Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Februari 2016

HM HARUN MUDA INDRAJAYA

Pemimpin Redaksi (SKU Tamtama), Harian Tamtama, Lampung Ekspres (JPNN) 
dan Lampung Ekspres plus dalam memorial






Sabtu, 13 Februari 2016

JAKARTA TEMPOE DOELOE

Jakarta Tempoe Doeloe 
( dalam gambar )













Kota Lubuklinggau



Menelusuri Cerita Asal Usul   


Cerita 1
Pada zaman dahulu kala ada 7 bidadari yang sedang turun dari kayangan (kerajaan di langit) untuk mandi di sebuah telaga, dimana pada saat itu hanya terdapat sebuah telaga yang masih terdapat airnya, dikarenakan adanya musim kemarau yang panjang.
Tapi naas bagi bidadari bungsu karena selendang yang dimilikinya hilang diambil oleh seorang pemburu sehingga ia tak dapat pulang lagi kelangit.
Pemuda tersebut bernama Bujang Penulup yang artinya adalah seorang pemburu binatang yang menggunakan alat buru berupa tulup atau sumpit. Sedangkan putri bungsu tersebut bernama Sringga Pisat.
Suatu saat bidadari tersebut menemukan pakaian yang disembuyikan oleh Bujang Penulup, kemudian bidadari tersebut dapat pulang kelangit, namun bujang penulup melihatnya, maka dia berkata “SILAMPARI” (Putri hilang). Karena putri yang ingin kembali berangsur-angsur menghilang.

                                                                             Cerita 2
Dahulu kala ada seorang raja bernama Raja Biku 8 dewa dan permaisurinya bernama Putri Ayu Selendang Kuning, Raja ini terkenal dengan kesaktiannya yang tiada tanding karena kepandaiannya terbang. Ilmu 8 dewa yang dia miliki diantaranya: Dewa api, dewa matahari, dewa udara, dewa angin, dewa air. Setelah 10 thn berkeluarga raja belum juga memiliki keturunan, akhirnya dia mengakui kelemahannya. Kemudian turun lah dewa mantra sakti tujuh dari langit yang turun dipuncak bukit Rimbo Tenang untuk menolong Raja Biku.
Sang Raja disuruh bertapa/semedi untuk mendapatkan kembang tanjung kelopak enam helai melalui sukma mantra (hanya sukma saja yang pergi). Bunga tanjung digunakan untuk mandi putri dengan ramuannya kembang tanjung kelopak enam, daun pandan, daun purut, dan akar wangi kesemua direndam jadi satu lalu dipakai mandi dan sisanya diminum.
Setelah putri tersebut meminumnya mulailah putri hamil dengan enam kehamilan yang normal sehingga putri mendapatkan enam anak yaitu 1 laki-laki dan 5 perempuan. Nama anak-anak raja tersebut adalah :
1.      BUDUR,
2.      DAYANG TARE
3.      DAYANG DERUJA
4.      DAYANG DERUJI
5.      DAYANG AYU
6.      DAYANG IRENG MANIS
Jumlah anak tersebut sesuai dengan jumlah kelopak kembang tanjung yang diberikan. Tetapi Raja Biku memiliki perjanjian yaitu semua akan kembali seperti semula (SILAM).Saat itu pun tiba, mula-mula yang hilang adalah putri Dayang Tare karena dia yang pertama kali mengadu kepada dewa tentang deritanya di dunia, dia hilang di Rimbo Tenang.Kemudian yang hilang selanjutnya, yaitu Dayang Deruja yang hilang di Rejang Rebo dan diberi tanda pohon ketapang kuning.Kemudian Dayang Ayu, Dayang Ireng Manis Dayang Deruji beserta ibunya hilang di bukit ayu.Raja Biku hilang di laut cina sedangkan Budur hilang di Ulak Lebar. Karena putra-putri hilang maka masyarakat berkata “SILAMPARI” (Putri yang hilang).

Kisah Dayang Torek



Cerita Asal Mulau Bumi SilampariI
Kisah berasal dari desa Ulak Lebar, marga Sindang Kelingi Ilir, Lubuklinggau Sumsel. Alkisah, di dusun Ulak Lebar tersebut hiduplah seorang putri yang cantik luar biasa. Tubuh yang tinggi semampai, wajahnya halus bercahaya, rambutnya panjang ikal mayang, jemarinya lentik, matanya berkilau seperti bintang. Gadis itu bernama Dayang Torek.
Karena kecantikannya banyak orang terkagum-kagum. Dayang Torek terkenal sampai ke pelosok negeri. Banyak orang yang mengatakan Dayang Torek seperti titisan bidadari dari kayangan. Atau peri (orang Lubuklinggau menyebutnya) yang turun dari langit.
Selain memiliki kecantikan yang luar biasa, Dayang Torek juga pandai menari. Sehingga Dayang Torek kerap diminta untuk menari dihadapan para pembesar yang datang berkunjung ke Ulak Lebar.
Ternyata, kecantikan Dayang Torek menyebar ke seluruh antero negeri. Dan sampailah tentang kecantikan Dayang Torek ke telinga pangeran dari Palembang. Pangeran dari Palembang tersebut ingin membuktikan apakah benar Dayang Torek seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa seperti digebar-gemborkan orang. Ketika sampai di desa Ulak Lebar, seperti biasa para tamu disambut dengan tari-tari persembahan. Betapa terkejutnya pangeran ketika melihat seorang penari yang lemah gemulai dan memiliki kecantikan luar biasa. Pangeran sangat terpesona.
“ Wow! Cantik sekali gadis itu. Luar biasa…Benar kata orang kalau di desa ini ada bidadari. Siapakah nama bidadari ini..?” Batin Pangeran terkagum-gagum. Seperti tamu yang lainnya, mata pangeran pun seperti tak berkedip melihat keanggunan Dayang Torek.
Kekaguman Pangeran membuat dirinya ingin memiliki putri Dayang Torek. Hatinya sudah bulat ingin menyunting putri Dayang Torek. Lalu pangeran menghadap ayahanda Dayang Torek, yaitu Gindo Ulak Lebar. Pangeran menyampaikan keinginannya untuk mmempersunting Dayang
“Gindo Ulak Lebar, Aku bermaksud ingin menyunting putri Gindo, Dayang Torek. Aku ingin membawanya ke istanaku di Palembang untuk kujadikan permaisuriku,” ujar pangeran. Dalam hati Pangeran, Gindo Ulak Lebar tak akan menolak, apalagi jika anaknya akan dijadikan permaisuri.
“Maaf Baginda, hamba bukan menolak keinginan baginda Pangeran. Benar Dayang Torek putri hamba. Namun, semuanya hamba serahkan kepada Dayang Torek sendiri Baginda. Karena dialah yang punya hak untuk menentukan nasibnya,” jawab Gindo Ulak Lebar dengan hati bergetar.
”Hmmm. Baik, mana putrimu itu,” tanya Pangeran agak pongah.
Ketika Dayang Torek tiba dihadapannya, Pangeran mengemukakan maksudnya. Dayang Torek dengan halus menolak permintaan Pangeran dengan alasan belum mau berumah tangga. Sang Pangeran berusaha menutupi kekecewaannya. Dalam hati dia bertekat suatu saat Dayang Torek pasti akan disuntingnya.
Setelah kembali ke Palembang, beberapa kali Pangeran mengirim utusannya ke dusun Ulak Lebar untuk melamar Dayang Torek. Di bawanyahlah hadiah emas dan perak, dengan harapan Dayang Torek menerima kesungguhannya.
Melihat gelagat ini, Gindo Ulak Lebar mulai waspada terhadap penolakan putrinya. Walau bagaimanapun Pangeran adalah atasannya. Tidak menutup kemungkinan suatu saat akan terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi di Ulak Lebar ini. Akhirnya Gindo bersama dengan warganya menanami sekeliling kampung dengan bambu yang sangat rapat. Maksudnya sebagai benteng pertahanan.
Namun, sebelum pekerjaan mereka selesai, Dayang Torek telah diculik. Semua penduduk geger. Dayang Torek di cari kemana-mana namun tidak bertemu juga. Akhirnya diketahuilah kalau Dayang Torek telah diculik oleh orang suruhan pangeran. Suatu hari Gindo datang ke Palembang menemui Pangeran.
“Pangeran junjungan patik, hamba mohon kembalikan putri hamba. Mengapa Pangeran menculiknya?”
“Gindo, aku menyukai anakmu itu. Berulang kali aku meminta kesediaannya untuk ku sunting jadi istriku. Tapi dia selalu menolak! Habislah kesabaranku. Sekarang dia telah menjadi istriku dia akan bahagia hidup di istanaku. Pulanglah ke Ulak Lebar”
”Izinkan hamba bertemu anak hamba, Pangeran” Gindo Ulak Lebar memelas.
”Suatu saat Gindo, suatu saat aku dan Dayang Torek akan datang ke Ulak Lebar” Jawab pangeran sembari tertawa. Dengan perasaan sedih akhirnya Gindo pulang ke Ulak Lebar. Bagaimanapun cara pangeran menculik anaknya bukanlah tindakan terpuji.
Selanjutnya mengetahui ini, adik Dayang Torek yang bernama Nyongang menyusul ke Palembang. Ternyata Dayang Torek telah mempunyai seorang putra. Darah muda Nyongang bangkit. Dia tidak terima ayuknya (saudara perempuan) diperlakukan seperti itu. Dayang bukan dijadikan permaisuri, akan tetapi dijadikan selir, entah yang ke berapa. Dengan menggunakan kekuatan ilmunya, Nyonggang berhasil menemui Dayang Torek di istana.
“Ayuk Dayang Torek, kau harus lari dari sekapan Pangeran bejat itu ayuk. Mari pulang bersamaku. Kita pulang ke Ulak Lebar...” Bujuk Nyongang.
“Adikku, aku telah berputra,” kata Dayang Torek Lembut. Wajahnya pucat pasi menandakan ia sangat tersiksa.
“Tinggalkan saja, Bukankah ini istana bapaknya”
“Tidak dik, Bagaimanapun dia adalah darah dagingku. Aku tidak mungkin meninggalkannya”
“Baik, kalau begitu kita bawa pergi,” kata Nyongang. Akhirnya Nyongang berhasil membawa kabur Dayang Torek dan anaknya. Mereka berjalan- keluar masuk hutan tiada henti. Akhirnya sampailah mereka di tepi sungai Kelingi di kaki Bukit Sulap. Sejak awal Nyongang tidak menyenangi anak Dayang Torek yang dianggapnya anak haram. Munculah akalnya untuk melenyapkan anak itu. Diselipkannya taji ditangannya lalu dtepukannya ke dahi anak Dayang Torek. Anak Dayang Torek meninggal seketika.
“Nyongang! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau bunuh anakku?,” kata Dayang Torek terkejut.
“Tidak yuk, aku hanya menepuk nyamuk yang menempel di dahinya”
“Tidak!! Kau sengaja ingin melenyapkan anakku!.”
“Yuk, sudahlah mengapa harus ditangisi? Bukankah ayah anak ini adalah orang yang ayuk benci? Dan ini.., ini anak haram yuk!”
“Tidak! Kau tidak boleh melakukan ini. Anak ini tidak berdosa Nyongang. Dia adalah darah dagingku. Aku benci dengan kau! Kau juga jahat! Jahat!,” Dayang Torek menangis sambil berlari ke Bukit Sulap.
“Ayuk! Jangan pergi. Ayuuuuk!” Nyongang berteriak-teriak mengejar Dayang Torek. Dayang Torek berlari sangat cepat. Nyonggang terus mengejar Dayang Torek yang berlari ke puncak Bukit Sulap sembari menangis. Tiba-tiba Dayang Torek lenyap tak tahu kemana. Nyonggang berteriak-teriak histeris.
”Yuk, ke mana kau yuk, kemana kau…mengapa kau menghilang!” Nyongang menangis dan berteriak sekencang-kencangnya. Gema suaranya mengisi lereng Bukit Sulap hingga ke lembah. Semua hewan yang berada di Bukit Sulap diam tak bersuara. Beberapa pohon tumbang karena suara Nyonggang yang menggelegar seperti petir.
Akhirnya tinggalah Nyongang menangis sedih meratapi kepergian Dayang Torek yang silam ”hilang” di Bukit Sulap. Sejak itu, untuk mengenang peristiwa tragis di Bukit Sulap masyarakat menyebutnya silampari. Artinya Putri atau peri yang hilang (silam). Sejak itulah Kota Lubuklinggau dan Musi Rawas sering disebut Bumi Silampari. (oleh RD.Kedum)

Kota Lubuklinggau



Sejarah Singkat
Sejarah kota yang memiliki semboyan ‘Sebiduk Semare’ ini bermula pada tahun 1929. Pada saat itu, Lubuklinggau adalah Ibu Kota Marga Sindang Kelingi Ilir dibawah Onder District Musi Ulu. Sedangkan Onder District Musi Ulu sendiri memiliki ibu kota yang bernama Muara Beliti, yang pada akhirnya tahun 1933 juga pindah ke Lubuklinggau.

 
Setelah itu, pada tahun 1942 sampai dengan tahun 1945 barulah Lubuklinggau menjadi Ibukota Kewedanaan Musi Ulu dan setelah kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1948 Lubuklinggau akhirnya menjadi Ibu Kota Pemerintahan Sumatera Bagian Selatan. Untuk dapat melihat dengan jelas, mari kita lihat sejarah kota Lubuklinggau dengan menggunakan tabel berikut ini:
Sejarah Singkat Kota Lubuklinggau Sejak Zaman Dahulu
Tahun
Status Kota Lubuklinggau
1929
Ibukota Marga Sindang Kelingi Ilir
1933
Ibukota Muara Beliti (Dulunya Muara Beliti adalah ibukota Onder District Musi Ulu)
1942-1945
Ibukota Kewedanan Musi Ulu
1947
Ibukota Pemerintahan Sumatera Bagian Selatan
1948
Ibukota Kabupaten Musi Ulu Rawas namun tetap sebagai Ibukota Karesidenan Palembang
1956
Ibukota Daerah Swatantra Tingkat II Musi Rawas
1981
Ditetapkan sebagai Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tanggal 30 Oktober 1981
2001
Ditingkatkan statusnya sebagai Kota berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tanggal 21 Juni 2001. Tanggal 21 Juni 2001 ini juga diperingati sebagai hari jadi kota Lubuklinggau.
2001
Ditetapkan sebagai Daerah Otonom pada tanggal 17 Oktober 2001

Geografi
Kota Lubuklinggau terletak pada posisi geografis yang sangat strategis. Kota ini terletak diantara tiga provinsi sekaligus, yaitu: Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan (Palembang). Tidak hanya itu, Lubuklinggau merupakan jalur penghubung antara Pulau Jawa dengan kota-kota yang ada dipulau Sumatera bagian utara. Sehingga tidak mengherankan jika pemerintah kota Lubuklinggau bekerja keras untuk mengembangkan kota Lubuklinggau menjadi Kota Metropolitan atau bahkan Kota Megapolitan. Sampai dengan saat ini, kota Lubuklinggau terdiri dari 8 wilayah kecamatan dan 72 kelurahan.
Kota Lubuklinggau memiliki beberapa bahasa di antaranya: Rejang, Lembak (coel), Palembang, Musi, Jawa, Komering, Rawas, Padang dan tentu saja bahasa Indonesia. Nah, untuk luas daerahnya sendiri, berdasarkan UU No 7 Tahun 2001, adalah 401,5 kilometer persegi atau 40.15 hektar. Total luas ini terbagi menjadi dua wilayah sebagai berikut:
Wilayah Darat = 360.74 km2 (139.28 mil²)
Wilayah Air = 40.76 km2 (15.74 mil²)
Secara strategis, Lubuklinggau terletak pada posisi 102º40’0”-103º0’0” BT dan 3º4’10”-3º22’30” LS yang berbatasan langsung dengan kabupaten Rejang Lebong (Bengkulu). Untuk batas-batas secara administrative dapat anda lihat pada table berikut ini:
Batas-batas administratif Kota Lubuklinggau.

Perbatasan

Sebelah Utara
Kecamatan BKL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas.
Sebelah Timur
Kecamatan Tugu Mulyo Dan Muara Beliti Kabupaten Musi Rawas.
Sebelah Selatan
Kecamatan Muara Beliti Dan Provinsi Bengkulu.
Sebelah Barat
Provinsi Bengkulu
Nah, bagaimana? Apakah anda sudah ingat sejarah singkat kota Lubuklinggau yang telah kami berikan? Sebagai generasi muda dan generasi penerus bangsa, kita wajib mengingat atau paling tidak mengetahui sejarah-sejarah kota yang ada di Indonesia ini, terutama kota tempat tinggal kita.  

Jumat, 12 Februari 2016

LAHAT: Sejarahnya



Sekitar tahun 1830 pada masa kesultanan Palembang di Kabupaten Lahat telah ada marga, marga-marga ini terbentuk dari sumbai-sumbai dan suku-suku yang ada pada waktu itu seperti Lematang, Basemah, Lintang, Gumai, Tebing Tinggi, dan Kikim. Marga merupakan pemerintahan bagi sumbai-sumbai dan suku-suku. Marga inilah merupakan cikal bakal adanya Pemerintah di Kabupaten Lahat.
Pada masa bangsa Inggris berkuasa di Indonesia, Marga tetap ada dan pada masa penjajahan Belanda sesuai dengan kepentingan Belanda di Indonesia pada waktu itu pemerintahan di Kabupaten Lahat dibagi dalam afdeling (Keresidenan) dan onder afdelling (kewedanan) dari 7 afdelling yang terdapat di Sumatera Selatan, di Kabupaten Lahat terdapat 2 (dua) afdelling yaitu afdelling Tebing Tinggi dengan 5 (lima) daerah onder afdelling dan afdelling Lematang Ulu, Lematang Ilir, Kikim serta Basemah dengan 4 onder afdelling. Dengan kata lain pada waktu itu di Kabupaten Lahat terdapat 2 keresidenan. Pada tanggal 20 Mei 1869 afdelling Lematang Ulu, Lematang Ilir, serta Basemah beribu kota di Lahat dipimpin oleh PP Ducloux dan posisi marga pada saat itu sebagai bagian dari afdelling. Tanggal 20 Mei akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Lahat sesuai dengan Keputusan Gebernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No. 008/SK/1998 tanggal 6 Januari 1988.
Masuknya tentara Jepang pada tahun 1942, afdelling yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda diubah menjadi sidokan dengan pemimpin orang pribumi yang ditunjuk oleh pemerintah militer Jepang dengan nama Gunco dan Fuku Gunco. Kekalahan Jepang pada tentara sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Kabupaten Lahat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948, Kepres No. 141 Tahun 1950, PP Pengganti UU No. 3 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950. Kabupaten Lahat dipimpin oleh R. Sukarta Marta Atmajaya, kemudian diganti oleh Surya Winata dan Amaludin dan dengan PP No. 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dalam Tingkat I provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Lahat resmi sebagai daerah Tingkat II hingga sekarang dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan diubah UU No. 32 Tahun 2004 menjadi Kabupaten Lahat.
Bukit Serelo terletak di Desa Perangai Kabupaten Lahat, Bukit Serelo merupakan landmark Kabupaten Lahat. Bukit Serelo disebut juga dengan Gunung Jempol karena bentuknya yang mirip dengan jempol tangan manusia. Pemandangan disekitar sangat mempesona, aliran Sungai Lematang seakan-akan mengelilingi bukit ini. Bukit Serelo merupakan bagian dari gugusan Bukit Barisan yang merupakan barisan bukit terpanjang di Pulau Sumatera.

Pariwisata
Sekolah Gajah Perangai
Sekolah Gajah ini terletak di Desa Perangai Kabupaten Lahat, lokasinya di kaki Bukit Serelo. Gajah-gajah tersebut dilatih supaya jinak dan dapat membantu pekerjaan manusia seperti mengankut barang-barang dan kayu. Tempat ini merupakan salah satu penangkaran gajah di Indonesia.
Sumber air panas Tanjung Sakti
Bila anda singgah di Kecamatan Tanjung Sakti, maka jangan lewatkan untuk mengunjungi lokasi ini. Sumber Air Panas Tanjung Sakti dapat ditempuh dari Ibukota Kecamatan sekitar 10 menit perjalanan menggunakan kendaraan roda 2 atau roda 4. Karena letaknya berada dekat dengan pusat keramaian Kecamatan Tanjung Sakti.

Air terjun Lawang Agung
Salah satu potensi wisata yang berada di Kecamatan Mulak ulu ini layak untuk dikembangkan untuk menambah pendapatan daerah dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dari jalan utama, lokasi Air Terjun Lawang Agung dapat dicapai dengan menggunakan mobil. Kondisi jalan menuju lokasi sekitar 500 m, dengan kondisi jalannya menurun dan berbatu-batu kecil.
Pada saat perjalanan ke lokasi melewati sekolah SD dan kebun kopi. Di sekitar lokasi, terdapat jembatan gantung. Aktifitas yang dapat dilakukan dilokasi ini adalah berenang, mancing dan jala ikan.
Dengan melengkapi fasilitas dan sarana umum seperti lahan parkir dan perbaikan kondisi jalan menuju lokasi, diharapkan dapat meningkatkan sumber pendapatan daerah dan penduduk sekitar.[2]

Rumah batu
Lokasi wisata Rumah Batu terletak sekitar 80 km dari kota Lahat, tepatnya di desa Kota Raya Lembak Kecamatan Pajar Bulan. Rumah Batu ini merupakan salah satu benda megalitik yang pada dindingnya terdapat lukisan kuno berupa makhluk-makhluk aneh.

Batu macan
Batu macan yang terdapat di Kecamatan Pulau Pinang, Desa Pagar Alam Pagun ini sudah ada sejak zaman Majapahit pada abad 14. Batu macan ini merupakan simbol sebagai penjaga (terhadap perzinahan dan pertumpahan darah) dari 4 daerah, yaitu: Pagar Gunung, Gumai Ulu, Gumai Lembah dan Gumai Talang.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari penjaga situs setempat yakni Bapak Idrus, kisah adanya batu macan terkait dengan legenda si pahit lidah yang beredar di masyarakat. Pada waktu itu, si pahit lidah sedang berjemur di batu penarakan sumur tinggi. Pada saat sedang berjemur, si pahit lidah melihat seekor macan betina yang sering menggangu masyarakat desa, kemudian oleh si pahit lidah, macan tersebut di ingatkan agar tidak mengganggu masyarakat desa. Namun, macan tersebut tidak menuruti apa yang disampaikan oleh si pahit lidah. Padahal si pahit lidah sudah menasehati macan tersebut sampai tiga kali, sampai akhirnya si pahit lidah berucap “ai, dasar batu kau ni”. Akhirnya macan tersebut menjadi batu. Setelah diselidiki, ternyata macan tersebut adalah macan pezinah dan anak yang sedang diterkamnya adalah anak haram. Sedang macan yang ada di belakangnya adalah macan jantan yang hendak menerkam macan betina tersebut.
Apabila ada wanita disuatu desa diketahui berzinah, maka terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh si-wanita itu, yaitu: menyembelih kambing untuk membersihkan rumah, kemudian sebelum kambing tersebut dipotong, maka orang tersebut harus dikucilkan dari desa ke suatu daerah lain atau di pegunungan. Kemudian apabila wanita tersebut mengandung dan melahirkan, maka harus menyembelih kerbau. Setelah persyaratan tersebut dilakukan, maka wanita tersebut dapat diterima di masyarakat kembali.
Air terjun Bidadari
Tidaklah mengherankan, mengapa Syuting Pembuatan Film “Si Pahit Lidah” yang terkenal itu mengambil setting di lokasi ini. Keindahan air terjun Bidadari memang menjadi daya tarik tersendiri. Selain menyajikan keindahan alam yang alami, lokasinya pun tidaklah terlalu sulit untuk dicapai. Air Terjun Bidadari terletak di desa Karang Dalam, kecamatan Pulau Pinang kurang lebih 8 km dari kota Lahat.
Di sekitar lokasi air terjun tersebut, ada 3 Air Terjun (Air Terjun Bujang Gadis, Air Terjun Sumbing dan air terjun Naga) lagi yang dapat dinikmati dengan menyusuri aliran dari Air Terjun Bidadari.
Dengan dipandu penduduk sekitar yang sudah mengenal daerah tersebut, pengunjung dapat menikmati keindahan 4 air terjun yang alami tersebut dan alam sekitarnya dengan menyusuri sepanjang aliran airnya. Pengunjung dapat mulai dari atas (air terjun Bidadari) sampai ke bawah (Air Terjun Naga), atau sebaliknya

ASAL MULA SUKU REJANG DI BENGKULU



Hanya Cerita
 Rejang Selayang Pandang
Oleh Rodes Medo
Accounting 2008 UMY
Sahdan pada zaman kerajaan raja-raja dari daerah pulau Jawa masih dalam masa kajayaannya. Semasa Palembang masih bernama Selebar Daun, Bengkulu masih bernama Sungai Serut, Rejang masih bernama Renah Sekelawi (sebelumnya bernama Pinang Belapis). Pada zaman itu raja adalah orang yang mempunyai turunan raja pula. Raja bukan sembarang raja, raja sakti, arif lagi bijaksana.
Karena di Pulau Jawa telah banyak kerajaan yang rajanya telah ada, maka sebagian turunan raja-raja itu merasa dirinya terhina bila tidak dapat jadi raja. Beberapa orang turunan raja itupun mencoba keluar dari pulau Jawa, dengan maksud mencari daerah yang akan diperintahnya. Mereka merejang kepulau Perca (Pulau Sumatra) untuk mencari daerah baru.
Bertahun tahun meraka merejang di daerah Pulau Perca, dan mereka telah tiba di daerah Tapus sekarang. Di sana Bitsu Bembo sebagai pelacak pertama menyatakan bahwa di sini suko dijadikan negerai (suka negeri ). Untuk menetapkan atau memberi apa nama negeri tersebut, maka dibuatlah satu pertapaan yang diberi kelambu. Setelah beberapa hari, kelambu itu dibuka, ternyata didalamnya tumbuh sebatang kayu yang namanya kayu Tapus, nah karena itu negeri atau tempat itu dinamakan TAPUS.
Bitsu Bembo berpesan pada saudara-saudaranya apabila ingin menyusulnya, telusurilah muara sungai yang paling deras muaranya. Bertahun lamanya mereka menyusuri sebuah sungai, barulah mereka bertemu dengan bitsu Bembo. Justru karena itu, maka sungai yang mereka susuri itu dinamakan sungai Ketahun (asal kata menaun).
Adalah mereka yang menyusul itu adalah Bitsu Bermano, bitsu Bejenggo, dan bitsu Sepanjang Jiwo. Bitsu-bitsu itu terpencar kebeberapa daerah, seperti bitsu Bermano di daerah Kutai Ukem (Kota Rukam) yang terletak di daerah Darmaga Tauris Danau Tes sekarang. Perlu kami nyatakan bahwa Danau Tes itu nama sebenarnya adalah BIYOA KETEBET (air ketebat). Tebat adalah kolam kata kita sekarang. karena air itu adalah kolam Si PAHIT LIDAH (MANTAKUN), dan temannya Si MATO EMPAT (ALI JENANG TIGAS).
Adapun tiga orang bitsu yang menyusul itu telah mempunyai daerah masing-masing, seperti bitsu Bermano mempunyai daerah Kutai Ukem. Bitsu Bejenggo mempunyai daerah Tubei atas tebing. Di daerah sebelah atas dari (pasar Muara Aman sekarang). Sedangkan bitsu Sepanjang Jiwo mempunyai daerah Batu Lebar Seguring, daerah Curup sekarang. peduduk pada masa itu belum Lancar berbahasa, dan lidahnya agak kaku, bitsu itu disebutnya BIKAU. Bukan bikoa, ada pula yang menyebutnya Rejang Bikoa, itu salah yang betulnya adalah Rejang turunan Bikau. Bikau adalah asal katanya dari bitsu. Bitsu adalah kiyai agama budha.
Pada waktu itu mereka sibuk mengurus daerah mereka masing-masaing, sehingga saling terpecahlah kesatuan mereka. Pada waktu itulah pada sebatang Benuang Sakti ditunggui oleh SIAMANG PUTIH. Anehnya Siamang Putih ini kemana ia menghadap di sana ditimpa bencana. Baik itu bencana penyakit, kebakaran dan sebagainya.
Mereka berusaha untuk mencegah hal ini, mereka mengadakan sidang musyawarah di tempat balik hati (baik atei) di daerah Lebong Simpang sekarang. tempat ini ditunggu oleh : 5 orang malim : 1. malim serubuk, 2. Malim Sedina, 3. Malim Sedu Royeak, 4. Malim Sumar Galung dan 5. Malim Lemo. Dan juga di sana ada pula 4 orang dayang, yaitu: 1. Dayang Tarok, 2. Dayang Turing, 3. Dayang Kecitang Tanuk Karo dan 4. Dayang Itam. Di samping dayang-dayang ada pula Rebiak 3 orang, yaitu : 1. Rebiak Mabuk, 2. Rebiak Merem, dan 3. Rebiak Guting Paras.
Hasil musyawarah mereka di sana ialah batang Benuang Sakti itu harus ditebang, Supaya Siamang Putih itu dapat dimusnahkan. Bikau Bembo selaku ketua mengurus penebangan itu, Dan penebangan pertama jatuh ke tangan bikau Bermano.
Bikau Bermano mengarahkan anak buahnya megapak kayu benuang itu. Seluruh anak buahnya turun tangan turut menebang kayu itu. Sehingga CIGAI MANAI (dalam arti telah penuh dengan kapaan) namun kesaktiannya kayu Benuang itu jangankan roboh, malah bertambah kokoh tegaknya. Bikau Bermano dan anak buahnya menyerah/ mengaku tidak dapat menebang kayu Benuang itu. Dengan kata-kata cigai manai daerahnya dinamakan Margo Manai (bermani). Yang berkedudukan di Kutai Ukem (Kota Rukam). Penduduknya berciri khas Sekoa Rucing.
Giliran kedua jatuh pula ke tangan bikau Bejenggo. Bikau Bejenggo berduyun-duyun mengajak anak buahnya untuk menebangnya. istilah berUBEI-UBEI (bergotong royong), namun hasilnya masih sama  dengan hasil bikau Bermano tadi. Dari kata ubei maka marganya dikataksn Margo Tubei. Penduduknya berciri khas KOOT ULAU KETOT.
Tiba pula giliran yang ketiga yaitu bikau Sepanjang Jiwo. Namun mereka ini secara UPUAK-UPUAK artinya berpayah payah mengerahkan segala tenaga yang ada untuk menebang Benuang itu. Namun hasilnya sama pula dengan hasil dua bikau sebelumnya.dengan istilah upuak upuak marganya dinamakan Margo Seluak (MARGA SELUPUH) sekarang yang berkedudukan di Batu Lebar Seguring di daerah Curup. Ciri khas penduduknya bermaneu ubep ubep (seolah olah ada yang akan di terkam). Ketiga bikau yang terdahulu semuanya mengaku tidak tertebang Benuang Sakti itu. Kini tiba gilirannya pada orang yang mengatur, harus pandai berbuat apa yang ia aturi. Jangan bisa mengatur saja. Ia harus bisa melaksanakan apa yang ia aturkan itu.
Bikau bembo kebingungan dibuatnya. bagaimana akan menumbangkan pohon Benuang Sakti yang selalu mendatangkan malapetaka itu. Andai hal ini tidak teratasi, kemungkinan seluruh wilayah akan menerima giliran musibah. Dalam keadaan termenung bikau Bembo seolah olah ada orang yang berbisik, semoga bikau Bembo membakar kemenyan, dan bersemendi (bertapa). Beliau melaksanakan pertapaan, memohon pada yang maha sakti dan pada yang maha agung, yang menguasai seluru alam jagat ini.
Dalam PERTAPAAN beliau  mendapat bisikan, bahwa pohon benuang ini mau roboh, bila digalang oleh PUTRI SEDARAH PUTIH adalah Putri Raja Perambanan. Perambanan adalah suatu kerajaan yang terletak di daerah Jawa Tengah.
Dengan harapan yang sedikit sekali akan berhasil, maka bikau Bembo berangkat ke Jawa Tengah menuju kerajaan Prambanan. Bermohon agar Raja Prambanan mengizinkan putrinya jadi penggalang.
Raja kerajaan Prambanan adalah raja yang arip lagi bijaksana, memperkenakan putrinya menjadi penggalang, Tetapi harus memenuhi beberapa syarat persyaratan itu antara lain :
1.       Putri Sedarah Putih tidak boleh cacat, misalnya jasmani ataupun rohaninya.
2.       Setelah menjadi penggalang harus dikembalikan kepangkuan ayahnya di kerajaan Prambanan.
3.       Andai kata Putri Sedarah Putih cacat bikau Bembo harus menanggung resikonya.

Putri Sedarah Putih dibonyong ke pulau Sumatera, ke daerah mereka. Setelah di daerah itu, mereka menggali lubang di sekitar pohon Benuang Sakti itu, tempat putri Sedarah Putih digulingkan. adapun lubang itu, dalamnya 7 hasta, lebarnyapun 7 hasta.
Setelah sesuatu yang harus dikerjakan telah beres atau selesai, maka bikau Bembo memulai menebang. Pohon Benuang Sakti itu memang betul roboh, tapi Siamang Putih itu raib entah kemana perginya. Putri Sedarah Putih segera dikeluarkan dari lubang itu. Mereka semua merasa gembira karena pohon benuang yang bermala petaka itu telah tiada. Telah musnah dan roboh. yang bisa dijadikan kayu yang berkeping.
Tapi anehnya putri Sedarah Putih itu hamil. Dengan rasa lesu bikau Bembo berangkat ke Prambanan mengembalikan putri Sedarah Putih. Di sana beliau mendapat caci maki yang bertubi-tubi. dan harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Maka bikau bembo harus kawin dengan putri Sedarah Putih.

Bikau Bembo adalah orang mencari penggalangan Benuang Sakti, dengan asal kata tukang galang maka daerahnya dinamakan Juru Kalang. Penduduknya berciri khas telunjuk miring. Banyak orang berpendapat bahwa turunan orang Juru Kalang tidak dimakan buaya. Sekarang antara Bermani dan Juru Kalang telah bersatu menjadi BERMANI JURU KALANG, yang terletak di Kecamatan Lebong Selatan Tes. (Arnoldyth Rodes Medo. FB : arodesmedo@gmail.com SKYPE : arnoldyth.rodes.medo)

ASAL USUL ORANG REJANG



Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti tentang masyarakat Rejang yang umumnya didasarkan pada Informasi-informasi dan cerita-cerita lisan turun-temurun dari orang-orang tua Rejang, karena tidak ditemuinya catatan tertulis, yang dapat dijadikan rujukan baik berupa manuskrip atau prasasti maupun catatan-catatan pribadi para pemimpin zaman dahulu atau orang tertentu dari nenek moyang orang Rejang. Seperti antara lain Jhon Marsden yang merupakan seorang serjana inggeris pada tahun 1779 M yang menulis buku dengan judul “The History Of Sumatera”, 

kemudian Mohammad Hoesein yang merupakan putra Asli Rejang dari anak pangeran Kota Donok Lebong pada tahun 1960-1966 M yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan, dimana dituangkan dalam naskah yang berjudul “Tembo dan Adat Rejang Tiang IV”. 
Tak hanya itu DR hazairin Putra Bengkulu pada tahun 1932 dalam rangka penyusunan Desertasinya yang berjudul “De Rejang” yang kemudian dibukukan oleh M.A YAspan seorang serjana Australia dari Australia National University yang mengadakan penelitian pada tahun 1961-1963, yang dituangkan dalam bukunya “From Patriliny To Matriliny, Structural Change Amongst The Rejang Of Southwest Sumatera” serta yang paling terahir Prof DR Richard Mc Ginn, yang merupakan Guru Besar Ohio University, USA.

Namun dari keempat penelitian tersebut tidak ada satupun yang menyimpulkan secara konkrit tentang asal mula dari mana datangnya nenek moyang Suku Rejang, akan tetapi secara umum mengindikasikan suku rejang berasal dari india belakang (Semenanjung Vietnam) karena berdasarkan kepada teori tentang asal usul nenek moyang bangsa indonesia adalah para manusia perahu dari india belakang yang mencari daerah baru kepulauwan nusantara pada abat ke 2 M yang berlayar dari pantai barat sumatera, dan mereka menduduki sungai ketahun kemudian menetap dilebong yang waktu itu bernama Renah Sekelawi-pinang belapis, akan tetapi secara jelas, keempat penelitian tersebut hanya menyimpulkan bahwa orang Rejang berasal dari empat kelompok manusia yang ada di daerah Lebong yang mula-mula dipilih oleh para Ajai.

Sedangkan penelitian yang terahir oleh Prop DR Richard Mc Ginn tahun 2006 menyimpulkan bahwa asal usul orang Rejang adalah daerah Tonkin Indochina, (India Belakang) yang sekitar 1200 tahun yang lalu melalui Kalimantan mereka pindah ke sumatera, pada waktu itu, mereka berlayar menuju serawak (Kalimantan Utara) dan sebagian menetap disana hingga sekarang keturunan mereka masih tetap berbahasa Rejang, dan disana juga ada sebuah sungai yang bernama sungai Rejang. Dari sana mereka berlayar melalui pulau Bangka dan Belitung, menuju memudiki sungai Musi kemudian menyimpang ke kanan memudiki sungai rawas hingga ke daerah yang paling hulu, sebagian ada yang tinggal di sana, terahir mereka memudiki sungai rawas dan menuju Gunung Hulu Tapus sehingga menetap disana.
Teori yang diungkapkan oleh oleh Prop DR Richard Mc Ginn tahun 2006 ini ternyata sama dengan apa yang dicerita-cerita oleh orang tua Rejang bahwa nenek moyang Orang Rejang pertama kali tinggal di sekitar danau besar di Gunung Hulu Tapus. (salah satu naskah tentang ini masih disimpan oleh Bapak Rattama, yang merupakan Imam Desa Suka Kayo Kabupaten Lebong).
Suatu Realitas, bahwa 7 desa Rejang di KEcamatan BErmani Ulu Rawas Kaupaten Musi Rawas, Yaitu Desa Kuto Tanjung, Desa Napal Licin, Desa Sosokan, Kelurahan Muara Kulam (Ibu kota Kecamatan) Desa Muara Kuwis (dekat Dengan desa Embong utara kecamatan Lebong Utara), Desa sendawar dan desa Karang Pinggan, yang merupakan salah satu bukti kebenaran teori di atas yang menyatakan bahwa “sebagian dari mereka ada yang tinggal di Rawas”.
Diperkirakan, setelah melewati masa yang lama mereka tinggal di dekar sebuah danau yang besar tersebut, anak keturunan mereka turun ke dataran rendah tapus di sebuah dusun Suka Negeri (sekarang) kemudian keturunan mereka menyebar dan akhirnya terdiri dari empat kelompok yang menetap di dusun, masing-masing dipimpin oleh Ajai. Empat kelompok inilah yang menjadi cikal bakal Rejang Tiang Empat lima Raja, yang sangat terkenal dalam nama Tembo Rajo.
Terima kasih atas tulisan ini, mohon izin saya share di blog tunsadeite.blogspot.com

Menapak Jejak Sejarah Suku Rejang



Perjalan untuk mendokumentasikan
huruf-hurus kuno rejang (huruf ka ga nga) sebenarnya   sudah lama saya lakukan yaitu    pada bulan   Januari-Febuari 2008. Bersama dengan teman-teman Gekko Studio    kami berangkat ke Bengkulu.
Dengan  menggunakan mobil hiline long sasis  yang kami  beli di Bali pada bulan desember tahun lalu kami berangkat menuju Bengkulu, Tepatnya  Bengkulu Utara  kampung halamanku.

Kami sengaja membeli mobil sendiri biar puas untuk muter-muter Bengkulu dan kedepannya jikalau ada perjalanan yang areanya masih sekitar jawa dan sumatera kami bisa menggunakan kendaraan sendiri biar lebih hemat. Hemat, belajar dari pengalaman disaat kita membuat sebuah film dokumenter tentang impact perkebunan sawit terhadap anak suku dalam di Jambi. Kami harus merental mobil hiline ini dengan harga 400 ribu perhari. Lumayankan kalo kita sewa selama 10 hari lebih plus BBM-nya.
Di Bengkulu selain membuat film dokumenter tentang keterancaman gajah sumatera yang ada di Bengkulu kami juga menyempatkan diri untuk berangkat ke Kabupaten Lebong dan Curup untuk survey mengenai keberadaan tulisan rejang (huruf ka ga nga) dan sejarahnya. Perjalanan ini juga merupakan perjalanan ritualku karena akan menelusuri sejarah persebarang suku rejang yaitu suku saya sendiri. Selama ini saya yang terlahirkan dari keturuanan asli rejang saya tidak pernah tahu sejarah persebarannya. Norak ngga ya :)
Tulisan ini adalah saya kembangkan dari hasil wawancara dengan Pak Salim, salah satu tokoh adat yang ada di Desa Topos, Kabupaten Lebong. Salah satu kampung tertua yang ada di Lebong yang terletak di hulu sungai ketahun. Karena saya terlebih dahulu harus mencatat hasil-hasil wawancaranya disela-sela rutinitas yang ada dan sekaligus mencoba untuk mentransletnya (berhubung wawancaranya menggunakan bahasa rejang), jadi yah beginilah jadi lama saya menulisnya ke blog ini. Hasil-hasil wawancara ini saya coba rangkai dan kembangkan agar enak dibaca. Mohon maaf jikalau nanti bahasanya masih ada yang kaku dan lompat-lompat serta ada beberapa bahasa yang tidak mampu saya terjemahkan.

Sejarah Rejang
Asal mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu menurut cerita nenek mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) adalah pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena  mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba' Atas.
Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinangyang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneubeneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.
Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.
Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal.  Diantara dari tujuh Rio tersebut  dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:
1.       Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh
2.       Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape
3.       Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang
4.       Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara

Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.

Cara Adat Rejang yang sudah menghilang
Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara ini, suku rejang juga memiliki adat dan budaya dalam melakukan beberapa kegiatan ataupun upacara adat. Salah satunya adalah cara untuk menikahkan anak dan adat untuk membayar nazar jikalau kita ingin membayar nazar atau hutang. Cara yang dilakukan adalah memakai sesajen untuk berkomunikasi dengan pada arwah-arwah atau penghulu-penghulu kita yang sudah pergi. Kita memberi tahu jika kita ingin membayar nazar aatu ingin mengadakan pernikahan anak kita. Sesajen ini biasanya dengan menyertakan ayam yang dalam bahasa rejangnya disebut mono' biing.
Pada zaman dahulu, sebelum memakai benih untuk menanam harus mengundang benih terlebih dahulu, yang disebut bekejai binia'. Benih ini ditaroh didalam tadeu (sejenis keranjang yang terbuat dari rotan atau bambu). Ngekejai (belum jelas apa/siapa ngekejai) memanggil malaikat jibril, israfil, mikail dan juga para dewa. Jika jumlah benih yang ada didalem tadeu semakin banyak jumlahnya berarti ada harapan hasil panen akan banyak dan ada rezeki nantinya. Namun jika benihnya tidak bertambah banyak jumlahnya mungkin pertanda hasil ladang kita tidak akan maksimal hasilnya. Jika ingin memotong bambu itu bagi orang rejang ada pantangannya, begitu juga jika ingin membuka hutan. Jika kita ingin membuka hutan kita harus menabeues, menyatakan maksud kita kepada yang menjaganya. tanea' talai istilahnya, tukang ngembalo tanea' dunionyo (penjaga tanah di dunia ini). Tuhan tidak hanya menurunkan sesuatu ke bumi ini tanpa ada yang menjaganya. Jika kita ingin membuka lahan disuatu area tersebut kita tancapkan sebuah pancang. Jika diarea yang kita beri tanda tidak menyahut atau ada pertanda yaitu misalnya berupa binatang mati atau berupa darah, berarti kita harus membatalkan niat kita untuk membuka lahan disana dan pertanda bukan rezeki kita disana, melainkan tanda bala' yang memanggil kita.
Dalam menanam padi, jika terdapat hama dalam tanaman tersebut seperti hama pianggang, senangeuw, luyo atau luyang dalam bahasa rejannya, mereka membasmi dengan memakai daun sirih dengan cara menyemburkan air daun sirih tersebut sewaktu sore hari menjelang maqrib. Dalam tiga kali semburan dalam waktu senja hama itu bisa pergi. Dengan kekuasaan Tuhan mahkluk ini bisa pergi. Pada zaman itu tidak mengenal pestisida ataupun racun. Karena mereka percaya, jika niat kita jelek untuk membasmi mahkluk Tuhan, maka timbal baliknya adalah bencana. "Sebab niat kita mau membasmi mahkluk Tuhan, sedangkan cara adat itu di jampi, nidau kalo dalam bahasa rejang, disusur darimana asalnya, baliklah ke tempat asalnya" terang pak salim kepadaku karena sekarang sudah banyak yang menggunakan racun pestisida dalam membasmi hama.
Jika orang rejang ingin membuat rumah untuk tempat tinggal, terlebih dahulu mereka memilih jenis kayunya. Misalnya kayu meranti, kayu semalo, kayu medang. Cara untuk mengambil kayu tersebut pun ada aturan adatnya, yaitu jika tumbangnya mengarah ke kepala air atau mengarah mata air, atau menusuk ke leko' itu tidak boleh diambil. Itu tandanya celaka dalam arti kita sebagai orang rejang. Rumah yang sudah kita bangun dan setelah kita huni kita akan jatuh sakit ataupun meninggal dunia. Meninggal dalam artian bukan karena rumah tersebut, tapi karena celaka atau musibah, banyak masalah yang datang. Kemungkinan hidup kita akan susah setelah itu karena kayu yadi membawa bencana. Bagusnya dalam membangun rumah adalah jika kayu yang kita ambil tumbangnya mengarah ke desa atau kampung. "Inilah 100% sebagai tanda-tanda yang bagus untuk kita membangun rumah" ungkap pak salim.
Sebelum adanya masa orde baru atau Rezim Suharto, ditanah rejang masih dikenal dengan sistem kepemimpinan yang dipimpin oleh Kepalo Banggo (Kepala Marga) atau raja bagi masyarakat rejang. Kepala Marga memegang dua pernanan, yaitu menjalankan roda pemerintahan dan juga menjalankan sistem-sistem adat yang ada karena dialah raja dari adat. Antara tahun 1977-1978 kepala marga ditanah rejang dihapus dan digantikan dengan sistem pemerintahan yang ada yaitu camat, kepala desa dan turunannya. Kepala marga diganti dengan Camat. Setelah  sistem kepala marga diganti, masyarakat adat seperti ayam kehilangan induknya. Banyak cara-cara adat yang sudah tidak diterapkan lagi dan budaya-budaya serta kearifan lokal perlahan memudar. Orang-orang pemerintahan tidak paham dan mengerti akan cara-cara adat. Dan disebutkan bahwa inilah awal dari kehancuran budaya dan adat istiadat rejang yang ada sekarang ini.
Hilangnya adat istiadat, hilangnya budaya asli rejang juga memudarkan sebuah ajaran rejang mengenai pegong pakeui. Saat ini berbagi sudah tidak mau lagi sama banyak, menimbang tidak mau sama berat, menakar sudah tidak mau lagi sama rata. Siapa yang berkuasa dan gagah itulah yang memegang kekuasaan. Manusia dalam berprilaku sudah tidak terkontrol lagi yang akhirnya mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri.
"Itulah penyebab yang mendatangkan banjir, karena manusia membabi buta dalam membuka hutan. Tidak mengikuti aturan lagi, tebing dibuat lahan, nah itulah barangkali hutannya bakal rusak. Kalau zaman saya hingga bapak saya keatas, zaman nenek saya tidak pernah rusak. Dijamin tidak ada yang rusak hutannya" tegas pak salim yang membuat saya kagum akan semua penjelasan beliau.
Amisar Amin