Haram Milih Pemimpin tak Layak
Oleh Naim Emel Prahana
HARAM mengharam di zaman ini diucapkan seperti mau minum saja. Akhir Januari 2009 lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berhasil mengeluarkan sekitar 24 fatwa baru dari forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa III se-Indonesia di Padangpanjang, Sumatera Barat. Selain fatwa kontroversial soal rokok, memilih dalam Pemilu dan Pilkada dan masalah Yoga. Juga, dikeluarkan fatwa soal haram memilih pemimpin tidak layak dalam pemilu dan moment pemilihan pemimpin lainnya.
Sebenarnya, menanggapi fatwa-fatwa MUI itu banyak baiknya. Sebab, masalah yang difatwakan itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang terdiri dari banyak agama, kepercayaan, adat istiadat dan kebiasaan. Sekarang kita mau menanggapinya melalui kacamata yang mana. Tapi, yang paling bijak adalah dari kacamata ‘minplus’.
Soal pemimpin masyarakat, umat, kelompok dan organisasi-organisasi sudah ada aturannya. Kalau dalam Islam dikategorikan ada beberapa kreteria, antara lain dewasa, sehat jasmani dan rohani, cakap, jujur dan adil, dipercayai, memegang teguh amanah dan sebagainya.
Tetapi kemudian, kenapa banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat “tidak cakap dan tidak layak?” Tentu, ada latar belakang beriringan dengan perkembangan zaman dan siatuasi kondisi di suatu masyarakat. Saat ini antara calon legislatif (misal) dengan rakyat saling memeras. Pada saat caleg butuh dukungan suara masyarakat, ia sudah atau belum mempersiapkan anggaran yang sangat elastis. Tidak terbatas.
Rakyat yang melihat mereka berada di posisi tawar yang positif, tidak menyiakan kesempatan. Maka mengalirlah proposal, loby dan acuan-acuan anggaran yang juga tidak terbatas mereka minta dan dapat diajukan beulang kali dengan momentum yang berbeda, tapi maksuds dan tujuannya adalah sama; yaitu memeras kantong si caleg.
Namun demikian, di balik itu semua kalau dikembalikan ke fatwa soal haram memilih pemimpin ntak layak (versi Islam). Tentunya, banyak hal yang patut dijadikan bahan obrolan, antara lain bahwa para calon dan pemimpin di Indonesia ini, tidak semuanya beragama Islam.
Sedangkan dalam pemilihan pemimpin itu terjadi loby-loby politik antara pendukung yang beragama Islam dan non Islam, untuk berkoalisi. Bagaimana persoalan itu dapat diteropong oleh MUI sebelum ini. Dapatkah kreteria MUI soal pemimpin yang harus dipilih itu adalah (1). yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), (2). terpercaya (amanah), (3). aktif dan aspiratif (tabligh), (4). mempunyai kemampuan (fathonah) dan (5). memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Jadi memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram, versi MUI.
Dari banyak sisi kita sependapat, tapi masih ada sisi lain yang harus menjadi faktor pendukung diharamkannya memilih pemimpin yang tak layak artinya, kreteria “tak layak” itu harus dijelaskan, bahkan kalau perlu sebelum pencalonan, kalau memang tak layak ada aturan yang menggugurkan si calon pemimpin.
Tapi, kalau Cuma diharamkan saja, tanpa ada keterikatannya fatwa tersebut, apakah itu bukan menjadi pekerjaan yang sia-sia atau hanya menambah panjangnya daftar konflik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk itu. Kita harus berpikir luas, berhati bijak. Bukan hanya mengeluarkan statemen-statemen saja. nep
Tidak ada komentar:
Posting Komentar