Kamis, 02 April 2009

Lenyapkah Budaya Daerah ?

Lenyapkah Budaya Daerah ?
Oleh Naim Emel Prahana
ARUS globalisasi yang menyebarluaskan hasil ilmu pengetahuan yang tinggi (canggi) sangat mempengaruhi tingkah laku manusia di berbagai kelompok ras, etnis, sampai kepada bangsa-bangsa di semua negara di dunia ini. Budaya daerah merupakan peradaban yang menganut sistim kekerabatan, saling membantu, mengasihi, menghormati dan menghargai sesama anggota masyarakat. Boleh dikatakan lebih mirip dengan kehidupan paguyuban.
Akan tetapi, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya secara langsung berubah. Hubungan sesama anggota masyarakat sudah bergeser menjadi hubungan formal dan basa-basi. Hubungan bersifat formal berisikan imbalan-imbalan tertentu dikemudian waktu atau mengharapkan ‘balas jasa” dalam tanda petik.
Homo homini lupus menjadi kenyataan. Bagaimana seorang ayah melahap anak kandungnya sendiri, demikian pula seorang anak melalap ibu kandungnya sendiri dan belum lagi kategori kejahatan pembunuhan di dalam keluarga yang notabene masih satu keturunan darah. Semua sudah terjadi, kita sulit mengatakan hal itu sebagai budaya baru.
Kita ambil contoh menjelang pemilu 2009, bagaimana tindakan salin memeras antara anggota masyarakat dengan calon legislatif (caleg). Saat sekarang anggota masyarakat yang cerdas (?) melakukan manuver pendekatan dengan semua caleg, ujung-ujungnya memang soal uang dan fasilitas bagi komunitas masyarakat tertentu.
Pemerasan intelektual itu akan berakibat kepada perjalanan si caleg di kemudian hari ketika ia terpilih menjadi anggota legislatif. Ia akan melakukan apa saja untuk menutupi anggaran yang sudah ia keluarkan selama proses pemilu 2009. Ironisnya, perbuatan yang direncanakan itu tidak dapat dikelompokkan sebagai korban dan pelaku. Semuanya pelaku dan semuanya korban. Persoalannya, tinggal bagaimana menghadapi kelanjutan politiik yang tidak beretika itu.
Pertanyaannya, sudah begitu konsumtifkah masyarakat atau sudah begitu konsumtifkah anggota legislatif kita? Mencoba menghitung peredaran uang menjelang pemilu dan saat pemilu 2009, rasanya memang Indonesia bukan negara miskin, tetapi negara kaya raya. Tetapi, kenapa kemiskinan melanda Indonesia tanpa kecuali sektor tertentu.
Andaikan budaya daerah masih ada, tentu banyak yang dapat diberdayagunakan dari banyaknya uang yang beredar secara sia-sia, membantu anak fakis miskin, orang jompo, fasiliutas umum dan sebagainya. Tapi, semuanya tidak terjadi sampai sekarang ini. Apa yang rus diklaim Partai Demokrat tentang keberhasilan SBY? “Omong kosong”
Kita saat ini merugi luar biasa dengan lenyaponya nilai-nilai budaya (di daerah) yang selama ini menyelamatkan bangsa ini dari penjajahan. Dari keterpurukan dan konflik antar daerah. Kita mengakui, UUD 1945 menyamakan status warganegara, akan tetapi dalam proses perwakilan rakyat di lembaga legislatif, seharusnya tidak terjadi over dosis yang luar biasa tentang jumlah calon anggota legislatif.
Mungkin adalkah sesuatu yang tidak normal, jika sebuah kampung dalam pemilu 2009 ini menempatkan 20 calegnya, sebagian besar masih ada hubungan keluarga dekat. Bayangkan akibat pencalegkan itu. Perpecahan, kebingungan, dan golput akan merambah jumlah mata pilih yang sudah tercatat secara resmi. Menjadi anggota legislatif bukanlah pemecahan problem sosial keluarga atau bukan solusi untuk menjadi tokoh masyarakat yang terkenal. Bisa jadi akan menjadi keranjang sumpah serah masyarakat selama kurun waktu 5 tahun, jika tidak mampu berfungsi dan berperan.nep.

Tidak ada komentar: