Senin, 22 Agustus 2011

A m z a r


 PROFILE  WARTAWAN
Pria kelahiran tahun 1934 di Desa Sikapak
 Kecamatan Pariaman UtaraKabupaten Padang Pariaman
Sumatera Barat dengan nama aslinya Amiruddin Zakaria
yang disingkat dan lebih dikenal di dunia
 jurnalisme Indonesia dengan nama Amzar.
Amzar memang petualang, bersekolah
pada Sekolah Desa (SD) di Sikapak, namun tidak ia selesaikan.
 Pada tahun 1940 merantau ke Desa Surkam Kanan, Sibolga, Sumatera Utara.

Di desanya itu Amzar kembali masuk Sekolah Desa, lagi-lagi tidak ia selesaikan, karena ingin merantau ke Sungai Sirah, Pariaman  dan tahun 1942 masuk lagi sekolah SD yang hanya bertahan sampai kelas 4. Tahun 1948 Amzar merantau ke Payakumbuh, di kota itu ia masuk kelas 5 sampai kelas 6. Ia menghentikan sekolah karena Agresi ke II Belanda. Dua tahun kemudian, yakni 1950 Amzar muda pergi ke Pekanbaru, Riau, kemudian 1951 pergi lagi ke Medan. Di kota Medan Amzar berjualan rokok dipinggir jalan.
Pada tahun 1952 ia masuk sekolah SMP Kesatria Medan sampai kelas 2, lalu 1953 berangkata ke Jakarta dengan beban sebagai penagguran. Tak tahan menganggur di Jakarta tahun 1954 kembali ke Payakumbuh masuk SMP Taman Siswa kelas 3. Setahun kemudian 1955 masuk lagi kelas 3 bagian B dan 1956 ikut ujian extraning dan dinyatakan lulus. Pada tahun 1956 itu Amzar lulus ujian bagian A, B.
Pada 1957 Amzar menjadi guru di SMP Taman Siswa Payakumbuh, setahun kemudian 1958 karena pergolakan PRRI Amzar bertemu dengan Wahono, tahun itu juga ia lulus ujian SMA bagian C di Payakumbuh. Pada 1959 mengajar selama 1 tahun di SMP Taman Siswa Payakumbuh bidang sejarah, Bahaasa Indonesia, Ilmu Dagang dan Olahraga, akunya ketika diwawancarai.
Pada tahun 1960 Amzar mendaftar di Universitas Andalas di FKIP, pendidikan itu ia tempuh hanya 1 tahun karena terjepit masalah ekonomi. Kuliahpun dipaksa-paksakan yang akhirnya tahun 1962 terpaksa droup out. Setelah mengalami berbagai rintangan hidup yang berpindah-pindah, Amzar menjual sebuah sepeda, beberapa buku untuk ongkos pergi ke Medan. Di Medan ia melaporkan ke Taman Siswa. Tapi, ia tidak diterima, kecewa itulah membawa Amzar pergi ke Pangkalan Brandan mencari orangtuanya. Sesampai di Pangkalan Berandan, ia bertemu orangtuanya yang juga tengah mengalami keruntuhan ekonomi. Lalu, Amzar pergi ke Tebingtinggi pada bulan Agustus 1962. Di Tebingtinggi ia menemui pimpinan Taman Siswa di sana. Karena untuk mencari sesuap nasi, maka Amzar diterima sebagai guru. Pekerjaan itu ia jalani selama 4 tahun.
Sebab pada tahun 1966 Amzar kembali mengarungi hidup di Jakarta dan tinggal di Jatinegara di tempat teman sekampungnya yang bekerja sebagai penjahit. Di situ, aku Amzar ia menganggur total. Kemudian mengajajar di SMA Tarunajaya Kwitang antara tahun 1967-1968. Masa-masa itulah ia mulai mengenal dunia tulis menulis di Harian Operasi yang beralamat di Kebon Sirih (Sekarang kantor PWI Pusat ). “Saya  kenal pimpinan redaksinya waktu itu adalah Bachtiar Djamili (1969)”.
Pengalaman pertama Amzar menjadi penulis berita pada tahun 1969 meliput khutbah setiap hari Jumat di Masjid Al-Azhar Kebayoran dan berita liputannya dimuat setiap hari Senin. Untuk menguraikan isi khutbah, Amzar menjual celana untuk membeli buku tafsir. Akhir tahun 1969 setelah Konferensi Taman Siswa di Jakarta ia pergi ke Bali dan awal 1970 ia sudah kembali lagi ke Jakarta. Selama di Bali Amzar terus mengirimkan berita liputan dari Bali ke Harian Operasi dan Suara Karya. Tak lama di Jakarta awal 1970, Amzar berangkat ke Lampung dan tinggal dengan Iwal Burhani (Kepala Perwakilan Harian Operasi di Lampung ).
Iwal Burhani itulah yang mengenalkan saya kepada para pejabat dan pergi ke semua pelosok Lampung, ujar Amzar mengenang perjalanan hidupnya di Lampung. Pada tahun 1970 diajak oleh Iwal Burhani mengikuti Kongres PWI di Palembang. Ongkos ke Palembang diberikan oleh Bupati Lampung Tengah, Sayuti sebesar Rp 30.000,- (Rp Rp 3.000.000,- sekarang). Dan uang itu merupakan imbalan atas tulisan Amzar tentang Desa Sritedjo Kencono.
Pada tahun 1970 itu juga Amzar menjadi wartawan Harian Indonesia Raya dan kartu persnya ditandatangani oleh Muchtar Lubis sewaktu di India. 1971 Amzar menetap di Tanjungkarang dan tidur di Kantor PWI lama. Menjadi wartawan Harian Indonesia Raya sejak 1970 sampai 1974, karena koran itu dibredel oleh pemerintah. Pada tahun 1970-an Amzar bergabung dengan harian Sinar Jaya ( Sinar Tani sekarang). Dasar petualangan, pada tahun 1971 selama 6 bulan menetap di Lahat, Sumatera Selatan, selama itu pula membuat Novel berjudul Gelora Batu Nisan sebanyak 75 episode yang dimuat di surat kabar AB Palembang. Karya itu, ujar dia pada penulis ditulis di Jakarta tahun 1970 setelah kongres PWI di Palembang. Amzar yang tahu persis surat kabar Pusiban dengan pimpinannya Solfian Akhmad, Bhayangkara ( J Kusri ), Independen ( A Fuad ), Lensa (Solihin Bukujadi), Lensa Generasi (Adjiz Kasim), Warta Niaga (Martubi ) dan Rajabasa Pos (Lubis). Semua surat kabar tersebut telah diarsipkan oleh Amzar di rumahnya bersama surat kabar lainnya.
Antara tahun 1978-1988 Amzar menjadi wartawan LKBN Antara di Lampung, kemudian keluar dari Antara (1988), kembali bergabung dengan Sinar Tani Jakarta hingga sekarang. Dari hasil petualangan, karya-karyanya yang dimuat di hampir seluruh surat kabar di Sumatera dan Jakarta, Amzar mengabadikannya melalui pembangunan rumah tempat tinggal, sekaligus tempat usahanya bersama keluarga di bilangan Jalan Jenderal Sudirman Yosodadi 21A Kota Metro. Tahun 2000 Amzar menerbitkan buletin Mutiara Metro.Karena merasa cocok di Metro, tahun 1981 ia pindah ke Metro dan tinggal di dekat Masjid Al-Mujahidin Yosodadi. Saat ini Amzar yang nikah tahun 1977 dan dikaruniai 4 anak, dua diantaranya meninggal saat Amzar tinggal di Telukbetung.
 

*) Naim Emel Prahana : Wawancara dengan Amzar  pada hari Sabtu, 25 November 2000 pukul 15.30—17.00 WIB

Tidak ada komentar: