Senin, 01 Februari 2016

Propil Singkat Jurukalang



John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang salah satunya adalah Joorcallang (Jurukalang), di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga Jurukalang merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.
Secara fisik komunitas adat Jurukalang berada di sepanjang Hulu Sungai Ketahun dan berada di sepanjang Bukit Barisan dengan dataran tinggi yang subur yang merupakan lereng Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range yang berada pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 10 Desa Administratif dan masuk ke dalam dua Kecamatan (Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan) dan secara geografis terletak di 3º40’-3º60 LS dan 100º20’-104º30 BT, Komunitas ini memiliki luas wilayah adat ± 43.300 Ha dengan jumlah penduduk 12.767 jiwa.

Di bagian kawasan adat Jurukalang terdapat kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di sisi lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang atau Register 42 yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).

Kawasan adat yang berada di paling ujung bagian Timur Kabupaten Lebong ini mempunyai jarak tempuh 75 Km dari Pusat ibu kota Kabupaten, dan memiliki satu-satunya Desa yang belum masuk jaringan Pembangkit Listrik Negara (PLN) yaitu Desa Bandar Agung. Dengan kondisi wilayah pegunungan yang subur masyarakat Jurukalang mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan dengan strategi dan pola pertanian tradisional yakni menggabungkan perladangan Kopi dengan Kayu Manis, tanaman Jahe, Nilam serta persawahan. Bahkan ada beberapa penduduknya mengumpulkan hasil-hasil hutan non kayu seperti rotan, madu untuk di gunakan dan di jual. Di kawasan hutan ini juga ditemui beberapa tumbuhan hutan yang diketahui khasiatnya untuk pengobatan yang belum terdokumetasikan karena sebagian besar tumbuhan ini tidak muncul dalam transaksi pasar resmi.
Sebagai bagian dari Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang teguh adat bersendi syara’ bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah atau keruangan yang disebut untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), perladangan (disebut Talang) dan hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya mengunjungi Pasara Desa (Peken) untuk menjual hasil panen pertaniannya dan membeli kebutuhan pokok bagi keluarga.
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Sebagian masyarakat sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, berbagai larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan menebang pohon di sepanjang badan sungai kiyeu celako demikian jenis kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam. Masyarakat Jurukalang mengenal kepercayaan bahwa ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan tuweak celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun rumah (temje bubung) dan lain-lain.
Sistem pemerintahan masyarakat Jurukalang mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU No 5 tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu. (Ditulis/ Diposkan oleh Anton)

Tidak ada komentar: