Minggu, 07 Februari 2016

Aktor Sang Aktor GayusT



 Oleh Naim Emel Prahana*

SANG Aktor terpopuler sepanjang tahun 2010 sampai sekarang tidak ada pilihan lain, kecuali jatuh ke sosok Gayus Tambunan. PNS yang bekerja di Ditjen Pajak di Jakarta yang mampu menambah kemelut dan krisis perekonomian dan politik maupun penegakan hukum di Indonesia. Sejauhmana kehebatan Gayus Tambunan (GayusT) di antara 250 juta penduduk negeri ini?

Sebagai seorang aktor dalam film Markus. GayusT bukan hanya aktor berdarah dingin, tetapi ia juga mampu bertindak sebagai aktor yang memainkan peran politik di tengah kasus-kasus hukum yang melilitnya, bahkan melibatkan para tokoh untuk berdiri di belakangnya. Tidak banyak resep yang dipakai GayusT. Simple, sederhana dan psikologis.

Pengalaman GayusT ketika filmnya diputar di Pengadilan Negeri Tangerang (PN) membuatnya lebih pintar 100 X dari potensi dasar yang ada dalam diri GayusT. Ia memungsikan semua otaknya, kiri dan kanan berfungsi dengan baik. Semuanya terbangkit ketika ia mampu mengeruk keuntungan luar biasa dari statusnya sebagai mediator alias makelar kasus (Markus).

Kemudian, GayusT berupaya, berusaha dan nyatanya berhasil menyuap hakim di PN Tangerang dan ia lolos. Rangakaian penyuapannya, tidak hanya di majelis hakim PN Tangerang, akan tetapi ia meruntuhkan idealisme beberapa polisi di Mabes Polri Jakarta. Semuanya berhasil dengan baik. GayusT kembali beroperasi tanpa gangguan apapun. Sebab prinsip pemeliharaan orang miskin di Mabes Polri menjadikan ia lebih didominasi oleh karakter penjahat ’koruptor’ kelas megametropolis.

Sang aktor GayusT telah merubah perjalanan penegakan hukum di Indonesia. Kendati secara sepakat nasional pembuktian terbalik dalam penegakan hukum sudah mulai diterapkan. Namun, GayusT menjadi tokoh dalam sinetro berjudul ”Hukum Pidana Indonesia”. Siapa sutradaranya, siapa editornya, siapa pengisi suaranya, siapa dan siapa di balik melankolisnya penegakan hukum di Indonesia.

Memang berbeda antara aktor dengan figuran. Bukan hanya soal honor, tetapi pelayanan pun begitu berbeda, sampai-sampai penampilan karakter sang aktor dengan figuran. Jauh-jauh sekali berbeda. Perbedaan terakhir terjadi, manakala vonis majelis hakim terhadap sang aktor yang memiliki harta kekayaan mencapai ratusan miliar dengan figuran yang hanya memiliki gubuk reyot dengan susah payahnya mencari makan dan minum.

Itu suatu kewajaran. Di mana jika kita punya kedudukan atau harta benda yang melimpah, apapun bisa dilakukan. Apapun dapat dijungkir balikkan dengan polesan para pemburu harta kekayaan yang mungkin terdiri dari jaksa, hakim, pengacara atau siapa sih yang ada di belakang sang aktor. Apakah benar seorang sutradara kaliber kelas internasional? Semua bisa terjadi di sini, jangan heran. Seorang bupati saja yang jelas-jelas sudah ditetapkansebagai tersangka, kemudian dinaikkan grid statusnya menjadi terdakwa, kemudian dinonaktifkan oleh Mendagri dari jabatannya. Itu pun masih dapay merlolooskan diri dengan terbahak-bahak sambil menginjhak-injak KUHP dan hukum lainnya. Atau seorang tokoh swastawan yang memiliki harta kekayaan yang banyak, royal kepada siapapun, juga mampu menjungkir-balikkan ’korban’nya. Padahal, korbannya itu yang harus dimenangkan oleh pengadilan. Tapi, apa yang tidak bisa dijungkir-balikkan di Indoensia.

Sang aktor rupanya berkaitan dengan banyak pimpinan Nasional, sampai-sampai heboh vonis 7 tahun diupayakan untuk pengalihan perhatian publik dengan 7 tahun gaji presiden tidak naik-naik!!

Sayang memang, kenapa sistem penjajahan masih dianut di Indonesia. Media dunia maya yang telah mendongkrak populeritas teraniayai korban Rumah Sakit Internasional OMNI via facebook. Ternyata, kini sudah mampu dihadang oleh penguasa dan pengusaha. Sehingga teriakan-terikan seperti ”Kami Tidak Setuju Aset Negara Dijual Kepada Asing”, atau ’Raport SBY yang Selalu Merah” dan seterusnya itu, sekarang hanyalah ocehan belaka. Tidak ada makna, gaung atau perhatian dari sipapaun, selain jadi guyonan antar facebookers.

Populer dengan cara tidak populer belakangan ini sering menjadi acuan oknum-oknum yang tidak mempunyai jiwa nasionalisme yang kental. Tidak pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya, kecuali menghitung uang dan harta kekayaan dengan para kroni, sindikat dan depcolectornya.

Jika sang aktor GayusT dengan timbunan pidana yang luar biasa hanya divonis 7 tahun. Niscaya Gayus-GayusT lainnya akan muncul dan akan menjadi berani lebih berani lagi. Sebab, mereka akan beralasan, bahwa GayusT yang kesalahannya mencakup Sabang sampai Merauke, kenapa kami tidak bolh melakukan hal yang sama? Itulah yang disebut dengan preseden buruk vonis terhadap sang aktor GayusT.

Hal itu akan berbeda dengan vonis pencuri sendal jepit yang rata-rata di atas 12 bulan. Padahal, harga sebuah sendal jepit, atau seekor ayam, sebuah semangka, satu tandan pisang atau satu langkah memasuki ruah pengusaha bagi rakyat kecil. Pasti dan pasti vonisnya akan lebih berat daripada sang aktor GayusT.

Aktor lainnya dalam dunia film atau sinetron, juga sama dengan sang aktor GayusT. Masalah narkoba, hukumannya hanya beberapa bulan. Paahal, jika seorang penganggur yang mengedarkan 1 butir ineks, hukumannya bisa 18 bulan. Astaqfirullahal adzim.

Hukum pidana untuk sang aktor ternyata lebih manusiawi dibandingkan dengan hukum pidana untuk para figuran (rakyat biasa). Di mana letak perbedaaannya? Ya, tentu ada pada banyak atau tidaknya harta kekayaan yang dimiliki para pemain sinetron itu. Sendiri. Jika kita tak punya harta benda yang bisa dibagi-bagikan pada saat terlilit kasus, maka janganlah membuat langkah-langkah yang menjadi jebakan untuk memasuki pintu penjara. Tapi, jangan takut penjara atau sekarang namanya Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas), sudah bukan rumah yang menakutkan. Tetapi menjadi rumah yang menyenangkan. Kapan mau ke luar, berikan uang, kapan mau berdagang narkoba, banyak-banyaklah upeti dengan petugas LP atau kalau mau kabur, tinggal atur waktunya dengan penjaga LP. Lengkap kan peranan sang aktor dalam penegakan hukum di Indonesia? . (penulis penikmat masalah sosial dan budaya)

Tidak ada komentar: