Perjalan untuk mendokumentasikan
huruf-hurus kuno rejang (huruf ka ga nga) sebenarnya sudah lama saya lakukan yaitu pada bulan Januari-Febuari 2008. Bersama dengan teman-teman Gekko Studio kami berangkat ke Bengkulu.
Dengan menggunakan mobil hiline long sasis yang kami beli di Bali pada bulan desember tahun lalu kami berangkat menuju Bengkulu, Tepatnya Bengkulu Utara kampung halamanku.
huruf-hurus kuno rejang (huruf ka ga nga) sebenarnya sudah lama saya lakukan yaitu pada bulan Januari-Febuari 2008. Bersama dengan teman-teman Gekko Studio kami berangkat ke Bengkulu.
Dengan menggunakan mobil hiline long sasis yang kami beli di Bali pada bulan desember tahun lalu kami berangkat menuju Bengkulu, Tepatnya Bengkulu Utara kampung halamanku.
Kami sengaja membeli mobil sendiri biar puas untuk muter-muter Bengkulu dan kedepannya jikalau ada perjalanan yang areanya masih sekitar jawa dan sumatera kami bisa menggunakan kendaraan sendiri biar lebih hemat. Hemat, belajar dari pengalaman disaat kita membuat sebuah film dokumenter tentang impact perkebunan sawit terhadap anak suku dalam di Jambi. Kami harus merental mobil hiline ini dengan harga 400 ribu perhari. Lumayankan kalo kita sewa selama 10 hari lebih plus BBM-nya.
Di Bengkulu selain membuat film dokumenter tentang
keterancaman gajah sumatera yang ada di Bengkulu kami juga menyempatkan diri
untuk berangkat ke Kabupaten Lebong dan Curup untuk survey mengenai keberadaan
tulisan rejang (huruf ka ga nga) dan sejarahnya. Perjalanan ini juga merupakan
perjalanan ritualku karena akan menelusuri sejarah persebarang suku rejang
yaitu suku saya sendiri. Selama ini saya yang terlahirkan dari keturuanan asli
rejang saya tidak pernah tahu sejarah persebarannya. Norak ngga ya :)
Tulisan ini adalah saya kembangkan dari hasil
wawancara dengan Pak Salim, salah satu tokoh adat yang ada di Desa Topos,
Kabupaten Lebong. Salah satu kampung tertua yang ada di Lebong yang terletak di
hulu sungai ketahun. Karena saya terlebih dahulu harus mencatat hasil-hasil
wawancaranya disela-sela rutinitas yang ada dan sekaligus mencoba untuk
mentransletnya (berhubung wawancaranya menggunakan bahasa rejang), jadi yah
beginilah jadi lama saya menulisnya ke blog ini. Hasil-hasil wawancara ini saya
coba rangkai dan kembangkan agar enak dibaca. Mohon maaf jikalau nanti
bahasanya masih ada yang kaku dan lompat-lompat serta ada beberapa bahasa yang
tidak mampu saya terjemahkan.
Sejarah Rejang
Asal mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu
menurut cerita nenek mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat
Topos) adalah pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada
masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji
Siang, lima
tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat
orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang.
Karena mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya
mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer,
Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo
Permani, manai menurut
istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan
Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang
bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba'
Atas.
Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah
falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong
pakeui, adat cao beak nioa pinangyang berartikan adat yang berpusat
ibarat beneu. Bertuntun
ibarat jalai (jala
ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak
asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu ini
satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau
menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan
jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka
berada.
Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang
sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita
menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama
banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo
beneug, amen betakea
samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama
berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.
Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat
kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk
dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus,
Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok
Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar
persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio
ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang
pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini
memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat
tinggal. Diantara dari tujuh Rio
tersebut dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:
1. Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air
Keruh
2. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape
3. Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar
Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang
4. Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan
Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara
Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku
Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima
marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada
yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak
orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk
kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia'
piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui
ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah
lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka
percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang
lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang
Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah
menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.
Cara
Adat Rejang yang sudah menghilang
Seperti halnya dengan
suku-suku lain yang ada di nusantara ini, suku rejang juga memiliki adat dan
budaya dalam melakukan beberapa kegiatan ataupun upacara adat. Salah satunya
adalah cara untuk menikahkan anak dan adat untuk membayar nazar jikalau kita
ingin membayar nazar atau hutang. Cara yang dilakukan adalah memakai sesajen
untuk berkomunikasi dengan pada arwah-arwah atau penghulu-penghulu kita yang
sudah pergi. Kita memberi tahu jika kita ingin membayar nazar aatu ingin
mengadakan pernikahan anak kita. Sesajen ini biasanya dengan menyertakan ayam
yang dalam bahasa rejangnya disebut mono' biing.
Pada zaman dahulu,
sebelum memakai benih untuk menanam harus mengundang benih terlebih dahulu,
yang disebut bekejai binia'. Benih ini ditaroh didalam tadeu (sejenis
keranjang yang terbuat dari rotan atau bambu). Ngekejai (belum
jelas apa/siapa ngekejai) memanggil malaikat jibril, israfil, mikail dan juga
para dewa. Jika jumlah benih yang ada didalem tadeu semakin banyak
jumlahnya berarti ada harapan hasil panen akan banyak dan ada rezeki nantinya.
Namun jika benihnya tidak bertambah banyak jumlahnya mungkin pertanda hasil
ladang kita tidak akan maksimal hasilnya. Jika ingin memotong bambu itu bagi
orang rejang ada pantangannya, begitu juga jika ingin membuka hutan. Jika kita
ingin membuka hutan kita harus menabeues, menyatakan maksud kita
kepada yang menjaganya. tanea' talai istilahnya, tukang ngembalo tanea'
dunionyo (penjaga tanah di dunia ini). Tuhan tidak hanya
menurunkan sesuatu ke bumi ini tanpa ada yang menjaganya. Jika kita ingin
membuka lahan disuatu area tersebut kita tancapkan sebuah pancang. Jika diarea
yang kita beri tanda tidak menyahut atau ada pertanda yaitu misalnya berupa
binatang mati atau berupa darah, berarti kita harus membatalkan niat kita untuk
membuka lahan disana dan pertanda bukan rezeki kita disana, melainkan tanda
bala' yang memanggil kita.
Dalam menanam padi,
jika terdapat hama dalam tanaman tersebut
seperti hama pianggang, senangeuw,
luyo atau luyang dalam bahasa rejannya,
mereka membasmi dengan memakai daun sirih dengan cara menyemburkan air daun
sirih tersebut sewaktu sore hari menjelang maqrib. Dalam tiga kali semburan
dalam waktu senja hama
itu bisa pergi. Dengan kekuasaan Tuhan mahkluk ini bisa pergi. Pada zaman itu
tidak mengenal pestisida ataupun racun. Karena mereka percaya, jika niat kita
jelek untuk membasmi mahkluk Tuhan, maka timbal baliknya adalah bencana.
"Sebab niat kita mau membasmi mahkluk Tuhan, sedangkan cara adat itu di
jampi, nidau kalo
dalam bahasa rejang, disusur darimana asalnya, baliklah ke tempat asalnya"
terang pak salim kepadaku karena sekarang sudah banyak yang menggunakan racun
pestisida dalam membasmi hama.
Jika orang rejang ingin
membuat rumah untuk tempat tinggal, terlebih dahulu mereka memilih jenis
kayunya. Misalnya kayu meranti, kayu semalo, kayu medang. Cara untuk mengambil
kayu tersebut pun ada aturan adatnya, yaitu jika tumbangnya mengarah ke kepala
air atau mengarah mata air, atau menusuk ke leko' itu tidak boleh
diambil. Itu tandanya celaka dalam arti kita sebagai orang rejang. Rumah yang
sudah kita bangun dan setelah kita huni kita akan jatuh sakit ataupun meninggal
dunia. Meninggal dalam artian bukan karena rumah tersebut, tapi karena celaka
atau musibah, banyak masalah yang datang. Kemungkinan hidup kita akan susah
setelah itu karena kayu yadi membawa bencana. Bagusnya dalam membangun rumah
adalah jika kayu yang kita ambil tumbangnya mengarah ke desa atau kampung.
"Inilah
100% sebagai tanda-tanda yang bagus untuk kita membangun rumah"
ungkap pak salim.
Sebelum adanya masa
orde baru atau Rezim Suharto, ditanah rejang masih dikenal dengan sistem
kepemimpinan yang dipimpin oleh Kepalo Banggo (Kepala Marga) atau raja bagi
masyarakat rejang. Kepala Marga memegang dua pernanan, yaitu menjalankan roda
pemerintahan dan juga menjalankan sistem-sistem adat yang ada karena dialah
raja dari adat. Antara tahun 1977-1978 kepala marga ditanah rejang dihapus dan
digantikan dengan sistem pemerintahan yang ada yaitu camat, kepala desa dan
turunannya. Kepala marga diganti dengan Camat. Setelah sistem kepala
marga diganti, masyarakat adat seperti ayam kehilangan induknya. Banyak
cara-cara adat yang sudah tidak diterapkan lagi dan budaya-budaya serta
kearifan lokal perlahan memudar. Orang-orang pemerintahan tidak paham dan mengerti
akan cara-cara adat. Dan disebutkan bahwa inilah awal dari kehancuran budaya
dan adat istiadat rejang yang ada sekarang ini.
Hilangnya adat
istiadat, hilangnya budaya asli rejang juga memudarkan sebuah ajaran rejang
mengenai pegong pakeui. Saat ini berbagi sudah tidak mau lagi sama banyak,
menimbang tidak mau sama berat, menakar sudah tidak mau lagi sama rata. Siapa
yang berkuasa dan gagah itulah yang memegang kekuasaan. Manusia dalam
berprilaku sudah tidak terkontrol lagi yang akhirnya mendatangkan bencana bagi
manusia itu sendiri.
"Itulah penyebab yang mendatangkan banjir, karena
manusia membabi buta dalam membuka hutan. Tidak mengikuti aturan lagi, tebing
dibuat lahan, nah itulah barangkali hutannya bakal rusak. Kalau zaman saya
hingga bapak saya keatas, zaman nenek saya tidak pernah rusak. Dijamin tidak
ada yang rusak hutannya" tegas pak salim yang membuat saya
kagum akan semua penjelasan beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar