Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers dan peminat masalah sosial politik
POLITIK kepemimpinan di Lampung sudah menggeliat ketika Gubernur Pradjono Pranyoto, khususnya saat pengisian jabatan wakil gubernur antara Oemarsono dan Suwardi Ramli. Oemarsono sempat menjadi gubernur, sementara Suwardi Ramli hanya sampai wakil gubernur—eranya tetap di orde baru. Apa bedanya dengan era reformasi? Tidak ada sama sekali, bahkan di era reformasi, semangat putra daerah Lampung semakin luntur oleh kepentingan multikultur penduduk yang ada di daerah ini.
Oe—panggilan akrab gubernur Lampung Drs Oemarsono maktu itu, mampu memberikan kontribusi pembangunan masyarakat pedesaan yang cukup baik. Gejolak politik nyaris tidak ada. Semua tokoh mendukung posisi Oe menjadi kepala keluarga penduduk Lampung sampai kepada ‘wisata’ kunjunganb beberapa tokoh Lampung ke rumah pribadi Oemarsono di Wonosari. Hebat, segala penghormatan dan sikap santun yang ditunjukkan masyarakat Lampung. Apalagi, Oemarsono mampu membangkit gairan tenunan asli Lampung Tapis—kini menjadi trade mark hasil kerajinan tradisional Lampung yang sudah menyebar ke berbagai belahan dunia.
Pasca turunnya Oemarsono sebagai kepala daerah Lampung 1999, ternyata situasi dan kondisi politik di Lampung menjadi tidak karuan. Apalagi, ketika pemilihan Gubernur sebelum pilkada langsung, Alzier Dianis Thabrani yang terpilih akhirnya tidak dapat dilantik, karena berbagai persoalan. Sejak Alzier Dianis Thabrani tidak dilantik, kursi gubernur—yang kemudian diduduki oleh putra daerah Lampung, Sjachroedin ZP dan Syamsurya Ryacudu tidak pernah tenang, apalagi damai.
Walaupun sudah mendapat kekuatan hukum yang pasti di tingkat highest law process (proses hokum tertinggi) di Mahkamah Agung (MA). Persoalan gubernur Lampung tidak pernah sepi dari isu-isu local yang sebenarnya rakyat Lampung sudah dapat membaca, ke mana arah dan tujuannya, serta siapa di balik isu itu semua. Untung saja, masyarakat Lampung yang heterogen itu masih memiliki nilai kearifan sosial kemasyarakatan yang tinggi.
Tapi, nilai itu belum mampu memberikan apresiasi penyadaran yang sadar kepada elite politik di Lampung—hingga saat ini kita mencoba merasa supaya jelas target dan tujuan mereka (elite politik di Lampung). Ada kekhawatiran, Lampung yang dikenal sebagai salah satu daerah miskin di Indonesia berimbas langsung kepada elite politik tentang pendapatan per kapita mereka yang terus merosot. Dengan asumsi, adanya isu yang digulir terus menerus diharapkan adanya lobi-lobi politik yang menghasilkan uang.
Peresteruan politik di Lampung sampai saat ini secara kasat mata memang sudah tidak sehat lagi. Karena, ada beberapa faktor yang membuat keadaan tidak sehat, yaitu sudah menjurus penghakiman terhadap seseorang yang sangat belum jelas kesalahannya dan kekaburan persoalan hukum yang sudah jelas di tingkat pengadilan menjadi tidak jelas ujung pangkalnya. Realitas mencatat ada beberapa masalah besar yang mengaitkan eksistensi beberapa tokoh di Lampung sejak 2007. Tetapi, sampai saat ini belum ada proses hukum yang jelas. Akibatnya, status ‘tersangka’ menjadi semacam permainan kata-kata di media massa.
Apa yang terjadi saat ini di Lampung tidak lepas dari konspirasi politik sebagai kelanjutan SK-15/2006 yang gagal total melengserkan Sjachroedin ZP—Syamsurya Ryacudu dari kursi gubernur dan wakil gubernur atau gagalnya perjuangan kelompok Golkar yang tetap menuntut dilantiknya Alzier Dianis Thabrani sebagai gubernur Lampung.
Sayang sekali, apa yang terjadi di tingkat elite politik antara Gedung DPRD Lampung—Kantor Gubernur (Pemprov Lampung)—yang sekarang ditambah dengan KPU Lampung tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap rakyat Lampung yang berjumlah sekitar 7 juta jiwa itu. Di tengah masyarakat luas, mereka hanya terpengaruh dengan rendahnya nilai tukar rupiah, sehingga harga kebutuhan bahan pokok seakan-akan melejit dengan nilai harga rupiahnya yang tinggi. Rakyat akan menjerit terus, ketika sarana perhubungan (jalan) tidak pernah bertahan lama, sebentar-sebentar rusak.
Saya tidak mengkhususkan kajian apakah Oedin—Joko akan dilantik atau dibatalkan oleh DPRD Lampung. Yang jelas, semua tugas dan kewenangan sudah jelas dan ada aturan hukumnya. Dilantik atau tidaknya calon gubernur terpilih secara substansi bukan urusan DPRD, akan tetapi urusan presiden yang akan dijalankan oleh Menteri Dalam Negeri. Dan, sangat bukan menjadi urusan KPU. KPU setelah penetapan hasil pilkada sudah tidak lagi mengurusi pasangan calon gubernur terpilih—khusus prosesi pelantikannya. Karena, ketika penetapan sudah dilakukan berarti semua persoalan ketika berlangsung pilkada sudah selesai.
Tapi, yang jelas mencermati secara baik apa yang terjadi di dunia politik Lampung saat ini sudah jelas arah dan tujuannya. Para arsitek, designer dan sutradara di blik politik yang muncul tenggelam itu. Unfortunately, policies language that commodities principal to drop somebody or to force somebody or person group, evaluated very coarse and vulgar (Sayangnya, bahasa politik yang dijadikan komoditas utama untuk menjatuhkan seseorang atau untuk memaksa seseorang atau kelompok orang, dinilai sangat kasar dan vulgar). Seperti menterjemahkan fatwa MA tahun 2007—2008 lalu. Semua pihak menganggap diri merekalah penafsir yang akurat, padahal, tafsiran yang disertai debat kusir ‘pernyataan’ di media massa sangat-sangat kasar dan jelas nampak apa yang terjadi di balik semua itu.
Kasarnya bahasa politik para elite politik di Lampung terlihat ketika egois dan ambisi mereka tidak terkendali. Akibatnya, banyak mekanisme, prosedur hukum yang harus digunakan—akhirnya dianggap tidak perlu. Ke luar dari proses hukum dan mekanisme itulah yang membuat kisruhnya suasana politik di Lampung. Ketika ditanya kepada warga di desa atau kepada penyair yang suka bermain dengan kata; apakah mereka terpengaruh oleh situasi dan kondisi politik para elite politik di Lampung. Sudah pasti, mereka menjawab, “TIDAK!”
Menganalisa jawaban masyarakat banyak itu, apakah disadari oleh elite politik di Lampung bahwa sebenarnya mereka itu tidak memiliki ikatan emosional dengan rakyatnya. Elite politik di Lampung hanya bermain dengan kelompok mereka sendiri yang di sana-sininya ditulisi mereka “atas nama rakyat Lampung” Apakah bahasa itu tidak kasar untuk masyarakat post modern saat ini?
Bahasa politik seharusnya lebih halus, lembut, santun dan didalamnya banyak mengandung unsur estetika dan etika moral. Tanpa itu semua, tidak ada politik yang baik yang akan menghasilankan keputusan populer di tengah masyarakat. Karena kait mengkait itulah, jika andaikan DPRD Lampung benar-benar memparipurnakan pembatalan pelantikan Odien—Joko (hari Senin, 25/5/2009) ini, maka semua yang terkait dengan pilkada gubernur Lampung 2008 seharusnya dibongkar habis—seperti misalnya semua isu yang menyangkut eksistensi KPU Lampung, serta semua pasangan calon gubernur yang mengikuti pilkada 2008 lalu.
Sebab, politik pun harus berlaku adil ketika ia berhadapan dengan rakyat, karena basis politik ada di kehidupan rakyat kecil—karena politik selalu menjual nama rakyat ketika mereka akan mertebut kekuasaan di tingkat apapun bentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar