Minggu, 14 September 2008

Kandidat ‘Debat’ Kandidat

Kandidat ‘Debat’ Kandidat
SEKITAR waktu magrib seorang teman mengirim short message service melalui ponselnya. Mengabarkan, kalau pukul 23.00 WIB Jumat malam Sabtu (22/8) lalu itu di stasiun televisi swasta Jakarta akan ada acara “debat kandidat”. Namun, karena ada acara dialog panjang empat mata dengan seorang petinggi penegakan hukum. Nonton televisi akhirnya terlupakan. Nggak apa-apa sih sebenarnya. Nonton debat itu bukan suatu kewajiban.
Kayak seorang elite politik PPP (baca LE, 23/8) dengan judul “Mendukung Alzier Hukumnya Wajib”. Kan nggak kayak gitu nonton televisi. Karena diyakini, Sabtunya (23/8) lalu pasti koran nasional yang terbit di daerah Lampung, bakal menjadikan debat kandidat itu sebagai berita utama halama 1-nya.
Tapi, yang menarik bukan apa-apanya. Sebab, ketika diu suatu pesta pernikahan akbar seorang tokoh yang belum lama ini masuk dalam buku 100 tokoh Lampung. Cerita soal debat kandidat itu diceritakan kembali menurut kacamata masing-masing pemirsa televisi. Walau demikian, jalur netral si pencerita (kawan-kawan dari berbagai profesi), tetap menghadirkan cerita yang bernuansa kocak, evaluatif dan misteri hasil pemilihan gubernur Lampung 3 September 2008.
Debat kandidat sejak beberapa tahun terakhir menjadi trend kegiatan beberapa organisasi, termasuk media cetak dan elektronik. Sekarang sudah tidak menggairahkan lagi. Ini suatu pengakuan yang jujur. Pada awalnya debat semacam itu begitu memberi semangat kepada masyarakat untuk menyaksikannya dan menjatuhkan pilihan suaranya.
Kini, kita tidak bicara soal Lampung atau Indonesia yang lalu. Tetapi, sejak matahari terbit besok, kita harus meletakkan “Lampung yang bagaimana?”. Apakah Lampung yang penuh dengan konflik elite politik atau Lampung yang penuh dengan nuansa damai—yang pada akhirnya damai itu menjadi pendukung (faktor) utama proses pembangunan berkesinambungan dan berkualitas. Ketika kita meletakkan kata “debat” ditambah dengan kata “kandidat” memang seharusnya antarkandidat itu gontok-gontokan, saling menyerang, saling interupsi sesama, tentang apa yang dibicarakan atau ditanyakan pemandu acara. Namun, secara substansi, debat kandidat itu merupakan uji kemampuan kefiguran, keilmuawan, kemampuan, kematangan, sence of responsif dan kecakapan yang mengandung nilai benar dan salah serta keliru.
Di acara debat kandidat itu pemirsa sudah seharusnya memahami ke mana alur program para calon gubernur lima tahun mendatang membawa daerah Lampung ini. Sebab, seorang kandidat tidak hanya dituntut pintar berpidato atau mengemukakan teori-teori dan strategi pembangunannya, ‘jika’ kelak ia terpilih. Juga, tidak hanya ‘diam’ dengan kata-kata singkat, padat dan tepat.
Tapi, penampilan kandidat pada acara debat mempunyai makna yang sangat luas, merupakan gambaran sepintas seorang figur pemimpin yang didambakan masyarakatnya. Untuk pilgub Lampung 2008, para kandidat calon gubernur belum menjadi legalitas pilihan rakyat. Mereka adalah aktor-aktor yang diatur dan disetting oleh elite politik melalui parpol. Memang benar, mereka dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi makna dipilih langsung itu merupakan aturan dari rule of law pemilihan kepala daerah.
Sementara legalitas pilihan rakyat akan dapat dicermini melalui jumlah pemilih yang memberikan hak suaranya pada saat pemungutan suara dipersentasekan dengan jumlah penduduk yang memiliki hak suara.ditulis naim emel prahana

1001 Pohon


Oleh Naim Emel Prahana
PEMERINTAH Indonesia sejak zaman Bung Karno dan Pak Harto pernah memberi sumbangan tak ternilai kepada pemerintah Arab Saudi (Saudi Arabia) yang geografis negaranya terdiri dari gurun tandus, bebatuan dan nyaris tidak ada hutan. Indonesia memberikan sumbangan bibit tanaman pohon kepada pemerintah Arab.
Pohon-pohon itu sekarang sudah menghiasi berbagai kawasan jalan raya di Arab Saudi, terutama di Kota Riyadh King Abdul Aziz. Bantuan tanaman kayu itu memang sudah melalui survei tentang kecocokannya di daerah seperti di Arab. Walau demikian, masih dibutuhkan intensitas pemeliharan; pemupukan, pemberian air yang teratur dan sebagainya—agar pohon-pohon kayu yang ditanam itu bisa hidup dan bertahan.
Bahkan, mampu menyesuaikan dan memberikan manfaat yang besar bagi lingkungan alam sekitarnya, apalagi untuk manusianya. Itulah pohon perindang pohonnya kehidupan lingkungan alam. Walau jumlahnya sedikit dibandingkan dengan luas negara Arab Saudi. Tapi, kehadiran pohon-pohon itu sangat dirasakan manfaatnya.
Seperti halnya buku Tokoh-Tokoh Amerika populer mulai dari George Washington (1732—1799) hingga Athe Gibson (juara tenis, 1927). Mereka tercatat dan dicatat dalam buku itu, karena jelas pertimbangan dasarnya sebagai ‘tokoh’
Artinya, telah memberikan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi rakyat Amerika, terutama hubungannya dengan luar negeri. Dan, yang telah diberikan oleh tokoh-tokoh Amerika itu, benar-benar riil, realistis dan dapat dilihat, dirasakan dan dijadikan kenang-kenangan masa depan masyarakatnya.
Terlalu sensitif bicara tentang ketokohan seseorang, karena, ketokohan itu bukan hanya berdasarkan polling atau angket. Atau melalui angket seperti di media-media massa. Dengan membuat formulir kecil (di balik tujuan bisnis). Maka wargamasyarakat diminta partisipasinya memilih “gubernur pilihanku”. Kalau data mentah itu dijadikan dasar ‘membesarkan’ hati seseorang untuk ‘jadi..............’ maka, keliru besar jika dimasukkan ke dalam kamus populer atau tokoh.
Tapi, langkah itu adalah positif, karena merupakan awal selektivitas ketokohan seseorang. Seseorang dianggap tokoh, jika di tempat tinggalnya ia melakukan sesuatu pekerjaan, pengabdian atau berkarya yang dirasakan oleh masyarakatnya. Walaupun itu, bukan orang di daerah itu sendiri.
Adalah suatu kekeliruan besar jika seorang itu dianugerahkan status tokoh, sementara orang tersebut tidak pernah berkarya di daerahnya dan tidak sama sekali dikenal oleh masyarakatnya. Karena ia berkarya dan mengabdi di daerah (negara) lain. Platform ketokohan itu adalah serius dengan bukti nyata.
Misalnya, ketika pemerintah menetapkan 20 Mei sebagi hari kebangkitan Nasional dan sudah menjadi catatan dalam sejarah bangsa Indonesia. Maka, kita harus berani mengkritisinya. Sebab, dalam AD/ART Boedi Oetomo (BO) tidak pernah mencantumkan untuk tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan tercantum jelas dalam AD/ART Serikat Islam (SI). Disebutkan bahwa tujuan SI adalah Islam Raya dan Indonesia Raya. Sedangkan BO bertujuan hanya untuk memajukan Jawa dan Madura (pasal 2 AD BO). Kenapa tanggal 16 Oktober (hari lahirnya SI) bukan sebagai hari kebangkitan Nasional? Sementara itu, dr Cipto dan dr Sutomo sendiri pada akhirnya ke luar dari BO, karena tujuan BO tadi itu.

Kado Istimewa Untuk Tohari


Kado Istimewa Untuk Tohari
PRIA bertubuh Indonesia tidak memang tidak terkenal, apalagi populer seperti para selebritis atau tokoh politik. Tapi, kemarin ia sangat populer dan istimewa. Bahkan, dapat penghargaan berupa kado kenang-kenangan.
Kenapa istimewa? Ini dia persoalannya. Pria dengan nama cukup 1 kata itu, Tohari. Dilahirkan 56 tahun silam, tepatnya tanggal 22 Juli 1952, kelahiran dengan tanggal 22 Juli itu membawa berkah.
Sebab, pada tanggal yang sama itu 48 tahun silam, lahirnya lembaga peradilan yang diberinama Kejaksaan (Adhiyaksa). Usia Kejaksaan memang lebih muda dibandingkan usia Tohari. Namun, kesamaan tanggal lahir itu membuat pria berperawakan Indonesia itu, menjadi salah seorang jajaran Kejari Metro yang mendadak populer.
Kepada LE, Tohari mengakui ia senang menjadi pegawai di Kejaksaan Negeri. Kesenangannya itu karena ia telah mewujudkan cita-citanya. Pertama kali tugas, Tohari ditugaskan di Pringsewu 1984, kenangnya. Lalu, Tohari beberapa kali mengalami perpindahan tempat tugas.
Pernah di Kotaagung, Semarang (Jawa Tengah), Sukadana (Lmapung Timur) dan di Metro sendiri. Bapak dari 5 anak, 1 putri dan 4 putra yang beberapa bulan lagi akan memasuki masa purnabhakti. Merasa yakin, apa yang telah diperbuatnya akan membantu pemerintah dibidang penegakan hukum.
Tohari sendiri bertugas sebagai Kaur perlengkapan di Kejari Metro.
“Saya tak pernah merasa terbebani oleh tuga yang dipercayakan kepada saya itu. Karena saya harus mengabdi kepada bangsa dan negara,” ujar Tohari polos.
Mengurai masa silamnya, Tohari mengakui dirinya pindah ke Metro pada usia 8 tahun, karena mengikuti orangtuanya. Jadi, tambah dia jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA diselesaikan di Metro. Hanya universitas ia selesaikan di Bandarlampung.
Menjelang masa purnabhaktinya, Tohari sangat menyadari kondisi Kejaksaan saat ini. Ia berharap rekan-rekan jaksa tidak putus asa atau mengambil jalan pintas menghadapi rumitnya persoalan di Indonesia.
“Saya yakin, mereka (jaksa) adalah orang-orang pilihan, kekurangan adalah hal biaya. Tapi, bagaimana kita memperbaiki atau menutup kekurangan diri kita itu,” ujar Tohari. diposting oleh emel

Mengenal Saya





Tentang Saya
Aku dilahirkan dengan nama lahir Naimmullah dan dalam dunia kepengarangan lebih suka menggunakan nama Naim Emel Prahana. Aku dilahirkan Kotadonok, 13 Desember 1958 dari keluarga petani. Kebetulan menjalani proses pendidikan tingkat Sekolah Dasar di SDN 1 Kotadonok, kemudian melanjutkan ke SMPN 2 dan SMP Muhammadiyah Padang Panjang, Sumatera Barat (1971—1973)
Sedangkan sekolah tingkat SMA aku jalani dengan berpindah-pindah mulai dari SMAN III Birugo Bukittingi, sumatera Barat (1974), SMPPN 51 Lampung di Tanjungkarang, Lampung ( 1976-1997), SMA PGRI Curup, Bengkulu (1977), SMAN 1 Curup, Bengkulu (1978/1979). Dan kemudian melanjutkan studi ke Yogyakarta di FKIS IKIP Negeri Yogyakarta (1979), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) mengambil jurusan kriminologi (hukum pidana) Yogyakarta. Pernah mengikuti : 1. Kursus Alkitab Terang di Bandung dan Jakarta (1983—1984). Pendidikan Jurnalistik Dakwah di Yogyakarta (1982), Pendidikan Wartawan Dirgantara Nasional di IPTN di Bandung (1991), Pendidikan Jurnalistik Peliputan Pemilu di Surabaya (2003). Dalam pekerjaan pernah
MENULIS
Menulis sejak di SMP Muhammadiyah Padang Panjang, khususnya puisi, kian giat menulis ketika belajar di Yogyakarta. Terutama menulis di media massa, seperti puisi, cerita anak-anak, cerpen, esay, hukum, pendidikan dan lainnya. Kurun waktu 1980-1987; menulis di banyak media massa cetak di Indonesia, seperti Harian Masa Kini, Berita Nasional (Bernas), Kedaulatan Rakyat (KR), Mingguan Eskponen, Majalah Gatotkaca, Suara Muhammadiyah (Yogyakarta), Majalah Hai, Harian Perioritas, Harian Pelita, Harian Jayakarta, Suara Karya, Berita Buana, Yudha Minggu, Skm Swadesi, Merdeka Minggu, majalah Kiblat, Estafet, SKM Simponi, SKM Media Indonesia, Mingguan Sentana, SKM Intijaya (Jakarta), majalah Fakta dan harian Memorandum( Surabaya), Minguan Warta & Niaga, Sku Tamtama (Lampung), SKM Suara Rakyat Semesta (SRS), Riau Pos, Sumeks, SKM Garuda Pos, Sriwijaya Post (Palembang), Harian Semarak (Bengkulu), Harian Semangat, Singgalang (Padang). RIWAYAT PEKERJAAN: Jadi Calon Hakim (mengundurkan diri, 1987), Pimpinan dan Penyiar Radio Deimarga Nusa, Metro, Lamteng (1987-1999), Kantor Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) di Metro (1987-999), Anggota Penyusun AKU Kota Metro di Bappeda (2000-2004), Anggota Komisi Hak-Hak Manusia Kota Metro (2001-2004), Wakil Sekretaris Badan Narkotika Kota (BNK) Metro (2006-2011), Pengurus Lembaga HAM Pemkot Metro (2004-2009). ORGANISASI : Sekretaris Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Ranting SMP Muhammadiyah Padang Panjang, Sumatera Barat (1971-1973), Ketua IPM Ranting SMP Muhammadiyah Padang Panjang, Sumbar (1973), Sekretaris OSIS SMPP Negeri 51 Lampung, Tanjungkarang (1976-1977), Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Kotadonok, Kabupaten Rejang Lebong, Curup, Bengkulu (1977-980), Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1979-980), 1. Ketua Departemen Kader HMI Komfak FH UII Yogyakarta, 2. Pengurus SEMA FH UII Yogyakarta (1980-1981), Ketua Musyawarah LPM Keadilan FH UII Yogyakarta (1980), Ketua Komisi III Keuangan BPM FH UII Yogyakarta (1982-1983), Koordinator Departemen Kesra SEMA FH UII Yogyakarta (1983-1984), Ketua Kelompok Mahasiswa Hukum (MT2A) FH UII Yogyakarta (1983-1985), Pengurus Dewan Mahasiswa (Dema) UII Yogyakarta (1983-1984), Ketua Studi Intelektual dan Kebudayaan Lampung (SIK) (1987-kini), Pengurus KAHMI Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Lamteng (1987-2004), Wakil Ketua DPC PPP Kabupaten Lampung Tengah (1987-2001),Sekretaris DPC Granat Kota Metro (2003–2007), Sekretaris INKAI Cabang Lampung wilayah Timur di Metro (2004-2008), Sekretaris Eksekutif BPC PHRI Kota Metro (2004-2009), Pengurus FORKI Cabang Kota Metro (2005-2010), Wakil Sekretaris II DPD Partai Golkar Kota Metro (2005-2009), Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Kota Metro (2007-2012), Redaktur/wartawan SKU Tamtama/Lampung Ekspres (1987-2002), Ketua Seksi Fim, Budaya dan Pariwisata PWI Cabang Lampung (1993-1997), Ketua PWI Perwakilan Wilayah Timur (Lampung Tengah, Lampung Timur & Metro, 2000-2005), Redaktur Pelaksana Harian Lampung Ekspres Plus (2003-2005), Ketua Umum Paguyuban Keluarga Besar Terminal Induk 16C (Kenal 16C) Metro (2005-2010). SENI DAN BUDAYA: 1.Anggota Perhimpunan Penulis Muda ‘Insani’ Harian Masa Kini, 2. Anggota Perhimpunan Penulis Muda ‘Kreta” Harian Berita Nasional (1980–1982), 3. Pengasuh Buletin Intimate BPM FH UII Yogyakarta (1980-1981), Pimpinan Teater Lataah FH UII Yogyakarta (1980–1984), 1. Anggota Teater UNISI UII Yogyakarta, 2. Koordinator Himpunan Penulis Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) kordinat Yogyakarta (1980-1984), Pengurus Dewan Kesenian Lampung (DKL) Provinsi Lampung (1983-1986), Pimpinan Harian dan Penyiar Radio Deimarga Nusa di Metro (1987-1999), Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) di Bandarlampung (1993–1996), Koordinator HP3N Wilayah Metro, Lampung Tengah (1987-1999), Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (1996-2001), Ketua Dewan Kesenian Lampung Cabang Lampung Tengah (1996-1999), Anggota Temu Sastra Sumatera di Jambi (1996), Peserta acara 100 tahun wafatnya pujangga Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Riau Kepulauan (1996), Peserta Rakor BNN di Jakarta (2007), : Penasihat Dewan Kesenian Metro (2005-2008).
Kegiatan lain yang diikuti baca puisi, Kongres Cerpen di Bali, Penyair Indonesia 1997 di TIM—DKJ Jakarta, duta budaya daerah Lampung Tengah ke berbagai daerah di Indonesia dan lainnya. Dan, karya-karya puisi sering dibacakan di radio Koln, Jerman. KARYA SASTRA : Antara lain, Sajak Kaca (1984, bersama empat penyair muda Yogyakarta), Kasih Tuan (Yogyakarta, 1985), Kembang Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Puisi Indonesia (DKJ-TIM Jakarta1987), Bruckkenschlag (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan), Nuansa Hijau (Bogor, 1995), Sagang (Pekanbaru, Riau 1994), Dari Negri Poci 3 (Cirebon), Buku Cerita Rakyat Lampung (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Buku Cerita Rakyat Bengkulu (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Sjachroeddin ZP: Demi Lampungku, Padamu Bhaktiku, Untuk Indonesia (2007)
ALAMAT: Jl Hasanuddin Gg Salak I No 3 Yosomulyo 21B Metro Pusat KOTA METRO 34112 Telepon/ Handphone:0725-45088, HP 081369012964. Email 1. nep_prahana@plasa.com, 2.nep_prahana@yahoo.co.id, 3. nep_prahana@telkom.net, 4 naim.prahana@ymail.com, nep.prahana@Gmail.com

Desa Kota Donok




Desa Kota Konok atau dalam bahasa Rejangnya (nama aslinya) Kutei Donok. Artinya Kutai atau Desa yang terletak di tengah. Memang lokasi Desa Kota Donok berada 45 Km dari Curup (ibukota kabupaten Rejang Lebong) dan sekitar 35 Km dari Kota Muara Aman (ibukota kabupaten Lebong). Desa Kota Donok berada di tengah-tengah bujuran Bukit Barisan atau berada di jalur Lembah Bioa Ketawen (Air Ketahun), membujur dari Timur ke Barat atau sebaliknya.
Kota Donok berada 5 Km dari ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes, sekitar 2,5 Km dari Desa Talangratu. Sementara desa-desa lain yang ada di sekitar Desa Kota Donok adalah Tapus (Topos)—sebuah desa tua.
Saat ini Kota Donok sudah dimekarkan menjadi 2 (dua) desa definitif. (1) Desa Kota Donok—desa induk, (2). Desa Sukasari (desa pemekaran). Kemudian ada dua Mangkurajo. Dusun itu merupakan tempat transmigrasi yang berada di lereng dan puncak Bukit Barisan yang dikenal dengan Tebo Buwea oleh orang Rejang. Sedangkan di lembah Tebo Buwea itu ada areal pertanian yang sudah dibuka sejak tahun 1920 zaman Hindia Belanda membuka kawasan tambang emas Lebong Simpang.
Jarak antara Kota Donok dengan Dusun Mangkurajo sekitar 3 Km dengan kondisi jalannya mendaki bukit. Sedangkan jarak dengan Sawah Mangkurajo sekitar 12 Km dan jarak dengan lokasi tambang emas Lebong Simpang (Lebong Sipang) sekitar 21 Km.

Kampug Orang Pintar
Sejak lama Desa Kota Donok dikenal dengan masyarakatnya yang lebih maju dan intelek di banding masyarakat desa lainnya di Lebong. Misalnya Gubernur Sumatera Bagian Selatan, Mochammad Husein adalah putra asli Desa Kota Donok. Demikian pula banyak para tokoh Bengkulu berasal dari Kota Donok, seperti keluarga Zulkarnain—yang sekarang seorang putranya Kurnia Utama alias Kukun menjadi tokoh muda Bengkulu.
Orang-orang Kota Donok sejak zaman dahulu kala banyak mengirimkan anak-anaknya bersekolah di Sumatera Barat, terutama di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Payakumbuh dan Padang. Di sisi lain, anak-anak Desa Kota Donok banyak yang menjadi polisi dan tentara. Sedangkan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) baru dimulai sekitar tahun 1975.
Tokoh masyarakat Bengkulu lainnya yang berasal dari Kota Donok antara lain, Drs Jamaan Nur. Kemudian yang berada di luar Bengkulu seperti di dunia pendidikan Zulkarnain Said (Padang), Drs Fachruddin Iman (Tanjungkarang), di panggung politik ada Alak Masjkoer (Bukittingi), di dunia perbankan ada Drs Rifai (Jakarta), Drs Sademan (Lampung) di militer ada Alfian (Medan), Joni Anwar (Tanjungkarang), Syaiful Nawas (Metro, Lampung) dan lainnya. Dan di bidang penulis dan seni budaya ada nama Naim Emel Prahana SH (Lampung). Dan, de luyen ne gimasiak dau anok sadei Kotadonok debijijai neak ratau, mulai kinei ijai tentra, plisi, PNS, pengusaha dan sebagaine.

Sabtu, 13 September 2008

Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada

Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers

RIBUT pertama dalam tubuh partai politik ketika menghadapi pemeilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah soal uang. Semua persoalan dalam menentukan kebijakan dan keputusan, senantiasa didapatkan setelah pertsoalan uang itu jelas. Padahal, kejelasan soal uang itu tetap sembunyi disembunyikan dominasinya.
Demikian pula, ketika bakal calon anggota legislatif, kepala daerah (sesuai tingkatannya sampai tingkat kaupaten/kota) dan calon presiden. Dominasi uang dalam prosesinya, sangat vital dan berperan besar untuk langkah seterusnya. Bahkan ada kesan yang menyebutkan, partai politik (parpol) telah merusak azas kekeluargaan dan demokrasi di Indonesia. Alasannya, karena orang-orang parpol menganggap uang adalah segala-galanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih lagi dalam merebut kekuasaan di pemerintahan.
Kesimpulan kemudian mendapatkan, uang itu pulalah yang menyebabkan terjadinya konflik, perpecahan dalam tubuh parpol, hengkangnya beberapa pengurus dan kemudian (mungkin) membentuk parpol baru. Alasannya masih klasik, karena soal pembagian yang tidak merata—mereka yang ke luar mengatakan, untuk mentransparansikan manajemen keuangan. Tetapi, kebanyakan pada akhirnya, manajemen pengelolaan keuangan tetap menjadi “biang kerok” persoalan dalam tubuh parpol.
Sebagai gambaran, kita dapat melihat bagaimana perseteruan dalam tubuh PKB antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan keponakannya, Muhaimin. Yang semula hanya konflik soal figur ketua, soal keabsahan di Departemen Hukum dan HAM. Tapi, apa yang terjadi setelah konflik berkepanjangan itu masuh ke proses peradilan? Gus Dur dengan tegas mengatakan, Muhaimin harus mengembalikan uang kepadanya sebesar Rp 12 miliar rupiah. Lagi-lagi dan pada akhir konflik uanglah yang disebut-sebut.
Realitas sosial parpol di Indonesia itu, bukan isu atau pengalihan perhatian persoalan bangsa dan negara—sebagaimana diterapkan oleh pemerintah selama ini dan sampai sekarang. Tapi, betul-betul realitas kehidupan sosial dan parpol di Indonesia. Pemerintah seharusnya mampu membuat suatu rumusan yang kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang yang berkaitan dengan parpol. Isinya, legalitas parpol baru bisa diakui setelah memiliki modal keuangan yang cukup.
Di sana, nantinya ada makna bahwa, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi kepada parpol, baik bantuan langsung karena perolehan suara maupun bantuan-bantuan dalam bentuk lainnya yang selama ini dianggapkan oleh APBN atau APBD provinsi, kabupaten/kota di Indonesia.
Jika pemerintah sudah sepakat, betapa besarnya uang negara yang diperoleh dari rakyat yang dapat diselamatkan. Dan, sisi lainnya adalah parpol betul-betul mandiri mengatur rumah tangganya. Jika hal itu sudah dilakukan. Maka, demokrasi Indonesia akan benar-benar ada dan dapat diwujudkan. Kalau sampai sekarang belum ada bentuk demokrasi Indonesia yang digembar-gemborkan itu.

Itu artinya kita harus melihat sinkronisasi berdemokrasi tersebut. Berdemokrasi tidak harus menelan ongkos yang mahal (biaya tinggi). Demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang baik adalah ketika yang memiliki modal besar dengan yang pas-pasan dapat bersaing secara sehat. Di situ, aturan dalam kompetisi politik adalah masalahnya.
Ketika kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli. Praktik beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik menjadikan uang bukan lagi sebagai penyokong. Melainkan sudah menjadi persoalan besar. Pertautan kepentingan antara aktor politik dan pelaku ekonomi dimulai dengan praktik jual-beli posisi. Aktor politik yang butuh kemenangan akan dipasok oleh pelaku ekonomi dengan jumlah dana yang biasanya tidak sedikit sebagai modal untuk berkompetisi.
Posisi politik yang telah direbut melalui pembelian suara (money politics), akhirnya akan dipakai untuk mengembalikan modal, sekaligus mengkapitalisasinya melalui instrumen kebijakan negara. Dan, terakhir, negara bukan lagi sebagai representasi dari kepentingan publik yang luas, tetapi mengerucut hanya sebatas sarana memperluas kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.
Tujuan akhir dari kekuasaan politik yang telah direbut dapat dipertahankan dan pada saat bersamaan kekuasaan ekonomi berekspansi. Masalahnya, kepentingan politik-bisnis yang mengendarai demokrasi prosedural semakin kuat cengkeramannya dalam situasi di mana masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara dan mengendalikan kebijakannya.
Parpol beserta calon pemimpin dalam pemilu dan pilkada yang menghambur-hamburkan uang untuk mendapatkan suara dan dengan suara yang banyak dapat dibeli, iapun terpilih menjadi pemimpin (anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati/walikota) akan berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan yang jumlahnya miliaran rupiah bahkan, ratusan miliar, untuk dikumpulkan lain melalui kekuasaan yang sudah ia genggam.
Di situlah munculnya hukum kekusaan. Dengan memberikan uang banyak dengan pembagian yang sangat kecil kepada anggota masyarakat yang punya hak suara, ia akan memperoleh uang yang sangat besar jumlahnya tanpa didistribusikan lagi ke pihak lain. Cara berpolitik demikian sangatlah tidak kreatif, miskin inovasi, tidak komunikatif dalam menyampaikan ide dan janji.
Ia dapat terus bertahan jika demand side (sisi permintaan) dari masyarakat tidak berubah. Parpol dan politisinya tidak akan banyak melakukan kerja politik, kecuali sakadar menggelontorkan uang dalam janji-janji politik yang sangat bias dan tidak berwujud kepada kepentingan kesejahteraan rakyat atau bangsa.
Pemilih dalam pemilu dan pilkada harus belajar dari masa lalunya. Masa uji bagi penguasa baru yang dipilih melalui pemilu (lima tahun). Jika selama itu pemimpin yang diberi amanat tidak bijak dalam menjalankan tanggungjawabnya maka candu money politics dapat digunakan untuk melupakannya, meski hanya sesaat. Mewaspadai datangnya candu ini sama pentingnya dengan mengingat kembali janji kampanye para politisi.
Sebagai ingatan kita untuk mengembalikan azas kehidupan masyarakat Indonesia yang kekeluargaan dan musyawarah dan mufakat, perlu sekali membaca analisis supply and demand interaction pada ekonomi sebagai sarana menemukan titik ekuilibrium baru yang dapat digunakan dalam dunia politik.
Sebenarnya, pada saat ada pembiaran, masyarakat sudah tahu bahwa yang memberikan uang itu bukanlah tipe pemimpin yang baik atau dalam dunia umat kristen disebut sinterklas yang baik hati dengan pemberian-pemberiannya tanpa pamrih. Namun, di dalam prosesi pemilu dan pilkada, pemberian itu harus disertai manajemen pengembalian uang yang sudah dikeluarkan selama prosesi pemilu dan pilkada. Demokrasi gaya Indonesia itulah yang sangat merusak demokrasi yang sesungguhnya.
Sebab, untuk meningkatkan kualitas politik, harus dikesampingkan bahwa berpolitik itu adalah proyek demokrasi. Namun, berpolitik itu harus dicermati sebagai salah satu upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kesadaran nasional yang tinggi. Oleh karenanya, politik uang bukan jalan baik menuju kesadaran nasional untuk membangun bangsa dan negara itu selanjutnya.
Harus diakui, uang adalah pelancar rodanya organisasi, khususnya parpol. Akan tetapi, demand side dalam politik yang bergerak menggunakan kekuatan uang sebagai mesin politik terpenting. Filosofisnya, bahwa mereka yang berpengalaman dalam kekuasaan belum tentu yang paling baik. Oleh karena itulah dalam beberapa pilkada di beberapa daerah di Indonesia, banyak politisi yang incumbent mengalami kekalahan seperti di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan beberapa daerah lainnya.
Dan potret buram tersebut sekarang menghinggapi internal parpol Golkar, membuat internnya bergejolak. Untung saja, ketua umumnya adalah Wakil Presiden. Kalau tidak, Golkar sudah tercabik-cabik oleh politisinya sendiri. Sisi lain menanggapi kekalahan-kekalahan beruntun kader Golkar di beberapa pilkada membuat Yusuf Kalla minta kadernya untuk refleksi atas kegagalan Golkar dalam memenangi banyak pemilu lokal.
Orang Golkar atau masyarakat yang selama ini melihat Golkar adalah tempat orang-orang hebat dengan politiknya. Sebenarnya penglihatan itu untuk ukuran sekarang sudah salah. Sebab, demokrasi yang dipertahankan Golkar adalah sisa-sisa peninggalan masa jayanya di zaman orde baru. Di mana Golkar mampu mencengkramkan kekuasaannya melalui TNI dan pemerintah.
Kini, era itu sudah berakhir. Kecerdasan masyarakat—walau menerima politik uang dalam kampanye pemilu (nasional dan lokal), toh dalam pilihan—pemberian suaranya diarahkan kepada figur pemimpin. Bukan memilih parpol. Parpol dan politisi harus membenahi kulturnya, sekaligus untuk tidak lagi mengedepankan hanya uanglah yang paling penting dan berkuasa. Untuk itu perlu kerja politik yang terus-menerus.. Semangat untuk memobilisasi pemilih dengan pendekatan realitas program merupakan cermin ideologi parpol serta harus tertanam dalam sanubari pendukungnya. Sumbangan sukarela pendukung parpol dan kandidat akan memperkuat infrastruktur parpol tersebut.
Jika, parpol akan melakukan hal sebaliknya. Maka, uang yang telah lama menjadi model konvensional pemenangan pemilu—yang sebenarnya sudah lama pula merusak ideologi parpol. Alasannya, pembelian suara mendorong motivasi berpolitik sekadar untuk mendapatkan keuntungan dan malas untuk menjalankan kerja politik. Pendukung parpol pada akhirnya akan mengalami demoralisasi. Kemudian, korupsi menjadi praktik yang biasa terjadi dalam membelanjakan dana politik.
Sekali lagi diingatkan, situasi dan kondisi itu merupakan alarm bagi parpol yang terancam atas runtuhnya kekuasaan dan kekuatan parpol, sebab diantaranya karena pemilih telah mulai berpaling darinya. Perilaku pemilih yang mulai bergeser harus menjadi pelajaran berharga untuk pengurus parpol, agar dapat meningkatkan kualitas organisasinya dalam posisi penawaran kepada rakyat.