Kamis, 02 April 2009

Haram Milih Pemimpin tak Layak

Haram Milih Pemimpin tak Layak
Oleh Naim Emel Prahana
HARAM mengharam di zaman ini diucapkan seperti mau minum saja. Akhir Januari 2009 lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berhasil mengeluarkan sekitar 24 fatwa baru dari forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa III se-Indonesia di Padangpanjang, Sumatera Barat. Selain fatwa kontroversial soal rokok, memilih dalam Pemilu dan Pilkada dan masalah Yoga. Juga, dikeluarkan fatwa soal haram memilih pemimpin tidak layak dalam pemilu dan moment pemilihan pemimpin lainnya.
Sebenarnya, menanggapi fatwa-fatwa MUI itu banyak baiknya. Sebab, masalah yang difatwakan itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang terdiri dari banyak agama, kepercayaan, adat istiadat dan kebiasaan. Sekarang kita mau menanggapinya melalui kacamata yang mana. Tapi, yang paling bijak adalah dari kacamata ‘minplus’.
Soal pemimpin masyarakat, umat, kelompok dan organisasi-organisasi sudah ada aturannya. Kalau dalam Islam dikategorikan ada beberapa kreteria, antara lain dewasa, sehat jasmani dan rohani, cakap, jujur dan adil, dipercayai, memegang teguh amanah dan sebagainya.
Tetapi kemudian, kenapa banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat “tidak cakap dan tidak layak?” Tentu, ada latar belakang beriringan dengan perkembangan zaman dan siatuasi kondisi di suatu masyarakat. Saat ini antara calon legislatif (misal) dengan rakyat saling memeras. Pada saat caleg butuh dukungan suara masyarakat, ia sudah atau belum mempersiapkan anggaran yang sangat elastis. Tidak terbatas.
Rakyat yang melihat mereka berada di posisi tawar yang positif, tidak menyiakan kesempatan. Maka mengalirlah proposal, loby dan acuan-acuan anggaran yang juga tidak terbatas mereka minta dan dapat diajukan beulang kali dengan momentum yang berbeda, tapi maksuds dan tujuannya adalah sama; yaitu memeras kantong si caleg.
Namun demikian, di balik itu semua kalau dikembalikan ke fatwa soal haram memilih pemimpin ntak layak (versi Islam). Tentunya, banyak hal yang patut dijadikan bahan obrolan, antara lain bahwa para calon dan pemimpin di Indonesia ini, tidak semuanya beragama Islam.
Sedangkan dalam pemilihan pemimpin itu terjadi loby-loby politik antara pendukung yang beragama Islam dan non Islam, untuk berkoalisi. Bagaimana persoalan itu dapat diteropong oleh MUI sebelum ini. Dapatkah kreteria MUI soal pemimpin yang harus dipilih itu adalah (1). yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), (2). terpercaya (amanah), (3). aktif dan aspiratif (tabligh), (4). mempunyai kemampuan (fathonah) dan (5). memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Jadi memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram, versi MUI.
Dari banyak sisi kita sependapat, tapi masih ada sisi lain yang harus menjadi faktor pendukung diharamkannya memilih pemimpin yang tak layak artinya, kreteria “tak layak” itu harus dijelaskan, bahkan kalau perlu sebelum pencalonan, kalau memang tak layak ada aturan yang menggugurkan si calon pemimpin.
Tapi, kalau Cuma diharamkan saja, tanpa ada keterikatannya fatwa tersebut, apakah itu bukan menjadi pekerjaan yang sia-sia atau hanya menambah panjangnya daftar konflik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk itu. Kita harus berpikir luas, berhati bijak. Bukan hanya mengeluarkan statemen-statemen saja. nep

Kebohongan Iklan Politik

Oleh Naim Emel Prahana
MENJELANG pemilu 2009 volume tayangan promosi iklan politik; partai politik dan calon legislatif (caleg). Baik berupa tayangan iklan di stasiun televisi, media massa cetak maupun melalui sarana informasi dan komunikasi lainnya. Seperti pemasangan spanduk, baleho, banner, selebaran, pamflet, stiker di jalanan umum. Semakin tidal berjarak. Antrar durasinya semakin dekat dan panjang.
Untuk tayangan politik di media audia visual televisi, iklan paling menonjol dilakukan oleh Partai Demokrat (PD), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Untuk Gerindra, parpol itu tidak mengklaim keberhasilannya. Itu, karena parpol tersebut masih baru. Sedangkan PD, Golkar dan PKS terang-terangan melakukan kebohongan publik dengan mengklaim keberhasilan-keberhasilan partainya membangun Indonesia sekarang. Seyogyanya, parpol yang mengiklankan partainya di media tidak melakukan kebohongan-kebohongan politik yang memuakkan.
Seperti dilakukan oleh PD, yang mengagungkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden yang sangat berhasil membangun Indonesia, seperti turunnya BBM, pendidikan gratis dan sebagainya. Itu semuanya adalah bohong. Turunnya harga BBM bukan kehendak SBY atau partai Demokrat. Tetapi, krisis global yang melanda Amerika Serikat menyebabkan harga minyak (BBM) turun.
Demikian pula Golkar yang mengklaim pihaknya “tidak pernah berpisah dengan rakyat”. Karena mereka mengklaim Golkar milik rakyat. Golkar telah menghancurkan demokrasi di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun di masa orde baru. Apakah klaim iklan itu tidak mengandung kebohongan? Demikian pula PKS, yang mengatakan Anton adalah kuncir keberhasilan pertanian di Indonesia. Keberhasilan pertanian yang bagaimana yang dimaksud oleh PKS yang notabene orang-orangnya adalah fanatik dengan ajaran agama Islam. Apakah bohong itu merupakan kejahatan dalam agama atau tidak?
Infromasi parpol melalui tayangan iklannya memang tidak terpuji, seperti dikatakan oleh Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia, bahwa sejumlah iklan klaim keberhasilan pemerintah yang dilakukan oleh beberapa parpol dinilai banyak memuat informasi yang tidak valid. Tidak hanya menyesatkan, hal itu pun dinilai sebagai bentuk kejahatan informasi. "Boleh saya katakan itu kejahatan informasi," kata Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA), Said Salahudin (Rabu, 25/2) kemarin.
Secara pasti iklan politik parpol di televisi sangat menyesatkan, dan berlawanan dengan tujuan kampanye untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Tentu saja bila dihubungkan dengan UU No 10/2008 tentang Pemilu (pasal 76), menyebutkan kampanye pemilu dilakukan dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat.
Kenaikan anggaran pendidikan 20 persen bukan usulan dan program Partai Demokrat, melainkan program pemerintah secara menyeluruh. Jadi, klaim keberhasilan PD tentang kenaikan anggaran pendidikan 20 persen termasuk sangat menyesatkan. Seharusnya iklan itu sudah distop oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), termasuk iklan Golkar dan PKS, karena tidak ada nilai pendidikannya kepada masyarakat.
Untuk mendapatkan dukungan rakyat dalam pemilu 2009, parpol seyogyanya tidak melakukan kebohongan politik yang sangat merusak bangsa ini, yang tidak berhasil dikatakan berhasil.nep

Lenyapkah Budaya Daerah ?

Lenyapkah Budaya Daerah ?
Oleh Naim Emel Prahana
ARUS globalisasi yang menyebarluaskan hasil ilmu pengetahuan yang tinggi (canggi) sangat mempengaruhi tingkah laku manusia di berbagai kelompok ras, etnis, sampai kepada bangsa-bangsa di semua negara di dunia ini. Budaya daerah merupakan peradaban yang menganut sistim kekerabatan, saling membantu, mengasihi, menghormati dan menghargai sesama anggota masyarakat. Boleh dikatakan lebih mirip dengan kehidupan paguyuban.
Akan tetapi, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya secara langsung berubah. Hubungan sesama anggota masyarakat sudah bergeser menjadi hubungan formal dan basa-basi. Hubungan bersifat formal berisikan imbalan-imbalan tertentu dikemudian waktu atau mengharapkan ‘balas jasa” dalam tanda petik.
Homo homini lupus menjadi kenyataan. Bagaimana seorang ayah melahap anak kandungnya sendiri, demikian pula seorang anak melalap ibu kandungnya sendiri dan belum lagi kategori kejahatan pembunuhan di dalam keluarga yang notabene masih satu keturunan darah. Semua sudah terjadi, kita sulit mengatakan hal itu sebagai budaya baru.
Kita ambil contoh menjelang pemilu 2009, bagaimana tindakan salin memeras antara anggota masyarakat dengan calon legislatif (caleg). Saat sekarang anggota masyarakat yang cerdas (?) melakukan manuver pendekatan dengan semua caleg, ujung-ujungnya memang soal uang dan fasilitas bagi komunitas masyarakat tertentu.
Pemerasan intelektual itu akan berakibat kepada perjalanan si caleg di kemudian hari ketika ia terpilih menjadi anggota legislatif. Ia akan melakukan apa saja untuk menutupi anggaran yang sudah ia keluarkan selama proses pemilu 2009. Ironisnya, perbuatan yang direncanakan itu tidak dapat dikelompokkan sebagai korban dan pelaku. Semuanya pelaku dan semuanya korban. Persoalannya, tinggal bagaimana menghadapi kelanjutan politiik yang tidak beretika itu.
Pertanyaannya, sudah begitu konsumtifkah masyarakat atau sudah begitu konsumtifkah anggota legislatif kita? Mencoba menghitung peredaran uang menjelang pemilu dan saat pemilu 2009, rasanya memang Indonesia bukan negara miskin, tetapi negara kaya raya. Tetapi, kenapa kemiskinan melanda Indonesia tanpa kecuali sektor tertentu.
Andaikan budaya daerah masih ada, tentu banyak yang dapat diberdayagunakan dari banyaknya uang yang beredar secara sia-sia, membantu anak fakis miskin, orang jompo, fasiliutas umum dan sebagainya. Tapi, semuanya tidak terjadi sampai sekarang ini. Apa yang rus diklaim Partai Demokrat tentang keberhasilan SBY? “Omong kosong”
Kita saat ini merugi luar biasa dengan lenyaponya nilai-nilai budaya (di daerah) yang selama ini menyelamatkan bangsa ini dari penjajahan. Dari keterpurukan dan konflik antar daerah. Kita mengakui, UUD 1945 menyamakan status warganegara, akan tetapi dalam proses perwakilan rakyat di lembaga legislatif, seharusnya tidak terjadi over dosis yang luar biasa tentang jumlah calon anggota legislatif.
Mungkin adalkah sesuatu yang tidak normal, jika sebuah kampung dalam pemilu 2009 ini menempatkan 20 calegnya, sebagian besar masih ada hubungan keluarga dekat. Bayangkan akibat pencalegkan itu. Perpecahan, kebingungan, dan golput akan merambah jumlah mata pilih yang sudah tercatat secara resmi. Menjadi anggota legislatif bukanlah pemecahan problem sosial keluarga atau bukan solusi untuk menjadi tokoh masyarakat yang terkenal. Bisa jadi akan menjadi keranjang sumpah serah masyarakat selama kurun waktu 5 tahun, jika tidak mampu berfungsi dan berperan.nep.

Lenyapkah Budaya Daerah ?

Lenyapkah Budaya Daerah ?
Oleh Naim Emel Prahana
ARUS globalisasi yang menyebarluaskan hasil ilmu pengetahuan yang tinggi (canggi) sangat mempengaruhi tingkah laku manusia di berbagai kelompok ras, etnis, sampai kepada bangsa-bangsa di semua negara di dunia ini. Budaya daerah merupakan peradaban yang menganut sistim kekerabatan, saling membantu, mengasihi, menghormati dan menghargai sesama anggota masyarakat. Boleh dikatakan lebih mirip dengan kehidupan paguyuban.
Akan tetapi, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya secara langsung berubah. Hubungan sesama anggota masyarakat sudah bergeser menjadi hubungan formal dan basa-basi. Hubungan bersifat formal berisikan imbalan-imbalan tertentu dikemudian waktu atau mengharapkan ‘balas jasa” dalam tanda petik.
Homo homini lupus menjadi kenyataan. Bagaimana seorang ayah melahap anak kandungnya sendiri, demikian pula seorang anak melalap ibu kandungnya sendiri dan belum lagi kategori kejahatan pembunuhan di dalam keluarga yang notabene masih satu keturunan darah. Semua sudah terjadi, kita sulit mengatakan hal itu sebagai budaya baru.
Kita ambil contoh menjelang pemilu 2009, bagaimana tindakan salin memeras antara anggota masyarakat dengan calon legislatif (caleg). Saat sekarang anggota masyarakat yang cerdas (?) melakukan manuver pendekatan dengan semua caleg, ujung-ujungnya memang soal uang dan fasilitas bagi komunitas masyarakat tertentu.
Pemerasan intelektual itu akan berakibat kepada perjalanan si caleg di kemudian hari ketika ia terpilih menjadi anggota legislatif. Ia akan melakukan apa saja untuk menutupi anggaran yang sudah ia keluarkan selama proses pemilu 2009. Ironisnya, perbuatan yang direncanakan itu tidak dapat dikelompokkan sebagai korban dan pelaku. Semuanya pelaku dan semuanya korban. Persoalannya, tinggal bagaimana menghadapi kelanjutan politiik yang tidak beretika itu.
Pertanyaannya, sudah begitu konsumtifkah masyarakat atau sudah begitu konsumtifkah anggota legislatif kita? Mencoba menghitung peredaran uang menjelang pemilu dan saat pemilu 2009, rasanya memang Indonesia bukan negara miskin, tetapi negara kaya raya. Tetapi, kenapa kemiskinan melanda Indonesia tanpa kecuali sektor tertentu.
Andaikan budaya daerah masih ada, tentu banyak yang dapat diberdayagunakan dari banyaknya uang yang beredar secara sia-sia, membantu anak fakis miskin, orang jompo, fasiliutas umum dan sebagainya. Tapi, semuanya tidak terjadi sampai sekarang ini. Apa yang rus diklaim Partai Demokrat tentang keberhasilan SBY? “Omong kosong”
Kita saat ini merugi luar biasa dengan lenyaponya nilai-nilai budaya (di daerah) yang selama ini menyelamatkan bangsa ini dari penjajahan. Dari keterpurukan dan konflik antar daerah. Kita mengakui, UUD 1945 menyamakan status warganegara, akan tetapi dalam proses perwakilan rakyat di lembaga legislatif, seharusnya tidak terjadi over dosis yang luar biasa tentang jumlah calon anggota legislatif.
Mungkin adalkah sesuatu yang tidak normal, jika sebuah kampung dalam pemilu 2009 ini menempatkan 20 calegnya, sebagian besar masih ada hubungan keluarga dekat. Bayangkan akibat pencalegkan itu. Perpecahan, kebingungan, dan golput akan merambah jumlah mata pilih yang sudah tercatat secara resmi. Menjadi anggota legislatif bukanlah pemecahan problem sosial keluarga atau bukan solusi untuk menjadi tokoh masyarakat yang terkenal. Bisa jadi akan menjadi keranjang sumpah serah masyarakat selama kurun waktu 5 tahun, jika tidak mampu berfungsi dan berperan.nep.

Fenomena Krisis Medis


Oleh Naim Emel Prahana
POTRET dukun cilik Ponari di Jombang, Jawa Timur merupakan indikasi telah lama terjadinya krisis kepercayaan kepada pemerintah di bidang medis. Masyarakat kembali kepada tradisi kepercayaan mkereka untuk berobat di luar jalur medis. Bisa dukun, paranormal, juru tenung dan sebagainya. Pokoknya tidak berobat kepada puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan yang ada dokter, bidan, jururawat dan para medis lainnya.
Krisis itu terjadi akibat kelalaian pemerintah yang membangun dunia medis hanya melalui retorika politik. Tidak dengan kenyataan (realita). Misalnya masyarakat dihimbau untuk membeli obat generik yang katanya harga murah dan sangat terjangkau. Nyatanya, masyarakat bingung, obat generik itu yang mana. Masyarakat hanya tahu obat generik itu hanya sebuah logo yang ditempelkan di semua jenis obat.
Sesampai di apotik “kategori obat generik” itu sudah tidak ada, karena sudah berlaku ekonomi pasar (umum) dan harganya, ya tergantung pemilik apotik atau toko obat yang menetapkannya. Sebenarnya, masyarakat yang berobat ke pengobatan alternatif, bukan berarti syirik (dalam agama), akan tapi mereka berusaha mencari solusi yang terbaik bagi keluarga mereka yang mengalami sakit. Karena, berobat di rumah sakit atau membeli obat di apotik atau toko obat sering tidak membawa perubahan.
Pengobatan alternatif sekarang ini, tidak lagi seperti praktek pengobatan dukun-dukun yang kita kenal selama ini yang menggunakan kembang, dedaunan, kemenyan, tempurung kelapa, keris dan sebagainya. Tetapi lebih banyak menggunakan energi murni dari tubuh manusia dan alam sendiri. Dan itu lain dengan pengobatan soal kena guna-guna. Hal itu harus kita bedakan, agar kita tidak melakukan praktek tindakan yang sembrono yang akhirnya membuat orang lain yang berniat baik, menjadi kesan tidak baik. Kita mungkin boleh bertanya kepada para pejabat, benarkah mereka tidak pernah berobat ke pengobatan alternatif?
Berbagai data yang dikumpulkan dari tempat pengobatan alternatif menyebutkan, banyak pasien mereka dari kalangan pejabat, tokoh dan termasuk tokoh agama. Termasuk pimpinan lembaga majelis agama yang sering kita lihat melakukan terapy fisik di salon tertentu. Oleh karena itu, pemerintah harus membangun dunia kesehatan itu sesuai dengan tingkat sosial masyarakatnya. Berobat menang gratis, tetapi membeli obatnya harus bayar. Seperti motto yangs ering kita jum,lai di warung, “hari ini bayar, besok gratis!” Jadi, kapan gratisnya?
Demikian pula sekolah, tidak ada satupun sekolah yang gratis di Indonesia ini. Semuanya bayar, semua harus mengeluarkan sejumlah uang. Yang itulah yang menjadi himpitan tambahan bagi rakyat selama ini. Untuk itu, lembaga-lembaga kesehatan resmi pemerintah, lembaga-lembaga agama dan para tokohnya, sebaiknya jangan mengecam orang yang melakukan pengobatan alternatif, apalagi dengan melarang. Jika dilarang, apa yang pemerintah bisa berikan kepada masyarakat yang ingin berobat?
Apalagi di kampung, hanya untuk 3 lempeng tablet sang mantri puskesmas menetapkan harga Rp 50 ribu. Di kampung, mana obat generik dan mana yang bukan, sudah tidak ada lagi pembicaraan, apalagi anjuran-anjuran, apalagi soal harga, apalagi soal prosedur pengobatan yang dilakukan mantri dari puskesmas. Belakang kita ketahui, pihak dokter di rumah sakit begitu mudah memberikan diagnosis suatu penyakit kepada pasiennya, sehingga selalu dianjurkan untuk operasi. Padahal, sebenarnya penyakitnya tidak membutuhkan operasi. Cukup dengan pengobatan biasa.nep.

BPOM Tarik 22 Obat Kuat

Daftar 22 obat kuat yang ditarik oleh BPOM
Dipos kembali oleh Naim Emel Prahana

Berikut daftar 22 obat kuat yang ditarik dari peredaran oleh BPOM dan dilarang dikonsumsi karena positif mengandung bahan kimia obat keras jenis Sildenafil Sitrat dan Tadalafil.
Dari 22 item ini 5 di antaranya adalah obat tradisional import, 14 obat tradisional, 1 suplemen makanan impor, dan 2 suplemen makanan lokal. Merk ke-22 item produk tersebut antara lain:
1. Blue Moon (Tadafil)
2. Caligula Kapsul (Sildenafil Sitrat)
3. Cobra-X Kapsul (SS)
4. Hwang Di Shen Dan (SS)
5. Kuat Tahan lama Serbuk (SS)
6. Lak Gao 69 (SS)
7. Lavaria (SS)
8. Maca Gold (SS)
9. Manovel (T)
10. Okura (SS)
11. Otot Madu (SS)
12. Rama Stamin (SS)
13. Sanomale (T)
14. Sari madu kapsul (SS)
15. Stanson (SS,T)
16. Sunny Zang Wang Xiong Ying Dan Pil (SS)
17. sunny zang wang xiong ying kapsul (SS)
18. Teraza (SS)
19. Top one kapsul (SS)
20. Tripoten (T)
21. Urat perkasa kapsul (SS)
22. Zu-Mex (T)

BPOM menyerukan kepada semua pihak agar tidak mengkonsumsi produk-produk tersebut. Apabila masyarakat yang memerlukan info lebih lanjut dapat menghubungin Unit Layanan Pengaduan Konsumen Badan POM di Jakarta dengan no 021-4263333 atau Balai POM seluruh Indonesia