Desa Kotadonok
DESA Kotadonok sekarang ini, dulunya bernama Kutei
Donok (kampung yang berada di tengah). Diperkirakan Desa Kotadonok (bisa
ditulis dengan ‘Kota Donok’) sudah ada sekitar abad ke XV Masehi atau jauh
sebelumnya memang sudah ada. Perubahan nama desa dari Kutei Donok menjadi
Kotadonok terjadi sekitar tahun 1950-an (setelah Indonesia merdeka). Namun,
tahun pastinya belum ditemukan dokumen tentang perubahan nama tersebut.
Kotadonok termasuk salah satu desa tertua di daerah Rejang Lebong,
khususnya di Lebong, bersama desa tertua lainnya seperti Topos (Tapus),
Semelako, Sadrei Amen (Muara Aman), Pinang Belapis, Plabai, Tubai dan beberapa
desa tua lainnya. Kotadonok semakin penting ketika zaman penjajhan VOC yang di
dalamnya terdapat pemerintahan Hindia Belanda.
Kotadonok berjarak 40 km dari Kota Curup ibukota Kabupaten
RejangLebong dan berjarak 30 km dari Kota Muara Aman ibukota Kabupaten Lebong
(sekarang ini). Zaman pemerintahan kolonil Hindia Belanda, struktur
kepemimpinan di Kotadonok menggunakan sistem pemimpin Pangeran. Kotadonok juga
pernah menjadi ibukota Marga Bermani Jurukalang, akan tetapi tidak bertahan
lama.
Alasan kenapa Kotadonok tidak mampu mempertahankan kedudukan Pasirah
di desa itu, karena Kotadonok dimiliki oleh 2 (dua) marga, yaitu Bermani dan
Jurukalang. Sistem pemerintahan marga terakhir kalinya di Lebong atau khususnya
di Bermani Jurukalang sekitar tahun 1977/1978, waktu itu Pasirahnya adalah Ilin
(orang tes) dan kedudukan ibukota marga Bermani Jurukalang berada di Tes. Dan
itu merupakan kekalahan telak masyarakat Marga Jurukalang. Karena, sebelumnya
pemerintahan Marga Bermani Jurukalang kedudukan ibukotanya selalu berada di
tanah Jurukalang, seperti di Kotadonok dan Rimbo Pengadang.
Tanda-tanda sebagai desa tertua, salah satunya dapat dilihat dari
jenis tumbuhan berupa pohon kelapa pada gambar tahun 1926 sudah memiliki
ketinggian sekitar 10—20 meter. Saat ini pohon-pohon kelapa tua itu sudah
jarang dijumpai lagi, karena usianya uang sudah terlalu tua dan tidak
menghasilkan buah lagi, banyak yang mati dan ditebang. Kelapa yang umurnya
sekitar 86 tahun, sudah sangat jarang dijumpai di Kotadonok, kalaupun masih ada
satu dua, kelapa-kelapa tua itu berada di sekitar Masjid Nurul Iman, belakang
kawasan perumahan Peken. Desa Kotadonok diperkirakan sudah berdiri sejak abad
ke XV. Perkiraan itu memungkinkan penelusuran usia desa melalui usia warga
masyarakat (orang tertua) di desa/kampung Kotadonok.
Jika pada tahun 2009 di Kotadonok masih terdapat penduduknya yang
berumur 90 tahun yang berarti lahir pada tahun 1919 di atas mereka
(orangtuanya) yang juga diperkirakan usia mereka mencapai 90 tahun dengan
kelahiran tahun 1829, maka orangtua mereka kalau diperkirakan usia rata-rata 90
tahun. Mestinya, abad XVII Desa Kotadonok sudah lama berdiri. Dan, mereka itu
masih jauh jarak waktu generasi dengan zaman Ajai-ajai atau zaman Bikau di
tanah Lebong.
Desa Kotadonok (sebelum dimekarkan menjadi 3 desa definitif) memiliki
ciri khas yang mengandung kharismatik tersendiri bagi desa itu. Kotadonok
memiliki 2 (dua) jembatan yang kuat dugaannya memiliki nilai sejarah. Pertama,
jembatan Bioa Tiket (sebelah Timur). Jembatan itu membentang di atas Bioa Tiket
kurang lebih panjangnya 15 meter. Kedua, sebelah Barat ada jembatan Bioa Tamang
yang membentang di atas Bioa (sungai) Tamang. Di dua lokasi jembatan tersebut
dulunya merupakan lokasi tempat penggilingan padi yang dikenal dengan nama
‘mesin’. Kalau di Bioa Tiket jumlah mesinnya sekitar tahun 1971 sebanyak 5
(lima) buah, namun di Bioa Tamang jumlahnya hanya 1 (satu) buah milik keluarga
Imansyah.
Perekonomian
Perekonomian di desa Kotadonok mulai terasa merosot sekitar tahun 1975
dan saat itu beberapa lahan pertanian dan perkebunanan ditinggalkan, demikian
juga lahan persawahan sepanjang aliran Sungai Ketahun, dari Jungut Benei sampai
Tlangratau (Desa Talang Ratu) banyak yang ditinggalkan pemilik/penggarapnya
dengan alasan beragam.
Harus diakui, sejak lama penduduk Kotadonok bidang perekonomian dan
kesejahteraannya banyak ditopang oleh usaha perkebunan kopi secara tradisional.
Kedua, hasil pertanian padi sawah memegang kendali utama klasifikasi sumber
kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Kotadonok sudah meninggalkan pekerjaan
menggarap lahan pertanian ladang sejak tahun 1970. Areal tanaman ladang
masyarakat Kotadonok sejak lama berada di bukit di atas Kotadonok menuju
kawasan Sawahmangkurajo, di Tapat Taukem, Baten Daet, Tebo Diding, lokasi Daet
Tiket sampai Bioa Tamang. Tingkat kesuburan tanahnya sangat cocok untuk
bercocok tanam padi ladang.
Pertumbuhan penduduk Desa Kotadonok, juga lamban. Hal itu dikarenakan
orang-orang Kotadonok sangat suka merantau dengan ragam profesi seperti jadi
anggota ABRI/TNI, Polisi, pendidik, PNS dan sedikit sekali yang wiraswasta.
Oleh karena itu, semakin hari semakin banyak rumah-rumah tua di Kotadonok tidak
berpenghuni. Apalagi sistem penggarapan dan pengolahan kebun oleh kebanyakan
masyarakat Kotadonok, tidak menjadi bagian utama dari sumber mata pencaharian
mereka.
Masyarakat Kotadonok memiliki lahan pertanian sawah yang luas dan berada
di banyak tempat. Yang paling luas adalah di Baten—di seberang Desa Tes, Taba
Anyar dan Turun Tinging, di Baten Daet. Kepmudian sepanjang sisi kiri kanan
Sungai Ketahun antara Kotadonok dan Talang Ratu. Kemudian di daerah persawahan
Bioa Putiak dan areal persawahan yang menjanjikan, baik luasnya, kondisi tanah
dan sumber airnya sangat prosfektif berada di Sawahmangkurajo sekitar 12 km
dari Desa Kotadonok.
Namun sejak tahun 1975 kemerosotan perekonomian masyarakat Kotadonok
sangat terasa yang salah satu dampaknya, semakin banyaknya anak-anak muda desa
itu mengadu nasib di luar daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Curup, Bengkulu,
Palembang, Riau bahkan ke luar negeri. Kepergian mereka tersebut berbeda dengan
kepergian orang-orang Kotadonok sebelumnya. Sebab, anak-anak muda desa
Kotadonok merantau ke kota tanpa ikut dengan sanak keluarganya, tetapi mereka
berupaya secara mandiri. Namun, banyaknya mereka bekerja di sektor swasta di
daerah di luar Bengkulu, tidak mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Kotadonok
secara umum.
Orangtua (Orang Tua)
Pemanggilan (panggilan), penyebutan (sebutan) nama ‘orangtua’
mempunyai fungsi, status dan makna yang luas. Di samping perbedaan-perbedaan
memanggil berdasarkan waktu, tempat dan keadaan.
Panggilan orangtua, dimaksudkan:
1.
untuk
menyebut dan memanggil orang-orang yang memang usianya lebih tua dari usia
orang yang memanggil atau menyebutnya;
2.
untuk
mengatakan bahwa ‘orangtua’ itu adalah bapak dari seseorang. Misalnya anak
sekolah. Orang akan menyebut dengan “orangtua si anu namanya Badu..” (naim emel prahana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar