Minggu, 21 September 2008

Lebong Rawan Longsor

Lebong Rawan Bencana
Lebong merupakan kawasan rawan bencana. Selain banjir dan tanah longsor, ancaman lainnya adalah gempa bumi. Soalnya, berdasarkan keterangan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Cabang Bengkulu, Bambang Purbiantoro, Lebong berada di lintasan patahan Sumatera.
Berdasarkan keterangan yang kita peroleh, Lebong sering menjadi pusat gempa karena patahan Sumatera yang melintas di Provinsi Bengkulu berdekatan dengan Lebong, terang Ketua PMI (Palang Merah Indonesia) Lebong, H Rusdi Mahmud SKM.
Terkait hal itu, lelaki yang juga menjabat sebagai Kadisdinkes Lebong itu mengharapkan masyarakat waspada. Hanya saja masyarakat tak perlu panik dan takut.
Sementara itu, kategori rawan bencana banjir dan longsor, lanjut Rusdi, mencakup hampir setengah wilayah pemukiman masyarakat. Dari total desa/kelurahan yang berjumlah 77, 38 desa/keluruhan masuk kategori tersebut. Pengkategorian tersebut berdasarkan pengalaman bencana yang telah terjadi dan pertimbangan kondisi geografis dan topografis. Terletak di daerah perbukitan yang sebagian besar berada diatas 1000 m dpl (di atas permukaan laut) serta memiliki kemiringan lebih dari 40 derajat.
Status tersebut ditetapkan sebagai langkah untuk meningkatkan kewaspadaan kita dalam mengantisipasi dan menanggulanginya. Intinya, kami berharap masyarakat bisa lebih waspada, kata Rusdi.
Dikatakan Rusdi, sejauh ini pihaknya sudah melatih 30 orang anggota KSR yang dipersiapkan sebagai tenaga sukarela yang handal. Sehingga, apabila terjadi bencana alam maka anggota KSR lah harus yang lebih proaktif memberikan bantuan pada warga.
Anggota KSR yang dilatih merupakan representasi dari setiap kecamatan. Sengaja dipilih seperti itu, supaya jalur komunikasi dan koordinasi yang dilakukan bisa efektif dan efisien, kata Rusdi. (467)
//grafiss

Nama Desa/Kelurahan Rawan Longsor dan Banjir
Desa/Kelurahan Status
1.Tanjung Agung Rawan Longsor
2.Danau Rawan Longsor
3.Atas Tebing Rawan Longsor
4.Talang Leak I Rawan Banjir
5.Talang Leak II Rawan Banjir
6.Bungin Rawan Banjir Bandang
7.Ujung Tanjung I Rawan Banjir
8.Ujung Tanjung II Rawan Banjir
9.Talang Ratu Rawan Longsor
10.Sukasari Rawan Longsor
11.Kota Donok Rawan Longsor
12.Mangkurajo Rawan Longsor
13.Tes Rawan Longsor
14.Tik Kuto Rawan Longsor
15.Rimbo Pengadang Rawan Longsor
16.Tanjung Rawan Banjir
17.Talang Donok Rawan Banjir
18.Tapus Rawan Longsor
19.Suka Negeri Rawan Longsor
20.Bandar Agung Rawan Banjir Bandang
21.Limau Pit Rawan Banjir
22.Taba Seberang Rawan Banjir
23.Seblat Ulu Rawan Longsor
24.Katenong I Rawan Banjir Bandang
25.Katenong II Rawan Banjir Bandang
26.Talang Bunut Rawan Banjir
27.Bentangor Rawan Banjir
28.Garut Rawan Banjir
29.Kota Agung Rawan Banjir
30.Kota Baru Rawan Banjir
31.Embong Uram Rawan Banjir
32.Lemeu Rawan Banjir
33.Ladang Palembang Rawan Longsor
34.Lebong Tambang Rawan Longsor
35.Talang Ulu Rawan Longsor
36.Kampung Dalam Rawan Longsor
37.Kampung Gandung Rawan Longsor
38.Lebong Donok Rawan Banjir

Lebong akan Berlakukan Hukum Adat Atasi Kerusakan Hutan

Lebong akan Berlakukan Hukum Adat Atasi Kerusakan Hutan
Hukum adat Rejang yang pernah diberlakukan para leluhur puluhan tahun silam akan kembali diterapkan untuk mengatasi kerusakan hutan di Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Upaya Pemkab setempat untuk mengatasi kerusakan hutan terus dilakukan, namun jika hukum adat diterapkan diharapkan akan lebih ampuh, kata Kepala Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lebong Drs Yustin Henri ketika dihubungi, Kamis.
Pada saat Kabupaten Lebong masih tergabung dalam Kabupaten Rejang Lebong saat itu masyarakat masih menganut aturan yang diberlakukan oleh Pasirah, termasuk menebang kayu di kawasan hutan.
Oleh karena itu, hukum adat Rejang dirasakan masih relevan diterapkan untuk mencegah kerusakan hutan mengingat Kabupaten Lebong sebagian besar wilayahnya mer4upakan kawasan hutan yang perlu dilindungi.
Hukum adat Rejang itu saat ini sedang diseminarkan kepada para kepala desa, kemudian akan dibakukan menjadi peraturan daerah (Perda) sekaligus untuk mendukung rencana Lebong dijadikan salah satu kabupaten konservasi.
Yustin menjelaskan, pada era Pasirah (kepala pemerintahan) setiap warga yang ingin menebang kayu dalam kawasan hutan harus izin dulu ke petugas pemerintahan dan kemudian disetujui oleh Pasirah atau Pangeran.
Katagori kayu yang ditebang itu juga diatur dan bukan kayu yang berada pada kawasan hutan penyangga daerah aliran sungai, tapi sebuah pohon yang aman dari gangguan lingkungan.
Pada saat itu setiap pohon yang ditebang harus ada penggantinya minimal lima pohon, karena areal bekas rubuhan kayu itu cukup luas.
Bila hukum adat ini bisa dibakukan dan diterapkan, Yustin yakin praktik pencurian kayu (ilegal logging) dan perambahan akan bisa diatasi.
Sementara kerusakan kawasan hutan yang sudah cukup memprihatinkan di daerah itu, juga bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila seluruh masyarakat dan perangkat pemerintahannya sudah sepakat.
Bupati lebong Drs Dalhadi Umar sebelumnya mengatakan, kerusakan kawasan hutan di Kabupaten Lebong sampai saat ini sudah mencapai 40 persen (54.000 Ha) dari kawasan hutan seluruhnya tercatat 134.845 Ha.
Kerusakan kawasan hutan itu terdiri atas hutan cagar alam, hutan lindug dan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kerusakan itu antara lain akibat perambahan masyarakat dan pencurian kayu.
Warga penggarap umumnya berada di sekitar kawasan hutan dan mayoritas miskin, untuk mencari nafkah sehari-hari tak ada jalan lain dengan menebang kayu dan merusak hutan.
Luas Kabupaten Lebong seluruhnya tercatat 192.424 Ha, sekitar 70 persen di antaranya merupakan kawasan hutan yang terdiri atas hutan lindung dan cagar alam, sedangkan hutan TNKS mencapai 117.000 Ha.
Melihat kondisi demikian, kata Bupati, daerah itu sejak dua tahun lalu diusulkan menjadi kabupaten konservasi. (*)
adebachtiar2000@yahoo.de adebachtiar2000@yahoo.de

Lebong Donok

Lebong Donok at 1910
Kemasyuran Kota Muara Aman sebagai Batavia Kecil memang tak di ragukan. Inilah kawasan sekitar Batavia kecil yaitu Lebong Donok yang ramai di abadikan pada tahun 1910 oleh Circa. Muara Aman kini hanya ibu kota Kabupaten baru yang sangat jauh dari kemegahannya di masa lampau. Semoga photo-photo ini dapat memberi cerminan ke masa sekarang, agar Kota kecil Muara Aman bisa sejajar dengan kota lain seperti masa lalunya.

Lebong Tandai Gold Mining at 1910 photos
Lebong Tandai at 1910
Photo - photo Puncak Kejayaan Tambang Emas di Lebong Tempo Dulu
Lebong Tambang Sawah
The Forgetable Big Gold Mining in Present
Photo- Photo Puncak Kejayaan Tambang Emas Tambang sawah Tempo Dulu
photo taken around year 1905-1930

Tambang Sawah Gold Mining.
Present at Rejang Land, the Lebong area famous with Big Gold mining in History. Such as Tambang Sawah at Muara Aman Town, this photo tell us how modern the mining in the era but for now, we can not found the mining any more. So thats way i call the place "the forgetable big gold mining".
Where is the Rejang Land? Rejang Land in past tense part of the resident Benkoelen, and now Rejang Land are to be part Province Bengkulu, especially Rejang-Lebong region and nearby, in Sumatera Island, Indonesia.

KORTE MEDEDELING

KORTE MEDEDELING
(Prof MA Jaspan Collections in The University)
at Friday, July 18, 2008
G. E. Marrisgn
Profesor MA Jaspan’s Collections in the University Ofhull.
Mervyn Jaspan was born in Johannesburg in 1926. He did anthropological
fieldwork in South and East Africa, leading to his Oxford B.Sc. in 1951.
From 1955 to 1961 he had appointments in Indonesia, and from 1961 to
1967 in Australia: from 1961 to 1964 he held a Research Fellowship at
the Australian National University, Canberra, in the course of which he
did fieldwork among the Rejang of southern Sumatra from 1961 to 1963,
leading up to his Ph.D. thesis for the ANU: From patriliny to matriliny:
Structural change among the Redjang of Southwest Sumatra, 1964. In 1967, he was appointed Visiting Professor of Anthropology and Sociology in the University of Leiden. From 1968 till his death.in 1975, Professor Jaspan was Director of the Centre for South-East Asian Studies in the University of Huil. During that period, he was working on two major projects: Theory andpractice of traditional medicine in South-East Asia, and a study of the Literature of South Sumatra, including Rejang oral literature and the South Sumatran Malay texts as preserved in the ka-ga-nga or rencong script: this latter work was begun in collaboration with Dr. P. Voorhoeve, who withhis wife and other helpers transliterated into Roman script^ large number of these texts.
Professor Jaspan presented a small number of South-East Asian Manu-
scripts to the Brynmor Jones Library, University of Huil. After his death,
a large collection of his working papers were deposited in the Library, and others were held by the Centre for South-East Asian Studies. Part of the library holdings are briefly described in M.C. Ricklefs and P. Voorhoeve:
Indonesian manuscripts in Great Britain (OUP, 1977), and in the sup-
plement to that work in BSOAS 45/2,1982, pp. 300-22., but there is much more awaiting cataloguing, including a further deposit of Jaspan's papers which will be placed in the Brynmor Jones Library shortly.
The collection contains over 800 items, most of which are typed or written by Jaspan. Nearly half are texts in languages of South-East Asia, rendered in the Roman script. The most substantial part is the Rejang Archive, which includes hand-written field notes, and typescripts of Rejang oral texts and of notes and short essays on various aspects of Rejang anthropology, together numbering over 200 items. There are also 145 South Sumatran Malay texts, some which he collected, but most are copies of transliterations made by Dr. Voorhoeve. Other linguistic materials include Cham traditional texts collected from villages on the Mekong in Cambodia, 1966-7, and notes, mostly of medical interest, in the dialect of Sagada, from the Bontoc Igorot region of northern Luzon. There are smaller numbers of items relating to Java, northern Sumatra, Malaysia and
Page 3
152
Korte Mededeling the Khmer, and some Indonesian texts from other hands relating to local affairs. There are other copies of some of the language texts in the Leiden University Library: Dr. Voorhoeve's original transliterations of South Sumatran Malay texts are at Cod.Or.8447, and a selection of Rejang folk tales from Jaspan's collection are at Cod.On 18.154. Jaspan 'sMaterials for a Rejang-Indonesian-EngUsh dictionary were edited from papers in Huil by Dr. P. Voorhoeve, and published by the Department of Linguistics, Rejang search School of Pacific Studies, Australian National University, Canberra, 1984. Since the beginning of 1987,1 have been cataloguing Professor Jaspan's collections in Huil with help and advice from Mrs. Helen
Jaspan, Dr. Voorhoeve, and members of Huil University Staff, and arran-
gements are in hand for this to be published by the Centre for South-East Asian Studies, University of Huil, probably in 1989.
Ulverston 15 February 1988

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan
(Dokumentasi Oliver)2008-06-09, at Monday, June 09, 2008
Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau groote stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika merasa dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian.
Soal pantun di kalangan suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun.
Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19):

Memoeti ombak di ratau Kalaun
Patang dan pagi tida berkala
Memoeti boenga di dalam Kobong
Sa tangkei sadja jang menggila.

Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi:

Parang bumbam di seberang
pohon di hela tiada karoean
Boelan pernama niatalah benderang
Sayangnia lagi die sapoer awan.


http://afandri81.wordpress.com/2007/12/10/8/#comment-32008-06-08
at Sunday, June 08, 2008, Edit and retype by Taneakjang Admin

DAFTAR NAMA GUBERNUR BENGKULU

DAFTAR NAMA GUBERNUR BENGKULU

Head of Communications: press wikimedia.org
Phone : +1 415-839-6885
If leaving a message, please ensure you provide all necessary calling details to ensure a reply to your call.
We also have local contacts throughout the world. Find a Wikimedian.
(We get a large number of calls; email is always a better first option. Please note: We do not wish to receive any press release or newsletter, nor any documentation about your organization. For specific questions regarding the content of one of our projects, please email info-en wikimedia.org, or visit Wikipedia:Contact us.)


Daftar gubernur Bengkulu
No. Nama Dari Sampai Keterangan
1. Ali Amin
1968
1974
2. Abdul Chalik
1974
1979
3. Suprapto
1979
1989
4. H. A. Razie Yahya
1989
1994
5. Adjis Ahmad
1994
1999
6. Hasan Zein
1999
29 November 2005
7. AgusrinMaryono Najamuddin
29 November 2005
sekarang

Harus Didukung oleh Semua Pihak

Harus Didukung oleh Semua Pihak
Keinginan mewujudkan Lebong, Provinsi Bengkulu, sebagai kabupaten konservasi adalah pekerjaan besar dan strategis yang harus didukung semua pihak. Agar dapat direalisasikan secara konkret, harus ada payung hukum agar saat pelaksanaannya tidak terjadi benturan di lapangan.
”Payung hukum yang kita harapkan itu harus dikeluarkan pemerintah pusat, tidak sekadar peraturan daerah. Kabupaten konservasi memiliki cakupan luas. Dalam pelaksanaan di lapangan, nantinya akan bersentuhan dengan berbagai kepentingan beberapa institusi dan lembaga di luar Pemerintah Kabupaten Lebong itu sendiri,” kata Bupati Lebong, Dalhadi Umar, menjawab pertanyaan Kompas di Muara Aman, ibu kota Lebong, pekan lalu.
Menurut Dalhadi, ide menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi pada dasarnya terkait dengan kondisi geografis dan ketersediaan lahan budidaya di daerah ini.
Dari luas wilayah Lebong yang mencapai sekitar 192.924 hektar, sekitar 70% di antaranya terdiri atas hutan lindung, cagar alam, dan areal Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Khusus areal TNKS yang berada di wilayah Lebong luasnya mencapai sekitar 117.000 hektar.
”Jika melihat ketersediaan lahan yang layak untuk budidaya, Lebong hanya memiliki sekitar 30 persen saja. Sisanya merupakan kawasan hutan yang semestinya tidak boleh disentuh dan digarap. Menyadari akan terbatasnya lahan budidaya tersebut, maka kami usulkan Lebong ini menjadi kabupaten konservasi,” ujar Dalhadi Umar.
Dia mengemukakan, untuk mewujudkan kabupaten konservasi tersebut memang tidaklah mudah. Apalagi di tingkat daerah sendiri masih ada pro dan kontra. Di satu pihak ada yang mendukung, tetapi di lain pihak juga ada yang tidak setuju.
”Sebagai bupati saya tidak akan mundur dan merasa optimistis kabupaten konservasi bisa direalisasi. Meskipun dirasakan sebagai pilihan yang dilematik, kabupaten konservasi tetap menjadi alternatif paling tepat, guna menyelamatkan wilayah Lebong dari ancaman degradasi lingkungan yang parah di masa datang,” ujarnya.
Semua pihak
Menurut Dalhadi Umar, Lebong sebagai kabupaten konservasi tidak akan bisa diwujudkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebong sendiri. Obsesi ini harus didukung semua pihak, terutama berbagai institusi yang menangani langsung kawasan hutan di daerah ini.
Dalhadi memberi contoh soal keberadaan beberapa kawasan hutan di daerah itu. Hutan lindung dan cagar alam yang ada di Lebong ditangani Departemen Kehutanan.
Adapun TNKS ditangani oleh Kepala Balai yang berkedudukan di Sungaipenuh, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Sementara di lapangan, ribuan hektar hutan lindung dan areal TNKS tersebut kini justru sudah berubah menjadi areal perladangan, yang digarap masyarakat secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.

Berbagai kepentingan
”Atas dasar itulah, kami minta agar pemerintah pusat segera membuat payung hukum yang jelas dan tegas. Ini penting agar berbagai kepentingan di lapangan tidak berbenturan. Di satu pihak, misalnya, Balai TNKS menganggap para peladang dan petani penggarap harus dikeluarkan dari hutan itu,” ujar Dalhadi.
Akan tetapi, di pihak lain, seperti Pemkab Lebong sendiri menganggap jika para peladang dikeluarkan begitu saja dari sana malah akan menimbulkan masalah sosial. (zul)

DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong

Dikembalikan ke DPR
DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong
Anggota DPD asal Bengkulu, Muspani mengusulkan agar penyelesaian sengketa batas wilayah antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara dikembalikan kepada DPR, sebagai pembuat undang-undang pembentukan kedua kabupaten tersebut.
“Timbulnya sengketa itu, karena adanya tumpang tindih antara dua UU, yakni UU darurat No 4 tahun 1956 tentang pembentukan kabupaten di Sumatera Bagian Selatan yang menjadi dasar pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara dan UU No 39 tahun 2003, tentang pembentukan Kabupaten Lebong dan Kepahiang,” katanya di Bengkulu, Rabu.
Dalam UU darurat No 4 tahun 1956 dijelaskan kalau Kecamatan Giri Mulya masuk ke wilayah Bengkulu Utara, sementara berdasarkan UU No 39 tahun 2003, Giri Mulya masuk ke Lebong, kemudian namanya diubah menjadi Kecamatan Padang Beno.
Masalah tersebut timbul, karena UU No 39 tidak mencabut UU darurat No 4 itu, khususnya mengenai status Kecamatan Giri Mulya (Padang Beno).
Karena itu, klaim Bengkulu Utara atas wilayah tersebut sah karena memang sesuai UU, demikian juga dengan pengakuan Lebong yang mengaku kecamatan itu masuk wilayahnya benar kerena juga berdasarkan UU.
“Karena masalahnya ada pada uU, maka sebaiknya diserahkan kembali pada pembuat UU, tidak bisa hanya diselesaikan di daerah,” katanya.
Musapani juga menyerankan, agar bupati dari kedua kabupaten dapat menahan diri, dengan tidak melakukan kegiatan pembanguna di wilayah yang masih disengketakan.
Ia juga mengaku khawatir kalau masalah itu berlarut-larut dan tetap diupayakan penyelesaian di daerah akan menimbulkan konflik fisik antar masyarakat seperti yang terjadi pada masalah batas antara Rejang Lebong dengan Kepahiang.
Paska pemekaran wilayah di Provinsi Bengkulu, menyisahkan konflik perbatasan yakni antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara, Kepahiang-Rejang Lebong, Seluma-Bengkulu Selatan dan Kaur dengan Bengkulu Selatan.
Penyelesaiaan persoalan batas yang berlarut-larut telah memicu bentrokan yang berunjung pembacokan yang dilakukan oleh Kepala Desa Durian Depun SF dan anaknya No terhadap Ketua BPD Zulkarnain.
Peristiwa itu terjadi, Senin (22/1) sekitar pukul 15.30 WIB, dan berawal dari keinginan korban bersama sekitar 200 warga dari enam desa yang berada di perbatasan untuk memasang batas wilayah di pinggir sungai Ka.
Namun, ketika mereka akan menurunkan papan tapal batas dari atas truck, tiba-tiba muncul SF dan No, dengan parang terhunus mereka langsung mengejar Zulkarnain dan terjadilah pembacokan itu.
Ia juga menjelaskan, masalah batas Rejang Lebong-Kepahiang kini sudah diserahkan ke DPR, dan kemungkinan besar akan dilakukan perubahan terhadap UU No 39 tahun 2003.
Kebupaten Lebong dan Kepahiang merupakan pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. (kpl/rit)

Budaya ‘Kedurei Agung’ Lebong akan Jadi Agenda Wisata


Budaya ‘Kedurei Agung’ yang menjadi tradisi masyarakat Kabupaten Lebong, mulai tahun ini akan dibakukan untuk menjadi agenda wisata tahunan, karena peringatannya sama meriahnya dengan peringatan Tabot di Kota Bengkulu, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebong Drs Yustin Hendri.
Ketika ditanya di Bengkulu, Jumat (15/2), ia menjelaskan, ‘Kedurei Agung’ merupakan tradisi sakral dan peminatnya sudah cukup banyak, budaya itu biasanya digelar jika ada musibah sebagai tolak balak.
Namun ke depan kendati tak ada bencana, budaya itu tetap akan diperinggati secara rutin, hari dan waktunya masih dalam pembahasan Badan Musyawarah Adat setempat.
Dalam acara ‘Kedurei Agung’ itu biasanya digelar berbagai tarian adat (tari Kejei) dan lomba puisi bahasa Lebong, dengan hadiah menarik. Jika sudah dibakukan peringatan hari ‘Kedurei Agung’ itu akan lebih dibuat meriah.
Kalau selama ini peringatan hari budaya Lebong itu hanya dihadiri oleh para tokoh masyarakat, tahun depan akan mengundang para pejabat baik lokal maupun nasional sehingga lebih meriah.
Yustin mengatakan, untuk mendukung kegiatan budaya Kedurei Agung dan pembenahan beberapa obyek wisata di Kabupaten Lebong, sekarang tengah dilatih sekitar 14 klub sanggar seni yang melibatkan putri-putri cantik asli Lebong.
Para anak sanggar itu mulai tahun ini secara rutin berlatih di beberapa obyek wisata andalan antara lain di kawasan Danau Tes, air panas, dan air terjun di Sungai Putih serta pada kawasan Lobang Kacamata eks
pertambangan emas Belanda.
Budaya ‘Kedurei Agung’ merupakan acara sakral yang masih terpendam, namun cukup menarik, dan hanya diperingati satu kali dalam setahun.
‘Kedurai Agung’ selama ini dipercayai warga sebagai acara tolak balak jika terjadi musibah, seperti banjir, tanah longsor yang menelan korban jiwa, supaya ke depan tidak terulang, karena itu diperingati secara adat.
Menurut dia, pada tahun anggaran 2008 ini, Dinas Pariwisata Lebong juga mulai menawarkan beberapa lokasi wisata alam, tambang dan kawasan hutan belantara asli yang masih hijau, dengan target mendatangkan 100 ribu pengunjung wisatawan lokal dan nusantara. (Ant/OL-03)

Warga Hanya Dituntut Menjaga Keutuhan Hutan

Warga Hanya Dituntut Menjaga Keutuhan Hutan
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas
Permintaan warga di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat tidak muluk-muluk. Warga hanya ingin di desanya dibangun irigasi sehingga lahan telantar milik mereka di luar taman nasional dapat ditanami padi dua kali. Jika itu terwujud, merambah hutan tidak akan mereka lakukan lagi. Perambahan cukup sampai di lokasi sekarang ini.
Kami tidak akan merambah lagi. Buat apa? Kalau lahan bisa ditanami padi dua kali, penghasilan dari sawah pasti cukup, ujar Dodi, warga Kampung III, Desa Talang Donok, Kecamatan Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1,4 juta hektar, wilayahnya terdapat di empat provinsi, yaitu Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Jambi. Taman nasional ini adalah yang terluas di Sumatera.
Warga Talang Donok hanyalah salah satu warga desa di sekitar TNKS yang berharap di desanya dibangun irigasi. Sebagian warga desa itu, seperti diakui oleh Kepala Desa Talang Donok, Muslich, selama ini memang hidup dengan merambah hutan.
Mereka menanam nilam dan tanaman lain seperti sayuran di lahan TNKS atau hutan lindung di sekitarnya. Mereka tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup.
Di desa ini ada sekitar 500 hektar lahan tidur milik warga yang bisa ditanami padi kalau ada irigasi. Sekitar 500 hektar lahan tidur lain di desa-desa tetangga juga bisa diairi. Warga Talang Donok dan desa tetangga saya pastikan tidak akan masuk dan membuka hutan lagi karena kebutuhan hidup bisa dicukupi dari tanaman padi, papar Muslich.
Warga Desa Seblat Ulu di Kecamatan Lebong Utara juga berharap sama. Mereka ingin pemerintah atau lembaga mana pun, termasuk TNKS, membantu membangun irigasi untuk mengairi 200 hektar lahan tidur di desa itu. Selama ini, seluruh warga desa yang terdiri atas 20 keluarga mengandalkan hidup dengan membuka hutan TNKS di sebelah desa untuk menanam nilam dan tanaman lain.
Seluruh warga desa ini merambah hutan TNKS. Kami tidak bisa berbuat lain karena lahan yang seharusnya bisa ditanami padi telantar karena tidak bisa diairi. Kami berharap dibangun irigasi di desa kami, papar Muhajir, Kepala Desa Seblat Ulu.
Kebutuhan irigasi di desa-desa di sekitar TNKS diakui Bupati Lebong Dalhadi Umar. Menurut dia, jika ada bantuan pembangunan irigasi tentu warga tidak akan merambah hutan lagi. Mereka akan bisa hidup dari tanaman padi atau palawija di tanah milik mereka sendiri.
Di Desa Talang Donok, warganya sudah lama berharap bantuan irigasi. Mereka berjanji tidak akan merambah hutan lagi jika lahan mereka bisa ditanami padi, ucap Dalhadi.
Untuk membangun irigasi dengan membendung sungai yang melintas di desa-desa itu, tentu membutuhkan biaya tidak sedikit. Pemerintah daerah tidak mampu memenuhi keinginan itu terlebih lagi untuk Lebong yang baru berdiri sendiri sebagai daerah otonom dua tahun lalu.
Bantuan dari lembaga lain, termasuk badan-badan dunia yang menaruh perhatian terhadap pelestarian hutan paru-paru dunia, sangat dinantikan.
Selama bantuan yang dapat meningkatkan taraf hidup warga sekitar taman nasional belum terwujud, jangan harap hutan bisa terus terjaga. Demi perut, hutan akan terus dirambah dan juga ditebang secara liar. Akibat aksi-aksi ilegal tersebut, kerusakan hutan di Indonesia terus terjadi dan beberapa tahun ini kian parah.
Terpaksa merambah
Degradasi hutan di Indonesia memang kian parah. Setiap tahun dua juta hektar lebih hutan lenyap akibat ditebang orang- orang yang tidak bertanggung jawab dengan masa depan, termasuk nasib anak cucu mereka kelak.
Penebangan liar atau illegal logging dan perambahan hutan tak kunjung dapat dihentikan, bahkan ketika pemerintah gencar melakukan penertiban belakangan ini. Sebagian manusia yang rakus terus mengoyak hutan untuk mencari keuntungan besar sesaat. Sebagian lain melakukannya dengan terpaksa, juga atas nama nasib anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Kami terpaksa merambah hutan untuk menanam nilam. Kalau tidak begitu, dari mana saya mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarga. Tanah saya tidak bisa ditanami padi karena tidak ada air yang bisa mengairi, ujar Arpan, warga Desa Seblat Ulu.
Seblat Ulu adalah salah satu desa dari 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, salah satu hutan warisan dunia. Desa itu hanya bisa dijangkau dengan susah payah, baik dengan berjalan kaki selama tiga jam hingga empat jam dari desa terakhir yang bisa dijangkau mobil, atau dengan menggunakan ojek sepeda motor.
Seluruh warga desa yang berjumlah 120 keluarga telah lama hidup dengan merambah TNKS. Mereka menanam sayuran, dan tiga tahun ini nilam untuk menghidupi keluarga masing-masing. Tidak ada pilihan lain karena lahan milik warga di desa tidak bisa ditanami.
Warga Seblat Ulu dan juga Talang Donok adalah contoh dua desa 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, atau bagian dari 346 desa yang punya keterkaitan dengan TNKS. Mereka merambah hutan TNKS sekadar untuk membuka lahan dan menanam sayuran atau apa saja, yang hasilnya dapat dijual atau dikonsumsi untuk keluarga.
Paru-paru dunia
Warga desa-desa di sekitar TNKS dan taman nasional lain, seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Lampung dan Bengkulu, selalu dituding sebagai salah satu biang keladi kerusakan paru-paru dunia tersebut. Bersama para penebang liar yang hanya mencari kayu-kayu yang dapat dijual, para perambah selalu dipojokkan sebagai pelaku perusakan hutan.
Sudah lama warga dituntut pula agar turut menjaga taman nasional. Akan tetapi, apa yang bisa mereka lakukan jika bantuan untuk hidup mereka tak kunjung terwujud? Lantas ke mana mereka mengajukan bantuan tersebut selain kepada pemerintah daerah?
Saya tidak tahu apakah bisa meminta bantuan selain ke pemda (pemerintah daerah). Kalau ke pemda saya sudah berkali-kali mengajukan agar di sini dibangun irigasi, tetapi belum ada tanda-tanda terwujud, ujar Muslich pula.
Syamsul Bahri, Koordinator Pemangkuan Data TNKS, mengungkapkan, warga di sekitar TNKS sebenarnya bisa mengajukan permintaan batuan, tetapi tidak melalui pemerintah.
Bisa melalui lembaga swadaya masyarakat lokal, dan kami dari TNKS nanti menyalurkannya ke lembaga-lembaga donor. Disetujui atau tidak bantuan itu, tergantung lembaga donor tersebut, paparnya.
Kepala Seksi TNBBS wilayah Krui, Achmad Sutardi menyebutkan pula, pihaknya pernah menyalurkan permohonan bantuan warga ke lembaga donor melalui LSM tersebut. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar ada permohonan yang dipenuhi.
Selain proyek ICDP (Integrated Conservation Development Project) di TNKS yang berakhir tahun 2002, rakyat yang bermukim di sekitar memang tidak mendapatkan apa-apa, selain hidup dengan lingkungan alam nan permai. Akan tetapi, jika kebutuhan perut belum terpenuhi, mereka pun bisa berbuat apa saja termasuk merambah hutan.
Potensi tambang
Kondisi itu pun dialami pemerintah daerah yang sebagian wilayahnya berada di dalam taman nasional. Kabupaten Lebong di Provinsi Bengkulu adalah salah satunya. Tujuh puluh persen dari wilayah Lebong seluas 192.924 hektar berada di dalam TNKS. Bayangkan, bagaimana kami bisa membangun daerah, ungkap Dalhadi Umar, Bupati Lebong.
Padahal, di dalam TNKS sana, potensi tambang yang besar begitu menggoda Pemerintah Kabupaten Lebong. Jika saja deposit tambang—terbesar emas—bisa digali, niscaya akan mampu menambah pendapatan asli daerah. Dari uang itulah sebagian pembangunan daerah (PAD) akan dibiayai.
Sebagai salah satu daerah yang juga akan diusulkan menjadi kabupaten konservasi, Lebong tentu saja harus turut serta menjaga TNKS. Dalhadi pernah menyatakan komitmen Pemkab Lebong untuk secara aktif menjaga paru-paru dunia TNKS tersebut.
Tidak ada ampun bagi para pencuri kayu, mereka harus diberantas. Saya menyebut mereka bukan penebang liar tetapi pencuri kayu, ujar Dalhadi.
Akan tetapi, tekadnya itu tentu saja akan menjadi sebuah dilema karena pemkab tidak bisa berbuat apa-apa untuk menambah PAD dari potensi tambang di dalam TNKS. Oleh karena itu, Dalhadi minta perhatian pemerintah pusat, melalui kerja sama antardepartemen, untuk mencarikan jalan keluar. Apalagi selama ini kompensasi atas peran daerah ikut menjaga taman nasional belum ada.
Misalnya, perlu dicarikan teknologi, bagaimana penambangan tetap bisa dilakukan dengan tidak merusak hutan, ujarnya menambahkan.
Bagaimana akhir dari berbagai persoalan itu, tinggal menunggu waktu. Namun, apa pun masalah yang ada, tentu saja tidak harus menabrak kepentingan lebih besar, yaitu tetap terjaganya paru-paru dunia seperti TNKS, TNBBS, taman nasional lain, dan hutan lindung di Tanah Air.
Di sisi lain, upaya menjaga kelestarian alam pun harus dipikirkan bersama oleh umat manusia di Bumi ini, termasuk mengikutkan rakyat yang hidup di sekitar taman nasional.
Bukankah Bumi milik bersama? Jika Bumi tidak dijaga dan dibiarkan terus rusak, niscaya akan berbuah musibah besar yang akan merugikan banyak manusia. (jos/iam)
Lebong Perlu Payung Hukum
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas