Rabb, Aku dan Ramadhan
Oleh Naim Emel Prahana
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan[7].
6. Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]
[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Pada suatu ketika, sebagai makhluk manusia yang diciptakan Rabb (Tuhan) yang memiliki kelebihan dari makhluk lain yang diciptakan-Nya. Adakalanya rasa takut menghadapi kewajiban seperti sholat, puasa di bulan ramadhan atau menghadapi sisa-sisa usia yang akan dijalani.
Dan, pada suatu ketika—banyak waktu ada keberanian dan kesiapan menghadapi semua persoalan-persoalan seperti di atas. Bagaimana menghadapi sesuatu yang merupakan kewajiban utama sebagai manusia yang beragama dan hanya menyembah kepada Allah SWT semata-mata? Setiap orang akan berbeda pola, cara dan mekanismenya selaras dengan pedoman Alquran dan Al-Hadist.
Keberanian dan kesiapan, bisa saja menjadi penghalang untuk beribadah dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa kepada-Nya. Semisal karena terlalu berani dan siap, maka seringkali sifat takabur menghilangkan pikiran yang jernih, hati yang suci, mata yang terbatas jarak pandangnya, telinga yang sering terusik mendengar, mulut yang suka melebihi quota menyampaikan kata dan ucapan. Yang pada akhirnya menuntun tangan untuk melakukan yang tidak perlu dilakukan dan melangkah di jalan yang seharusnya tidak dilewati.
Ada banyak filosofi kehidupan yang diberikan-Nya kepada manusia, demikian pula karakter dan sifat yang diajari oleh Rasulullah saw. Yang hingga kini tetap up to date untuk dipedomani. Hanya, manusia saja yang sering mengabaikan dan menganggap akal pikiran dan ilmu pengetahuan lebih hebat daripada Allah sang pencipta langit dan bumi.
Seandainya dalam kehidupan di alam fana ini, ada yang menganggap segala sesuatu yang hebat selain Allah. Maka, jalan sesat dan jalan kelam akan menghadang perjalanan kehidupan sampai di alam baqa. Demikian pula ilmu pengetahuan manusia yang begitu hebat tentang sesuatu ilmu (ilmu agama), pada akhirnya sangat serakah, takabur dan mengaburkan arti nilai-nilai agama yang dikandungi di dalam kitab suci.
Oleh karena itu, satu dosa tidak dapat diberikan kepada semua orang. Tapi, hukuman akibat perbuatan dosa manusia dapat dijadikan satu moment, seperti bencana alam (gempa, banjir, tanah longsor dsb). Manusia selalu memahami dan menyadarinya sebelum melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama Allah, tetapi kesadfaran dan pemahaman tersebut sering tidak dimunculkan dalam tatatertib kehidupoan sehari-hari. Yang mengakibatkan sesal selalu setelah kejadian berlangsung.
Banyak logika yang diciptakan manusia untuk mengingkari ajaran agamanya dan banyak sekali alibi untuk tidak menjalankan ibadah wajibnya. Sebagai contoh di bulan ramadhan ini. Tidak lagi menjadi rahasia, mereka yang sehat, segar bugar baik fisik maupun psikis meninggalkan puasa ramadhan dengan alasan sakit mag, dengan alasan melakukan perjalanan jauh (walau dengan pesawat terbang yang jarak tempuh ratusan kilometer hanya menghabiskan waktu sekian menit.
Sering juga alasan dikedepankan untuk tidak berpuasa karena lupa sahur, atau alasan lainnya yang sebenarnya diakui sendiri adalah sebagai kamuflase saja. Seakan-akan Tuhan tidak mengetahui apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan. Padahal, Tuhan adalah pencipta manusia. Kalaulah kita mampu membohongi orangtua, anak, sahabat, aparat penegak hukum, pejabat atau siapa saja. Tapi, kita sebagai manusia tidak pernah dapat membohongi “diri sendiri” dan Tuhan.
Karena aku ‘manusia’ banyak melakukan keingkaran mengakibatkan menggunungnya kesalahan dan dosa. Maka Tuhan memberikan kesempatan untuk menyadari semua kesalahan dan doa tadi. Janji-Nya adalah paling benar dan sangat ditetapi Rabb. Maka selama 12 bulan dalam setahun, Tuhan memberikan sebulan penuh untuk manusia bercermin kembali tentang dirinya. Di bulan itu Rabb memberikan keutamaan, kesempurnaan yang diakhiri dengan hari yang fitri (suci bersih), yaitu Hari raya Idul Fitri.
Sekarang, kita kembali ke persoalan manusia itu sendiri. Sebagaimana Surat Al-Fatihah di atas, tentu saja Rabb tidak memberikan kebebasan kepada semua orang, kendati mengakui dan ber-KTP dengan agama Islam. Bulan suci ramadhan diperuntukkan kepada “orang-orang yang beriman”, demikian pula hari yang fitrah diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan puasa wajib ramadhan dengan keimanannya.
“selamat berpuasa semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT, mari kita bersihkan semua tubuh (fisik) dan jiwa (psikis) kita dengan melakukan kegiatan rutin yang berisi nilai ibadah dan amal”
-------ke Lampost 29 Juli 2008
Pengembangan Kesenian Dalam Perkembangannya
Naim Emel Prahana
Budayawan dan penyair tinggal di Metro
TULISAN-tulisan berbentuk esay, opini, artikel atau laporan khusus di media massa sampai saat ini cukup banyak dan penulisnya beraneka ragam tingkatan dan kepetingan masing-masing. Pada umumnya merupakan bagian dari pencitraan diri dan kelompok dalam kancah kesenian itu sendiri. Toh, itu sangat-sangat wajar dan boleh dibenarkan dari kacamata tertentu.
Mengutip beberapa pernyataan lisan (bahkan tulisan), banyak juga yang bilang, orang-orang seni itu sulit untuk diatur, seperti orag-orang olahragawan dan wartawan. Yang belang demikian itu adalah salah satunya mantan ketua umum Dewan Kesenian Lampung—almarhum Herwan Achmad beberapa waktu silam di markasnya wartawan—Balai Wartawan di Bandarlampung.
Apa yang terjadi di tengah masyarakat modern dewasa ini, mempersoalkan kesenian dalam pengelompokannya—bisa jadi sebagai kegelisahan dan ketidak-mapanan masyarakat mempertahankan nilai-nilai kesenian tradisionilnya di tengah gegap gempita nilai-nilai kesenian pop (populer) melalui beragai medium. Ada dua hal yang harus kita fokuskan; pertama, kehadiran kesenian masyarakat modern (atau peradaban teknologi) tidak dapat dihindari. Kedua, mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan sayap-sayap kesenian tradisionil, harus jadi bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan Nasional di daerah masing-masing.
Ada beberapa kata yang perlu disikapi pasca lahirnya Instruksi Mendagri No 5A/1993 tentang pembentukan lembaga kesenian di tiap-tiap provinsi (daerah). Lembaga itu diberi nama Dewan Kesenian ‘Daerah’—istilah ‘daerah’ itu diganti dengan nama daerah. Misalnya, Lampung—maka jadilah nama lembaga itu, Dewan Kesenian Lampung.
Kehadiran Dewan Kesenian (DK) di tiap-tiap daerah dimaksudkan, untuk membantu pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan, memajukan dan meningkatkan aktivitas berkesenian, agar menjadi salah satu potensi daerah yang mampu memberikan manfaat ganda (kepada pemerintah dan masyarakatnya).
Sayangnya, terjemahan tersebut tidak lengkap dibaca di kalangan eksekutif, bahkan di kalangan seniman sendiri. Yang pada akhirnya, terjadi conflict area tentang penanganan DK itu sendiri, termasuk anggarannya. Terutama bagi daerah yang belum semapan DKI Jakarta, DI Yogyakarta atau Provinsi Bali, Riau, Sumatera Barat dan daerah lainnya.
Jadi, mengharapkan peran pemerintah terhadap pengembangan kesenian di daerahnya atau mengharapkan peranan DK terhadap perkembangan kesenian, merupakan suatu rangkaian yang butuh kerja keras dan kejujuran kedua belah pihak. Sehingga nantinya, kesenian itu merupakan wujud cita rasa dan karsa masyarakat yang mempunyai nilai-nilai luhur untuk kebaikan dan kebajikan. Oleh karena itu, DK merupakan wadah untuk berkesenian (dalam ruang lingkupnya terdapat juga sastra).
Dengan adanya ‘wadah’ itu tadi, kemungkinan untuk berkembang dan majunya suatu kesenian sangat besar sekali—asal DK itu diterjemahkan betul-betul menjadi “wadah kesenian”—kesenian di situ jangan diartikan hanya untuk seni—seniman lukis, tari, musik, arsitektur. Tetapi, jiwa sastra tergabung di dalam kata ‘kesenian’ itu sendiri. Demikian juga ketika penulis membawa pedoman DK tahun 1987—dikirim oleh Bang Leon Agusta dan Abdul Hadi WM, ketika keduanya masih menjadi petinggi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)—yang pada awalnya AD/ART DKJ itu penulis ingin jadikan sebagai AD/ART Dewan Kesenian Metro (DKM) ketika itu masih dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Tengah.
Mengenang sepintas sejarah berdirinya DK di Lampung yang dikenal dengan DKL itu, barulah terwujud tahun 1993 yang rapat-rapatnya dilakukan di Dinas Pendidikan, Kantor Depdikbud dan Kantor Parawisata. Penulis pikir, sejak kurun 1993 sampai sekarang ini, DKL sudah banyak berbuat berdasarkan persepsi para pengurusnya—dana, kalau mau menjangkau aktivitas berkesenian Lampung dari ujuang Way Kanan, Tulangbawang, Lampung Barat, memang agak sulit. Akibat kesulitan itu, terjadilah anggapan DKL belum berperan sebagaimana mestinya.
Ada beberapa persoalan yang mengganjal ketika DKL, mungkin DK lainnya di daerah lain di luar Lampung tentang keberadaan lembaga kesenian itu. Antara dipimpin birokrat dan non birokrat. Persoaln itu terus bergulir sepanjang sejarah berdirinya DK. Sebenarnya, DK dipimpin birokrat atau tidak (dipimpin seniman), tidak jadi masalah, asal komitmen semua pihak; pemerintah dan seniman bersatu.
Karena DK lembaga pemerintah nonstruktural—kewajiban pemerintah menyiaplan anggaran DK, tidak otomatis DK itu dapat dipolitisir hanya demi kepentingan pemerintah. Situasi dan konisi seniman yang menurut seorang teman penyair Lampung, “nasib yang sangat kurang”—itu tidak berarti adanya kesalahan pemerintah. Tetapi, banyak faktor lain—yang kadang dari internal seniman itu sendiri. Kekayaan yang dimiliki seorang seniman adalah sense of art and culture—yang diyakini mampu memberikan nilai tambah kebutuhan kehidupannya. Jika tida, ya seniman tidak akan berhenti jadi seniman.
Realistis sekali, bahwa DKL dan DK-DK di provinsi lain pasca Instruksi Mendagri No 15A/1993 adalah produk orde baru (rezim Soeharto dengan Golkar + TNInya); orde baru lahir, karena ketidak puasan dengan orde lama (rezim Soekarno dengan manifes politiknya). Dan, bagaimana kelahiran gerakan Reformasi 1998? Itu, juga ketidak-puasannya dengan orde baru (rezim Soeharto dan kroni-kroninya).
Maka, rentetan sejarah panjang mengenai gerakan dan aktivitas berkesenian, sudah menjadi referensi kekayaan kesenian di Indonesia dengan ragam etnis dan budayanya, termasuk ragam keseniannya. Bagaimana rasanya ketika dicekal? Penulis dengan beberapa seniman di Metro (Lampung Tengah waktu itu) beberapa kali dicekal oleh pemerintah cq Pemerintah Lampung Tengah dengan kekuatan TNI di markas Kodim Lampung Tengah.
Tahun 1990-an penulis bersama Emha Ainun Najib dicekal tampil di kampus Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), kemudian bersama Teaterawan Ganti Winarno yang punya teater Krakatoa—pun dicekal oleh Bupati Lampung Tengah waktu itu (Suwardi Ramli). Kemudian tahun 1992, ketika akan mengadakan Temu Penyair Se Sumbagsel di Metro pun dicekal—waktu itu termasuk Emha Ainun Najib. Mendengar kabar dicekal, Emha Ainun Najib yang baru turun di Bandara Branti, langsung balik arah—kembali ke Jakarta.
Pada saat yang sama di struktur organisasi kepemerintahan, ada dua dinas yang sama-sama bergerak. Pertama, Dinas Pendidikan dan kedua, Departemen Pendidikan dan kebudayaan—Depdikbud. Dua-duanya mempunyai bidang garap yang sama terhadap kesenian. Kesenian versinya pemerintah melalui dua dinas/instansinya. Tapi, pencekalan-pencekalan demikian, pada zamannya itu, tidaklah aneh. Sebab, ketika negara dengan kekuasaan pemerintahnya begitu kuat, maka karya seni dan sastra yang berkualitas bermunculan.
Yang lebih anehnya adalah pencekalan sesama seniman—sastrawan—budayawan, yang pernah penulis alami di Yogyakarta. Acara yang akan dilaksanakan bersama penyair Muawar Syamsudin, redi Panuju, Dono S, dan kawan-kawan, akhirnya dicekal oleh penyair Ragil Suwarno Pragolopati—yang kemudian penulis ajak berkelahi di sebuah masjid di bilangan Konwilhan Yogyakarta. Itu, memang terasa agak menjengkelkan. Sebab, saat itu ada upaya sistimatik dan terorganisir, untuk mengusir para seniman, penyair dan penulis yang bukan penduduk asli Yogyakarta.
Berkaca dari itu semua, sejak zaman orde baru, kebudayaan dalam struktur organisasi pemeirntahan terpisah dengan pariwisata—yang saat itu parawisata akrab dengan figur Joove Ave. Sedangkan digaris departemen kebudayaan ada nama-nama Fuad Hasan dan sebagainya. Itulah sejarah, apapun bentuknya sejarah itu adalah waktu yang sudah dilalui. Sebab, dalams ejarah manusia, tidak ada satupun manusia terhebat di dunia ini mampu menciptakan sejarah pada saat ia hidup.
Memang seharusnya, karena DK itu ditunjang dengan bantuan dana oleh pemerintah daerah masing-masing, besar kecilnya tergantung kepada kepasihan, kepahaman dan kesadaran para birokrat di daerah masing-masing. Dan, tugas seniman adalah memberikan masukan-masukan. Misalnya, betapa pentingnya pembangunan sarana dan prasarana berkesenian di daerah. Sebagai contoh, Lampung hingga saat ini belum memiliki gedung kesenian khusus (gedung khusus kesenian). Padahal, kota Baturaja—ibukota kabupaten OKU induk di Sumsel saja, sudah memiliki gedung kesenian (khusus) dengan kemegahannya.
Substansi kesenian itu memang luas, tidak sekedar menapilkan karya-karya seni, kemudian jika ada penawaran maka akan dilego (dijual) dengan harga pantas; bukan hanya sekedar untuk mengisi daerah tujuan wisata (DTW)—sebagai salah satu bentuk penggalioan PAD, atau bukan hanya ada atau tidaknya DK. Tetapi, lebih luas lagi. Di masyarakat tradisional, kesenian sangat sederhana mereka baca dan mereka jalankan. Adalah suatu prestasi bagi senimannya, jika kesenian yang mereka pahami dan mereka kuasai, diundang dan diberi penghargaan berupa uang atau piagam. Kebanggan itu akan menjadi cambuk untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas berkesenian mereka. Itu salah satu contoh.
Jadi, pengembangan kesenian saat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara—tanpa meninggalkan unsur-unsur seni dalam berkeseniannya itu. Terutama menghadapi perkembangan kesenian di abad teknologi saat ini. Berkesenian dalah penciptaan jati diri melalui kesadaran nurani. Semua orang mempunyai jiwa seni, akan tetapi tidak semua orang mampu mensosialisasikan jiwa seninya itu. Ketika orang itu mampu mengemukakan jiwa seninya dan orang yang melihat (menonton) karya seninya itu menyadari betapa pentingnya seni dalam kehidupan, maka kekuasaan apapun dapat dikalahkan.
Oleh sebab itu, kesenian yang hanya ‘format’ atau ‘formalitas’ tidak akan bertahan dan tidak akan memiliki nilai seni—seperti zaman orde baru, banyak sekali isteri pejabat yang tiba-tiba jadi penyair, seperti isteri Bob Hasan—si Pratiwi dengan berbagai acara pembacaan puisi dan meluncurkan antologi puisi. Sementara itu, penulis dan penyair aslinya masih jungkirbalik memikirkan, apakah karya puisinya itu berkualitas atau tidak. Belum terpikirkan, apakah aku si penyair itu akan populer atau tidak.
Pada akhirnya, sebagai catatan bahwa, seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, tidak pernah dilahirkan oleh Dewan Kesenian. Sebab, merekalah yang melahirkan DK tersebut. Soal mengembangkan seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, barulah tugas DK, setidak-tidaknya melihat bagaimana perkembangan kesenian saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar