Minggu, 21 September 2008

KORTE MEDEDELING

KORTE MEDEDELING
(Prof MA Jaspan Collections in The University)
at Friday, July 18, 2008
G. E. Marrisgn
Profesor MA Jaspan’s Collections in the University Ofhull.
Mervyn Jaspan was born in Johannesburg in 1926. He did anthropological
fieldwork in South and East Africa, leading to his Oxford B.Sc. in 1951.
From 1955 to 1961 he had appointments in Indonesia, and from 1961 to
1967 in Australia: from 1961 to 1964 he held a Research Fellowship at
the Australian National University, Canberra, in the course of which he
did fieldwork among the Rejang of southern Sumatra from 1961 to 1963,
leading up to his Ph.D. thesis for the ANU: From patriliny to matriliny:
Structural change among the Redjang of Southwest Sumatra, 1964. In 1967, he was appointed Visiting Professor of Anthropology and Sociology in the University of Leiden. From 1968 till his death.in 1975, Professor Jaspan was Director of the Centre for South-East Asian Studies in the University of Huil. During that period, he was working on two major projects: Theory andpractice of traditional medicine in South-East Asia, and a study of the Literature of South Sumatra, including Rejang oral literature and the South Sumatran Malay texts as preserved in the ka-ga-nga or rencong script: this latter work was begun in collaboration with Dr. P. Voorhoeve, who withhis wife and other helpers transliterated into Roman script^ large number of these texts.
Professor Jaspan presented a small number of South-East Asian Manu-
scripts to the Brynmor Jones Library, University of Huil. After his death,
a large collection of his working papers were deposited in the Library, and others were held by the Centre for South-East Asian Studies. Part of the library holdings are briefly described in M.C. Ricklefs and P. Voorhoeve:
Indonesian manuscripts in Great Britain (OUP, 1977), and in the sup-
plement to that work in BSOAS 45/2,1982, pp. 300-22., but there is much more awaiting cataloguing, including a further deposit of Jaspan's papers which will be placed in the Brynmor Jones Library shortly.
The collection contains over 800 items, most of which are typed or written by Jaspan. Nearly half are texts in languages of South-East Asia, rendered in the Roman script. The most substantial part is the Rejang Archive, which includes hand-written field notes, and typescripts of Rejang oral texts and of notes and short essays on various aspects of Rejang anthropology, together numbering over 200 items. There are also 145 South Sumatran Malay texts, some which he collected, but most are copies of transliterations made by Dr. Voorhoeve. Other linguistic materials include Cham traditional texts collected from villages on the Mekong in Cambodia, 1966-7, and notes, mostly of medical interest, in the dialect of Sagada, from the Bontoc Igorot region of northern Luzon. There are smaller numbers of items relating to Java, northern Sumatra, Malaysia and
Page 3
152
Korte Mededeling the Khmer, and some Indonesian texts from other hands relating to local affairs. There are other copies of some of the language texts in the Leiden University Library: Dr. Voorhoeve's original transliterations of South Sumatran Malay texts are at Cod.Or.8447, and a selection of Rejang folk tales from Jaspan's collection are at Cod.On 18.154. Jaspan 'sMaterials for a Rejang-Indonesian-EngUsh dictionary were edited from papers in Huil by Dr. P. Voorhoeve, and published by the Department of Linguistics, Rejang search School of Pacific Studies, Australian National University, Canberra, 1984. Since the beginning of 1987,1 have been cataloguing Professor Jaspan's collections in Huil with help and advice from Mrs. Helen
Jaspan, Dr. Voorhoeve, and members of Huil University Staff, and arran-
gements are in hand for this to be published by the Centre for South-East Asian Studies, University of Huil, probably in 1989.
Ulverston 15 February 1988

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan
(Dokumentasi Oliver)2008-06-09, at Monday, June 09, 2008
Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau groote stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika merasa dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian.
Soal pantun di kalangan suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun.
Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19):

Memoeti ombak di ratau Kalaun
Patang dan pagi tida berkala
Memoeti boenga di dalam Kobong
Sa tangkei sadja jang menggila.

Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi:

Parang bumbam di seberang
pohon di hela tiada karoean
Boelan pernama niatalah benderang
Sayangnia lagi die sapoer awan.


http://afandri81.wordpress.com/2007/12/10/8/#comment-32008-06-08
at Sunday, June 08, 2008, Edit and retype by Taneakjang Admin

DAFTAR NAMA GUBERNUR BENGKULU

DAFTAR NAMA GUBERNUR BENGKULU

Head of Communications: press wikimedia.org
Phone : +1 415-839-6885
If leaving a message, please ensure you provide all necessary calling details to ensure a reply to your call.
We also have local contacts throughout the world. Find a Wikimedian.
(We get a large number of calls; email is always a better first option. Please note: We do not wish to receive any press release or newsletter, nor any documentation about your organization. For specific questions regarding the content of one of our projects, please email info-en wikimedia.org, or visit Wikipedia:Contact us.)


Daftar gubernur Bengkulu
No. Nama Dari Sampai Keterangan
1. Ali Amin
1968
1974
2. Abdul Chalik
1974
1979
3. Suprapto
1979
1989
4. H. A. Razie Yahya
1989
1994
5. Adjis Ahmad
1994
1999
6. Hasan Zein
1999
29 November 2005
7. AgusrinMaryono Najamuddin
29 November 2005
sekarang

Harus Didukung oleh Semua Pihak

Harus Didukung oleh Semua Pihak
Keinginan mewujudkan Lebong, Provinsi Bengkulu, sebagai kabupaten konservasi adalah pekerjaan besar dan strategis yang harus didukung semua pihak. Agar dapat direalisasikan secara konkret, harus ada payung hukum agar saat pelaksanaannya tidak terjadi benturan di lapangan.
”Payung hukum yang kita harapkan itu harus dikeluarkan pemerintah pusat, tidak sekadar peraturan daerah. Kabupaten konservasi memiliki cakupan luas. Dalam pelaksanaan di lapangan, nantinya akan bersentuhan dengan berbagai kepentingan beberapa institusi dan lembaga di luar Pemerintah Kabupaten Lebong itu sendiri,” kata Bupati Lebong, Dalhadi Umar, menjawab pertanyaan Kompas di Muara Aman, ibu kota Lebong, pekan lalu.
Menurut Dalhadi, ide menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi pada dasarnya terkait dengan kondisi geografis dan ketersediaan lahan budidaya di daerah ini.
Dari luas wilayah Lebong yang mencapai sekitar 192.924 hektar, sekitar 70% di antaranya terdiri atas hutan lindung, cagar alam, dan areal Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Khusus areal TNKS yang berada di wilayah Lebong luasnya mencapai sekitar 117.000 hektar.
”Jika melihat ketersediaan lahan yang layak untuk budidaya, Lebong hanya memiliki sekitar 30 persen saja. Sisanya merupakan kawasan hutan yang semestinya tidak boleh disentuh dan digarap. Menyadari akan terbatasnya lahan budidaya tersebut, maka kami usulkan Lebong ini menjadi kabupaten konservasi,” ujar Dalhadi Umar.
Dia mengemukakan, untuk mewujudkan kabupaten konservasi tersebut memang tidaklah mudah. Apalagi di tingkat daerah sendiri masih ada pro dan kontra. Di satu pihak ada yang mendukung, tetapi di lain pihak juga ada yang tidak setuju.
”Sebagai bupati saya tidak akan mundur dan merasa optimistis kabupaten konservasi bisa direalisasi. Meskipun dirasakan sebagai pilihan yang dilematik, kabupaten konservasi tetap menjadi alternatif paling tepat, guna menyelamatkan wilayah Lebong dari ancaman degradasi lingkungan yang parah di masa datang,” ujarnya.
Semua pihak
Menurut Dalhadi Umar, Lebong sebagai kabupaten konservasi tidak akan bisa diwujudkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebong sendiri. Obsesi ini harus didukung semua pihak, terutama berbagai institusi yang menangani langsung kawasan hutan di daerah ini.
Dalhadi memberi contoh soal keberadaan beberapa kawasan hutan di daerah itu. Hutan lindung dan cagar alam yang ada di Lebong ditangani Departemen Kehutanan.
Adapun TNKS ditangani oleh Kepala Balai yang berkedudukan di Sungaipenuh, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Sementara di lapangan, ribuan hektar hutan lindung dan areal TNKS tersebut kini justru sudah berubah menjadi areal perladangan, yang digarap masyarakat secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.

Berbagai kepentingan
”Atas dasar itulah, kami minta agar pemerintah pusat segera membuat payung hukum yang jelas dan tegas. Ini penting agar berbagai kepentingan di lapangan tidak berbenturan. Di satu pihak, misalnya, Balai TNKS menganggap para peladang dan petani penggarap harus dikeluarkan dari hutan itu,” ujar Dalhadi.
Akan tetapi, di pihak lain, seperti Pemkab Lebong sendiri menganggap jika para peladang dikeluarkan begitu saja dari sana malah akan menimbulkan masalah sosial. (zul)

DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong

Dikembalikan ke DPR
DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong
Anggota DPD asal Bengkulu, Muspani mengusulkan agar penyelesaian sengketa batas wilayah antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara dikembalikan kepada DPR, sebagai pembuat undang-undang pembentukan kedua kabupaten tersebut.
“Timbulnya sengketa itu, karena adanya tumpang tindih antara dua UU, yakni UU darurat No 4 tahun 1956 tentang pembentukan kabupaten di Sumatera Bagian Selatan yang menjadi dasar pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara dan UU No 39 tahun 2003, tentang pembentukan Kabupaten Lebong dan Kepahiang,” katanya di Bengkulu, Rabu.
Dalam UU darurat No 4 tahun 1956 dijelaskan kalau Kecamatan Giri Mulya masuk ke wilayah Bengkulu Utara, sementara berdasarkan UU No 39 tahun 2003, Giri Mulya masuk ke Lebong, kemudian namanya diubah menjadi Kecamatan Padang Beno.
Masalah tersebut timbul, karena UU No 39 tidak mencabut UU darurat No 4 itu, khususnya mengenai status Kecamatan Giri Mulya (Padang Beno).
Karena itu, klaim Bengkulu Utara atas wilayah tersebut sah karena memang sesuai UU, demikian juga dengan pengakuan Lebong yang mengaku kecamatan itu masuk wilayahnya benar kerena juga berdasarkan UU.
“Karena masalahnya ada pada uU, maka sebaiknya diserahkan kembali pada pembuat UU, tidak bisa hanya diselesaikan di daerah,” katanya.
Musapani juga menyerankan, agar bupati dari kedua kabupaten dapat menahan diri, dengan tidak melakukan kegiatan pembanguna di wilayah yang masih disengketakan.
Ia juga mengaku khawatir kalau masalah itu berlarut-larut dan tetap diupayakan penyelesaian di daerah akan menimbulkan konflik fisik antar masyarakat seperti yang terjadi pada masalah batas antara Rejang Lebong dengan Kepahiang.
Paska pemekaran wilayah di Provinsi Bengkulu, menyisahkan konflik perbatasan yakni antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara, Kepahiang-Rejang Lebong, Seluma-Bengkulu Selatan dan Kaur dengan Bengkulu Selatan.
Penyelesaiaan persoalan batas yang berlarut-larut telah memicu bentrokan yang berunjung pembacokan yang dilakukan oleh Kepala Desa Durian Depun SF dan anaknya No terhadap Ketua BPD Zulkarnain.
Peristiwa itu terjadi, Senin (22/1) sekitar pukul 15.30 WIB, dan berawal dari keinginan korban bersama sekitar 200 warga dari enam desa yang berada di perbatasan untuk memasang batas wilayah di pinggir sungai Ka.
Namun, ketika mereka akan menurunkan papan tapal batas dari atas truck, tiba-tiba muncul SF dan No, dengan parang terhunus mereka langsung mengejar Zulkarnain dan terjadilah pembacokan itu.
Ia juga menjelaskan, masalah batas Rejang Lebong-Kepahiang kini sudah diserahkan ke DPR, dan kemungkinan besar akan dilakukan perubahan terhadap UU No 39 tahun 2003.
Kebupaten Lebong dan Kepahiang merupakan pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. (kpl/rit)

Budaya ‘Kedurei Agung’ Lebong akan Jadi Agenda Wisata


Budaya ‘Kedurei Agung’ yang menjadi tradisi masyarakat Kabupaten Lebong, mulai tahun ini akan dibakukan untuk menjadi agenda wisata tahunan, karena peringatannya sama meriahnya dengan peringatan Tabot di Kota Bengkulu, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebong Drs Yustin Hendri.
Ketika ditanya di Bengkulu, Jumat (15/2), ia menjelaskan, ‘Kedurei Agung’ merupakan tradisi sakral dan peminatnya sudah cukup banyak, budaya itu biasanya digelar jika ada musibah sebagai tolak balak.
Namun ke depan kendati tak ada bencana, budaya itu tetap akan diperinggati secara rutin, hari dan waktunya masih dalam pembahasan Badan Musyawarah Adat setempat.
Dalam acara ‘Kedurei Agung’ itu biasanya digelar berbagai tarian adat (tari Kejei) dan lomba puisi bahasa Lebong, dengan hadiah menarik. Jika sudah dibakukan peringatan hari ‘Kedurei Agung’ itu akan lebih dibuat meriah.
Kalau selama ini peringatan hari budaya Lebong itu hanya dihadiri oleh para tokoh masyarakat, tahun depan akan mengundang para pejabat baik lokal maupun nasional sehingga lebih meriah.
Yustin mengatakan, untuk mendukung kegiatan budaya Kedurei Agung dan pembenahan beberapa obyek wisata di Kabupaten Lebong, sekarang tengah dilatih sekitar 14 klub sanggar seni yang melibatkan putri-putri cantik asli Lebong.
Para anak sanggar itu mulai tahun ini secara rutin berlatih di beberapa obyek wisata andalan antara lain di kawasan Danau Tes, air panas, dan air terjun di Sungai Putih serta pada kawasan Lobang Kacamata eks
pertambangan emas Belanda.
Budaya ‘Kedurei Agung’ merupakan acara sakral yang masih terpendam, namun cukup menarik, dan hanya diperingati satu kali dalam setahun.
‘Kedurai Agung’ selama ini dipercayai warga sebagai acara tolak balak jika terjadi musibah, seperti banjir, tanah longsor yang menelan korban jiwa, supaya ke depan tidak terulang, karena itu diperingati secara adat.
Menurut dia, pada tahun anggaran 2008 ini, Dinas Pariwisata Lebong juga mulai menawarkan beberapa lokasi wisata alam, tambang dan kawasan hutan belantara asli yang masih hijau, dengan target mendatangkan 100 ribu pengunjung wisatawan lokal dan nusantara. (Ant/OL-03)

Warga Hanya Dituntut Menjaga Keutuhan Hutan

Warga Hanya Dituntut Menjaga Keutuhan Hutan
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas
Permintaan warga di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat tidak muluk-muluk. Warga hanya ingin di desanya dibangun irigasi sehingga lahan telantar milik mereka di luar taman nasional dapat ditanami padi dua kali. Jika itu terwujud, merambah hutan tidak akan mereka lakukan lagi. Perambahan cukup sampai di lokasi sekarang ini.
Kami tidak akan merambah lagi. Buat apa? Kalau lahan bisa ditanami padi dua kali, penghasilan dari sawah pasti cukup, ujar Dodi, warga Kampung III, Desa Talang Donok, Kecamatan Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1,4 juta hektar, wilayahnya terdapat di empat provinsi, yaitu Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Jambi. Taman nasional ini adalah yang terluas di Sumatera.
Warga Talang Donok hanyalah salah satu warga desa di sekitar TNKS yang berharap di desanya dibangun irigasi. Sebagian warga desa itu, seperti diakui oleh Kepala Desa Talang Donok, Muslich, selama ini memang hidup dengan merambah hutan.
Mereka menanam nilam dan tanaman lain seperti sayuran di lahan TNKS atau hutan lindung di sekitarnya. Mereka tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup.
Di desa ini ada sekitar 500 hektar lahan tidur milik warga yang bisa ditanami padi kalau ada irigasi. Sekitar 500 hektar lahan tidur lain di desa-desa tetangga juga bisa diairi. Warga Talang Donok dan desa tetangga saya pastikan tidak akan masuk dan membuka hutan lagi karena kebutuhan hidup bisa dicukupi dari tanaman padi, papar Muslich.
Warga Desa Seblat Ulu di Kecamatan Lebong Utara juga berharap sama. Mereka ingin pemerintah atau lembaga mana pun, termasuk TNKS, membantu membangun irigasi untuk mengairi 200 hektar lahan tidur di desa itu. Selama ini, seluruh warga desa yang terdiri atas 20 keluarga mengandalkan hidup dengan membuka hutan TNKS di sebelah desa untuk menanam nilam dan tanaman lain.
Seluruh warga desa ini merambah hutan TNKS. Kami tidak bisa berbuat lain karena lahan yang seharusnya bisa ditanami padi telantar karena tidak bisa diairi. Kami berharap dibangun irigasi di desa kami, papar Muhajir, Kepala Desa Seblat Ulu.
Kebutuhan irigasi di desa-desa di sekitar TNKS diakui Bupati Lebong Dalhadi Umar. Menurut dia, jika ada bantuan pembangunan irigasi tentu warga tidak akan merambah hutan lagi. Mereka akan bisa hidup dari tanaman padi atau palawija di tanah milik mereka sendiri.
Di Desa Talang Donok, warganya sudah lama berharap bantuan irigasi. Mereka berjanji tidak akan merambah hutan lagi jika lahan mereka bisa ditanami padi, ucap Dalhadi.
Untuk membangun irigasi dengan membendung sungai yang melintas di desa-desa itu, tentu membutuhkan biaya tidak sedikit. Pemerintah daerah tidak mampu memenuhi keinginan itu terlebih lagi untuk Lebong yang baru berdiri sendiri sebagai daerah otonom dua tahun lalu.
Bantuan dari lembaga lain, termasuk badan-badan dunia yang menaruh perhatian terhadap pelestarian hutan paru-paru dunia, sangat dinantikan.
Selama bantuan yang dapat meningkatkan taraf hidup warga sekitar taman nasional belum terwujud, jangan harap hutan bisa terus terjaga. Demi perut, hutan akan terus dirambah dan juga ditebang secara liar. Akibat aksi-aksi ilegal tersebut, kerusakan hutan di Indonesia terus terjadi dan beberapa tahun ini kian parah.
Terpaksa merambah
Degradasi hutan di Indonesia memang kian parah. Setiap tahun dua juta hektar lebih hutan lenyap akibat ditebang orang- orang yang tidak bertanggung jawab dengan masa depan, termasuk nasib anak cucu mereka kelak.
Penebangan liar atau illegal logging dan perambahan hutan tak kunjung dapat dihentikan, bahkan ketika pemerintah gencar melakukan penertiban belakangan ini. Sebagian manusia yang rakus terus mengoyak hutan untuk mencari keuntungan besar sesaat. Sebagian lain melakukannya dengan terpaksa, juga atas nama nasib anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Kami terpaksa merambah hutan untuk menanam nilam. Kalau tidak begitu, dari mana saya mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarga. Tanah saya tidak bisa ditanami padi karena tidak ada air yang bisa mengairi, ujar Arpan, warga Desa Seblat Ulu.
Seblat Ulu adalah salah satu desa dari 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, salah satu hutan warisan dunia. Desa itu hanya bisa dijangkau dengan susah payah, baik dengan berjalan kaki selama tiga jam hingga empat jam dari desa terakhir yang bisa dijangkau mobil, atau dengan menggunakan ojek sepeda motor.
Seluruh warga desa yang berjumlah 120 keluarga telah lama hidup dengan merambah TNKS. Mereka menanam sayuran, dan tiga tahun ini nilam untuk menghidupi keluarga masing-masing. Tidak ada pilihan lain karena lahan milik warga di desa tidak bisa ditanami.
Warga Seblat Ulu dan juga Talang Donok adalah contoh dua desa 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, atau bagian dari 346 desa yang punya keterkaitan dengan TNKS. Mereka merambah hutan TNKS sekadar untuk membuka lahan dan menanam sayuran atau apa saja, yang hasilnya dapat dijual atau dikonsumsi untuk keluarga.
Paru-paru dunia
Warga desa-desa di sekitar TNKS dan taman nasional lain, seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Lampung dan Bengkulu, selalu dituding sebagai salah satu biang keladi kerusakan paru-paru dunia tersebut. Bersama para penebang liar yang hanya mencari kayu-kayu yang dapat dijual, para perambah selalu dipojokkan sebagai pelaku perusakan hutan.
Sudah lama warga dituntut pula agar turut menjaga taman nasional. Akan tetapi, apa yang bisa mereka lakukan jika bantuan untuk hidup mereka tak kunjung terwujud? Lantas ke mana mereka mengajukan bantuan tersebut selain kepada pemerintah daerah?
Saya tidak tahu apakah bisa meminta bantuan selain ke pemda (pemerintah daerah). Kalau ke pemda saya sudah berkali-kali mengajukan agar di sini dibangun irigasi, tetapi belum ada tanda-tanda terwujud, ujar Muslich pula.
Syamsul Bahri, Koordinator Pemangkuan Data TNKS, mengungkapkan, warga di sekitar TNKS sebenarnya bisa mengajukan permintaan batuan, tetapi tidak melalui pemerintah.
Bisa melalui lembaga swadaya masyarakat lokal, dan kami dari TNKS nanti menyalurkannya ke lembaga-lembaga donor. Disetujui atau tidak bantuan itu, tergantung lembaga donor tersebut, paparnya.
Kepala Seksi TNBBS wilayah Krui, Achmad Sutardi menyebutkan pula, pihaknya pernah menyalurkan permohonan bantuan warga ke lembaga donor melalui LSM tersebut. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar ada permohonan yang dipenuhi.
Selain proyek ICDP (Integrated Conservation Development Project) di TNKS yang berakhir tahun 2002, rakyat yang bermukim di sekitar memang tidak mendapatkan apa-apa, selain hidup dengan lingkungan alam nan permai. Akan tetapi, jika kebutuhan perut belum terpenuhi, mereka pun bisa berbuat apa saja termasuk merambah hutan.
Potensi tambang
Kondisi itu pun dialami pemerintah daerah yang sebagian wilayahnya berada di dalam taman nasional. Kabupaten Lebong di Provinsi Bengkulu adalah salah satunya. Tujuh puluh persen dari wilayah Lebong seluas 192.924 hektar berada di dalam TNKS. Bayangkan, bagaimana kami bisa membangun daerah, ungkap Dalhadi Umar, Bupati Lebong.
Padahal, di dalam TNKS sana, potensi tambang yang besar begitu menggoda Pemerintah Kabupaten Lebong. Jika saja deposit tambang—terbesar emas—bisa digali, niscaya akan mampu menambah pendapatan asli daerah. Dari uang itulah sebagian pembangunan daerah (PAD) akan dibiayai.
Sebagai salah satu daerah yang juga akan diusulkan menjadi kabupaten konservasi, Lebong tentu saja harus turut serta menjaga TNKS. Dalhadi pernah menyatakan komitmen Pemkab Lebong untuk secara aktif menjaga paru-paru dunia TNKS tersebut.
Tidak ada ampun bagi para pencuri kayu, mereka harus diberantas. Saya menyebut mereka bukan penebang liar tetapi pencuri kayu, ujar Dalhadi.
Akan tetapi, tekadnya itu tentu saja akan menjadi sebuah dilema karena pemkab tidak bisa berbuat apa-apa untuk menambah PAD dari potensi tambang di dalam TNKS. Oleh karena itu, Dalhadi minta perhatian pemerintah pusat, melalui kerja sama antardepartemen, untuk mencarikan jalan keluar. Apalagi selama ini kompensasi atas peran daerah ikut menjaga taman nasional belum ada.
Misalnya, perlu dicarikan teknologi, bagaimana penambangan tetap bisa dilakukan dengan tidak merusak hutan, ujarnya menambahkan.
Bagaimana akhir dari berbagai persoalan itu, tinggal menunggu waktu. Namun, apa pun masalah yang ada, tentu saja tidak harus menabrak kepentingan lebih besar, yaitu tetap terjaganya paru-paru dunia seperti TNKS, TNBBS, taman nasional lain, dan hutan lindung di Tanah Air.
Di sisi lain, upaya menjaga kelestarian alam pun harus dipikirkan bersama oleh umat manusia di Bumi ini, termasuk mengikutkan rakyat yang hidup di sekitar taman nasional.
Bukankah Bumi milik bersama? Jika Bumi tidak dijaga dan dibiarkan terus rusak, niscaya akan berbuah musibah besar yang akan merugikan banyak manusia. (jos/iam)
Lebong Perlu Payung Hukum
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas

Kabupaten Konservasi Tak Diperhatikan

Kabupaten Konservasi Tak Diperhatikan
September 2, 2007 oleh lebong , Kompas
Pemerintah Kabupaten Lebong, Bengkulu, yang merupakan kabupaten konservasi, mendesak pemerintah pusat memberikan kompensasi terhadap upaya daerah untuk menjaga konservasi hutan. Selama ini daerah itu dituntut untuk menjaga hutan, tetapi tak ada arahan atau kompensasi dari pemerintah pusat untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
Ketua Komisi II DPRD Lebong, Affan Jauhari, Selasa (10/4), mengatakan, hingga kini tidak ada bantuan apapun yang diterima Kabupaten Lebong. Padahal, sejak menjadi kabupaten konservasi tahun lalu, pemerintah kabupaten dituntut untuk melestarikan kawasannya.
Dia mempersoalkan UU No 33/ 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang dinilai tidak mengayomi kabupaten konservasi. Undang-undang itu hanya mengatur dana bagi hasil pemerintah pusat dan daerah terhadap ekspolitasi sumber daya alam. Namun, tidak ada kompensasi terhadap daerah yang menjaga kelestarian sumber daya alam.
“Padahal, pemerintah kabupaten konservasi juga harus mencari dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Ironisnya, upaya memelihara kelestarian hutan butuh biaya yang sangat besar, baik untuk pengamanan maupun sosialisasi agar masyarakat tidak merambah hutan,” kata Affan.
Ia mengkhawatirkan minimnya perhatian itu justru akan mendorong kabupaten konservasi untuk mengeksploitasi alam guna meningkatkan pendapatan daerah. Padahal, kelestarian hutan yang dirusak akan sangat membahayakan keseimbangan lingkungan.
Dari 198.000 hektar luas wilayah Kabupaten Lebong, sekitar 138.600 hektar atau 70 persen di antaranya merupakan kawasan konservasi. Dari luas areal konservasi itu, 15 persen merupakan hutan lindung, cagar alam 5 persen, dan 80 persen termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sementara itu, sekitar 90 persen penduduk wilayah itu hidup dari bertani.
“Pemerintah harus memberi panduan dan perhatian kepada kabupaten konservasi untuk mengelola lingkungan, tanpa mengabaikan pendapatan dan pembangunan,” katanya. (lkt)

Bumai Pat Petulai

BUMAI PAT PETULAI
Link: http://antonegypt.mutiply.com
Tentang Rejang
Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu.Suku rejang diyakini berasal dari kerajaan maja pahit dan kemudian menyebar sampai ke daerah Lebong, kepahiang, sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan.
Suku rejang terbanyak menempati Kabupaten rejang Lebong dan kab. sekitarnya yang kini memekarkan diri menjadi kabupaten Rejang Lebong(induk), Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatra lainnya dengan bahasa Rejang. Suku Rejang menempati Bengkulu Utara, Lebong dan di kabupaten Rejang Lebong. Suku ini merupakan terbesar di provinsi Bengkulu.
Jika mengacu pada sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan istilah lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni

Dialek Lebong

Versi RMG Oleh Sabidin Ishak, Muara Aman
Adé ba duai basuak ngén si Matai Pat. Si Matai Pat yo, gén ne tun madeak si Matai Pat adé ba si temuan matai nak tukuk duai. Tapi kalaw tun kemliak matai ne o, kunai keuak coa ketén kerno si tenabaw ngen buk. Buk ne o ba kalaw si lok mengeliak si dapet maket. Ijai si, si Matai Pat yo, ting”ea ne nak daéra Pagar Ruyung. Uak si yo sebenea ne. Ijai si Matai Pat yo, si ijai rajo nak daéra Pagar Ruyung. A, do'o ba cerito si Matai Pat yo.
Pado do waktaw bilai si unu yo, si Dileak Pét yo, si yo lok menea Lebong yo jijai laut. Si lok menea Lebong yo jijay laut mako ba si mogoa makut pitok ngen musung. Terus si musung pitok. Do'o ba si becécér ba pitok yo menjijai Gunung Bukit Barisan. Gunung Bukit Barisan antaro gunung Bukit Barisan o adé ba benamo Gunung Sepikul. Gunung Sepikul yo kalaw padeak kémé pio adé ba Tebo Pabes ngén Tebo Tepuk. Nak pucak Tebo Tepuk o adé ba kes ne temot lok mengéwéa. Ijai waktaw si lok tembet nak Tungang, nak bioa unu, Tungang, Ulaw Du'es Tungang, si dong makut pitok nak unu Gunung Sepikul yo nano.
Jijai tun teko madeak, adé tun teko madeak, "Oi unu si Pait Dileak. Uku yo adé kelok ngen ko dié. Bedan ba kileak makut pitok o.
"Jano kelok nu?" padeak si Pait Dileak. "Uku adé sajai peting nien, utuk nu peting. Jano si peting?" padeak si Pait Dileak.
"Cerito yo kerno uku yo neluak tun magea ko, anok nu nak dasei matei."
"A, coa anok ku matei, a. Uleak ku kulo matei," padeak si Pait Dileak."
"Matei nien," padeak tun o. "Anok nu matei."
"A, coa, uleak kulo anok ku matei?" Si sakit coa, jano ngami udi madeak anok ku matei?"
A, jijai terus ba si beduai o sam“ut jawap. Padeak ne, si bi jengik ngen tun o. Tapi do'o si madeak, "Matei nien anok ku?"
A mako padeak semanei o, "Matei!"
A, temi'uk awei o bélék ba si moi umeak ne. A, si bélék moi umeak ne betemaw anok ne matei nien, saingo Gunung Sepikul o ba, di ati jijai. Si maket lok moi metis nak Tungang, bioa jano diyo nano, ulaw Du'es yo. A do'o ba gén ne Gunung Sepikul. Coa jijai si metis dan coa jijai ijai laut. Kalaw si metis do'o mako nenuak Lebong uyo, nenuak Cu'up yo, coa adé tingea manusio mako jijai laut.
A, si bélék. A si bélék o ba. Si Pait Dileak kemliak anok ne matei. Dan si coa jijai menea laut nak Lebong yo. A, sudo do'o, si bukti mako nadeak, Tebo Tepuk nak Gunung Sepikul yo nak das o adé penan datea. Penan datea dan adé butaw, butaw o penan ne temot. Penan ne temot si mengéwéa, mengéwéa ngen buluak pe'ing. Buluak pe'ing. Si mengéwéa kundei Tebo Tepuk. Penan ne mengéwéa nak Daneu Tés. Keuak ne mindi, coa ite nam madeak ke'uak, tapi waktaw o gén ne tun sidai, jolok ne tun beilmau. Aaa, di ba penan ne si mengéwéa o kundei Tebo Tepuk dan si mengéwéa nak Danaw Tés. Bies ne o adé gén ne buluak pe'ing, ataw padeak kémé pio buluak pe'ing kulo. A jijai do'o ba mako kémé madeak si o benamo Tebo Tepu.
Jijai pado suatu bilai si Matai Pat dapet kabar, sepasuak ne o si Pait Dileak adé gén ne tun madeak si Pait Dileak, gén ne tun jemolok si Pait Dileak. Mako tun jemolok si Pait Dileak. Jano gén nadeak ne pasti jijai, kecuali si midup barang gi matei, o coa jijai. Senupeak ne tun jijai butaw mako jijai butaw. Aaa, do'o ba si bejolok si Pait Dileak.
Ijai, ahir ne si o betemaw nak sadei Topos, gén ne daéra sadei Topos si betemaw duai basuak o. Si lok mujai ilmau, kegerot ilmaw ne duai basuak o. Si lok mujai gén ne si Pait dileak yo gén si Pait Dileak.
Ijai padeak si Matai Pat, "Wei! Pait Dileak, tun madeak ko si Pait Dileak. Uku adé ba si Matai Pat, uku gerot kulo, uku adé ba rajo nak daéra Pagar Ruyung, a. Ko adé ba rajo nak daéra Rejang Lebong. Jijai o uyo ite temrai kesidai te. Uyo api te dute. Ite kemnék pun nau. Sapei nak das o ite saling tejun. Kalaw uku tejun, ko temungaw nak beak," padeak si Matai Pat. "Kalaw ko tejun uku temungaw nak beak." Jijai ba si cerito ne o si Matai Pat yo.
Padeak si Pait Dileak, "Ko baé si Matai Pat! Ko tidoa dute nak beak, bé uku temjun ko kunei das pun nao o." A jijai o si meguling ba si Matai Pat nak beak o menukup. Jijai si Matai Pat menukup, tejun ba si Pait Dileak kunei das o. Aaa, si Pait Dileak tejun kunei das o. Mako waktaw si Pait Dileak tejun, dong melayang nak das, anu, si Matai Pat yo gemuling awok ne, melilai, mako coa si keno tenjun kunai si Pait Dileak.
Jijai o padeak si Matai Pat, "Uku coa keno tenjun nu. Ku'ang ko sidai. Uyo uku kulo temjun ko."
Jijai ngen adé ne o mako si coa keno si Matai Pat yo. Matai ne adé nak tukuk. Do'o si coa keno, laaa...dan si coa matei.
Aaa, sudo do'o dapet gilia ne, gilia ne yo. Si Pait Dileak tidoa menukup, mako tejun ba si Matai Pat. Si Pait Dileak coa dapet kemliak bawa tun tejun. Tejun, tepelat ba donok kedong ne saingo keno nak tumbuk ulaw jatung ne dan atei ne. Tegegea jatung ne, putus nyabai ne, putus. Matei ba si Pait Dileak.
Jijai si Pait Dileak matei, mako betawai ba tekarak-karak si Matai Pat yo. Si menang, beartai si sidai.
Tapi sudo do'o, si, kerno kebangaan ne si menang, si lok cemubo kemcep jano asai dileak Pait Dileak yo. Tun madeak si dileak ne yo, unu, pét. Jano si pét nien, jano si coa? Mako si, si gemulék si Pait Dileak dan si cubo menget ujung dileak nei didik. Si menget ujung dileak ne, mako matei ba kulo si Matai Pat. Kerno kepét dan kesidai kundei pado dileak si Pait Dileak mako matei ba si duai o.
Uyo kubua ne amen coa saleak adé nak Topos. Adé tun madeak nak daéra Pagar Ruyung. Do'o coa ku taw nien.
Do'o ba cerito ne. 2008-02-28