Oleh Naim Emel Prahana*
SANG Aktor terpopuler sepanjang tahun
2010 sampai sekarang tidak ada pilihan lain, kecuali jatuh ke sosok Gayus
Tambunan. PNS yang bekerja di Ditjen Pajak di Jakarta yang mampu menambah
kemelut dan krisis perekonomian dan politik maupun penegakan hukum di
Indonesia. Sejauhmana
kehebatan Gayus Tambunan (GayusT) di antara 250 juta penduduk negeri ini?
Sebagai seorang aktor dalam film Markus. GayusT bukan hanya aktor berdarah
dingin, tetapi ia juga mampu bertindak sebagai aktor yang memainkan peran
politik di tengah kasus-kasus hukum yang melilitnya, bahkan melibatkan para
tokoh untuk berdiri di belakangnya. Tidak banyak resep yang dipakai GayusT.
Simple, sederhana dan psikologis.
Pengalaman GayusT ketika filmnya diputar di Pengadilan Negeri Tangerang
(PN) membuatnya lebih pintar 100 X dari potensi dasar yang ada dalam diri
GayusT. Ia memungsikan semua otaknya, kiri dan kanan berfungsi dengan baik.
Semuanya terbangkit ketika ia mampu mengeruk keuntungan luar biasa dari
statusnya sebagai mediator alias makelar kasus (Markus).
Kemudian, GayusT berupaya, berusaha dan nyatanya berhasil menyuap hakim di
PN Tangerang dan ia lolos. Rangakaian penyuapannya, tidak hanya di majelis
hakim PN Tangerang, akan tetapi ia meruntuhkan idealisme beberapa polisi di
Mabes Polri Jakarta. Semuanya berhasil dengan baik. GayusT kembali beroperasi
tanpa gangguan apapun. Sebab prinsip pemeliharaan orang miskin di Mabes Polri
menjadikan ia lebih didominasi oleh karakter penjahat ’koruptor’ kelas
megametropolis.
Sang aktor GayusT telah merubah perjalanan penegakan hukum di Indonesia.
Kendati secara sepakat nasional pembuktian terbalik dalam penegakan hukum sudah
mulai diterapkan. Namun, GayusT menjadi tokoh dalam sinetro berjudul ”Hukum
Pidana Indonesia”. Siapa sutradaranya, siapa editornya, siapa pengisi suaranya,
siapa dan siapa di balik melankolisnya penegakan hukum di Indonesia.
Memang berbeda antara aktor dengan figuran. Bukan hanya soal honor, tetapi
pelayanan pun begitu berbeda, sampai-sampai penampilan karakter sang aktor
dengan figuran. Jauh-jauh sekali berbeda. Perbedaan terakhir terjadi, manakala
vonis majelis hakim terhadap sang aktor yang memiliki harta kekayaan mencapai
ratusan miliar dengan figuran yang hanya memiliki gubuk reyot dengan susah
payahnya mencari makan dan minum.
Itu suatu kewajaran. Di mana jika kita punya kedudukan atau harta benda
yang melimpah, apapun bisa dilakukan. Apapun dapat dijungkir balikkan dengan
polesan para pemburu harta kekayaan yang mungkin terdiri dari jaksa, hakim,
pengacara atau siapa sih yang ada di belakang sang aktor. Apakah benar seorang
sutradara kaliber kelas internasional? Semua bisa terjadi di sini, jangan
heran. Seorang bupati saja yang jelas-jelas sudah ditetapkansebagai tersangka,
kemudian dinaikkan grid statusnya menjadi terdakwa, kemudian dinonaktifkan oleh
Mendagri dari jabatannya. Itu pun masih dapay merlolooskan diri dengan
terbahak-bahak sambil menginjhak-injak KUHP dan hukum lainnya. Atau seorang
tokoh swastawan yang memiliki harta kekayaan yang banyak, royal kepada
siapapun, juga mampu menjungkir-balikkan ’korban’nya. Padahal, korbannya itu
yang harus dimenangkan oleh pengadilan. Tapi, apa yang tidak bisa dijungkir-balikkan
di Indoensia.
Sang aktor rupanya berkaitan dengan banyak pimpinan Nasional, sampai-sampai
heboh vonis 7 tahun diupayakan untuk pengalihan perhatian publik dengan 7 tahun
gaji presiden tidak naik-naik!!
Sayang memang, kenapa sistem penjajahan masih dianut di Indonesia. Media
dunia maya yang telah mendongkrak populeritas teraniayai korban Rumah Sakit
Internasional OMNI via facebook. Ternyata, kini sudah mampu dihadang oleh
penguasa dan pengusaha. Sehingga teriakan-terikan seperti ”Kami Tidak Setuju
Aset Negara Dijual Kepada Asing”, atau ’Raport SBY yang Selalu Merah” dan
seterusnya itu, sekarang hanyalah ocehan belaka. Tidak ada makna, gaung atau
perhatian dari sipapaun, selain jadi guyonan
antar facebookers.
Populer dengan cara tidak populer belakangan ini sering menjadi acuan
oknum-oknum yang tidak mempunyai jiwa nasionalisme yang kental. Tidak pernah
menyanyikan lagu Indonesia Raya, kecuali menghitung uang dan harta kekayaan
dengan para kroni, sindikat dan depcolectornya.
Jika sang aktor GayusT dengan timbunan pidana yang luar biasa hanya divonis
7 tahun. Niscaya Gayus-GayusT lainnya akan muncul dan akan menjadi berani lebih
berani lagi. Sebab, mereka akan beralasan, bahwa GayusT yang kesalahannya
mencakup Sabang sampai Merauke, kenapa kami tidak bolh melakukan hal yang sama?
Itulah yang disebut dengan preseden buruk vonis terhadap sang aktor GayusT.
Hal itu akan berbeda dengan vonis pencuri sendal jepit yang rata-rata di
atas 12 bulan. Padahal, harga sebuah sendal jepit, atau seekor ayam, sebuah
semangka, satu tandan pisang atau satu langkah memasuki ruah pengusaha bagi
rakyat kecil. Pasti dan pasti vonisnya akan lebih berat daripada sang aktor
GayusT.
Aktor lainnya dalam dunia film atau sinetron, juga sama dengan sang aktor
GayusT. Masalah narkoba, hukumannya hanya beberapa bulan. Paahal, jika seorang
penganggur yang mengedarkan 1 butir ineks, hukumannya bisa 18 bulan.
Astaqfirullahal adzim.
Hukum pidana untuk sang aktor ternyata lebih manusiawi dibandingkan dengan
hukum pidana untuk para figuran (rakyat biasa). Di mana letak perbedaaannya?
Ya, tentu ada pada banyak atau tidaknya harta kekayaan yang dimiliki para
pemain sinetron itu. Sendiri. Jika kita tak punya harta benda yang bisa
dibagi-bagikan pada saat terlilit kasus, maka janganlah membuat langkah-langkah
yang menjadi jebakan untuk memasuki pintu penjara. Tapi, jangan takut penjara
atau sekarang namanya Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas), sudah bukan rumah yang
menakutkan. Tetapi menjadi rumah yang menyenangkan. Kapan mau ke luar, berikan
uang, kapan mau berdagang narkoba, banyak-banyaklah upeti dengan petugas LP
atau kalau mau kabur, tinggal atur waktunya dengan penjaga LP. Lengkap kan peranan sang aktor
dalam penegakan hukum di Indonesia? . (penulis
penikmat masalah sosial dan budaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar