Minggu, 14 September 2008

1001 Pohon


Oleh Naim Emel Prahana
PEMERINTAH Indonesia sejak zaman Bung Karno dan Pak Harto pernah memberi sumbangan tak ternilai kepada pemerintah Arab Saudi (Saudi Arabia) yang geografis negaranya terdiri dari gurun tandus, bebatuan dan nyaris tidak ada hutan. Indonesia memberikan sumbangan bibit tanaman pohon kepada pemerintah Arab.
Pohon-pohon itu sekarang sudah menghiasi berbagai kawasan jalan raya di Arab Saudi, terutama di Kota Riyadh King Abdul Aziz. Bantuan tanaman kayu itu memang sudah melalui survei tentang kecocokannya di daerah seperti di Arab. Walau demikian, masih dibutuhkan intensitas pemeliharan; pemupukan, pemberian air yang teratur dan sebagainya—agar pohon-pohon kayu yang ditanam itu bisa hidup dan bertahan.
Bahkan, mampu menyesuaikan dan memberikan manfaat yang besar bagi lingkungan alam sekitarnya, apalagi untuk manusianya. Itulah pohon perindang pohonnya kehidupan lingkungan alam. Walau jumlahnya sedikit dibandingkan dengan luas negara Arab Saudi. Tapi, kehadiran pohon-pohon itu sangat dirasakan manfaatnya.
Seperti halnya buku Tokoh-Tokoh Amerika populer mulai dari George Washington (1732—1799) hingga Athe Gibson (juara tenis, 1927). Mereka tercatat dan dicatat dalam buku itu, karena jelas pertimbangan dasarnya sebagai ‘tokoh’
Artinya, telah memberikan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi rakyat Amerika, terutama hubungannya dengan luar negeri. Dan, yang telah diberikan oleh tokoh-tokoh Amerika itu, benar-benar riil, realistis dan dapat dilihat, dirasakan dan dijadikan kenang-kenangan masa depan masyarakatnya.
Terlalu sensitif bicara tentang ketokohan seseorang, karena, ketokohan itu bukan hanya berdasarkan polling atau angket. Atau melalui angket seperti di media-media massa. Dengan membuat formulir kecil (di balik tujuan bisnis). Maka wargamasyarakat diminta partisipasinya memilih “gubernur pilihanku”. Kalau data mentah itu dijadikan dasar ‘membesarkan’ hati seseorang untuk ‘jadi..............’ maka, keliru besar jika dimasukkan ke dalam kamus populer atau tokoh.
Tapi, langkah itu adalah positif, karena merupakan awal selektivitas ketokohan seseorang. Seseorang dianggap tokoh, jika di tempat tinggalnya ia melakukan sesuatu pekerjaan, pengabdian atau berkarya yang dirasakan oleh masyarakatnya. Walaupun itu, bukan orang di daerah itu sendiri.
Adalah suatu kekeliruan besar jika seorang itu dianugerahkan status tokoh, sementara orang tersebut tidak pernah berkarya di daerahnya dan tidak sama sekali dikenal oleh masyarakatnya. Karena ia berkarya dan mengabdi di daerah (negara) lain. Platform ketokohan itu adalah serius dengan bukti nyata.
Misalnya, ketika pemerintah menetapkan 20 Mei sebagi hari kebangkitan Nasional dan sudah menjadi catatan dalam sejarah bangsa Indonesia. Maka, kita harus berani mengkritisinya. Sebab, dalam AD/ART Boedi Oetomo (BO) tidak pernah mencantumkan untuk tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan tercantum jelas dalam AD/ART Serikat Islam (SI). Disebutkan bahwa tujuan SI adalah Islam Raya dan Indonesia Raya. Sedangkan BO bertujuan hanya untuk memajukan Jawa dan Madura (pasal 2 AD BO). Kenapa tanggal 16 Oktober (hari lahirnya SI) bukan sebagai hari kebangkitan Nasional? Sementara itu, dr Cipto dan dr Sutomo sendiri pada akhirnya ke luar dari BO, karena tujuan BO tadi itu.

Tidak ada komentar: