Senin, 01 Desember 2008

Negara Tak Punya Hak Cabut Hukum Ulayat

Jakarta—Secara in concreto, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah melakukan pencabutan onteigening terhadap seluruh tanah ulayat milik seluruh masyarakat adat dan suku-suku bangsa di Indonesia. Bukan hanya dengan tidak memberikan ganti rugi, tetapi juga dengan melanggar hak asas free, prior, and informed consent dari masyarakat hukum adat, yang dianut oleh hukum internasional dewasa ini.
“Dapat dipertanyakan apakah NKRI mempunyai hak hukum untuk berbuat hal yang demikian, atau lebih mendasar lagi untuk kepentingan siapakah megara ini didirikan, untuk rakyat atau pemerintah sendiri,” tegas dosen Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, DR. Saafroedin Bahar, dalam acara diskusi berteme “Prinsip-prinsip Ketatanegaraan dan Wawasan Kebangsaan yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Hotel Le Meridien, Jakarta, Sabtu (15/3).
Akar masalahnya, kata Saafroedin Bahar, jauh sebelum NKRI ada, di Nusantara ini sudah terbentuk kerajaan yang mau tidak mau timbul competing claims terhadap wilayah serta serta sumberdaya yang ada antara masyarakat hukum adap dan suku bangsa yang telah lebih dahulu memilikinya disatu pihak dengan kerajaan-kerajaan dan Negara-negara di pihak lain yang kemudian dengan berbagai alasan menuntut kedaulatan terhadap wilayah dan sumberdaya yang sama.
Dicontohkannya, terhadap sebidang tanah ulayat Suku Sakai di Propinsi Riau ada competing claims dari Suku Sakai sendiri, oleh perusahaan kayu yang memperoleh hak pengusaha hutan di daerah itu dari Menteri Kehutanan RI dan Badan Pertahanan Nasional yang menggunakan fiksi hukum (rechts fictie) bahwa setelah Republik Indonesia berdiri maka seluruh hak ulayat masyarakat hukum adat serta suku-suku Bangsa Indonesia beralih menjadi hak pengusaha negara berdasar Pasal 33 UUD 1945.
“Secara informal hak pengusahaan Negara ini diartikan sebagai hak kepemilikan Negara yang memberi hak kepada Menteri Kehutanan dan BPN untuk begitu saja membagi-bagi tanah ulayat masyarakat adat kepada pengusaha-pengusaha swasta, tampa merasa perlu meminta izin bahwa tampa memberi tahu kepada masyarakat hukum adat serta suku-suku Bangsa Indonesia yang secara historis berdiam dan memiliki tanah ulayat tersebut,” kata Saafroedin Bahar, yang juga Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat itu.
Secara mendasar, kata Saafroedin, terdapat perbedaan besar antara competing claims yang berlangsung antara pendukung budaya yang sama dan competing claims yang berlangsung antara pendukung budaya yang berlainan.
“Kelihatannya tidak demikian banyak persoalan yang timbul pada kerajaan-kerajaan dan Negara-negara yang tumbuh dari bawah, dalam arti kerajaan dan negara-negara tersebut dibentuk dari dan oleh masyarakat hukum adat dan suku-suku bangsa Indonesia itu sendiri, dan sesuai dengan World View yang mereka anut akan berperan sebagai institusi suprastruktur yang mereka perlukan, baik untuk melindungi diri sendiri terhadap serangan pihak luar maupun untuk menciptakan suatu tingkat kesejahteraan bersama bagi seluruh masyarakat hukum adat dan suku bangsa yang bersangkutan,” kata Saafroedin.

Masalah akan timbul jika territorial claims dari kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang tumbuh kemudian itu selaras, bahkan bisa bertentangan dengan nilai-nilai kultural serta struktur sosial masyarakat hukum adat serta suku bangsa yang telah lebih dahulu mendiami wilayah bersangkutan, ujarnya.

Tidak ada komentar: