Kamis, 02 April 2009

Fenomena Krisis Medis


Oleh Naim Emel Prahana
POTRET dukun cilik Ponari di Jombang, Jawa Timur merupakan indikasi telah lama terjadinya krisis kepercayaan kepada pemerintah di bidang medis. Masyarakat kembali kepada tradisi kepercayaan mkereka untuk berobat di luar jalur medis. Bisa dukun, paranormal, juru tenung dan sebagainya. Pokoknya tidak berobat kepada puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan yang ada dokter, bidan, jururawat dan para medis lainnya.
Krisis itu terjadi akibat kelalaian pemerintah yang membangun dunia medis hanya melalui retorika politik. Tidak dengan kenyataan (realita). Misalnya masyarakat dihimbau untuk membeli obat generik yang katanya harga murah dan sangat terjangkau. Nyatanya, masyarakat bingung, obat generik itu yang mana. Masyarakat hanya tahu obat generik itu hanya sebuah logo yang ditempelkan di semua jenis obat.
Sesampai di apotik “kategori obat generik” itu sudah tidak ada, karena sudah berlaku ekonomi pasar (umum) dan harganya, ya tergantung pemilik apotik atau toko obat yang menetapkannya. Sebenarnya, masyarakat yang berobat ke pengobatan alternatif, bukan berarti syirik (dalam agama), akan tapi mereka berusaha mencari solusi yang terbaik bagi keluarga mereka yang mengalami sakit. Karena, berobat di rumah sakit atau membeli obat di apotik atau toko obat sering tidak membawa perubahan.
Pengobatan alternatif sekarang ini, tidak lagi seperti praktek pengobatan dukun-dukun yang kita kenal selama ini yang menggunakan kembang, dedaunan, kemenyan, tempurung kelapa, keris dan sebagainya. Tetapi lebih banyak menggunakan energi murni dari tubuh manusia dan alam sendiri. Dan itu lain dengan pengobatan soal kena guna-guna. Hal itu harus kita bedakan, agar kita tidak melakukan praktek tindakan yang sembrono yang akhirnya membuat orang lain yang berniat baik, menjadi kesan tidak baik. Kita mungkin boleh bertanya kepada para pejabat, benarkah mereka tidak pernah berobat ke pengobatan alternatif?
Berbagai data yang dikumpulkan dari tempat pengobatan alternatif menyebutkan, banyak pasien mereka dari kalangan pejabat, tokoh dan termasuk tokoh agama. Termasuk pimpinan lembaga majelis agama yang sering kita lihat melakukan terapy fisik di salon tertentu. Oleh karena itu, pemerintah harus membangun dunia kesehatan itu sesuai dengan tingkat sosial masyarakatnya. Berobat menang gratis, tetapi membeli obatnya harus bayar. Seperti motto yangs ering kita jum,lai di warung, “hari ini bayar, besok gratis!” Jadi, kapan gratisnya?
Demikian pula sekolah, tidak ada satupun sekolah yang gratis di Indonesia ini. Semuanya bayar, semua harus mengeluarkan sejumlah uang. Yang itulah yang menjadi himpitan tambahan bagi rakyat selama ini. Untuk itu, lembaga-lembaga kesehatan resmi pemerintah, lembaga-lembaga agama dan para tokohnya, sebaiknya jangan mengecam orang yang melakukan pengobatan alternatif, apalagi dengan melarang. Jika dilarang, apa yang pemerintah bisa berikan kepada masyarakat yang ingin berobat?
Apalagi di kampung, hanya untuk 3 lempeng tablet sang mantri puskesmas menetapkan harga Rp 50 ribu. Di kampung, mana obat generik dan mana yang bukan, sudah tidak ada lagi pembicaraan, apalagi anjuran-anjuran, apalagi soal harga, apalagi soal prosedur pengobatan yang dilakukan mantri dari puskesmas. Belakang kita ketahui, pihak dokter di rumah sakit begitu mudah memberikan diagnosis suatu penyakit kepada pasiennya, sehingga selalu dianjurkan untuk operasi. Padahal, sebenarnya penyakitnya tidak membutuhkan operasi. Cukup dengan pengobatan biasa.nep.

Tidak ada komentar: