Oleh Anton
System penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah,
hak atas tanah jarang di pegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di
bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak
penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang
berbeda-beda (bundle of rights).
Di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu Bundle of Rights dapat dilihat
claim atas tanah antara Masyarakat Adat Khususnya Masyarakat Adat Jurukalang
dengan Tanam Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Hutan Lindung, di mana kawasan
peruntukan konservasi (Taman Nasional dan Hutan Lindung) hak kepemilikan tanah
di pegang oleh negara, namun setiap warga negara memiliki hak untuk menjunjung
tinggi dan menikmati keindahan alam, sementara masyarakat adat yang berada di
sekitar (Buffer Zone) memiliki hak untuk memakai (right of use) secara
bersyarat sumber daya alam yang terdapat di atasnya untuk kesejahteraan mereka.
Disini terlihat betapa satu pihak yang memilki hak untuk menguasai tanah, belum
tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut sebaliknya kepemilikan
secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan.
Satu hal yang sangat penting sehubungan dengan sistem penguasaan tanah adalah jaminan kepastian terhadap hak penguasaan. Kepastian atas pengakuan ini hanya mungkin terjadi jika semua pihak mengakui dan mengaskan sistem hukum dan persfektif yang sama, klaim pengusan tanah antara Masyarakat Adat Jurukalang dengan basis argumen tenurial geneologis berbenturan dengan beberapa tata aturan sektoral seperti agraria dan kehutanan.
Salah satu hak adat yang terabaikan atas penguasaan tanah di Kabupaten
Lebong adalah keberadaan wilayah adat komunitas Jurukalang, dimana tanah ulayat
yang mereka kelola sejak lama ikut dimasukkan ke dalam kawasan Taman Nasional
Kerinci Sebelat (TNKS) tanpa ada kompromi.
Selain sejarah secara turun temurun terdapat beberapa dokumen tentang
pengakuan bahwa tanah tersebut adalah Tanah Adat, pernyataan J. Walland tahun
1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan
diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783, komunitas adat
Jurukalang yang dikenal dengan sistem Petulai ini adalah kesatuan kekeluargaan
yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang
patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami.
Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal
ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat
rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan
masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya
guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas
anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi
melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan
keamanan yang tinggi.
Anggapan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kontak dan
konflik antar kelompok baik masyarakat dengan masyarakat (horizontal) maupun
dengan Masyarakat dengan Negara (vertikal). Akibat penerapan pola-pola lama
penguasaan atas tanah oleh Negara yang seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan
masyarakat justru sebaliknya memberikan contoh buruk, bahkan masyarakat selalu
dijadikan stigma sebagai kambing hitam pelaku kejahatan dalam mengeksploitasi
sumber daya alam ataupun sebagai perusak hutan atau imbo adat.
Hal ini Sangat tidak adil dan keliru, namun demikianlah kenyataan yang
terjadi sehingga ditengah masyarakat terjadi konflik vertikal antara masyarakat
dengan Pemerintah dan konflik horizontal terjadinya saling tuduh antar
masyarakat, dimana masyarakat yang satu dituduh sebagai perusak hutan yang
berakibat pada kurangnya debit air yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat itu
sendiri. Begitupun dengan konflik vertikal saling tuding antara masyarakat dan
pemerintah atau sebaliknya, sementara yang lain ingin menjaga dan melestarikan
hutan dengan baik.
Dari kondisi yang ada tersebut, masyarakat Jurukalang yang diwakili
oleh beberapa tokoh masyarakat-nya mengharapkan bahwa masyarakat ingin agar
Pemerintah dan berbagai pihak lainnya mau mengakui keberadaan wilayah adat
komunitas Jurukalang yang kini berada dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci
Sebelat tersebut.
Berangkat dari permasalahan yang di hadapi Masyarakat (Jurukalang),
maka diperlukan ketersediaan berbagai data dan informasi yang menyangkut
keberadaan masyarakat Jurukalang dan pengelolaan wilayah adatnya. Kejelasan
data dan informasi tentang kondisi faktual secara fisik dan sosial keberadaan
masyarakat adat Jurukalang akan di gali dengan sistem pengalian data dasar.
Data dan informasi ini akan menjadi salah satu bahan bagi upaya mendorong
pengakuan oleh multi stakeholders terhadap eksistensi, hak akses dan kontrol
masyarakat adat Jurukalang atas wilayah adatnya. oleh erwin
Kabupaten Lebong merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi
Bengkulu.
Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003.
Kabupaten ini terletak di posisi 105?-108? Bujur Timur dan 02?,65’-03?,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl.
Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003.
Kabupaten ini terletak di posisi 105?-108? Bujur Timur dan 02?,65’-03?,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl.
Secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 6
Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas
134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman
Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar
Alam 3.022,15 Ha.
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen. (Ditulis/ Diposkan oleh Anton)
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen. (Ditulis/ Diposkan oleh Anton)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar