkan surat undangan yang disertai komunikasi via handphone kepada kapten-kapten ranting yang ada di Lamteng, Lamtim dan Kota Metro.
“Hingga saat ini ranting Inkai di wilayah Timur tersebar di beberapa tempat,” ujar Rastoto yang saat ini masih menyandang sabuk hitam Dan I.
Dikatakannya, ranting Inkai yang masih aktif dan rutin melaksanakan kegiatan latihan, antara lain di Sekampung, Purbolinggo, Batanghari (Lamtim), Trimurjo ( 4 ranting), Padangratu, Seputih Raman (Lamteng) dan Kota Metro.
Untuk Kota Metro, ujar dia terdapat ranting Kartikatama, Kampus, Ganesha dan beberapa tempat lainnya.
Menyinggung keikutsertaan atlet karate Inkai di beberapa even, baik daerah maupun nasional, Rastoto mengakui masih banyak kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki sebagaimana mestinya.
“Dan, itu nanti merupakan tugas dan tanggungjawab majelis sabuk hitam,” ujarnya. (DA-17)

Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan

Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan
Udo Z. Karzi
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung -- spesifiknya Bandar Lampung -- saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan ... bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatanseluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).

Sastra Lampung Punah
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. "Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka," katanya
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung -- apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra -- kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional , misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung - sebagai istilah - dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat "Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah" bisa (mungkin) benar jika "sastrawan Lampung" yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka "sastrawan Lampung" sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, "Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh." Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung-- dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung.
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia:

Defemiliarisasi Tari Bedana

Defemiliarisasi Tari Bedana
Dalam acara pesta muda mudi, ketika disuruh berdiri kemudian memilih musik untuk bergembira dan menari, apa yang akan Anda pilih? Pasti mengemuka pilihan; disko, remik, dangdut, poco- poco, cha- cha, ska, atau justru meneriakkan terserah DJ! Mustahil rasanya untuk memilih, “Tari Bedana aja!” Bahkan ketika pertanyaannya dibuat pilihan ganda sekalipun, mungkin malah muncul pertanyaan, “apa sih Tari Bedana itu?”
DO YOU KNOW? Tari Bedana adalah perwujudan luapan suka cita atas wiraga (gerak badan) untuk mencapai ekstase, dalam batas- batas tertentu ketika menari diiringi gamelon khasnya, jiwa kita seperti mengembarai lembah- lembah hijau di bawah kaki gunung Rajabasa, semua berubah indah. Riang. Estetika Tari Bedana membuat kedirian kita berasa selalu muda. Penuh antusiasme. Dan pada kesempatan lain, ketika menyaksikan langsung Tari Bedana dipentaskan dengan sunggingan senyum manis muli-mekhanai, kita serasa diguyur air pegunungan yang atis. Secara otomatis terpancing “begitu ingin” larut dalam tari.
Tari Bedana yang diyakini bernafaskan keislaman ini merupakan tari tradisional, mencerminkan tata kehidupan masyarakat Lampung yang ramah dan terbuka sebagai simbol persahabatan dan pergaulan. Terdapat nilai akulturasi antara tata cara atau pranata sosio- kultural adat gaul anak muda Lampung dengan berpegang teguh pada aturan Islam.
Budaya dengan unsur spiritualistik memiliki aspek lokalitas, mulai menjadi kebutuhan terpenting untuk membentengi_ meminjam bahasa Edward W. Said_ imperealisme kebudayaan, yang tertuang dalam bukunya “Kebudayaan dan Kekuasaan.” Sebelum sampai pada defenisi tentang seni Islam, perlu kiranya kita merujuk pada khazanah lama yang positif agar tidak terjebak pada nativisme budaya.
Penulis berharap agar kekayaan budaya Lampung, selain tidak ambigu, anti modernitas, dan terpenting jangan sampai budaya itu terputus. Kekhawatiran pada keterputusan budaya (cultural discontinuity) ini, perlu dirumuskan sistematika pelestarian yang terukur dan efektif. Dari sinilah permulaan dibutuhkannya al- turats atau tradisi diteliti dan diinventarisir.
Fundamen pemikiran untuk pelestarian Tari Bedana, termasuk semua khazanah budaya Lampung yang lain, secara kritis harus memperhitungkan pertama, oublie (yang dilupakan). Terkait pencermatan pada pertanyaan adakah yang dilupakan dalam ragam gerak yang terstruktur pada Tari Bedana yang familiar dikonsumsi publik saat ini. Ragam satu sampai sembilan dengan komposisi gerakan; khesek gantung, khesek injing, tahtim dan penghormatan, jimpang, ayun, humbak moloh, belitut, gelek, dan gantung adalah ragam struktur gerak elegan, tetapi masih perlu kajian empirik untuk benar- benar membuktikan tidak ada yang dilupakan.
Masuk pada pertanyaan kritis kedua, travesty atau adakah yang dipalsukan dalam gerakan Tari Bedana? Dari sini sebenarnya penulis berusaha mengkaji fungsinya secara ideologis- filosofis. Maka refleksi dari yang dilupakan dan yang dipalsukan itulah pisau analitik sebagai alat untuk sampai pada keindahan yang lain yang belum terpikirkan (impense). Sangat terbuka ruang kontemplatif agar embrional keramahan budaya lokal dapat lebih mempertegas bangunan peradaban Lampung di masa depan.
Sebab maraknya seni budaya yang diarahkan atau mengekor pada westernisasi, bahkan diadopsi secara sporadis, meminjam ramalan John Neisbit tentang kemungkinan yang terjadi pada banyak orang akibat derasnya arus informasi dan komunikasi tentang idealnya; berpikir secara lokal, bertindak secara global (think locally, act globally). Bukan sebaliknya. Karena pengaruh itulah Tari Bedana dipastikan tergeser oleh seni koreografi (seni kontemporer) lain yang lebih terkesan modern misalnya; ciliders, dance, aerobic, dan lain sebagainya. Berikut dentingan gamelan khas yang mengiringinya, mungkinkah agar eksis perlu aransement dan atau ditambah alat musik modern jika dinilai bebunyiannya terlalu kolot, ndesit, dan ortodoks?
Bahkan sebenarnya paradigma yang stigmatis, ketika Tari Bedana kurang bagus untuk acara pesta muda- mudi nikahan tetangga atau tari latar lagu pop alternatif. Tari Bedana dengan konsep keramahan budaya lokal seyogyanya dapat membentengi atau minimal menjadi alternatif seni koreografi. Persoalannya adalah sejauh mana tingkat sosialisasi dan berapa banyak anak muda yang menguasai wiraga itu? Seandainya seperti Tari Komando misalnya, yang semua anak Pramuka dari penggalang, penegak, sampai pandega begitu fasih menguasai gerakan berikut improvisasi dengan iringan musik apa pun, mungkin kelestarian Tari Bedana bukan persoalan.
Tafsir dari Khesek Gantung ke Gantung
Seni islam, dari defenisinya terlalu membuat bias, cenderung dikotomis. Maka meminjam motodologi almarhum Prof. Dr. Kuntowijoyo terkait dengan budaya profetik, sebuah strategi sosial- budaya dengan meletakkan tradisi lokal dalam muatan nilai keislaman agar manunggal sebagai nafas estetika. Yaitu sisi lain keindahan dan kebenaran yang mengajak ke jalan Tuhan. Sekarang ini Tari Bedana boleh terkesan ndeso, kampungan, atau ketinggalan zaman dibanding seni tari modern semacam cha- cha, dansa, dll (yang juga tari tradisi Brazil dan Inggris). Akan tetapi menurut prediksi Kuntowijoyo tahun 2020 adalah titik pangkal realisasi ide jika strategi profetik berhasil merealisasi program seni kemanusiaan sebagai kelanjutan dari berbagai aksi pembaharuan sosial- budaya berbasis kesadaran keagamaan. Keniscayaan dan jangan heran jika nanti Tari Bedana sebagai icon dan jenis tarian pavorit pengiring gembira. Padahal orang yang menguasai dan faham Tari Bedana semakin langka.
Kalau boleh ditafsirkan, konseptual gerak Tari Bedana dari ragam satu; kehesek gantung sampai pada ragam sembilan sebagai gerak penutup yang bernama gantung, memiliki makna keramahan dan kebahagiaan hidup. Sekaligus mengandung aspek moral tata laku antara bujang- gadis, berinteraksi saling melempar senyum tetapi tidak bersentuhan, bahkan tidak saling menatap atau implisit sama- sama menundukkan pandangan (ghodob absor), anggun dan santun, barangkali inilah salah satu nafas islam dalam Tari Bedana.
Selain itu, prosesi tahtim dan penghormatan yang terletak pada posisi ragam ke tiga, sebuah pembangkangan kultural atau defemiliarisasi yang menarik. Akan tetapi setelah mencermati lebih lanjut, sebelum ragam khesek injing pada posisi ke dua, gerakan khesek gantung menggambarkan aturan wudhu, arena bersuci untuk sampai pada ritual ibadah penyembahan pada Tuhan. Lihatlah ketika memutar tangan (khesek gantung) yang kemudian mengayunkan tangan. Di sini tahtim dan penghormatan (seolah mengusap wajah) menjadi sinergi untuk gerakan wudhu.
Dalam kerangka filosofis, tari ini mengandung keagungan profetik, terkait pada hipotesa ini terbuka ruang dialogis yang interpretatif. Tari Bedana memang tidak seterkenal poco- poco, hal ini didasari, selain intensitas manggung, kecintaan pada khasanah budaya lokal kita sebagai masyarakat Lampung layak dikritisi. Ini kemudian berimbas pada sosialisasi.
Masuk juga produksi karya berkesenian para seniman kita yang tidak (kurang berakar) pada keramahan seni tradisi.
Logikanya adalah, kekuatan seni yang berbasiskan kearifan budaya lokal dengan sentuhan nilai islami ternyata sulit mendapat tempat karena bersentuhan dengan sensivitas publik yang banyak dipecundangi nafsu. Tetapi metodologis profetik yang digunakan untuk penafsiran budaya, sebenarnya juga sudah menjadi ilmu alat mengkaji apakah seni ini mengajak pada ketuhanan atau mengajak pada penjajaan syahwat. Utamanya lagu- lagu dangdut atau pop Lampung dalam video CDnya, kenapa tak berlatar Tari Bedana? Lebih penting, pesta muda mudi ketika ada pernikahan, kenapa tidak menari Bedana saja ketimbang joget takberaturan, lebih parah Orgen(an) dengan lagu Goyang Dombret, dimana sang biduanita bergoyang ke arah mikrofonnya dan disaksikan anak- anak usia sekolah. Ironinya lagi, hajatan itu dirumah tokoh adat Lampung! Diposting oleh KangEndri-Lampung

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.

Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.

Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.

Rabb, Aku dan Ramadhan

Rabb, Aku dan Ramadhan
Oleh Naim Emel Prahana

                                   
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan[7].
6. Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]

[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Pada suatu ketika, sebagai makhluk manusia yang diciptakan Rabb (Tuhan) yang memiliki kelebihan dari makhluk lain yang diciptakan-Nya. Adakalanya rasa takut menghadapi kewajiban seperti sholat, puasa di bulan ramadhan atau menghadapi sisa-sisa usia yang akan dijalani.
Dan, pada suatu ketika—banyak waktu ada keberanian dan kesiapan menghadapi semua persoalan-persoalan seperti di atas. Bagaimana menghadapi sesuatu yang merupakan kewajiban utama sebagai manusia yang beragama dan hanya menyembah kepada Allah SWT semata-mata? Setiap orang akan berbeda pola, cara dan mekanismenya selaras dengan pedoman Alquran dan Al-Hadist.
Keberanian dan kesiapan, bisa saja menjadi penghalang untuk beribadah dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa kepada-Nya. Semisal karena terlalu berani dan siap, maka seringkali sifat takabur menghilangkan pikiran yang jernih, hati yang suci, mata yang terbatas jarak pandangnya, telinga yang sering terusik mendengar, mulut yang suka melebihi quota menyampaikan kata dan ucapan. Yang pada akhirnya menuntun tangan untuk melakukan yang tidak perlu dilakukan dan melangkah di jalan yang seharusnya tidak dilewati.
Ada banyak filosofi kehidupan yang diberikan-Nya kepada manusia, demikian pula karakter dan sifat yang diajari oleh Rasulullah saw. Yang hingga kini tetap up to date untuk dipedomani. Hanya, manusia saja yang sering mengabaikan dan menganggap akal pikiran dan ilmu pengetahuan lebih hebat daripada Allah sang pencipta langit dan bumi.
Seandainya dalam kehidupan di alam fana ini, ada yang menganggap segala sesuatu yang hebat selain Allah. Maka, jalan sesat dan jalan kelam akan menghadang perjalanan kehidupan sampai di alam baqa. Demikian pula ilmu pengetahuan manusia yang begitu hebat tentang sesuatu ilmu (ilmu agama), pada akhirnya sangat serakah, takabur dan mengaburkan arti nilai-nilai agama yang dikandungi di dalam kitab suci.
Oleh karena itu, satu dosa tidak dapat diberikan kepada semua orang. Tapi, hukuman akibat perbuatan dosa manusia dapat dijadikan satu moment, seperti bencana alam (gempa, banjir, tanah longsor dsb). Manusia selalu memahami dan menyadarinya sebelum melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama Allah, tetapi kesadfaran dan pemahaman tersebut sering tidak dimunculkan dalam tatatertib kehidupoan sehari-hari. Yang mengakibatkan sesal selalu setelah kejadian berlangsung.
Banyak logika yang diciptakan manusia untuk mengingkari ajaran agamanya dan banyak sekali alibi untuk tidak menjalankan ibadah wajibnya. Sebagai contoh di bulan ramadhan ini. Tidak lagi menjadi rahasia, mereka yang sehat, segar bugar baik fisik maupun psikis meninggalkan puasa ramadhan dengan alasan sakit mag, dengan alasan melakukan perjalanan jauh (walau dengan pesawat terbang yang jarak tempuh ratusan kilometer hanya menghabiskan waktu sekian menit.
Sering juga alasan dikedepankan untuk tidak berpuasa karena lupa sahur, atau alasan lainnya yang sebenarnya diakui sendiri adalah sebagai kamuflase saja. Seakan-akan Tuhan tidak mengetahui apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan. Padahal, Tuhan adalah pencipta manusia. Kalaulah kita mampu membohongi orangtua, anak, sahabat, aparat penegak hukum, pejabat atau siapa saja. Tapi, kita sebagai manusia tidak pernah dapat membohongi “diri sendiri” dan Tuhan.
Karena aku ‘manusia’ banyak melakukan keingkaran mengakibatkan menggunungnya kesalahan dan dosa. Maka Tuhan memberikan kesempatan untuk menyadari semua kesalahan dan doa tadi. Janji-Nya adalah paling benar dan sangat ditetapi Rabb. Maka selama 12 bulan dalam setahun, Tuhan memberikan sebulan penuh untuk manusia bercermin kembali tentang dirinya. Di bulan itu Rabb memberikan keutamaan, kesempurnaan yang diakhiri dengan hari yang fitri (suci bersih), yaitu Hari raya Idul Fitri.
Sekarang, kita kembali ke persoalan manusia itu sendiri. Sebagaimana Surat Al-Fatihah di atas, tentu saja Rabb tidak memberikan kebebasan kepada semua orang, kendati mengakui dan ber-KTP dengan agama Islam. Bulan suci ramadhan diperuntukkan kepada “orang-orang yang beriman”, demikian pula hari yang fitrah diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan puasa wajib ramadhan dengan keimanannya.
“selamat berpuasa semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT, mari kita bersihkan semua tubuh (fisik) dan jiwa (psikis) kita dengan melakukan kegiatan rutin yang berisi nilai ibadah dan amal”



-------ke Lampost 29 Juli 2008
Pengembangan Kesenian Dalam Perkembangannya
Naim Emel Prahana
Budayawan dan penyair tinggal di Metro

TULISAN-tulisan berbentuk esay, opini, artikel atau laporan khusus di media massa sampai saat ini cukup banyak dan penulisnya beraneka ragam tingkatan dan kepetingan masing-masing. Pada umumnya merupakan bagian dari pencitraan diri dan kelompok dalam kancah kesenian itu sendiri. Toh, itu sangat-sangat wajar dan boleh dibenarkan dari kacamata tertentu.
Mengutip beberapa pernyataan lisan (bahkan tulisan), banyak juga yang bilang, orang-orang seni itu sulit untuk diatur, seperti orag-orang olahragawan dan wartawan. Yang belang demikian itu adalah salah satunya mantan ketua umum Dewan Kesenian Lampung—almarhum Herwan Achmad beberapa waktu silam di markasnya wartawan—Balai Wartawan di Bandarlampung.
Apa yang terjadi di tengah masyarakat modern dewasa ini, mempersoalkan kesenian dalam pengelompokannya—bisa jadi sebagai kegelisahan dan ketidak-mapanan masyarakat mempertahankan nilai-nilai kesenian tradisionilnya di tengah gegap gempita nilai-nilai kesenian pop (populer) melalui beragai medium. Ada dua hal yang harus kita fokuskan; pertama, kehadiran kesenian masyarakat modern (atau peradaban teknologi) tidak dapat dihindari. Kedua, mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan sayap-sayap kesenian tradisionil, harus jadi bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan Nasional di daerah masing-masing.
Ada beberapa kata yang perlu disikapi pasca lahirnya Instruksi Mendagri No 5A/1993 tentang pembentukan lembaga kesenian di tiap-tiap provinsi (daerah). Lembaga itu diberi nama Dewan Kesenian ‘Daerah’—istilah ‘daerah’ itu diganti dengan nama daerah. Misalnya, Lampung—maka jadilah nama lembaga itu, Dewan Kesenian Lampung.
Kehadiran Dewan Kesenian (DK) di tiap-tiap daerah dimaksudkan, untuk membantu pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan, memajukan dan meningkatkan aktivitas berkesenian, agar menjadi salah satu potensi daerah yang mampu memberikan manfaat ganda (kepada pemerintah dan masyarakatnya).
Sayangnya, terjemahan tersebut tidak lengkap dibaca di kalangan eksekutif, bahkan di kalangan seniman sendiri. Yang pada akhirnya, terjadi conflict area tentang penanganan DK itu sendiri, termasuk anggarannya. Terutama bagi daerah yang belum semapan DKI Jakarta, DI Yogyakarta atau Provinsi Bali, Riau, Sumatera Barat dan daerah lainnya.
Jadi, mengharapkan peran pemerintah terhadap pengembangan kesenian di daerahnya atau mengharapkan peranan DK terhadap perkembangan kesenian, merupakan suatu rangkaian yang butuh kerja keras dan kejujuran kedua belah pihak. Sehingga nantinya, kesenian itu merupakan wujud cita rasa dan karsa masyarakat yang mempunyai nilai-nilai luhur untuk kebaikan dan kebajikan. Oleh karena itu, DK merupakan wadah untuk berkesenian (dalam ruang lingkupnya terdapat juga sastra).
Dengan adanya ‘wadah’ itu tadi, kemungkinan untuk berkembang dan majunya suatu kesenian sangat besar sekali—asal DK itu diterjemahkan betul-betul menjadi “wadah kesenian”—kesenian di situ jangan diartikan hanya untuk seni—seniman lukis, tari, musik, arsitektur. Tetapi, jiwa sastra tergabung di dalam kata ‘kesenian’ itu sendiri. Demikian juga ketika penulis membawa pedoman DK tahun 1987—dikirim oleh Bang Leon Agusta dan Abdul Hadi WM, ketika keduanya masih menjadi petinggi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)—yang pada awalnya AD/ART DKJ itu penulis ingin jadikan sebagai AD/ART Dewan Kesenian Metro (DKM) ketika itu masih dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Tengah.
Mengenang sepintas sejarah berdirinya DK di Lampung yang dikenal dengan DKL itu, barulah terwujud tahun 1993 yang rapat-rapatnya dilakukan di Dinas Pendidikan, Kantor Depdikbud dan Kantor Parawisata. Penulis pikir, sejak kurun 1993 sampai sekarang ini, DKL sudah banyak berbuat berdasarkan persepsi para pengurusnya—dana, kalau mau menjangkau aktivitas berkesenian Lampung dari ujuang Way Kanan, Tulangbawang, Lampung Barat, memang agak sulit. Akibat kesulitan itu, terjadilah anggapan DKL belum berperan sebagaimana mestinya.
Ada beberapa persoalan yang mengganjal ketika DKL, mungkin DK lainnya di daerah lain di luar Lampung tentang keberadaan lembaga kesenian itu. Antara dipimpin birokrat dan non birokrat. Persoaln itu terus bergulir sepanjang sejarah berdirinya DK. Sebenarnya, DK dipimpin birokrat atau tidak (dipimpin seniman), tidak jadi masalah, asal komitmen semua pihak; pemerintah dan seniman bersatu.
Karena DK lembaga pemerintah nonstruktural—kewajiban pemerintah menyiaplan anggaran DK, tidak otomatis DK itu dapat dipolitisir hanya demi kepentingan pemerintah. Situasi dan konisi seniman yang menurut seorang teman penyair Lampung, “nasib yang sangat kurang”—itu tidak berarti adanya kesalahan pemerintah. Tetapi, banyak faktor lain—yang kadang dari internal seniman itu sendiri. Kekayaan yang dimiliki seorang seniman adalah sense of art and culture—yang diyakini mampu memberikan nilai tambah kebutuhan kehidupannya. Jika tida, ya seniman tidak akan berhenti jadi seniman.
Realistis sekali, bahwa DKL dan DK-DK di provinsi lain pasca Instruksi Mendagri No 15A/1993 adalah produk orde baru (rezim Soeharto dengan Golkar + TNInya); orde baru lahir, karena ketidak puasan dengan orde lama (rezim Soekarno dengan manifes politiknya). Dan, bagaimana kelahiran gerakan Reformasi 1998? Itu, juga ketidak-puasannya dengan orde baru (rezim Soeharto dan kroni-kroninya).
Maka, rentetan sejarah panjang mengenai gerakan dan aktivitas berkesenian, sudah menjadi referensi kekayaan kesenian di Indonesia dengan ragam etnis dan budayanya, termasuk ragam keseniannya. Bagaimana rasanya ketika dicekal? Penulis dengan beberapa seniman di Metro (Lampung Tengah waktu itu) beberapa kali dicekal oleh pemerintah cq Pemerintah Lampung Tengah dengan kekuatan TNI di markas Kodim Lampung Tengah.
Tahun 1990-an penulis bersama Emha Ainun Najib dicekal tampil di kampus Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), kemudian bersama Teaterawan Ganti Winarno yang punya teater Krakatoa—pun dicekal oleh Bupati Lampung Tengah waktu itu (Suwardi Ramli). Kemudian tahun 1992, ketika akan mengadakan Temu Penyair Se Sumbagsel di Metro pun dicekal—waktu itu termasuk Emha Ainun Najib. Mendengar kabar dicekal, Emha Ainun Najib yang baru turun di Bandara Branti, langsung balik arah—kembali ke Jakarta.
Pada saat yang sama di struktur organisasi kepemerintahan, ada dua dinas yang sama-sama bergerak. Pertama, Dinas Pendidikan dan kedua, Departemen Pendidikan dan kebudayaan—Depdikbud. Dua-duanya mempunyai bidang garap yang sama terhadap kesenian. Kesenian versinya pemerintah melalui dua dinas/instansinya. Tapi, pencekalan-pencekalan demikian, pada zamannya itu, tidaklah aneh. Sebab, ketika negara dengan kekuasaan pemerintahnya begitu kuat, maka karya seni dan sastra yang berkualitas bermunculan.
Yang lebih anehnya adalah pencekalan sesama seniman—sastrawan—budayawan, yang pernah penulis alami di Yogyakarta. Acara yang akan dilaksanakan bersama penyair Muawar Syamsudin, redi Panuju, Dono S, dan kawan-kawan, akhirnya dicekal oleh penyair Ragil Suwarno Pragolopati—yang kemudian penulis ajak berkelahi di sebuah masjid di bilangan Konwilhan Yogyakarta. Itu, memang terasa agak menjengkelkan. Sebab, saat itu ada upaya sistimatik dan terorganisir, untuk mengusir para seniman, penyair dan penulis yang bukan penduduk asli Yogyakarta.
Berkaca dari itu semua, sejak zaman orde baru, kebudayaan dalam struktur organisasi pemeirntahan terpisah dengan pariwisata—yang saat itu parawisata akrab dengan figur Joove Ave. Sedangkan digaris departemen kebudayaan ada nama-nama Fuad Hasan dan sebagainya. Itulah sejarah, apapun bentuknya sejarah itu adalah waktu yang sudah dilalui. Sebab, dalams ejarah manusia, tidak ada satupun manusia terhebat di dunia ini mampu menciptakan sejarah pada saat ia hidup.
Memang seharusnya, karena DK itu ditunjang dengan bantuan dana oleh pemerintah daerah masing-masing, besar kecilnya tergantung kepada kepasihan, kepahaman dan kesadaran para birokrat di daerah masing-masing. Dan, tugas seniman adalah memberikan masukan-masukan. Misalnya, betapa pentingnya pembangunan sarana dan prasarana berkesenian di daerah. Sebagai contoh, Lampung hingga saat ini belum memiliki gedung kesenian khusus (gedung khusus kesenian). Padahal, kota Baturaja—ibukota kabupaten OKU induk di Sumsel saja, sudah memiliki gedung kesenian (khusus) dengan kemegahannya.
Substansi kesenian itu memang luas, tidak sekedar menapilkan karya-karya seni, kemudian jika ada penawaran maka akan dilego (dijual) dengan harga pantas; bukan hanya sekedar untuk mengisi daerah tujuan wisata (DTW)—sebagai salah satu bentuk penggalioan PAD, atau bukan hanya ada atau tidaknya DK. Tetapi, lebih luas lagi. Di masyarakat tradisional, kesenian sangat sederhana mereka baca dan mereka jalankan. Adalah suatu prestasi bagi senimannya, jika kesenian yang mereka pahami dan mereka kuasai, diundang dan diberi penghargaan berupa uang atau piagam. Kebanggan itu akan menjadi cambuk untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas berkesenian mereka. Itu salah satu contoh.
Jadi, pengembangan kesenian saat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara—tanpa meninggalkan unsur-unsur seni dalam berkeseniannya itu. Terutama menghadapi perkembangan kesenian di abad teknologi saat ini. Berkesenian dalah penciptaan jati diri melalui kesadaran nurani. Semua orang mempunyai jiwa seni, akan tetapi tidak semua orang mampu mensosialisasikan jiwa seninya itu. Ketika orang itu mampu mengemukakan jiwa seninya dan orang yang melihat (menonton) karya seninya itu menyadari betapa pentingnya seni dalam kehidupan, maka kekuasaan apapun dapat dikalahkan.
Oleh sebab itu, kesenian yang hanya ‘format’ atau ‘formalitas’ tidak akan bertahan dan tidak akan memiliki nilai seni—seperti zaman orde baru, banyak sekali isteri pejabat yang tiba-tiba jadi penyair, seperti isteri Bob Hasan—si Pratiwi dengan berbagai acara pembacaan puisi dan meluncurkan antologi puisi. Sementara itu, penulis dan penyair aslinya masih jungkirbalik memikirkan, apakah karya puisinya itu berkualitas atau tidak. Belum terpikirkan, apakah aku si penyair itu akan populer atau tidak.
Pada akhirnya, sebagai catatan bahwa, seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, tidak pernah dilahirkan oleh Dewan Kesenian. Sebab, merekalah yang melahirkan DK tersebut. Soal mengembangkan seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, barulah tugas DK, setidak-tidaknya melihat bagaimana perkembangan kesenian saat ini.

Komitmen Partai: Golkar Apa ‘Golkar?’

Komitmen Partai: Golkar Apa ‘Golkar?’
Oleh Naim Emel Prahana

POLITIK memang, selalu menyisakan intrik-intrik dan konflik sosial. Padahal, politik tidak semuanya dapat dijalankan sebagaimana substansi politik yang sesungguhnya. Bila membicarakan politik—selalu saja fokusnya ke pengambilalihan kekuasaan dengan trik dan strategi politik para pengurus partai politik.

Padahal diketahui, di dalam hidup masyarakat politik itu dikenal sebagai cara dan upaya menghadapi berbagai persoalan, untuk dapat dicarikan solusinya. Sehingga, tidak semua orang dapat dan bisa ditunjuk untuk berbicara terhadap pihak lain mernyangkut penyelesaian suatu persoalan antar kelompok, antar individu dalam masyarakat dan antar masyarakat suatu desa dengan desa lain.

Bila itu semua dapat dipahami sekitar 60—80% anggota masyarakat suatu wilayah (desa, kampung, kelurahan, kecamatan atau wilayah lebih luas lagi). Niscaya politik bukanlah hanya untuk merebut kekuasaan. Tetapi, politik lebih cenderung digunakan sebagai cara untuk mengatasi berbagai persoalan yang sudah dan sedang terjadi.

Sayangnya, selama ini masyarakat Indonesia hanya dicekoki atau diberi pemahaman sebatas bahwa politik itu hanya suatu cara bagaimana merebut kekuasaan. Padahal, tidak demikian. Oleh karena itu, dalam penyelesaian menggunakan cara politik. Orang yang diberi tugas benar-benar orang yang mampu mengutarakan dan menyampaikan bahasa komunikasi yang tepat, baik serta bijak dan lainnya.

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas. Untuk membuka cakrawala berpola pikir masyarakat menghadapi hajat daerah dan nasional. Maka, baik pula kita coba menelaah hasil-hasil pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Indonesia. Terutama pasca diperbolehkannya calon alternatif (jalur independen) untuk mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota).

Fenomena menarik untuk dilihat dari kacamata masing-masing dewasa ini adalah kekalahan calon-calon yang diusung oleh Partai Golongan Karya atau populernya Golkar di beberapa pilkada. Golkar yang pernah mendominasi pemerintahan Indonesia selama 32 tahun. Pada akhirnya harus menerima kenyataan. Kenyataan yang bisa dikelompokkan kepada citra partai yang kian memudar dan obsesi pengurus partai yang banyak melanggar komitmen partai Golkar itu sendiri.

Komitmen partai Golkar yang sudah dituangkan dalam AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO), juga petunjuk-petunjuk pelaksana (Juklak) yang sudah dikeluarkan dan diberlakukan itu. Ternyata dilanggar sendiri oleh pengurus Golkar. Baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Akibat dengans engaja melanggar aturan partai itu, tentunya tidak semua fungsionaris dan kader Golkar menyetujui adanya unsur sengaja dalam bentuk pelanggaran aturan organisasi tersebut.

Sekarang, timbul pertanyaan; mungkin karena hal itu menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan para petarun (calon) yang diusung oleh Golkar pada beberapa Pilkada akhir-akhir ini? Bisaja jadi sebagai salah satu penyebab. Dengan asumsi, bahwa faktor penyebab lainnya masih banyak dan mungkin mendominasi akibat yang diterima oleh Golkar saat ini.

Adalah satu hal yang dianggap sepele oleh pengurus Golkar akhir-akhir ini adalah persyaratan mutlak Ketua DPP, DPD I Provinsi, DPD II Kabupaten/kota adalah minimal si calon ketua mempunyai pendidikan S-1 (sarjana). Sejalan dengan itu, saat ini ada beberapa daerah, di mana ketua DPD Golkar itu dipilih—lebih tepatnya ditunjuk dengan kekuasaan orang-orang yang dilihat hanya dari sisi ekonomi, populeritas atau sepakterjangnya yang berani. Klausula minimal pendidikan yang harus ada, dikesampingkan begitu saja. Hal itu termasuk di Lampung.

Berkaitan dengan itu, ada syarat lain yang selalu dinodai oleh pelanggaran pengurus dan oleh kader partai, yaitu untuk menjadi ketua partai ada syarat minimal seseorang itu pernah menjadi pengurus sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun. Berarti, unsur yang dikedepankan itu mengisyaratkan, bahwa (1) yang tidak memiliki pendidikan S-1 secara otomatis tidak dapat dipilih dan diangkat serta disahkan menjadi ketua partai (sesuai tingkatannya). Ke (2) dengan syarat minimal pernah duduk sebagai pengurus setidak-tidaknya 1 (satu) tahun memberikan hak otomatis, bahwa seseorang yang tidak pernah jadi pengurus partai Golkar, tidak dapat diterima dan didudukkan sebagai pengurus DPP, DPD I dan DPDI kabupaten/kota.

Kenyataan, berbicara lain. Kecenderungan melanggar AD/ART, PO dan Juklak Partai Goplkar oleh orang Golkar sendiri, merupakan mata rantai sebab yang menyebabkan Golkar menghadapi citra diri yang terus merosot di mata masyarakat. Akibatnya, petarung mereka di beberapa pilkada harus puas dengan kemenangan petarung dari partai lain.

Di sisi lain, politik devide et impera dalam tubuh partai atau dalam kepengurusan Golkar, jelas mempunyai dampak sangat tidak menguntungkan Golkar dalam beberapa momentum pilkada. Mungkin juga momentum pemilu 2009 dan pilpres. Perjalanan berikutnya akan berhembus wacana-wacana untuk mengganti Ketua Umum DPP Golkar sejak 2007 lalu. Bagaimana untuk melakswanakan Munaslub—mengganti Ketua Umum DPP Golkar.

Asumsinya, jika Golkar sudah tidak mematahui aturannya sendiri, maka sangat jelas kalau Golkar tidak akan peduli dengan komitmen politik terhadap rakyat. Jika ini benar, maka sangat beralasan kalau rakyat meninggalkan Golkar secara perlahan tapi pasti. Diyakini bahwa hingga sekarang fungsionaris Partai Golkar, baik di pusat dan daerah masih mengidam-idamkan mereka seperti zaman orde baru.

Di mana, zaman itu Golkar berlindung di balik kekuatan TNI dan kekuasaan pemerintah. Sekarang, era reformasi keinginan seperti itu tidak akan dapat diulangi lagi, pendidikan politik rakyat sudah cukup baik—kendati belum baik benar.

Persoalannya, mampukah orang-orang Golkar mematuhi aturannya sendiri atau aturan itu mereka kedepankan hanya untuk kader partyai tingkat bawah saja dan tidak berlaku bagi kader partai yang memegang kekuasaan partai. Satu hal lagi yang menarik kita cermati Partai Golkar ini adalah selera pengurus pusat yang begitu rendah, jika berhadapan dengan upeti dari pimpinan partai dari daerah.

Misalnya, ketika disodorkan biaya untuk umroh atau lainnya, membuat oknum pengurus pusat silau dan membiarkan fakta dan data kebenaran di lapangan menjadi basi dengan membenarkan tindakan Ketua DPD I atau DPDII untuk melakukan aksi-aksi pembabatan dan pemalakan liar terhadap kader partai yang ada di lembaga legislatif.

Jadi, menurut hemat saya. Di tubuh Golkar harus ada perubahan yang besar-besaran dan yang patut dijadikan pengurus adalah orang-orang yang bukan type bunglon atau mereka yang selalu mengedepankan laporan asbun. Saat ini Golkar menghadapi orang-orangnya sendiri yang mematahkan aturan serta managemen partai yang sudah baik menjadi tidak dapat dipergunakan. Itu semua karena ambisi politik yang salah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)


-------------opini 2
The Young Sumatera, Bangkitlah
Oleh Naim Emel Prahana

MEMBAYANGKAN seandainya Indonesia tanpa Pulau Sumatera, apa jadinya! Apa jadinya pula kalau pemberotakan PRRI Semesta memenangkan konflik bersenjata dengan Pemerintah RI di bawah Presiden Soekarno dan Wakilnya Moh Hatta dimenangkang PRRI Permesta yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat. Lagu Indonesia sepertinya mengalami kerusakan atau robek di sana-sini.

Perandaian atau andaikan itu, kini dan akan datang masih tetap ada kemungkinan-kemungkinan terjadinya suatu persoalan bangsa dan negara ini yang lebih serius lagi dibandingkan dengan apa yang sudah dan sedang terjadi saat ini. Contohnya, konflik antara Aceh dan RI. Pemerintah Indonesia saja sudah tak mampu mengatasinya, tanpa keterlibatan pihak ketiga.

Namun, dalam situasi dan kondisi ini kita tidak boleh terjebak isu kedaerahan yang akan mendangkalkan filosofi national building. Mengingati pemerintah RI dari dan dengan berbagai momentum sejarah bangsa yang kita ketahui dan pelajari selama ini sebagai basis nilai-nilai kebangsaan.

Indonesia pernah dikhawatirkan akan menghadapi persoalan seperti Yugoslawakia, dan seperti Uni Soviet yang terpecah belah menjadi bagian-bagian negara yang berdaulat penuh. Artinya, Indonesia lebih rawan, jika jiwa nasionalisme di tengah masyarakat saat ini terus merosot. Nilai-nilai kebangsaan meluntur berbarengan gencarnya pengaruh budaya asing (infiltrasi).

Salah satu bagian terpenting dari Indonesia tentunya Pulau Sumatera dengan sekian sukubangsa yang ada, sekian kebudayaan yang mandiri, sekian hukum adat yang berlainan satu dengan lainnya. Sumatera menjadi penyanggah utama kehidupan masyarakat di Pulau Jawa. Tapi, Sumatera lebih banyak tertinggalnya dibanding Pulau Jawa.

Sementara itu, situasi dan kondisi Pulau Sumatera pun semakin runyam dengan tingkat kerusakan lingkungan alamnya yang sangat tinggi dan luas dirasakan oleh masyarakat, bahkan masyarakat dunia. Seperti pembakaran hutan dengan produksi asapnya sampai ke seluruh Asia Tenggara. Pembukaan areal perkebunan besar setelah PP 20 tahun 1970 disahkan pemerintah Orde Baru—sekaligus menyemai, mengembang-biaknya praktek illegal logging.

Sementara ini, masyarakat yang mayoritas di Sumatera tidak paham betul dampak fatal akibat ilegal logging, pembakaran hutan dan pembukaan lahan pertanian baru oleh masyarakat pedesaan. Sumatera tinggal menunggu kehancuran lingkungan. Pertsoalaannya tinggal hitungan waktu saja lagi. Kerusakan itu akan lebih cepat dari perkiraan ketika penagakan hukum di Sumatera makin lemah oleh berbagai faktor.

Semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari The Crisis of Indonesia. Kawasan-kawasan Taman Nasional seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional di Aceh dan lainnya. Sudah menjadi lahan empuk para pengusaha pengelola hutan yang diback-up habis oleh oknum-oknum. Mulai dari oknum pejabat pusat hingga Desa, mulai dari oknum yang ada di Mabes Polri, TNI dan Kehutanan hingga ke Polsek-Polsek, Koramil dan Petugas Jagawanan.

Bayangkan saja, dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyebutkan dalam setahunnya kerugian akibat illegal logging lebih dari Rp 27 triliun. Sedangkan Polri menyebutkan kerugian akibat illegal logging setahunnya mencapai Rp 30 triliun. Bukankah itu angka fantastis di negara yang masih diliputi krisis multidimensional? Artinya, setahun Indonesia kehilangan kayu-kayunya akibat pembalakan liar (illegal logging) mencapai 23,33 juta kubik kayu.

Kerusakan dan kehancuran serta kerugian akibat illegal logging, sangat terasa. Korban harta benda yang dimiliki masyarakat akibat longsor, banjir dan perubahan iklan (suhu) di Indonesia yang makin tak menentu, sekaligus menhilangkan dan melenyapkan devisa negara dari hasil-hasil hutan. Masalahnya semakin berat dan rumit untuk direhabilitasi karena rusaknya berbagai infrastruktur, konflik sosial di sekitar wilayah hutan yang rusak tersebut.

Sedangkan sektor perekonomian masyarakat menjadi bulan-bulanan arus globalisasi yang dimainkan para kapital-kapital yang berkalaborasi dengan oknum-oknum di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Kerusakan dan kehancuran hutan tidak akan terjadi manakala tidak ada unsur KKN yang menjamur sejak era reformasi 1998.

Tidak heran dan sudah terbukti, jika pembalakan liar, itu disamakan dengan korupsi yang menjasdi cikal bakal kesdengsaraan rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Penegakan aturan hukum terhadap praktek pembalakan liar, masih terasa sulit. Misalnya para tersangka pembalakan liar—yang merupakan pekerja di lapangan. Mereka adalah rakyat yang ada di sekitar hutan yang diillegal logging itu. Dapat dilepas begitu saja dengan memberikan imbalan kepada penyidik atau aparat penegakan hukum.

Sementara, para pengusaha atau cukong di belakang aksi pembalakan liar, jarang yang dapat disentuh oleh aparat. Kendati, sebagian besar cukong pembakalan liar, sudah sangat diketahui oleh aparat penegakan hukum. Tapi, karena imbalan yang terus menerus memberikan rezki kepada aparat penyidik/aparat penegak hukum. Akan semakin jauh untuk menyentuh para cukuong pembalakan liar tersebut.

Kasus pencopotan Kapolda Kalimantan Barat yang terlibat pembalakan liar oleh Kapolri belum lama ini, menjadi bukti nyata bagaimana keterlibatan aparat penegakan hukum dalam kasus pembalakan liar yang saat ini masing berlangsung terus. Ditamba lagi pemecatan Kapolres Ketapang, AKBP Guztav Leo—terkait pemba;lakan liar di Kalimantan Barat. Juga, ada kasus pemberhentian Kapolsek Tenayan, Riau, Iptu Ardinal Efendi dan dicopotnya Kapolsek kesatuan Polisi Pengamatan pelabuhan Pekanbaru, AKP Seno Mulya terkait penyelundupan barang dan kayu di alur Sungai Siak Pekanbaru, Riau.

Saya pikir satu kasus tentang pembalakan liar, khususnya di Sumatera ini, perlu direnungi dan direspon oleh generasi mudanya. Kita tidak lagi hanya menggelar seminar, lokakarya atau berdebat tentang aksi pembalakan liar. Karena, kita butuh aksi nyata menghentikan praktek pembalaan liar itu dengan memikul aturan-aturan yang ada. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)

----------opini 3
Politik ‘Tergantung’ Politik
Oleh Naim Emel Prahana

KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)