Minggu, 05 Juni 2016

Atlet Metro di Poproprov 2013 Kalianda







































PERBEDAAN MASJID DAN MUSHOLA BESERTA PENGERTIANNYA

Dalam shorof masjid & musholla walau berbeda wazan namun sama-sama isim makan (menunjukkan tempat) yang berarti tempat sujud (masjid) dan tempat sholat (musholla).

Di zaman Rasulullah yang dinamakan musholla adalah tanah lapang yang dijadikan tempat sholat 'ied.
diriwayatkan bahwa rasulullah setiap sholat ied dengan jama'ah di MUSHOLLA (yang dimaksud adalah tanah lapang itulah tempat sholat ied), kecuali hanya sekali di masjid dikarena hujan. Oleh karena itu jumhur ulama madzhab menyunahkan sholat ied di tempat yang luas bukan di masjid. Namun Imam Syafi'i berpendapat bahwa tetap sunah di masjid. Alasannya pada waktu itu masjid terlalu kecil, tidak muat untuk menampung jamaah hingga pelaksanaan sholat ied selalu dilaksanakan di padang luas (tertulis dalam lfdnya riwayatnya adalah MUSHOLLA).

Sedagkan masjid adalah sebuah bangunan yang dikhususkan untuk hal-hal ibadah saja, khususnya untuk sholat berjamaah dan lebih khusus lagi untuk sholat jum'atan hingga terjadi batasan-batasan hukum didalamnya.
Jadi sebenarnya musholla itu lebih luas (tanpa bangunan) dibandingkan masjid. Namun lumrahnya di negara kita justru musholla lebih kecil dari masjid. Walau apapun juga bangunan-bangunan kecil di kampung-kampung tiada salah juga diartikan musholla karena makna harfiahnya musholla adalah tempat sholat. Jadi masjidpun mengandung makna musholla juga.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) إلى أن قال: فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى شَرْعِيَّةِ الْخُرُوجِ إلَى الْمُصَلَّى ، وَالْمُتَبَادَرُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إلَى مَوْضِعٍ غَيْرِ مَسْجِدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ كَذَلِكَ فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوفٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ

.
Artinya :
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha ke luar ke mushalla (Al Hadits). Hadits ini sebagai dalil disyari’atkannya ke luar menuju/ke mushalla. Dari hadits ini pula dengan mudah difahami bahwa keluarnya Nabi itu ke sebuah tempat yang bukan masjid dan memang benar demikian, karena sesungguhnya mushallanya Nabi itu berupa suatu tempat yang telah diketahui oleh banyak orang yang mana jarak antara mushalla dan pintu masjidnya Nabi ada seribu dzira’ (± 500 m.)
Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَ إلى المصلى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ في العيدين وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ummi 'Athiyah, dia berkata: kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengajak para gadis dan perempuan yang sedang haidl keluar/pergi ke mushalla (tempat Shalat) pada hari raya, agar mereka menyaksikan hal-hal yang baik dan do’a kaum muslimin. (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah memerintahkan kamu megeluarkan gadis yang menanjak dewasa, wanita-wanita yang haid dan gadis-gadis yang dipinggit pada Hari Raya Iedul Fitri dan Hari Raya Iedul Adha. Wanita yang sedang haid dipisahkan dari shalat utnuk menyaksikan kebajikan dan seruan kaum muslimin.
Namun demikian terdapat Hadits yang menerangkan bahwa bila hari hujan, Nabi shalat di masjid.
Hadits Nabi riwayat Abu Daud dan Abu Hurairah: "Sesungguhnya mereka di timpa hujan pada Hari Raya Ied. maka Nabi shalat di masjid."
Hadits diatas ada yang menilai hasan, tetapi juga ada yang menilai lemah. Sekalipun demikian para ulama dalam pembahasannya berbeda pendapat, manakah yang lebih afdhal, shalat di lapangan atau di masjid.As-Syafi'i menyatakan yang bahwa jika masjid itu cukup luas shalat di masjid dan tak perlu keluar rumah menuju lapangan. Dalam hal ini seolah-olah niat pergi ke lapangan ialah usaha menampung jamaah sebanyak mungkin. Bila shalat di masjid itu lebih sudah dapat memenuhi tujuan tersebut, maka shalat di masjid lebih afdal.
Sedang menurut Imam Hanafiyah dan Malik, bahwa shalat di lapangan lebih afdhal meskipun ada di tempat itu masjid yang luas. Alasannya ialah Nabi tidak pernah shalat Ied di masjid terkecuali ada halangan hujan. Jadi shalat Ied di lapangan sesuai sunnah.

Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz I hal. 351 :
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : فِعْلُهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَل لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلزِّحَامِ وَحِيْنَئِذٍ يُسَنُّ الْخُرُوْجُ لِلصَّحْرَاءِ.
Artinya :
Golongan madzhab Syafi’i berpendapat : melaksanakan shalat id di masjid itu lebih utama karena masjid itu tempat yang mulia, kecuali karena udzur seperti sempitnya masjid, maka hukumnya makruh melaksanakannya di masjid karena berdesakan. Jika demikian halnya, maka disunnatkan keluar ke shahra’”.
Perhatikan hadits pertama pada lafadz  ILAL_MUSHOLLAA. Jadi secara ishtilahi masjid & musholla itu berbeda. I'tikaf itu sunah dimasjid bukan di musholla.

Toni Imam Tontowi
Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat salat; langgar; surau; (2) tikar salat; sajadah. Silahkan rujuk KBBI.
Definisi musala sebagai langgar atau surau adalah definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat indonesia, dimana arti langgar (silahkan rujuk KBBI) adalah : masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; surau; musala.
Demikian arti musala yang bisa digunakan untuk merujuk sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang khusus tempat shalat di suatu gedung , kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.

Kata mushalla salah satunya terdapat dalam al-Baqarah 125:
وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى
Yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah kata 'maqam' dan 'mushalla'. Banyak tafsiran mengenai kata ini dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara keseluruhan. Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan untuk shalat.
Sedangkan arti dari masjid sebagaimana dikatakan oleh al-zujaj yang dinukil dalam kamus lisan al-arab (lihat entry kata sa-ja-da) : setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah adalah masjid, bukankan Rasul bersabda , "telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".

وقال الزجاج: كل موضع يتعبد فيه فهو مسجَِد، أَلا ترى أَن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال: جعلت لي الأَرض مسجداً وطهوراً
.
Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunya arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun, penggunaan kata masjid dalam hukum (fikih) mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam mushalla sebagai tempat shalat secara umum.
Apakah makna masjid itu meliputi essensinya sebagai tempat melaksanakan jama'ah jum'at, tempat yang diperbolehkan i'tikaf di dalamnya, tempat yang mana orang junub tidak diperbolehkan berdiam di dalamnya ? Atau hanya sekadar konsekuensi dari nama (asma') yang disandang, sedangkan essensi (musammiyat)nya tetaplah sebagai tempat shalat ?
Jika mushalla dan masjid mempunyai essensi yang sama, maka bukan soal merubah mushala menjadi masjid, bukankah "al-ibrah bi al-musammiyat, la bi al-asma" - Ibrah yang dipegang adalah essensi , bukan nama. Konsekuensi dari suatu nama bukan termasuk kedalam essensi dari nama itu. Seperti tidak boleh jualan roti ditempat potong rambut, sebaliknya tidak boleh potong rambut di toko roti, meskipun essensi keduanya adalah sama yaitu tempat usaha.
Kesimpulannya, mengubah mushala menjadi masjid, dengan syarat waqif mempersyaratkan satu kemashlahatan yang dipercayakan kepada nadhir, dan nadhir melihat satu kemaslahatan yang benar-benar mendesak, maka itu boleh. Sebaliknya, mengubah masjid menjadi mushala tanpa adanya mashlahat yang jelas dan mendesak dengan pertimbangan yang ketat itu tidak boleh.
WALLAHU a'lam.
Imam Ghazali :
ونقل الزركشي : عن الغزالي انه سىٔل عن المصلى الذي بني لصلاة العيد خارج البلد فقال : لا يثبت له حكم المسجد فى الاعتكاف ومكث الجنب وغيره من الاحكام، لأن المسجد هو الذي أعد لرواتب الصلاة وعين لها حتى لا ينتفع به فى غيرها، وموضع الصلاة العيد معد للاجتماعات ولنزول القوافل ولركوب الدواب ولعب الصبيان، ولم تجر عادة السلف بمنع شيء من ذالك فيه، ولو اعتقدوه مسجدا لصانوه عن هذه الاسباب ولقصد لاقامة ساىٔر الصلوات، وصلاة العيد تطوع وهو لا يكثر تكرره بل يبنى لقصد الاجتماع، والصلاة تقع فيه بالتبع

Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan. Maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum2 lainnya
Karena masjid adalah tempat yang disiapkan untuk sholat secara rutin dan ditentukan untuk sholat hingga tidak dipakai untuk kepentingan lainnya. Sedangkan tempat sholat Ied diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan dan menurunkan orang dari perjalanan dan tempat naik kendaraan dan tempat main anak-anak. Dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied.
Jikalau mereka menganggapnya masjid, maka akan dijaga dari sebab-sebab tersebut dan ada niat untuk melakukan semua sholat di sana. Dan, shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang2 sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan.

Dari jawaban Imam Ghazali bisa ditarik kesimpulan :
Jika musholla dibangun untuk sholat secara rutin, peruntukan utamanya untuk sholat dan tidak dipakai untuk hal lain yang tak sejalan, dijaga hal-hal yang tidak sesuai dengan fungsi masjid. Maka, pada tempat tersebut berlaku hukum-hukum masjid, alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya musholla.
 
Keseimpulannya:
Musyawirin PISS berbeda pendapat dalam hal ini.

Pendapat pertama
Secara mutlak TIDAK BOLEH mengubah status waqaf musholla di ubah menjadi masjid.

Pendapat kedua
Ditafshil dahulu definisi musholla dimaksud :
  1. Jika musholla tersebut dalam makna tempat yang bisa digunakan shalat tetapi tidak digunakan secara rutin   dan dipakai untuk kegiatan selain masjidiyyah, semisal musholla Ied (lapangan)/aula/gedung serbaguna, maka TIDAK BOLEH mengubah status waqafnya menjadi masjid. Alasannya sama dengan pendapat pertama.
  2. Jika musholla tersebut dalam makna masjid kecil yang tak dipakai jum'atan sebagaimana difahami sebagian besar masyarakat maka BOLEH mengubah status waqafnya menjadi masjid karena tidak terdapat perubahan selain sekedar sebutan.
Link Asal > http://www.piss-ktb.com/2012/07/1725-hukum-mengubah-status-waqaf.html

Sabtu, 04 Juni 2016

Jabolan



PADA suatu hari masyarakat di Lebong digemparkan oleh kabar adanya beberapa penculik yang setiap hari mengintai anak-anak untuk dikorbankan dalam suatu upacara. Para orangtua yang kebanyakan setiap harinya pergi ke sawah atau ke kebun, menjadi khawatir akan keselamatan anak-anak mereka di dusun. Apalagi para orangtua yang berbulan-bulan tidak pulang ke dusun, hanya tinggal di kebun atau sawah mereka.
Di kalangan anak-anak pun kabar berita itu menyebar dan menakutkan. Mereka pergi ke sekolah atau pulang sekolah selalu bergerombol, karena takut diculik. Tapi, kegiatan-kegiatan anak-anak dusun di Lebong tetaplah seperti biasa. Banyak kabar berita yang menyebutkan sekelompok penjahat yang suka menculik anak-anak telah melakukan penculikan di beberapa Kutei atau dusun. Berita-berita itulah yang meresahkan masyarakat di Lebong.
Konon, sekelompok orang yang suka menculik itu oleh masyarakat disebut Jabolan ( penjahat ), yang beraksi secara sembunyi-sembunyi. Namun, tak ada yang tahu, siapakah para penjahat itu. Untuk apa mereka menculik anak-anak dusun yang tak bersalah serta tidak tahu menahu masalah.
Karena kabar beritanya sudah begitu meluas di tengah kehidupan masyarakat, maka persoalan Jabolan itu akhirnya masuk juga ke agenda rapat para ketua-ketua adat di Lebong. Mereka membahas, mengkaji dan mencari jalan ke luar, agar kalau kabar Jabolan itu benar, anak mereka akan selamat, tidak mendapat gangguan.
Pada suatu hari, berkumpullah beberapa orangtua, ketua-ketua adat, kepala kampung di rumah Pangeran Lai ( pangeran=pangeran/pimpinan masyarakat, lai = besar ), guna membahas  kabar berita yang tak menggembirakan yang beredar dan menyebar di tengah kehidupan masyarakat Lebong.
“ Bapak-bapak yang kami hormati, kami mengundang bapak-bapak datang ke sini hanya untuk membicarakan kabar yang belum jelas yang selama ini tersiar luas,” kata Pangeran Lai kepada hadiran yang hadir. Suasana di ruang rapat Balai Kampung itu mencekam, semuanya duduk bersila dan melingkar di atas tikea paden ( tikea = tikar, paaden = pandan), mendengar Pangeran Lai berbicara.
“ Jadi, malam ini kita akan mencari jalan ke luarnya, mudah-mudahan bapak-bapak yang hadir di sini dapat memberikan keterangan yang diperlukan,” ujar Pangeran Lai yang biasa dipanggil Lai itu.
“ Nah, siapa yang ingin bicara soal itu terlebih dahulu?” harap Pangeran Lai. Sejenak para orangtua yang hadir terdiam. Sebagaian mereka asyik menghisap rokok daun nipah kesukaan orang-orangtua di Lebong zaman dahulu kala itu. Suasana hening dan agak mencekam itu, tiba-tiba mencair, karena ada yang bicara.
“Silakan…,!” kata Pangeran meminta yang mengangkat tangan untuk mulai bicara.
“ Begini sepasuak, soal kabar itu memang sudah lama terdengar, tapi di daerah ini belum ada korban yang diculik,” kata Rio Bong. Semua yang hadir melirik Rio Bong dengan seksama. Lalu, kata Rio Bong, “Kalau benar, tentunya kita perlu waspada, kalau perlu kita giatkan petugas keamanan wilayah melakukan pengintaian pula,’ lanjut Rio Bong.
“ Ya, mungkin jalan itulah yang terbaik, tetapi juga setiap anggota keluarga kita di daerah ini harus membantu, terutama menyelidiki kelompok Jabolan itu, “ ujar Blando Padea. Mendengar  usulan Blando Padea itu, yang hadir malam itu sepakat untuk menangkap pelaku penculikan yang menyebutkan nama mereka dengan Jabolan.
Pangeran Lai pun setuju, ia berjanji akan memberikan perhatian khusus, apalagi setelah ia mendapat masukan dari penasihatnya, Manin bahwa, Jabolan itu benar-benar ada. Oleh karenanya, kata Pangeran Lai, berita itu harus ditanggapi serius. Pertemuan malam itu yang bersepakat dan sepaham mengatasi segala gangguan keamanan jiwa masyarakat Lebong berakhir hingga waktu menjelang pagi hari.

Ki Pati dan Ki Pandan



 TERSEBUTLAH kisah setelah Ki Karang Nio yang kemudian bergelar Sultan Abdullah kembali ke tanah Lebong dari Kerajaan Indrapura, tempat adik bungsunya Putri Serindang Bulan dijadikan permaisuri oleh raja Pagai bernama Setio Barat. Di Lebong Ki Karang Nio dinobatkan jadi raja menggantikan kedudukan ayahandanya Rajo Mawang.
            Diceritakan, ayahanda Ki Karang Nio bernama Rajo Mawang bertahta setelah menggantikan ayahandanya bernama Rajo megat bergelar Rajo Mudo Gunung Gedang. Sedangkan Rajo Megat menggantikan tahta dan kedudukan ayahandanya, Biku Sepanjang Jiwo yang dipanggil pulang oleh kerajaan Mojopahit ke Istana Pagar Ruyung. Rajo Mawang yang menggantikan tahta ayahandanya Rajo Megat mempunyai 7 orang anak, yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain, Ki Jenain, Ki Geting, Ki Karang Nio dan Putri Serindang Bulan.
            Ki Karang Nio sebagai raja di Ulau Dues, Lebong —dekat Muara Aman sekarang, dikarunia dua orang anak masing-masing Ki Pati dan Ki Pandan. Pada waktu Ki Pati dan Ki Pandan masih kecil, keluarganya menerima kiriman dari Putri Serindang Bulan yang bergelar Sebei Lebong berupa bokoa iben ( tempat sirih ) berisi dua sabok ( selendang). Satu selendang  sutera yang sudah buruk berisi buah berukuran kecil bernama buah aman dengan rasanya sangat manis. Sedangkan sabok lainnya yang masih baru berisi buah abo yang berukuran besar. Tapi, rasanya masam. 
            Adapun bokoa iben yang dikirim Sebei Lebong dari kerajaan Indrapura yang menguasai pulau Pagai di muara Bioa Ketawen ( air Ketahun )—yang sekarang berada di Bengkulu Utara adalah barang bawaan Sebei Lebong alias Putri Serindang Bulan saat ia hendak dibunuh oleh saudara-saudaranya. Pada waktu menerima kiriman Putri Serindang Bulan, Ki Karang Nio memanggil dua putranya, Ki Pati alias Rio Patai dan adiknya Ki Pandan alias Tuan Rajo.
            Kenapa Ki Karang Nio tidak memanggil dua putrinya bernama Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari? Itu semua dilakukan oleh raja Ki Karang Nio berdasarkan, bahwa tahta kerajaan pada suatu saat nanti akan diserahkan kepada salah satu di antara putra mahkota; Ki Pati dan Ki Pandan. Dengan demikian Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari tidak dipanggil menghadap.
            Setelah kedua putranya yang masih kecil itu menghadap, berkatalah Ki Karang Nio dengan suara pelan, tapi berwibawa.
“ Hal anandaku berdua. Tahukah ananda dipanggil menghadap?” kata Ki Karang Nio kepada kedua putranya. Tentu saja, kedua putra raja Ki Karang Nio itu tak tahu menahu, apalagi soal kerajaan. Keduanya hanya menatap ayahandanya tanpa berkedip. Kemudian Ki Karang Nio meneruskan ucapannya.
“ Ketahuilah putraku, bahwa beberapa waktu lalu telah datang kiriman dari adik ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di pulau Pagai. Kiriman itu akan ayahanda perlihatkan kepada putrananda berdua,” jelas Ki Karang Nio sambil bersila di ruang pertemuan keluarga raja.
“ Barang apakah gerangan itu, wahai ayahanda raja,” tanya Ki Pati yang sering juga disebut dengan nama Rio Patai itu. Mendengar pertanyaan anak tertuanya itu, Ki Karang Nio hanya diam dan melirik ke arah Ki Pati. Kemudian, pandangannya dialihkan ke wajah putra keduanya, Ki Pandan alias Tuan Rajo. Dengan gerakan tangan, Ki Karang Nio meminta penasihatnya untuk mengambil bokoa iben yang dikirim oleh Putri Serindang Bulan. Setelah bokoa iben itu diserahkan oleh penasihat raja ke Ki Karang Nio, mata Ki Pati terbelakak.
            Sesaat kemudian Ki Pati tak sabaran ingin tahu apa isi bokoa iben itu. Lalu ia bertanya dengan rasa ingin tahu kepada Ki Karang Nio.
“Wahai ayahanda raja, bukalah tutup bokoa iben itu, agar hamba dapat melihatnya dengan jelas,” pinta Ki Pati. Kini, giliran Ki Karang Nio yang terbelakak mendengar permintaan anak tertuanya itu.
“Sabar, sabarlah wahai putrananda!” pinta Ki Karang Nio kepada Ki Pati. Namun, Ki Pati nampaknya makin gelisah, seakan-akan ia ingin memiliki semua isi bokoa iben itu. Gelagat Ki Pati itu sudah diketahui oleh Ki Karang Nio. Namun, ia tetap sabar, sebagai raja dihadapan anak-anaknya, ia harus mempunyai ketabahan dan kesabaran.
“ Ayahanda mengundang putrananda berdua di sini gunanya untuk memberikan kiriman Putri serindang Bulan kepada putrananda sebagai calon pewaris tahta kerajaan. Untuk itu, putrananda berdua harus memilih, yang mana yang disukai,” jelas Ki Karang Nio dihadapan anak-anaknya yang disaksikan beberapa penasihat kerajaan, hulubalang dan keluarga istana kerajaan.
Dengan perlahan, Ki Karang Nio membuka penutup bokoa iben itu yang disaksikan oleh kedua putra mahkota. Setelah diangkat isinya, Ki Karang Nio meletakkan kedua sabok dihadapannya, dengan maksud agar kedua putranya dapat melihat dengan jelas, sehingga dapat menentukan pilihan yang tepat tanpa ada penyesalan dibelakang hari.
“Nah, sekarang ayahanda meminta kepada putrananda berdua untuk memilih satu di antara kedua sabok yang ada isinya itu,” pesan Ki Karang Nio. Tak lama setelah ia mengucapkan kata-kata itu, Ki Pati langsung minta izin untuk memilih pilihannya. Ki Pati melihat sabok yang masih baru berumbai-umbai emas dan perak serta berisi buah abo berukuran besar, langsung menjatuhkan pilihannya.
“Wahai ayahanda raja, hamba memilih sabok berumbai emas berisi buah abo besar itu,” pinta Ki Pati. Ki Karang Nio hanya memandang putra tertuanya, lalu ia berkata; “Apakah tidak salah pilihan putrananda Ki Pati?” tanya Ki Karang Nio. Dengan tegas Ki Pati menjawab, “Tidak. Tidak ayahanda raja. Itulah pilihan hamba,” katanya.
“Apakah putrananda Ki Pati tak menyesal memilih sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu,” tanya Ki Karang Nio lagi. Ki Pati sudah berbulat tekad ingin memiliki sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu. Ia khawatir kalau-kalau adiknya, Ki Pandan akan memilih sabok yang sama. Oleh karena itu, Ki Pati mengajukan pilihan lebih awal sebelum ayahandanya selesai bicara.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang ayahanda ingin bertanya kepada Ki Pandan, relakah engkau memberikan sabok bagus dan buah abo besar itu kepada kakakmu?” tanya Ki Karang Nio kepada Ki Pandan. Ki Pandan hanya tersenyum, ia tak bisa bicara seperti kakaknya Ki Pati. Namun, dari raut wajahnya ia begitu ikhlas melihat kakaknya sudah menjatuhkan pilihan, berarti dirinya harus menerima sabok buruk yang berisi buah aman berukuran kecil.
“Tidak ayahanda raja, hamba hanya memilih sabok buruk itu saja,” kata Ki Pandan dengan suara yang senang. Mendengar kata-kata Ki Pandan, tersentaklah Ki Karang Nio, ia tahu putra keduanya itu sebenarnya belum dapat memilih apapun, karena usianya masih kecil. Tapi, hari itu Ki Pandan seakan-akan seperti orang dewasa. “Betulkah apa yang ayahanda dengar dari putrananda Ki Pandan?” tanya Ki Karang Nio.
“Betullah ayahanda raja!” jawab Ki Pandan. Maka, setelah pilihan kedua putranya dijatuhkan, Ki Karang Nio menyerahkan kedua benda itu kepada kedua putranya. Lalu, Ki Karang Nio berpesan, “ Wahai putrananda berdua, pilihan putrananda itu mempunyai arti masing-masing, jagalah barang-barang itu dengan baik untuk dimanfaatkan di kemudian hari,” pesan Ki Karang Nio.
            Ki Pati dan Ki Pandan kian hari kian tumbuh besar, keadaan kerajaan ayahandanya juga berkembang di berbagai bidang, seperti pertanian, perkebunan dan tatanan masyarakatnya. Barang pemberian ayahanda mereka yang dikirim oleh Sebei Lebong dari Indrapura tersimpan rapih di istana. Kedua putra mahkota itu tak lagi memikirkannya. Karena, keduanya memang sedang asyik bermain sesuai dengan bertambahnya umur putra mahkota itu.
            Pada suatu hari, Ki Pati dan Ki Pandan yang sudah tumbuh dewasa dipanggil ayahandanya. Keduanya bergegas menghadap sang raja. “Apa gerangan ayahanda memanggil kita,” tanya Ki Pati kepada adiknya Ki Pandan. Sang adik tak tahu, lalu ia berkata, “Wahai kakanda, tak usah kita memikirkan apa maksud ayahanda. Yang penting kita menghadap sekarang juga,” kata Ki Pandan.
            Maka, menghadap Ki Pati dan Ki Pandan dihadapan ayahanda rajanya di ruang tamu istana kerajaan di Kutei Belau Setaun. Dengan rasa hormat, kedua putra mahkota itu bersujud kepada ayahandanya. Di ruangan tamu istana sudah banyak yang berkumpul, termasuk ibundanya. Setelah keduanya duduk, berkatalah sang raja.
            “Ananda berdua, tahukah apa maksud ayahanda memanggil ananda?” tanya sang raja. Tentu saja Ki Pati dan Ki Pandan tidak tahu. Selang beberapa saat kemudiannya, sang raja pun berucap, “Tahukah ananda berdua, siapa yang duduk di samping ayahanda ini?” Kita Pati dan Ki Pandan menggelengkan kepala.
            “Mohon maaf ayahanda raja, siapakah gerangan ibunda tercinta ini,?” kata Ki Pandan dengan bahasa yang santun kepada ayahandanya. Mendengar ucapan itu, Sebei Lebong tersenyum. Dari sorot matanya terpancar rasa gembira yang luar biasa. Ia bergumam, "Inilah pewaris kerajaan di Kutei Belau Setaun!”
            Baiklah, kalau memang tak tahu, ayahanda akan jelaskan, bahwa ibunda yang berada di samping ayahanda ini tak lain adalah adik kandung ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di Pulau Pagai. “Jadi, ananda berdua harus memanggilnya dengan bibinda permaisuri dan segeralah bersujud memberi hormat,” pinta Ki Karang Nio kepada kedua putranya.
            Kedua putra Ki Karang Nio memang cerdas. Tanpa diperintah lagi, Ki Pati dan Ki Karang Nio yang tumbuh dewasa dan tampan menyujuti bibinda permaisuri Sebei Lebong itu dengan perasaan yang suka cita, karena baru bertemu saat itu.
            Oleh Sebei Lebong, kedua putra mahkota itu dielus-elusnya rambut mereka, kemudian diciumnya kening keduanya sebagai pemberian berkah kehidupan akan datang, agar keduanya tetap selamat dan sukses dalam mengarungi kehidupan dunia. Setelah kedua putra Ki Karang Nio mundur beberapa langkah dari hadapan Sebei Lebong, hanya berselang sejenak, Sebei Lebong berkata kepada Ki Karang Nio.
            “Kakanda raja, saya ingin bertanya, siapakah penerima kedua sabok yang dikirim beberapa tahun silam?” tanya Sebei Lebong.
            “Adindaku, sabok berumbai emas dan perak berisi buah abo dipilih dan diambil oleh ananda Ki Pati, sedangakn sabok berisi buah aman dipilih dan diambil oleh Ki Pandan,” jelas Ki Karang Nio. Mendengar pengungkapan itu, gembiralah hati Sebei Lebong. Tercengang. Namun, di hatinya timbul pertanyaan dan kegusaran. Akhirnya ia menjelaskan dihadapan keluarga istana Kutei Belau Setaun tentang sabok berisi buah abo dan buah aman yang sudah dipilih oleh putra mahkota kerajaan.
            “Wahai anandaku Ki Pati, engkau telah memilih sabok baru berumbai emas dan perak berisi buah abo yang besar, berarti engkau anandaku tidak memiliki tabiat orangtua dan berpaham. Engkau hanya menilik sesuatu itu dari luar saja, tidak melihat yang bathin, engkau mau yang kelihatannya bagus, mau yang enaknya saja seperti tabiat paman-pamanmu yang dahulu. Camkanlah di hati sanubarimu, hak anakku Ki Pati, bahwa engkau yang bertabiat seperti itu tidak patut menjadi raja,!” terang Sebei Lebong yang didengar semua keluarga kerajaan.
            Kemudian, kepada Ki Pandan, Sebei Lebong berkata pula, “Engkau, hai anakku Ki Pandan, sungguhpun engkau masih kecil, tetapi engkau bijaksana dan budiman. Tabiat anakku itu, sudah selayaknya engkau nanti menggantikan kedudukan ayahandamu di Lebong,” ujarnya lagi.
            Maka, tercenganglah semua yang hadir di ruang tamu kerajaan itu. Di samping telah memberi jalan penunjukan pewaris tahta kerajaan, penjelasan Sebei Lebong menimbulkan keretakan di dalam istana. Terutama  dari Ki Pati yang merasa tersingkir dan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi raja.
            Konon kabara ceritanya, Ki Pati setelah beberapa tahun dari kedatangan Sebei Lebong, ia meninggalkan istana di Kutei Belau Setaun pergi ke Pagar Bulan dan di sana Ki Pati mendirikan Kutei Karang Anyar ( kini berada di daerah Desa Semelako ) dan menjadikannya sebagai tempat tinggal. Ki Pati akhirnyameninggal dunia di Semelako serta makamnya dikenal dengan Keramat Semelako yang berada di dusun Beringin Kuning, Semelako.
            Ki Pati meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa barang pusaka kerajaannya seperti sebuah gading gajah, cikuk terbuat dari gading, sepasang keris bernama keris sepejam dan keris semayang mekar. Dan, tahta kerajaannya digantikan oleh anaknya yang tertua bernama Rio Cende yang juga mendirikan Kutei baru di teras Mambang, tidak jauh dari Semelako. Namun, berdasarkan cerita masyarakat, Kutei teras Mambang tidak bertahan lama, karena hilang akibat bencana alam banjir Bioa Ketawen.
            Rio Cende dan kelima saudaranya tenggelam, yang tidak tenggelam hanya dua saudara Rio Cende. Karena, pada waktu banjir besar itu sedang tidak berada di Teras Mambang. Kedua saudara Rio Cende yang selamat itu bernama Rio Bas dan Rio Pijar. Keduanya dikemudian hari meninggalkan daerah Renah Sekalawi (Lebong ). Rio Bas pergi ke Lais dan mendirikan Kutei Pagar Banyu di Ulu Palik, sedangkan Rio Pijar tetap tinggal di Lebong dengan mendirikan Kutei baru yang diberi nama  Kutei Usang yang melanjutkan petulai Suku VIII.
           
 Kesempulan
Dari cerita rakyat Ki Pati dan Ki Pandan di atas, dapat diambil pelajaran, bahwa menilai sesuatu benda atau seseorang janganlah hanya melihat pada luarnya saja. Tetapi, coba selami isi ( bathin ). Karena pemandangan dari sisi luar yang indah saja bisa membuat kita tertipu, karena ternyata di dalamnya busuk.

Buai Putiak dan Buai Kotong

NAMA dan cerita Buai Putiak dan Buai Kotong sudah tak asing lagi bagi masyarakat di Lebong, karena kedua binatang yang dipercayai sebagai makhluk manusia jadi-jadian yang menunggu suatu tempat itu, kadang ada yang beranggapan sebagai pelindung masyarakat. Cerita Buai Putiak ( Buai = buaya, Putiak = putih ) adalah kisah seekor buaya putih yang menghuni dan menunggu mata air Bioa Ketahun ( Bioa = air atau sungai, Ketawen = nama sungai ) di daerah Siang Langkat, masih masuk wilayah Sukanegeri ( Topos ).
Konon, buaya putih itu menurut kepercayaan masyarakat, tak lain tak bukan jelmaan dari raja Asai Siang yang raib setelah menguburkan harta bendanya yang kesemuanya terbuat dari emas murni di daerah Lebong Siang. Karena tak mau membalas dendam kepada orang-orang yang mencuri harta bendanya, maka Ajai Siang menghilang ( raib ) dari kehidupan duniwi.
Dan, akhirnya memilih tempat di sumber mata air Bioa Ketawen, serta merta menjelma menjadi seekor buaya putih. Dengan wujudnya seperti itu, kata orang-orang Lebong, Ajai Siang dapat mengawasi dan melindungi keturunannya dari berbagai malapetaka yang akan atau sedang menimpa masyarakat di Topos ( Sukanegeri ).
Baik buruknya Bioa Ketawen ( Sungai Ketahun ), selalu menjadi perhatian buaya putih alias Ajai Siang. Ia menjaga sumber mata air itu, agar tetap bersih, jernih dan dapat diminum oleh siapa saja, tanpa harus memasaknya terlebih dahulu. Buaya putih atau buai putiak itu, memang tak sembarangan memperlihatkan diri. Di samping itu pula, sumber mata air Bioa Ketawen memang jarang didatangi orang, sebab tempatnya sangat jauh dan perjalanan menuju ke sana sangat sukar. Karena harus melalui hutan lebat yang masih banyak binatang buasnya.
Pada suatu waktu, buaya putih ingin berjalan-jalan ke muara Bioa Ketawen yang mengalir ke Samudera Indonesia di daerah Besisia ( pesisir dan sekarang termasuk wilayah Bengkulu Utara ). Maka, untuk memudahkan perjalanannya, buaya putih menjelma menjadi sepotong kayu besar dan hanyut bersama banjir Bioa Ketawen. Tanpa aral melintang, buaya putih sudah melewati dusun Topos, Talangdonok, Rimbo Pengadang, Tapus dan ia segera memasuki daerah Danau Tes.
Ia sadar, kalau di Danau Tes yang merupakan bendungan tak sengaja yang dibuat oleh Pahit Lidah, ada penunggu lain yang berwujud sebagai seekor Buaya Sakti . Buaya putih sudah tahu, kalau buai sakti takkan mengizinkan siapapun yang akan melewati Danau Tes. Bagi makhluk-makhluk jelmaan yang sakti, bila ingin melewati Danau Tes, harus bertarung dengan Buai Sakti terlebih dahulu. Biasanya tak ada yang mampu melawan Buai Sakti Tawen Blau itu.
Tapi, karena tekad yang sudah bulat, Buai Putiak alias buaya putih itu tetap nekat. Dengan wujudnya sebagai sebatang pohon yang dihanyutkan air, ia yakin Buai Sakti tak akan tahu, kalau kayu besar itu adalah dirinya. Ternyata, dugaan Buai Putiak meleset sama sekali.
Sesampai di mulut Danau Tes, tepatnya di Jungut Benei ( jungut = tanjung, benei = pasir ) Buai Putiak sudah ditunggu oleh Buai Sakti. Berdebarlah hati Buai Putiak manakala ia melihat Buai Sakti siap menghadangnya. Oleh karenanya, Buai Putiak pura-pura tetap sebagai pohon yang hanyut. Tapi, betapa kagetnya Buai Putiak, manakala ia mendengar suara lantang dari Buai Sakti.
“Hai, sahabatku dari hulu Bioa Ketawen. Apa gerangan sahabat memasuki wilayah hamba,” tegus Buai Sakti sambil menunjukkan jari kaki depannya ke arah Buai Putiak yang masih berwujud kayu. Mendengar teguran yang angker itu, Buai Putiak tak menjawab. Ia tetap tak mau memperlihatkan wujudnya. Sayang, karena tak mau memperlihatkan wujudnya itu, Buai Sakti marah.
“Apa sahabat sudah tak mendengar kata-kata saja,” ujarnya jengkel. Tapi, yang ditegur tak jua mau menjawab. Buai Putiak asyik berhanyut bersama air. Sebagian badannya berada di dalam air, sebagian atau punggungnya berada di atas permukaan air. Karena jengkel, Buai Sakti lalu melompat ke dalam air. Ia hampiri kayu besar yang hanyut itu dengan perasaan geram.
Lalu, dengan cakarnya Buai Sakti mencabik-cabik kulit kayu itu—yang sebenarnya adalah seekor buaya berwarna putih. Namun, Buai Putiak tak bereaksi apa-apa, walaupun ia merasa tubuhnya makin lama makin perih. Karena tak tahan, buaya putih (buai putiak) itu akhirnya berubah wujud menjadi buaya. Ia mencoba menenagkan Buai Sakti dengan sapaan ramah.
“Maaf, maaf sahabatku penunggu aliran air masuk ke Danau Tes, hamba tak bermaksud mengganggu sahabat. Tapi, hamba ingin berjalan-jalan ke muara,” kata Buai Putiak. Tapi, keramahan itu tak disambut oleh Buai Sakti, karena dirinya sudah merasa jengkel dan marah. Buai Sakti terus berusaha untuk meringkus Buai Putiak.
Menyadari keadaan tak mungkin bisa didamaikan, Buai Putiak pun melayani serangan Buai Sakti. Kedua makhluk jelmaan jadi binatang buaya itu akhirnya berkelahi dengan kesaktian masing-masing. Perkelahian keduanya memang seru. Menurut cerita perkelahian hebat itu berlangsung selama 7 hari 7 malam. Dan, keduanya tetap tak ada yang kalah atau menang.
“Hai sahabatku Buai Sakti, apa manfaat kalau kita berkelahi terus menerus. Kekuatan kita sama-sama hebat, apakah tidak baiknya kalau kita berdamai saja,” kata Buai Putiak.
“Tak ada perdamaian, ini kekuasaan saya, dan di Danau Tes itu berkuasa pula sahabat Dung Ulau Tujuak (Dung= ular, Ulau = kepala, dan Tujuak = tujuh ). Sebelum kamu, wahai sahabat penunggu sumber mata air Bioa Ketawen di makan Dung Ulau Tujuak, lebih baik saya yang mengalahkanmu terlebih dahulu, agar tak sembanrangan memasuki wilayah kekuasaan kami,” jawab Buai Sakti.
Sebenarnya, Buai Putiak tak mau melayani kemarahan sahabatnya Buai Sakti. Tetapi, karena dirinya sudah kena cakar lebih dahulu, serta merta mendapat penghinaan dari Buai Sakti. Maka, ia layani saja kemauan Buai Sakti.
“Baiklah sahabat, kalau itu maumu, apaboleh buat kita pun harus bertarung lagi hingga ketahuan siapa yang lebih hebat di antara kita,” ujar Buai Putiak dengan suara pelan, tapi berisi. Sejenak, Buai Sakti masih angkuh. Namun, lama kelamaan ia berpikir; “Sudah 7 hari 7 malam ia berkelahi dengan Buai Putiak. Tapi, belum ada yang menang atau kalah. Dirinya juga sudah mengalami luka akibat tebasan ekor Buai Putiak yang menyebabkan ekornya putus….”
Sejak saat itulah, Buai Sakti berubah nama menjadi Buai Kotong, karena ekornya putus oleh Buai Putiak dalam perkelahian tanding selama 7 hari 7 malam di tawen Blau, yang juga mengakibatkan warna air di Danau Tawen Blau menjadi kuning hingga sekarang ini.
“Baik. Baiklah!” jawab Buai Sakti. Namun, katanya lebih lanjut kita harus mengadakan perjanjian, agar tak saling mengganggu dan memasuki wilayah masing-masing tanpa peberitahuan. Konon kabarnya di dalam cerita masyarakat Kotadonok, Buai Kotong yang punya istana di bawah dusun Kotadonok—tepatnya di kawasan kuburan Padang Jiet  (nama lokasi pemakaman umum dusun Kotadonok) dan pintu masuk istana Buai Kotong itu berada di Tawen Blau ( Tawen = danau baru dari bentukan Danau Tes, Blau = baru ). Wilayah kekuasaan Buai Sakti hanya sampai Jungut Benei dan seluruh kawasan Tawen Blau yang di dasarnya banyak lumpur, pinggirannya banyak ditumbuhi pun peak ( bambu-bambu air berukuran kecil ), pun rumbia (pohon rumbia yang bisa diambil sagunya ) serta enceng gondok.
Akhirnya Buai Putiak dan Buai Sakti sepakat mengadakan perjanjian, yang isinya saling menjaga daerah masing-masing dari serangan musuh. “Engkau sahabat Buai Putiak tetaplah menjaga sumber mata air Bioa Ketawen, dan hamba menjaga jalur masuk Bioa Ketawen menuju Danau Tes,” kata Buai Sakti.
“Ya, sebaiknya demikian,” jawab Buai Putiak. Tapi, kata dia hamba mohon kalau hamba mau ke muara Bioa Ketawen, kiranya sahabat tak keberatan hamba lewat di daerah kekuasaan sahabat, hamba akan menjelma menjadi kayu kalau lewat di daerah ini. Mendengar permohonan Buai Putiak itu, Buai Sakti akhirnya berpikir, “Kenapa saya harus melarang dia lewat di sini, bukankah kami ini adalah bersahabat?” gumamnya dalam hati.
“Baik, hamba akan izinkan sahabat bila suatu saat akan ke Muara Bioa Ketawen dan melewati daerah kekuasaan hamba. Tapi, jangan sekarang,” pinta Buai Sakti. Keduanya memang sepakat berdamai, namun Buai Putiak harus membatalkan kunjungannya ke Muara Bioa Ketawen.
Menurut cerita rakyat Lebong, dalam perkelahian tanding antara Buai Putiak dan Buai Sakti di Tawen Blau—bagian Timur Danau Tes, air di daerah itu menjadi keruh, warna kuning sepanjang hari. Bahkan, hingga sekarang warna air di Tawen Blau itu tetap berwarna kuning, padahal Tawen Blau menyatu dengan Danau Tes yang airnya jernih dan bening.
Sampai sekarang juga, peristiwa perkelahian antara Buai Putiak dan Buai Sakti tetap menjadi cerita menarik orang-orangtua di Lebong kepada anak-anak mereka. Hanya, tidak diketahui persis, apakah Buai Kotong itu masih ada atau tidak. Sebab, Tawen Blau ( Tawen = Ketahun, Blau = Baru )makin lama makin mendangkal, akibat lumpur yang terbawa oleh anak sungai dari Bioa Tik, Bioa Tiket, Bioa Pacua Telai ( Pacua = pancuran, Telai = nama air/sungai) dan Bioa-Bioa Tik lainnya ( Bioa= air/sungai, tik = kecil ).
Hanya saja, setelah peristiwa itu, Buai Sakti memiliki sebutan lain dari nama aslinya menjadi Buai Kotong ( Buai = buaya, Kotong = sudah putus ekornya. Maksudnya ekor buaya sakti sudah putus).

Kesimpulan:
Dari cerita di atas, didapatlah pelajaran, bahwa kesombongan diri terhadap orang lain tidak perlu dijadikan sifat dan sikap hidup. Karena, orang hebat itu adalah orang yang berbuat baik dan mau mengerti keadaan orang lain, kapan dan di mana saja. Serta, kekuasaan di bumi ini ada batasnya, sebab makhluk yang ada hanya menjaga dan melestarikan apa yang telah diciptakan oleh Tuhan.

Wisata Alam Curup di Lampung Utara



Wisata Alam Curup Gangsa
AIR terjun Curup Gangsa merupakan air terjun bertingkat, sehingga panorama yang nampak sungguh luar biasa. Air terjun ini mempunyai ketinggian 50 meter lebih dengan lebar pematang airnya mencapai 20 meter. Air terjun ini salah satu dari sekian banyak obyek wisata alam Lampung Utara yang menjadi bagian rancangan pengembangan dan pelestarian lebih lanjut pihak pemda setempat.
Lokasi air terjun ini hanya 10 km dari ibukota kecamatan - Kasui, terletak di dusun Tanjung Raja desa Kota Way Kecamatan Kasui. Atau dari Kotabumi berjarak 126 km dan 223 km dari Bandarlampung.

Curup Gangsa berasal dari aliran sungai (way) Tangkas yang mengalir melewati Bukit Punggur menuju desa Tanjung Kurung dan Lebak Peniangan. Di sekitar air terjun Gangsa udaranya cukup sejuk, banyak ditanami penduduk jenis tanaman kopi dan tembakau. Biasanya, disekitar daerah obyek wisata ini selalu diselimuti kabut.
Bila kita kesana jangan lupa membawa jaket atau baju dingin, terutama bagi mereka yang tidak tahan dengan cuaca dingin. Tidaklah sulit untuk mencapai lokasi obyek wisata alam ini, bisa dilalui dengan kendaraan roda dua dan roda empat di atas jalan aspal sampai Tanjung Bulan. Kemudian, 2 km terdiri dari jalan onderlag dan 1,5 km masih berupa jalan tanah.
Namun, pihak Diparda Lampung Utara siap membangun sarana jalan ke lokasi obyek wisata Curup Gangsa tersebut. “Kini sudah kita bangun beberapa sarana, terutama jalan penghubung dan jalan turun ke bawah air terjun,” ungkap Ali Duki SH dua hari lalu.

Air Terjun Curup Indah 
Kalau Kotabumi dengan daerah Lampung Utaranya terkenal dengan sebutan negeri air terjun hal itu tidak berlebihan. Karena daerah ini memiliki cukup banyak sungai dan kondisi alam yang berlekuk-lekuk, lembah, gunung dan dataran rendah.
Selain air terjun Selampung, Gangsa, masih ada lagi air terjun yang tidak kalah indahnya pemandangan di air terjun tersebut.
Misalnya air terjun Curup Indah yang terletak di dusun Gunung Klawas desa Pekurun Kecamatan Abung Barat, Lampung Utara. Air terjun ini memiliki ketinggian lebih dari 20 meter dengan lebar penampang airnya mencapai 10 meter.
Untuk ke sana, jarak paling dekat dari Ogan Lima- 20 km, dari Kotabumi - 30 km, dan bila dari Bandarlampung jaraknya hanya 140 km.
Di lokasi air terjun Curup Indah akan dikembangkan taman parkir yang luas, kantin dan warung makan serta pasar seni, untuk menampung kerajinan tangan penduduk sekitarnya. Hasil kerajinan itu berupa barang-barang  kenangan bagi pengunjung.

Air Terjun Bumi Harjo 
Lokasi air terjunnya ada di desa Bumiharjo Kecamatan Bahuga. Air terjun ini tidak terlalu tegak lurus, kiri kanannya masih ditumbuhi tetumbuhan hutan. Namun termasuk prioritas pengembangan dan peningkatan pembangunan sarananya oleh Pemda Lampung Utara melalui Diparda.
Air terjun Bumiharjo hanya berjarak 7 km dari Bahuga (ibukota kecamatan) atau 126 km dari Kotabumi dan 250 km dari Bandarlampung.
Ketinggian air terjunnya lebih kurang 10 meter dengan penampang airnya seluas 10 meter. Lokasi ini sangat ideal itu petualangan alam bebas para pecinta alam, terutama tahap pelatihan dan pengenalan medan.
Namun, tidak menutup kemungkinan tempat rekreasi keluarga yang cukup prospektif di masa depan.(nep/t-14)

Curup-1
4. Air Terjun Kriting di Curup Selampung
KONON- Berapa tahun lalu di sekitar dusun Olak Nila desa Gunung Betuah Kecamatan Abung Barat, Lampung Utara hidup seorang lelaki bersama isterinya di pinggir dusun. Lelaki itu bernama Selampung. Menurut kisahnya, Selampung adalah seorang Petapa, juga guru silat aliran putih.
Sebelum Selampung punya anak dan murid silatnya, ia selalu bertapa (bersemedi, red) di suatu lokasi dipinggiran dusun tempat tinggalnya. Namun, waktu itu orang belum ada yang tahu, walau sudah diusahakan mencari tempat bersemedinya, tak juga ketemu. Tapi jelas, Selampung adalah orang pintar di kampungnya.

Semedi Dibalik Air Terjun
Kepiawaian Selampung sebagai orang pintar, memang diakui hampir seluruh rakyat desanya, bahkan kini sudah melegenda. Dari riwayat Selampung itulah, semula air terjun (Curup dalam bahasa Lampungnya) bernama Curup Gunung Betuah diganti namanya jadi air terjun Selampung.
Kenapa nama awal air terjun itu diganti? Karena di air terjun itu, tepatnya dibalik curahan air itu ada gua yang kedalamannya mencapai 7 meter lebih. Di dalam gua itulah Selampung setiap saat mengadakan semedi (bertapa) memperdalam ilmu-ilmunya. Dan ketika ia mengangkat beberapa murid, para muridnya dilatih ilmu silat, semedi dan pelatihan lainnya.
Karena daerah itu termasuk daerah perkebunan Selampung, maka air terjun yang ada itu diurus oleh Selampung, mungkin kayak juru kuncinya air terjun tersebut, seperti pada makam-makam yang dianggap keramat di beberapa daerah.
Sejak ditemukannya air terjun Gunung Betuah, maka nama Selampung diabadikan pada nama curup ini, sekaligus mengganti nama lamanya Gunung Betuah. Di atas curup ini terdapat sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Kubu Hitu.
Sekarang, setelah Selampung meninggal dunia, alam sekitar air terjun -’curup’ Selampung diurus oleh anaknya yang bernama Kobi.
Menurut Ali Duki, SH Kepala Dinas Pariwisata Lampung Utara, air terjun Selampung maupun Gunung Betuah dan Gunung Kubu Hitu bukanlah tempat yang dikramatkan, tetapi hanya tempat petilasan Selampung dan murid-muridnya.

Keindahan Alamnya
Air terjun Selampung dan alam sekitarnya memang indah, apalagi bagi mereka yang terbiasa tinggal di kota. Udaranya sejuk, hembusan angin yang menyertakan air yang mengalir melalui air terjun Selampung, benar-benar nikmat. Saat itu juga kita lalu memuji kebesaran Allah akan ciptaannya, salah satunya adalah air terjun ini.
Lebih-lebih hamparan kebun lada milik petani dusun Olak Nila Desa Gunung Betuah, menambah nikmatnya kita menjelajahi alam sekitar air terjun Selampung.
Ada yang unik di air terjun ini, berbeda dengan air terjun lainnya. Bila pada air terjun lainnya, air yang tercurah dari atas bukit atau gunung berderai, mirip seperti embun; putih seperti busa. Tapi, air terjun Selampung berbeda, curahan air dari atas dengan ketinggian antara 15 - 20 meter, airnya tidak berderai, melainkan tetap menyatu sampai dasar sungai di bawahnya.
Yang unik lagi, air terjun itu seperti rambut panjang yang kriting. Inilah kelebihan air terjun Selampung, ungkap Ali Duki SH kepada Tamtama tiga hari lalu.

Jarak ke Curup Selampung
Untuk dapat mengunjungi air terjun Selampung, bisa dicapai melalui Ogan Lima 10 km, dari Kotabumi 35 km dan dari Bandarlampung berjarak 145 km. Dari Kotabumi ongkos yang harus dikeluarkan hingga ke air terjun Selampung, hanya Rp 1.000,- dan ditambah ongkos Bandarlampung - Kotabumi Rp 2.000,- s/d Rp 2.500,-/orang.
Data curup Selampung antara lain, ketinggian mencapai 15-20 meter, lebar penampang airnya sekitar 13 meter, dan kedalaman goa dibalik air terjun mencapai 7 meter. Air terjun ini pertama kalinya ditemukan oleh Almarhum Selampung dari Negara Sakti Kecamatan Pakuan Ratu pada tahun 1937.
Air terjun ini berasal dari aliran Way Tulung Mas, dan hubungan ke lokasi dapat ditempuh melalui kendaraan roda dua, roda empat dengan kondisi jalan kabupaten.(nep/t-14)