Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Januari 2016

‘Makan’ Kampanye Terselubung



Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum, budaya dan sosial

Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (pilkada – pemilukada) tinggal menghitung harinya sampai tanggal 9 Desember 2015 bulan depan. Ujian dan tantangan menghadapi pesta demokrasi tersebut semakin berat, terutama masalah politik uang dan sosialisasi barang dari psangan calon (paslon) yang jadi kontestan pilkada.
Berbagai peraturan pelaksana pilkada yang sudah diberlakukan, masih belum maksimal untuk mengawasi dan mengevaluasi serangkaian pilkada pada tahapan kampanye para paslon. Sebaik sebagus apapun peraturan diperuntukkan pada pilkada – masih juga menghadapi banyak kendala terhadap sepak terjang para paslon untuk meraup jumlah suara yang banyak.
Paslon pilkada sekarang ini sudah cerdas. Menghamburkan uang secara sporadis sudah ditinggalkan. Kampanye dilakukan secara sistimatis terarah dan terukur. Dengan cara demikian massa pendukung tidak merasa diperdayai dengan janji-janji serta pemberian berbentuk uang dan barang.
Kebanyakan paslon peserta pilkada serentak sangat berhitung – sebab, mencetak kaos demikian banyak dan diberikan secara obral kepada kelompok-kelompok masyarakat yang ada dan yang muncul saat pilkada berlangsung. Paslon dan tim suksesnya hanya mencetak kaos untuk anggota tim sukses saja. Demikian pula publikasi melalui atribut-atribut seperti, spanduk, baleho, banner, stiker dicetak terbatas. Lagi pula mereka terbentur kepada aturan main yang telah ditetapkan KPU untuk APK paslon.
Dengan banyaknya ketentuan hukum dan batasan proses kampanye telah memberikan inspirasi kepada paslon dan tim suksesnya untuk lebih pintar menyiasati peraturan kampanye.
Model kampanye door to door terlihat efektif menghadapi masyarakat. Tentu saja kader dan anggota tim sukses yang militan sangat dibutuhkan. Tahan malu, tahan diceramahi dan tahan melanggar etika bertamu di masyarakat.   
Kampanye door to door disertai bingkisan berupa sabun, gula, dan selebaran yang berisi visi dan misi paslon. Pola itu, sepintas sah-sah saja, tidak termasuk area politik uang – karena yang diberikan barang. Kedatangan ‘hadiah’ sepele di tengah ekonomi masyarakat kebanyakan merosot, tentu tidak ada yang menolak. Soal suara diberikan kepada siapa, hanya pemilihlah yang tahu persis.
Apakah mereka akan memberikan suara kepada paslon yang memberikan barang-barang tadi atau “salam tempel”, semuanya masih belum ada kepastian. Ada beberapa kejadian yang saya rekam langsung di tengah masyarakat selama ini tentang pemberian barang atau makan saat sosialisasi paslon.
Kami diundang untuk datang, ya kami datang,” kata seorang ibu di bilangan Hadimulyo Timur.
Bagaimana soal pilihan ibu?” tanya saya.
Ya, pak itu kan orang sini, dan juga orangtuanya dulu baik. Kami pilih itu aja,” katanya.
Lalu saya bertanya lagi, “Kan sudah dikasih makan kemarin?”. Ia pun menjawab, karena diundang, lalu dikasih makan ya kami makan di dalam tarub acara itu.
Kemudian si ibu itu bersama ibu yang lain dengan tegas mengatakan, “ala ngomong semua pembangunan jalan ia yang bayar, padahal itu kan pemerintah yang bangun,” kata si ibu tadi dengan pintarnya membaca suasana saat ia ikut diundang dalam acara sosialisasi salah satu paslon di sekitar rumah mereka.
Lugu, jujur tapi sangat cerdas melihat paslon pilkada serentak 9 Desember 2015 nanti. Mereka tak mudah dirayu, walau dengan bahasa yang penuh dengan kebohongan dari paslon itu sendiri. Kebohongan menghadapi pilkada bagi paslon adalah hal yang mereka anggap sah-sah saja. Tapi, paslon banyak yang lupa, bahwa masyarakat walau tidak membaca surat kabar, ternyata sudah tahu siapa paslon kepala daerah yang mencalonkan di daerah mereka.
Kampanye-kampanye terselubung memang menjadi strategi masing-masing paslon, dan tentunya kampanye demikian dikemas apik dala bahasa-bahasa yang tidak terlihat hubungannya sama sekali dengan kampanye terselubung. Apalagi, mendekati hari pemilihan dalam rangkaian Pilkada Serentak 9 Desember 2015. Modus-modus kampanye terselubung semakin marak. Seperti modus kampanye terselubung melalui makanan.
Ada lagi paslon yang getol datang pada kegiatan-kegiatan masyarakat seperti tahlilan, gotong royong, resepsi pernikahan, takziah, kendurenan dan sebagainya. Walau paslon itu tidak diundang. Seperti yang terjadi di Kota Metro. Ternyata ada paslon yang memang mengintruksikan kader dan tim suksesnya memantau setiap kegiatan di tengah masyarakat.
Kedatangannya di kegiatan masyarakat itu, hanya datang dan bersalaman, kemudian pulang. Soal pemberian ya sama dengan warga lainnya dalam acara resepsi, takziah ataupun gugur gunung warga. Uang yang diberikan sebatas Rp.100.000,- sampai Rp.300.000,-
Paslon itu memang tidak berkampanye dalam hal seperti memberikan sambutan, tetapi dengan tulisan diamplop yang tertulis namanya. Ia merasa sudah cukup mengenalkan diri di tengah masyarakat yang ia tidak kenal. Resiko modus kampanye seperti itu adalah jika pemberian yang disumbangkan sama dengan warga lainnya, maka cibiranlah yang dia terima. Dan, itu akan berpengaruh kepada jumlah suara yang akan diperoleh.
Ada hal yang sangat kontras antara peraturan-peraturan tentang pilkada dengan pelakanaan kampanye pilkada itu sendiri. Untuk pilkada serentak, KPU mengambil peran sangat aktif terutama mempersempit ruang gerak politik uang dari paslon. Sementara, para paslon berupaya untuk memaksimalisir kegiatan mereka dengan kemasan apik – walau kegiatan itu melanggar aturan. Namun, kemasan yang apik saat kampanye yang diganti namanya sosialisasi.
Modus politik uang tak terhindarkan. Modusnya memang tidak terlihat menghamburkan uang, akan tetapi uang digantikan dengan barang. Artinya, di sana memang setali tiga uang. Tetap saja politik uang.

Politik ‘Nasi” Bungkus vs se Kotak Nasi



Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum dan pengamat sosial budaya

TERINGAT akan prinsip ekonomi; “dengan modal sekecil-kecilnya dapat untung sebesar-besarnya” pada saat persiapan dan tahapan pemilukada serentak digulirkan sampai saat ini. Pemilukada serentak dalam pelaksanaan para kontestannya, tidak banyak berubah. Sisi de yure (hukum) ada beberapa item baru yang ditetapkan pemerintah yang dijalankan pihak penyelenggara pemilukada. Tapi, persisnya memang tetap sama dengan pemilukada sebelum ini.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan dasar hukum pemilukada belum sepenuhnya dijadikan pedoman. Ada pedoman di balik layar yang lebih dominan dijalankan di tengah hirukpikuk kampanye para kontestan maupun kampanye formalitas yang difasilitasi oleh KPU dan Panwas bidang sosialisasi pemilukada.
Apakah masyarakat yang punya hak pilih (suara) dan yang tidak memilih sekarang ini sudah dapat dikategori “pemilih cerdas” – yang notabene bisa menghasilkan kepala daerah, juga cerdas? Tidak ada jawaban satupun yang dekat dengan kenyataan. Semua jawaban tergantung kubu – tim sukses masing-masing yang sudah klimaks mendukung masing-masing pasangan. “Sah-sah saja mau bicara apa dan dalilnya apa”
Catatan-catatan sebelum ini tentang pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pemilukada pada intinya belum bergeser ke arah demokratisasi yang diamanatkan oleh undang-undang. Bisa jadi dari waktu ke waktu riil pelaksanaannya semakin tidak proporsional menjauhi sikap profesional. Namun demikian pemilukada tetap berlangsung.
Sekarang masyarakat diajak temu kangen, kumpul calon pemilih, temu warga pendukung jalur independen dan kampanye wajib bagi pasangan calon di lapangan terbuka atau gedung.
Mungkin yang tersirat dan yang tersurat beda pada tatatan realitasnya. Karena sudah kebiasaan disuguhi amplop, bahan makanan atau bahan pakaian (jadi atau belum jadi). Sekarang mah adem ayem. Mereka bilang, belum akan memberikan apa-apa, masih penggalangan. Kubu masyarakat bilang, “kita lihat saja, kalau nggak ada apa-apanya, yah terpaksa kita dukung yang lain!
Itu, di atas adalah bahasa yang merupakan ungkapan antara harapan dan kekecewaan masyarakat yang sudah dininabobokkan dan diperdayai selama berlangsungnya pemilukada langsung. Pemilih – warga demikian, sah-sah saja, kok! Selaras dengan kebiasaan calon terpilih (baik legislatif maupun kepala daerah) setelah terpilih mereka semakin jauh dari masyarakatnya.
Padahal, ketika mau meminta dukungan, mereka (baik legislatif maupun kepala daerah) tahan menyembah-nyembah datang door to door!. Bahasanyapun diucap sangat-sangat santun, draf program “jika mereka terpilih” luar biasa harapan yang dijanjikan.
Sekarang mah suasananya berbeda. Misalnya warga yang pulang dari temu warga dan paslon (pasangan calon) ketika ditegur warga lain yang nggak ikut, langsung dijawab, “Cuma dikasih nasi bungkus doang!”
“Masak iya sih?” tanya warga yang nggak ikut lagi.
“Bener, Cuma itu!”
Percakapan tersebut semakin mengarahkan, bahwa kebiasaan money politic dalam pemilukada sudah mendarah daging di tengah masyarakat. Siapa yang untung? Tentu saja para calon. Bagaimana dengan peraturan perundang-undangannya. Masih tetap diselimuti kabul tebal di musim kemarau.
Dari percakapan – percakapan soal pemilukada di tengah masyarakat. Catatan-catatan sebelumnya sangat gamplang dibeberkan dan disampaikan secara lisan pula dari mulut ke mulut. Dari kumpulan ke kumpulan warga. Baik mereka yang sering begadang main gaple atau catur di tingkat RT maupun di warung-warung ‘nongkrong’ di pasar.
Prinsip ekonomi di awal tulisan ini, sekarang jadi trend. “Se Kota versus Sebungkus Nasi” jadi landasan untuk merebut kekuasaan yang nantinya akan menguasai warga yang menerima dan yang tidak menerima se kota dan sebungkus nasi tadi. Pelayanan kepada rakyatpun disamaratakan. Baik kepada pendukung maupun warga yang tidak mendukung, aspirasi rakyat tetap jadi formalitas belaka.
Apalagi warga yang sepanjang harinya menunggu kiriman; uang, sabun, gula pasir, mentega, susu dan kaos, selembar kalender dan puncak penantian adalah kiriman pada saat “seragan fajar”. Betulkah serangan fajar menentukan kemenangan paslon? Bagaimana dengan ketentuan peraturan tentang item-item money politic? Sejauh mana sanksi, jika sampai batas yang telah ditentukan, paslon yang PNS, anggota DPR dan DPRD, pejabat BUMN dan BUMD, anggota TNI dan Polri. Demikian pula tentang laporan harta kekayaan pribadi(LHKP), termasuk masalah dana kampanye yang melebihi dari satu miliar? Persoalan siapakah jika terjadi demikian?
Atau bagaimana mungkin hanya “nasi kotak dan nasi bungkus” bisa ditukar dengan kekuasaan selama lima tahun dengan berbagai atribut dan sumber PADs (pemasukan asli diri sendiri). Jika dibentangkan benang uraiannya, memang tidak ketemu yang namanya paslon menang jadi kepala daerah akan memenuhi janji-janji politiknya kepada pendukung mereka. Bahasa pesimisnya adalah ketika paslon menang hanya ada dua pokok pikiran yang harus dipenuhi sebagai target.
Pertama: bagaimanapun caranya mereka harus mengembalikan cost (biaya) politik yang sudah dikeluarkan sebelum masa jabatan periode pertama mereka berakhir. Kedua: bagaimanapun caranya paslon yang menang itu memberikan kemudahan-kemudahan kepada kroni-kroninya, termasuk anak, isteri dan keluarga sendiri dalam banyak hal.
Jadi, kesimpulannya adalah nasi kotak dan nasi bungkus yang ditukarkan dengan kekuasaan selama lima tahun bukan menjadikan status pemilis sebagai pemilih cerdas dan kepala daerah yang dipilih, juga bukan kepala daerah yangt cerdas. Pelaksanaan defisini demokrasi telah menjadikan bonekaboneka—‘bonek’ dan jalur-jalur serangga tanah penmgrusak habitat di atas permukaan bumi.

Catatan Pinggir Di Sebuah Warung Bubur



Oleh Naim Emel Prahana

SUARA bernada tinggi itu tak begitu keras terdengar. Lantaran pembicaranya berada di pusat pasar yang penuh dengan keramaian. Serius tidak serius, tapi ‘serius’. Tidak serius, juga tidak juga! Orang bilang itu obrolan di warung. Bolehlah. Tapi, ada yang perlu dicatat – digaris bawahi dari obrolan semacam itu. Isinya konstektual sekali. Masalahnya, apakah itu mewakili lapisan masyarakat tertentu, atau tidak. Boleh dikesampingkan dulu.
Sebab, obrolan pasar atau ngobrol di warung kopi adalah pribadi-pribadi warga masyarakat, terkadang sangat informatif. Untuk banyak hal yang telah, sedang dan akan terjadi. Juga, ada benarnya obrolan di pasar di era global informasi itu ada kebodohan atau mungkin serangkaian informasi yang tengah terjadi di tengah masyarakat itu sendiri.
’Kayaknya begitu’. Apalagi suasana menjelang  pemungutan suara pemilukada (pilkada) serentak tanggal 9 Desember 2015 ini. Sepertinya, semua dikeluarkan. Mulai dari sendal, sepatu, sarung tangan, kaos-kaos kaki dan tangan. Topi dan tentunya pos anggaran untuk mengobrol tadi. Persis lahirnya banyak pengamat, motivator, inisiator atau penyambung lidah ’katanya’.
Itulah fenomena keterbukaan demokrasi dengan tingkat kemajuan melebihi kecepatan berjalannya kondisi di tengah masyarakat itu sendiri. Pemilihan kepala daerah disebut-sebut sebagai ’pilkada’ itu adalah bagian dari dinamika pembangunan karakter manusia. Over acting atau ada deleting tertentu. Itulah kewajaran bahwa tingkat pendidikan masyarakat sangat bervariatif.
Ngobrol di warung kopi pada umumnya melewati fase-fase perdebatan masalah tertentu. Bisa urgen bisa tidak masalahnya. Ketika itu memasuki wilayah demikian obrolan di warung kopi menjadi debat kusir yang tidak ada kesimpulannya. Kecuali memunculkan watak individu anggota masyarakat itu sendiri.

****

Dari situ akan muncul sikap individualisme yang tinggi. Mengarah kepada pengeritik dan penerima kritikan. Sebagian besar pasti menimbang, memperhatikan dan memutuskan debat kusir itu tidak perlu dibawa pulang ke rumah atau ke kantor. Tapi, tradisi lisan sering pula tidak menimbang, tidak memperhatikan dan tidak memutuskan isi debat itu secara bijak.
Terajilah sikut-sikutan berawal ngobrol di warung kopi. Apalagi pilkada serntak 9 Desember 2015 memunculkan lebih dari satu pasangan calon kepala daerah. Debat kusir, juga harus diakomodir sebagai proses demokratisasi di suatu masyarakat. Proses itu tidak bisa 100% mencapai garis finish. Setidak-tidaknya menjadi laga penting terhadap respon warga atas proses demokrasi tadi.
Standarisasi konteks obrolan pilkada memang tidak bisa dicapai dari ”obrolan di warung kopi”. Tapi, akan mencapai tujuannya, jika informasi itu memiliki banyak data riil yang disampaikan secara santun, beretika dan bermoral.
Yang bilang, ”Semua rakyat sudah ngecap politik di Indonesia itu jelek”
Adagium tersebut tidak benar. Sebab, dalam hal politik yang buruk selama ini, rakyat tidak menjeneralisir keburukan seorang politikus menjadi kejahatan politik secara keseluruhan. Banyak kasus politisi terjerat tindak pidana korupsi, narkoba, arogansi yang dipublikasikan secara luas tersebut.
Rakyat – masyarakat tidak ’lantas’ menyebut semua politisi atau diunia politik di Indonesia kacau balau, jahat, jelek, atau rusak! Masyarakat hanya mengaitkan dengan partai si politisi yang terjerat kasus hukum. Tapi, di lain sisi masyarakat tetap tidak memberikan lebel apa-apa terhadap politisi yang tidak bersalah.
Artinya, seperti anggota polisi terjerat kasus kejahatan. Maka, secara otomatis masyarakat menyebutkannya dengan ”kejahatan polisi” – korpnya dikait-kaitkan. Sedang anggota polisi lainnya, tidak. Tetap mereka hormati. Di situ tergambar jelas bahwa obrolan di warung kopi tidak ada jaminannya kalau apa yang disampaikan seseorang itu mewakili rakyat luat.
” Yang jelas mewakili karakternya sendiri!”

*****
Sama halnya, juga masalah apa yang menimpa beberapa da’i – uztad yang sering populer lewat acaranya di televisi atau beritanya di media cetak, elektronik dan media sosial. Masyarakat sudah cerdas, memilah, memilih dan menyimpulkan apa yang didengar, dilihat, ditemui atau dibaca masalahnya.
”Tidak serta merta,” demikian bisa disimpulkan. Sayangnya, kesimpulan yang baik dan benar itu, pada tahapan realitasnya selalu dibenturkan kepada individual yang mungkin memiliki karakter (sifat) yang temperamental, emosional, egois sehingga debat di warung kopi atau warung apa saja sering menimbulkan konflik komunikasi selanjutnya.
Pada tatanan obrolan masuk lebih dalam ke pemilukada. Salah satu yang selalu ikut serta dalam pembicaraan adalah money politic. Masyarakat hanya tahu ’suap’ dan tidak mau mengurus sebab akibatnya. Dalam pesta demokrasi seperti pilkada, ”uang berpengaruh besar terhadap kecenderungan warga menyanjung pasangan calon (paslon). Tapi, uang bukan jaminan sebuah kemenangan di pilkada
Demikianlah profile pemilik suara yang cerdas mengatakan debat kusir itu. Mereka akan terima dan menerima siapa yang akan memberikannya. Coblosan di kertas suara memiliki faktor pengaruh yang multifaktor. Apalagi pemilih yang hanya memberikan suara, tidak terkait dengan komunitas paslon pilkada.
Namun demikian, obrolan di warung kopi, warung apa saja (warung bubur, red) pasti memiliki nilai tersendiri terhadap apa yang sedang terjadi dan bagaimana kejadian selanjutnya. Masyarakat di pasar adalah ”masyarakat bebas”. Mereka bukan pemain, bukan politikus, bukan pengamat. Tetapi mereka setiap saat masuk ke wilayah pengamat, politikus maupun menjadi pemain yang bisa berperan dan bisa tidak. ”semua tergantung kepada sesuatu yang sedang terjadi!”
Asumsinya, bisakah masyarakat pada umumnya yang sudah menjadi cerdas ’memilih’ kemudian memilih ’pemimpin’ yang standarnya sudah cerdas juga? Di situ akan berlaku hukum relativitas.

Rabu, 13 Januari 2010

Tingkah Aneh Sebelum Kenaikan Harga



                              
Oleh Naim Emel Prahana

Seandainya saya jadi presiden. Waduh, Mak banyak yang sudah segera saya wujudkan, termasuk membangun kerajaan keluarga yang baru lengkap dengan semua asesories kemewahan istana keluarga. Demikian juga, jika suatu ketika saya menemukan bungkusan berisi uang sebanyak seratus miliar di tengah jalan. Sudah banyak rancangan yang akan langsung diwujudkan. Termasuk juga, di dalamnya menggaet semua elemen masyarakat untuk memilih saya untuk menjadi ketua di semua organisasi. Setidak-tidaknya menjadi penasihat atau pembina. Kan uang bisa mendapatkan segala-galanya?

Tarikan nafas hanya sepanjang langkah dan istirahatnya kita. Sepanjang nafas masih dihela sepanjang itu juga prilaku banyak yang diburu. Salah satunya adalah alasan; kenapa saya berbuat demikian dengan teori “kambing hitam’. Maka, cita-cita yang sudah menggayut di dalam benak pikiran dan nafsu duniawi segera diwujudkan.

Sepanjang perjalanan usia saya di sini. Kalau ditulis dalam novel, cerpen dan karya sastra atau karya populer lainnya. Saya sudah pasti mempunyai puluhan rak buku perpustakaan, belum lagi poster publisitas karya saya. Sudah barang tentu, profil saya dengan materi karya pribadi itu sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Orisinilitasnya hanya separuhnya dari kebenaran—mybe.

kehidupan masyarakat-masyarakat di dunia penuh dengan prilaku-prilaku yang sedang, berkembang dan maju dalam proses sejarah perjalanan anak manusia dan makhluk binatang. Dahulu kala; baik di zaman purbakala, zaman batu, dan zaman besi. Prilaku sesuai dengan kenyataan alam lingkungan dan kebutuhan riil manusia dan lingkungannya.

Sekarang, prilaku sudah menjadi komoditas bisnis anak manusia di zaman ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam pergaulan—interaksi sosial selalu melekat take and give (langsung maupun tidak langsung); beraturan maupun tidak beraturan. Semua orang akan lantang berkata; “Siap dikritik, apapun bentuknya!”. Tetapi setiap mereka yang lantang berteriak pada kenyataannya, akan menghabisi siapapun yang mengkritiknya dengan bermacam cara—termasuk memperalat dukun-dukun dan akhli nujum yang di zaman teknologi maju saat ini, juga menjadi bidang profesi yang menggiurkan.

Misalnya, semula alat-alat bantu program Keluarga Berencana (KB) dimaksud tujuannya untuk menjaga stabiulitas kesejahteraan, ekonomi dan sosial keluarga masyarakat bangsa Indonesia. Kemudian berkembang alat-alat bantu (kontrasepsi) itu dijadikan pelindung utama terhadap prilaku-prilaku rusak, seperti banyaknya ibu-ibu (apalagi wanita belum menikah) untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan resmi. Pil KB, dan suntik KB bagi kebanyakan kaum isbu (isteri) menjadi cara baik membungkus prilaku selingkuh, hubungan badan bebas dengan pria lain selain suaminya. Jika memang harus hamil, alasan kuat tetap ada bahwa ia tetap seorang isteri yang taat dan patuh kepada suaminya. Makanya, ia hamil. Padahal, kehamilannya adalah buah dari prilaku hubungan badan di luar rumah tangganya dengan suaminya yang sah.

Apakah suami harus mengontrol dan mengawasi isteri setiap saat dengan memeriksa semua bentuk dan jenis obat yang ada di rumah. Tapi, apakah seorang suami yang bertanggungjawab secara dunia akhirat kepada keluarganya (termasuk isterinya) akan mengetahui isterinya telah melakukan suntik KB di luar tanpa izin dan memberitahukan dirinya? Astaqfirullah!

Keluarga rumah tangga zaman teknologi canggih dewasa ini sudah menjaid bagian dari komoditas bisnis yang bidang transaksi bisnisnya beraneka ragam. Seperti perusahaan-perusahaan. Baik perusahaan swasta maupun perusahaan milik Negara. Semua bertujuan mencari keuntungan untuk dinikmati, dengan cara menghalalkan banyak cara yangs ebenarnya haram dilakukan.

Oleh karenanya, wajar saja mengutip inti sebuah khutbah khotib di sebuah masjid Jumat lalu. Khotib Jumat mengatakan, orang mukmin itu apabila sudah memenuhi dua syarat utama dan pertama. Kedua syarat itu katanya, seorang Islam bagu dikatakan ‘mukmin’ apabila sudah mendapat ridho Allah (apapun kegiatan dan perbuatannya). Kedua, apabila Alqur’an sdegenap kandungan isi dan maknanya sudah menyatu dalam kalbunya. “Itulah seorang mukmin!” kata Khotib Jumat minggu lalu.

Kaitan dan kaidahnya dengan kehidupan berbangsa saat ini, sangat kuat sekali. Pertama, pemerintah itu menjalankan roda pemerintahannya adalah untuk kepentingan seluruh rakyatnya. Tidak ada kata kecuali tidak ada alasan pengecualian karena komoditas bisnis para pejabat dan kroni para pengusaha dan penguasa. Apalagi perusahaan negara seperti PT Telkom, PT PLN, PT Pertamina, Perum Bulog, PT KA dan sebagainya, termasuk perusahaan-perusahaan milik pemerintah daerah (BUMD), seperti PDAM, Bank Daerah, Koperasi Korpri atau koperasi PNS di lingkungan kantor pemerintah daerah dan sebagainya.

Banyak para penyelenggaranya yang sangat paham tentang keinginan, kebutuhan dan harapan riil rakyat, diplesetkan pola pelayanannya. Pelayanan publik (rakyat) yang digembar-gemborkan, hanyalah alibi untuk membungkus apa yang mereka nikmati di balik pelaksanaan upaya dan usaha bisnis melalui komoditas lembaga resmi pemerintah.

Misalnya PT Pertamina—sangat ditandai publik, jika sudahg membuat langklah-langklah dan rencana menaikkan harga. Maka, tingkah laku yang disodorkan ke publik beraneka ragam. Misalnya, harga minyak mentah dunia, kondisi ladang-ladang minyak di Timur Tengah tidak labil dan hutang negara ke negara asing yang sudahg mencapai atau melebihi ambang batas. Namun, prilaku yang dikomulatifkan selama ini adalah prilaku ‘kelangkaan’ BBM di pasaran. Kalau dibilang aneh, kok bisa. Bukankah Indonesia adalah salah satu anggota OPEC yang buminya kaya akan kandungan minyak? Ke mana minyak itu mengalir, kenapa bisa langka BBM di pasaran rakyat? Bukankah ini Tanah Airku. Tapi, kenapa tanah dan airnya harus dibeli rakyat dengan susah payah? Sementara buku-buku perundang-undangannya bertebaran di tengah kehidupan masyarakat yang isinya menyebutkan negara wajib memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya dari hasil dan kekayaan buminya.

Kenapa BBM harus direkayasa sedemikian rupa di pasaran, sehingga kebutuhan rakyat tidak dapat dipenuhi secara minimal, karena kelangkaan BBM itu pun disertai dengan meroketnya harga BBM. Permainankah masalah tersebut? Pejabat yang menanganinyalah yang tahu, jika mereka itu benar-benar memahami kalau diri mereka adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekeliruan dan kesalahan.

Demikian pula dengan PT (pesero) Perusahaan Listrik Negara (PLN)—jika mau menaikkan tarif bulan Januari 2010 mendatang (atau tinggal sebulan lagi). Kenapa harus membuat gejolak menjadi krisis listrik. Byar pyet menjadikan konsumen mengalami kerugian sangat besar. Pemadaman tanpa aturan dengan alasan pemeliharaan mesin PLTU Tarahan, sepertinya adaah paket rekayasa dari serangkaian proses menjelang kenaikan tarif listrik Januari 2010.

Kenapa harus bertingkah laku aneh? Transparan sajalah, kalau niat dan renacana kenaikan sudah tidak bisa ditunda lagi. Tapi, jangan tidak cara prilaku yang tidak baku alias tidak umum. Namun demikian, saya pahami hal itu sebagai politik pemerintah yang tidak memiliki moral dan mental menghadapi kemajuan dan perkembangan zaman, terutama di alam demokrasi yang tengah mencari jati diri saat ini.

Berprilakulah yang baik, transparan, komunikatif dan efektif dalam sosialisasinya, sehingga bisa membuat rakyat (konsumen) merindukan terus pelayanan terbaik PLN tanpa mengenal batas waktu dan tempat. Ketika prilaku pelayanan PLN sudah saling jatuh cinta dengan konsumen (rakyat), saya pikir negeri ini mampu dengan waktu cepat ke luar dari berbagai krisis yang sudah lama terjadi dan makin menyudutkan kehidupan rakyat Indonesia.

Semua makhluk di alam semesta ini dapat kita bohongi, termasuk orangtua, anak dan isteri, apalagi tetangga. Tetapi, ingatlah bahwa diri kita dan hanya Tuhan yang tidak mampu kita bohongi, kembalilah ke fitrah, agar bangsa ini menjadi benar-benar besar seperti slogan dan pernyataan para pejabat selama ini. I Love You Full.
 

-------catatan. Pak redaktir Opini, tolong sih foto gua yang dikirim beresama opni ini dimuat, terima kasih, Pak.


Golkar Semakin Ditinggalkan Rakyat
Oleh Naim Emel Prahana

Partai Golongan Karya (Partai Golkar) pasca Ketua Umumnya, Ir Akbar Tandjung rada-rada mirip dengan pameo “ hidup segan, mati tak mau”. Tentu, banyak yang bertanya, kenapa demikian. Tentu, sejak Akbar Tandjung dikebiri oleh Surya Paloh dan Aburizal Bakrie di Bali (dalam Munas VII), jati diri Golkar yang poernah menguasai hidup hajat orang Indonesia yang nyaris 32 tahun lamanya. Sirna!
Konflik di internal partai mencuat di mana-mana, perseteruan dengan pemerintah hanyalah taktik dan strategi elite-elite partai, untuk melindungi kepentingan bisnis dan kelompoknya. Kader-kader partai hanya dijadikan kambing congek. Disuruh berteriak, disuruh berdemontrasi, disuruh melakukan perang dengan pemerintah. Baik di pusat maupun di daerah.
Tetapi, diam-diam elite Golkar yang segelintir itu mengambil keuntungan dari hiruk pikuk politik partai tersebut. Pimpinan partai tingkat provinsi sudah menjadi tokoh dictator dengan politik adu dombanya, dengan politik pemearsaannya terhadap kader-kader di tingkat bawahnya. Pemecatan, penggulingan, aksi boikot pimpinan ditingkat kabupaten/kota, semua dirancang oleh ketua DPD I—pada hakekatnya hanya untuk menguras potensi dan materi kader sendiri.
Dalam Munas ke VIII di Pekanbaru, Riau kader Golkar pemilih dan punya hak suara tidak punya pilihan lain untuk menentukan, siapa figur Ketua Umum (Ketum) yang akan mereka pilih. Dua kandidat papan atas (Surya Paloh dan Aburizal Bakrie) yang diyakini (waktu itu) akan memenangi pemilihan ketua. Sejak lama dikenal luas adalah sosok pro dan lebih dekat dengan pemerintah. Padahal, sebenarnya keinginan kader Golkar adalah ke luar dari cengkraman pro pemerintah.
Jika keduanya terpilih, sudah dipastikan konflik dua kubu. Kubu pro pemerintah dan kubu kontra pemerintah akan selesai. Sebab, apapun yang terjadi, baik Aburizal Bakri maupun Surya Paloh adalah orang-orang yang sangat dekat dengan kekuasaan, sudah tentu tidak akan melepaskan diri mereka dari pemerintah. Sayangnya, Tomy Suharto dan Yuddy Chrisnandi tidak mau meladeni gebyar Surya Paloh dan Ical ‘Aburizal Bakrie” yang menaburkan uang di arena Munas VIII.
Jika terjadi taburan perang uang sebagaimana kita dengar dari peserta Munas VIII Pekanbaru, Riau. Tidak mustahil Tomy dan Yuddy akan menjadi figure yang sangat refresentatif untuk mengalahkan dua top figur tersebut. Nampaknya, Tomy lebih matang berpikir dan bertindak, apalagi hal-hal seperti Munas VIII Golkar tersebut. Pada akhirnya, kader Golkar yang memilih Ical sebagai ‘ketum’ harus gigit jari. Karena kampanye yang dilontarkan Ical dan tim suksesnya adalah untuk beroposisi terhadap pemerintah di bawah pimpinan SBY—Boediono.
Saya pernah menuliskan tentang pasca Munas VIII Golkar yang memprediksi bahwa di bawah kepemimpinan Ical, Golkar akan lebih mendekatkan diri kepada pemerintah. Kendati setelah tulisan saya itu dipublisir, dibantah oleh pengurus Golkar Lampung. Namun, kenyataannya apa sekarang? Golkar tetap berkoalisi dengan pemerintah dengan status yang lebih rendah dibandingkan koalisi Golkar dengan pemerintah 1999—2009.
Kita melihat, Golkar yang menyodorkan Agung Laksono untuk menduduki salah satu jabatan menteri (Kesra, red) merupakan cerminan Golkar telah kehilangan kepercayaan diri, termasuk harkat dan martabat sebagai parpol besar dengan segudang kader-kader yang potensial di berbagai lini kehidupan. Berulang diingatkan, bahwa banyak kebijakan dan putusan partai merupakan putusan dan kebijakan ketua (pimpinan) belaka.
Dengan keputusan Ical ‘Golkar’ untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat, bukan hanya langkah mundur, tetapi akan mempertajam intrik dan konflik internal partai di masa akan dating. Apalagi, kader Golkar sebagai pimpinan lembaga legislative hasil Pemilu 2009 lalu. Paling banter hanya wakil ketua DPRD. Sungguh mengenaskan dan menyakitkan seluruh kader parpol. Tapi, suasana sakit itu hanya dirasakan kader partai, sementara pimpinan partai tetap berleha-leha. Tetap dapat melindungi usaha bisnis mereka melalui koalisi dengan pemerintah.
Sekarang ini, Golkar bukanlah parpol besar di negeri ini, kendati perolehan jumlah kursi di DPR—RI masih diurutan kedua setelah Demokrat. Tetapi, Golkar sudah tidak punya taring dan kekuasaan apapun secara umum. Yang ada adalah kekuasaan secara pribadi atas nama ketua-ketua partai. Akbar Tandjung pun terkecoh ketika Munas VIII Golkar berlangsung di Pekanbaru, Riau beberapa waktu lalu. Akbar meyakini kalau ia mendukung Ical jadi Ketum, Golkar akan berubah dan makin maju. Harapan Akbar pun pupus oleh kebijakan dan keputusan Ical untuk berada dalam genggaman Partai Demokrat.
Slogan pro rakyat Golkar selama ini, tidak pernah ada pada diri Aburizal Bakrie—yang ia bawa selama ini adalah sebagai menteri—pemabantu presiden, termasuk pada diri Agung Laksono, Fahmi Idrism termasuk pada diri Alzier Dianis Thabrani. Pro rakyat yang dimaksud nyaris tidak pernah ada. Mereka asyik dengan permainan masing-masing di level mereka. Rakyat hanya disodorkan pernyataan-pernyataan dan mobilisasi format bantuan-bantuan sebagai pemancing slogan pro rakyat.
Itulah demokrasi di dalam tubuh Golkar yang sebenarnya tidak ada demokrasi di dalam tubuh Golkar. Golkar masih memegang teguh prinsip kronisme, nepotisme dan materisme (KKM). Semua persoalan dianggap akan selesai jika materi sudah diberikan. Ternyata, prinsip itu bertentangang dengan perkembangan dan kemajuan zaman saat ini. Sebab, rakyat membutuhkan realitas ketimbang slogan dan pernyataan.
Mengutip apa yang dikatakan M Sobari (Budayawan) beberapa waktu lalu di layer televise, lebih kurang begini “SBY itu baik, ia memperhatikan hati nurani, ia membawa perasaan. Tapi, rakyat itu butuh apa yang bisa dilihat dan di raba. Karena hati nurani dan perasaan itu kan milik yang di atas,” kata M Sobari.
Sekarang bagaimana mengembalikan kebesaran Golkar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan bangsa ini? Jawabannya ada pada kader-kader Golkar sendiri. Ketika ketuanya (pimpinannya) ke luar dari komitmen, maka kader partai berhak mencopotnya. Tidak ada yang harus ditakutkan, dan bukan untuk berkelahi, tetapi untuk kemajuan harus ada evaluasi karya dan program kerja.

Jumat, 27 November 2009

Teori Terbaru Benua Atlantis

Author: rendyramadhan@blogspot.com

Fakta
Banyak yang percaya bahwa dahulu kala ada kerajaan maritim yang luas yang terletak di salah satu samudera terluas di dunia. Pengaruhnya demikian besar, sehingga sisa kebudayaan dan warisannya bisa ditemukan diseluruh dunia hingga saat ini. Tafsiran arkeologis menyebutkan bahwa kerajaan maritim yang disebut Atlantis itu terletak di laut Mediterania Barat, ada pula yang berbeda pendapat dengan menyebut pusatnya di Costa Rika dan Antartika. Namun bagi orang yang skpetic, atlantis hanya ada di pikiran penulis dan pemikir kreatif, menurut mereka kerajaan itu hanyalah imajinasi belaka.
Apakah Atlantis hanyalah sebuah Mitos? ataukah seperti kota kuno Troy yang saat ini telah ditemukan setelah berabad-abad hanya dianggap sebagai Kerajaan khayalan dari Filsuf Hommer?
Atlantis merupakan kota hilang yang paling terkenal dan paling dicari sepanjang sejarah. Kepopulerannya bahkan melebihi kota-kota hilang yang lainnya seperti Sodom dan Gomora yang juga sampai saat ini masih dicari sisa-sisa reruntuhannya.
Tak dipungkiri lagi, selama 3 millenium manusia terpesona terhadap cerita Atlantis. Pada abad 4 SM, Filsuf Yunani Plato yang dianggap pemikir paling hebat pada masanya, menulis sejarah benua hilang yang legendaris ini. Namun sayang, asal-usul pasti legenda Atlantis boleh dikatakan tidak jelas. Menurut suatu kisah, cerita mengenai Atlantis diceritakan ke Plato oleh Sokrates dan seorang penyair bernama Solon yang mendengar tentang budaya hilang itu dari seorang pendeta Mesir.
Di dalam Timeus dan Critias, Plato menuliskan kedua dialog yang ia curahkan tentang Atlantis dengan gambaran yang detil dan komprehensif. Kata-katanya yang fasih berfungsi sebagai peta yang digunakan sebagai petunjuk oleh para penjelajah tangguh yang bertekad mencari sisa-sisa kerajaan ini. Berikut cuplikan terjemahan catatan Plato mengenai Atlantis dalam Timeus dan Critias:
“Pulau Atlantis ada di laut. Berhadapan dengan pilar Herkules. Dan wilayahnya lebih besar dari Libya dan Asia yang disatukan. Di tengah bagian terpanjangnya, disebelah laut ada daratan persegi panjang luas. Dikelilingi oleh pegunungan, dan lebih tinggi dari permukaan laut. Mengandung gunung berapi, dan sering terkena gempa dan banjir. Gunungnya menganung emas, perak, tembaga, dan timah. Dan gabungan alami dari emas dan tembaga yang disebut orichalcum.
Daratan itu memiliki sistem kanal yang besar dan kecil, juga mata air dingin dan panas alami. Tanahnya subur dan hasil panennya melimpah. Di dataran itu ada ibukota yang dikelilingi oleh bidang konsentris. Kota itu diliputi tembok batu merah, putih, dan hitam.“
Dari cuplikan catatan Plato mengenai Atlantis diatas, digambarkan bahwa kerajaan besar itu sebagai sebuah pulau yang besar, terletak diluar Selat Gibraltar yang disebut orang Yunani sebagai Pilar Herkules. Sebuah pulau yang lebih besar dari Libya dan Asia bila disatukan. Pada abad 4 SM masih belum diketahui bagaimana tatanan dunia. Karenanya sulit bagi kita untuk mengerti dengan pasti apa yang dimaksudkan Plato dengan Asia dan Libya bila disatukan. Sekarang, bisa dikatakan Libya yang dimaksud mungkin sama dengan bagian Afrika Utara. Sedangkan Asia mungkin bisa diwakilkan dengan wilayah Turki dan Timur Tengah. Dari Sudut pandang Plato di Yunani, Atlantis terletak di laut Atlantik, akibatnya mayoritas pencarian benua hilang tersebut di fokuskan di dasar laut.
Jim Allen, ahli peta dan bekas penerjemah intelejen udara AU Inggris memiliki sebuah perspektif baru dalam memeriksa ulang tulisan Plato. Ia menemukan yang ia yakini sebagai inti geografis legenda Plato. Menurutnya, tak ada benua hilang yang terletak diantara sisi seberang laut Gibraltar, maka ia berpendapat mungkin wilayah Atlantis berada di Amerika Selatan. Dengan menggabungkan citra satelit dengan pengetahuan praktis ilmu ukur kuno, Allen yakin ia berhasil membenarkan hampir semua gambaran Atlantis Plato. Ia yakin peradaban hilang tersebut kini telah muncul kedaratan, sangat berbeda dengan yang diyakini banyak orang bahwa reruntuhannya masih terkubur didasar laut.
Altiplano, begitulah yang ditunjuk Allen sebagai wilayah yang ia yakini sebagai Atlantis. Ada sesuatu yang sangat menarik dari wilayah Altiplano yang berhasil diamati oleh Allen dengan foto Satelit yang ia dapatkan, yaitu apa yang tampak sebagai sisa-sisa kanal luas. Kanal luas gambaran Allen membagi dua daratan Altiplano dalam gambar satelit. Pada titik terlebarnya, hampir 600 kaki dari 1 sisi ke sisi lainnya, hampir persis dengan gambaran Plato.

Plato
Dalam teorinya, Plato menjelaskan, “Atlantis adalah sebuah benua, yang berada di samping samping lautan (lihat tanda panah pada image). Ada dataran persegi panjang, letaknya di atas permukaan laut.”
Gambaran Plato itu kemudian dalam penelitian Jim Allen (ahli peta dan bekas penerjemah intelejen udara AU Inggris) membandingkan gambaran benua atlantis dengan dataran Altiplano sebuah wilayah luas di Amerika Selatan, langsung berbatasan dengan Laut Pasifik. Wilayah ini memiliki lebar lebih dari 102 mil dan panjangnya hampir 300 mil, ini menjadikan Altiplano sebagai dataran persegi panjang terbesar di dunia.
“Sangat cocok dengan penggambaran Atlantis Plato,” jelas Jim Allen.
Kembali ke Timeus dan Critias, Plato mencatat ukuran dataran Atlantis dalam stade. Stade merupakan satuan pengukuran yang sering digunakan oleh ahli matematika Yunani. 1 stade sama dengan 600 kaki. Namun di Amerika Selatan, satu stade hanya 300 kaki, setengah dari satu stade dalam pengukuran Yunani Kuno.
Setelah ukuran dataran Plato dikonversi didapatkan ukuran 113 x 171 mil. Satu-satunya daerah di Benua Amerika yang dapat memuat dataran sebesar ini adalah Altiplano. Ya, Altiplano memiliki hampir semua kriteria yang digambarkan Plato mengenai Atlantis. Suatu wilayah yang dikelilingi oleh pegunungan yang mengandung emas, perak, tembaga, dan timah. Seluruh daerahnya terletak di patahan yang sering mengakibatkan gempa bumi. Altiplano memiliki gambaran yang sempurna mengenai legenda Atlantis.

Bekas-bekas Kanal di Wilayah Altiplano
Tetapi beberapa ahli tidak setuju dengan Jim Allen dalam keyakinan bahwa Atlantis berada di Amerika Selatan. Mark Aldenderfer, Profesor Antropology dari UC Santa Barbara mengatakan bahwa Altiplano adalah lingkungan yang keras selama 10-15 juta tahun terakhir. Tidak ada hubungan apapun tentang populasi pertanian yang maju seperti yang digambarkan Plato untuk keberadaan Atlantis di wilayah Altiplano.
Daerah Altiplano Bolivia sampai saat ini adalah daerah yang kaya akan mineral. Logam campuran yang disebut sebagai orichalcum yang digambarkan sendiri oleh Plato di bukunya juga dapat ditemukan disini. Dalam dialognya tentang Atlantis, Plato menulis bahwa nilai Orichalcum hanya setingkat dibawah emas. Orichalcum sangat membangkitkan minat karena hanya ditemukan di Altiplano, Andes.
Lalu nama Atlantis itu sendiri yang semakin memperdalam misteri. Plato memberi nama pulau mitologinya sebagai Atlantis mungkin karena dihubungkan dengan raksasa Atlas yang menopang langit. Tapi ada juga teori lain yang menguatkan pendapat Allen. Kata “Atl” berasal dari bahasa Aztec yang berarti air, sedangkan “Antis” memiliki arti tembaga dalam bahasa Inca. Semua kata yang menyusunnya terdiri dari 2 kata dari bahasa dua peradaban kuno terbesar di Amerika Latin selain peradaban Maya kuno, yaitu peradaban Aztec dan Inca. Saat ini, Allen memfokuskan hanya untuk menemukan ibukota Atlantis. Pencariannya membawanya ke Pampa Aullagas, gunung berapi yang tidak aktif yang dikelilingi lautan pasir dan bebatuan. Allen yakin bahwa di sini ibukota Atlantis berada sebelum tenggelam kedalam lautan luas. Lautan yang kini telah surut dan menjadi anak sungai sempit dan kumpulan air yang lebih kecil. Kini, daerah ini hanya meninggalkan sisa-sisa dasar laut yang kering dan gersang.

Pampa Aullagas, Altiplano, Bolivia
Sistem Posisi Global Genggam (GPS) yang dibawa Allen, bekerjasama dengan 12 satelit orbit. Melalui proses triangulasi, sistem itu memberikan info dalam bujur dan lintang di lokasi manapun di seluruh dunia. Ini memungkinkan Allen untuk menentukan posisi pasti pusat ibukota Atlantis di Altiplano. Menurut Plato, kota itu dikelilingi oleh dinding yang mengitari sehingga berbentuk lingkaran penuh dengan jarak 50 stade dari cincin kota. Dan Allen menemukan reruntuhan dinding di tempat itu. Reruntuhan dinding dengan lebar sekitar 1200 kaki yang sangat cukup untuk menopang semua bangunan seperti yang digambarkan Plato. Cincin konsentris juga memungkinkan penduduk untuk mereklamasi daratan dari dasar danau dan menciptakan bentuk suatu pulau. Allen mengecek ulang info GPS dengan Peta Navigasi Taktis Altiplano. Dengan merubah stade menjadi meter, ia menentukan posisi secara manual. Angkanya cocok dan bagi Allen, tampaknya dinding itu ada di tempat seharusnya. Walau ia telah temukan daerah yang sangat mirip dengan kerajaan Plato, beberapa pakar menganggap kesimpulannya terlalu dini. Tanpa menghiraukan lawannya, Allen merasa daerah Altiplano penuh bukti yang ditulis Plato tentang dataran tinggi ini.

Indonesia Lokasi 'Atlantis yang Hilang"?

Indonesia, Bencana, dan Atlantis
Atlantis musnah akibat bencana mahadahsyat. Kata Santos, Atlantis ada di Indonesia.
Rabu, 28 Oktober 2009, 18:35 WIB
Elin Yunita Kristanti

VIVAnews - Bencana beruntun yang terjadi di Indonesia saat ini membuktikan bahwa nusantara adalah tanah rawan bencana.
Selain tsunami 26 Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 100.000 jiwa, nusantara juga pernah mengalami bencana dahsyat ketika Gunung Krakatau meletus pada Agustus 1883. Letusan ini menyebabkan tsunami yang menewaskan sekitar 36.000 jiwa.
Berdasarkan penelitian ilmuwan Fisika Nuklir asal Brazil, Arysio Santos, Indonesia dihubung-hubungkan dengan Atlantis, sebuah tempat berperadaban tinggi, yang setengah mitos, tapi juga dipercaya pernah ada di muka bumi.
Atlantis, kata Santos, musnah juga akibat bencana mahadahsyat. Dalam buku yang berjudul “Atlantis the Lost Continents Finally Found”, Santos menggambarkan lokasi Atlantis di lokasi "the most volcanic region in the world" alias daerah paling banyak gunung berapinya.
Dengan hipotesa inilah, Santos menunjuk Indonesia. Faktanya, kata dia dalam laman Atlan.org, Indonesia terdiri dari ribuan gunung berapi yang berubah menjadi pulau-pulau.
Indonesia juga pernah mengalami bencana letusan gunung Krakatau dan Tambora. Bahkan, Danau Toba di Sumatera adalah bekas salah satu kawah gunung berapi.
Letusan beberapa gunung berapi secara bersamaan, kata Santos, menyelimuti permukaan bumi mencairkan es dan memicu ombak raksasa yang menenggelamkan Atlantis.
Terkait klaim Santos bahwa Atlantis berada di Indonesia, Pakar Gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja mengaku belum membaca secara detil buku Santos.
Namun, kata dia, "ada beberapa kelemahan dalam teori Santos."
Apa kelemahan itu? "Di masa lalu Indonesia bukan benua yang terpisah, tapi menyatu dengan Asia," kata dia kepada VIVAnews, Rabu 28 Oktober 2009.
http://nasional.vivanews.com/news/read/100748-indonesia__bencana__dan_atlantis

Indonesia Adalah Negara Atlantis

Oleh Prof Dr H Priyatna Abdulrasyid PhD

MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?
Plato (427 - 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Konteks Indonesia
Bukan kebetulan ketika Indonesia pada 1958 atas gagasan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja melalui UU No 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan, bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu
tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang meletus secara bersamaan. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat datararan Sunda.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak
Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.
Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli dikemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.
Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik
terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, "Amicus Plato, sed magis amica veritas." Artinya,"Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran."
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.
Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya. ***
Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis

Senin, 31 Agustus 2009

‘Melanggengkan’ Pengkhianatan Terhadap Bangsa


Oleh Naim Emel Prahana

PADA hakekatnya, orang dalam pengertian ‘manusia’ (human) terlalu suka mengingkari kodratnya sebagi makhluk sosial (Social creature). Bahasa pembelaan yang sering diajukan kepada sesama manusia adalah kepentingan-kepentingan kehidupan. Pada umumnya, manusia sangat menyadari akan kesalahan, kekeliruan dan ambisi yang di luar jalur anatomi makhluk manusia tertsebut. Akan tetapi, kepahaman dan kesadaran itu sering dibungkus dengan logika dan retorika.

Logika dan retorik yang menjadi andalan untuk menyembunyikan tujuan kepentingan, sering menjebak seorang manusia ke dunia jiwa yang labil; temperamental, emosional dan membabi-buta melemparkan kesalahan diri sendiri kepada orang lain. Ada banyak contoh, terutama di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.

Padahal, ada konsep yang sangat brilian dan sederhana dalam kehidupan—di mana banyak orang menerapkan apa yang disebut dengan 3 sukses! Sukses cinta, sukses karir dan sukses organisasi. Ketiganya memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya untuk menjadi satu kesatuan yang menyelaraskan kehidupan sosial seseorang. Maka, kesalahan yang dikerjakan merupakan format koreksi bagi kebenaran selanjutnya.

Ketika mengeja pernyataan informal seorang pejabat yang mengatakan, “setiap orang di sini melakukan korupsi, termasuk saya........!” Pernyataan itu mengisyaratkan tentang kesalahan; apa yang ia lakukan sebagai seorang pejabat dilemparkankan kepada orang lain dalam dimensi yang tidak cerdas. Ketika berbicara “pada umumnya” dalam konteks perkembangan peradaban manusia. Ada beberapa teori yang tidak pantas lagi dikutip atau dibawa-bawa dalam berbagai momentum pembelajaran dari manusia ke manusia lainnya.

Kerangka teori yang cenderung merupakan pameo orang-orang bijak—ahli pikir tempo dulu tentang “ masuk kandang kambing kita ikut mengembek, masuk kandang kerbau, kita ikut menguak dan seterusnya”. Secara psikologis pameo itu menvonis semua orang akan berlaku sama, di mana ia bertempat tinggal. Padahal, walaupun seluas tempat berpijak semuanya lumpur, keberadaan sebutir intan tetaplah intan yang berkilau.

Adakah suatu komunitas ideologi (agama) dianggap salah, karena ada orang yang menganut agama itu melakukan kejahatan (perbuatan) seperti teroris. Lalu, agama komunitas umat beragama dianggap sebagai kelompok radikal atau teroris—menurut teori negara adikuasa Amerika Serikat dan sekutunya. Kenapa harus agamanya yang menjadi perhatian, bukan kepada perbuatan seseorang yang melakukan kejahatan terhadap orang lain. Dalam kontek tersebut presiden bukanlah penguasa tunggal, melainkan melainkan pemegang amanat rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan.

Ketakutan atau kekhawatiran seorang pemimpin sering membuat dia melakukan tindakan yang emosional dan menuding banyak pihak ‘yang’ akan melakukan kejahatan terhadap dirinya dan pemerintah. dengan tuduhan tersebut, ia leluasa memerintahkan TNI dan Polri untuk melakukan sweeping, pengamanan ekstra ketat dengan show power militer. Dengan show power kekuatan militer dan polisi itu, sudah barang tentu bertujuan untuk memberikan shock teraphy (warning) kepada masyarakat luas, agar jangan macam-macam. Dengan keheningan masyarakat yang mencekam akibat show kekuatan militer dan polisi itu, maka startegi mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan mudah. Walaupun (misalnya) dalam suatu pemilihan presiden diyakini banyak terjadi pelanggaran yang dapat membatalkan kemenangan pasangan capres.

Pada zaman Orde Baru atau zaman keemasan Partai Golongan Karya (Golkar), militer seperti punya mata seribu. Bayangkan saja, ketika seorang wartawan membuat berita tentang kecurangan pemilu, pihak Intel Kodim langsung memanggil si wartawan dengan metoda introgasi yang tidak lazim. Misalnya meraka mengatakan, “berita yang akan kamu buat besok, lusa atau minggu depan maupun bulan depan, kami sudah tahu..!” Begitu hebat introgasi demikian. Sementara wartawan yang diintrogasikan itu, belum tahu berita apa yang akan ia dapatkan besok atau lusanya. Kenapa militer sudah tahu?

Apakah sekarang ini akan terulang lagi zaman keemasan seperti zaman Orde Baru di bawah rezim Soeharto? Akibatnya demokrtasi kita terus menerus eror disebabkan oleh Leader eror (pemimpin yang eror). Demokrasi di Indonesia yang memasuki zaman kebebasan, ternyata tidak mampu mengembalikan wajah asli bangsa Indonesia. Dengan sistem pemilihan secara langsung, akan tetapi tidak mencerdaskan anak-anak bangsa, karena peraturan tentang pemilihan secara langsung di Indonesia belum dapat dijalankan sepenuhnya.

Misalnya menyangkut kasus pelanggaran dan kejahatan terhadap hak suara pemilih yang harus dijamin bebas diberikan kepada siapapun calon pemimpin yang sedang bertarung. Ketika terjadi kasus pelanggaran pemilihan, proses hukumnya tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai ‘berita acara’ pemilihan. Bahkan, kecenderungan anggota KPU yang condong kepada pihak tertentu, telah menghambat proses demokrasi yang akan dibangun di Indonesia pasca tumbangnya rezim orde baru.

Sistem dan pelaksanaan pemilihan di tingkat apapun di Indonesia merupakan potret pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Karena dalam proses dan pelaksanaan pemilihan langsung (pemilu, pilpres, dan pilkada) telah disuburkan kembali praktek suap, korupsi, kekerasan, pemitnahan orang lain, tidak adil, tidak jujur dan terlalu mengandalkan faktor uang, preemanisme, kekuasaan dan kewenangan.

Jika beberapa pasal di dalam UU pemilu dan KPU serta peraturan lainya tidak direvisi ditambah kurangkan, maka dalam perkembangan selanjutnya demokrasi di Indonesia akan mundur jauh ke belakang, karena menghidupkan kembali praktek-praktek pengkhianatan terhadap bangsa dan negara untuk kepentingan kelompok sendiri (kelompok tertentu) yang ingin berkuasa.

Bunga Rampai Penyair


Sepenggal Perjalanan Sastra di Kota Metro)
Oleh Naim Emel Prahana

Dengan sebuah buku antologi dan puisi-puisi yang dikirimkan ke sebuah radio swasta. Maka, terbitlah status, “aku adalah penyair!” Sebab, penyair bernama si X itu sudah lama tidak menulis puisi lagi. Potongan terjemahan di atas dikutip dari blog Dewan Kesenian Metro (DKM) yang ditulis seseorang yang mengaku sebagai penyair Metro yang saat ini mengklaim dirinya sebagai the best.

Untuk memperjelas kepahaman yang memang tidak dipahami lagi, akibat trend bahwa “aku adalah aku” yang dilahirkan oleh aku sendiri, tiada yang melahirkan dan tidak akan melahirkan penyair lagi. Padahal, penyair dalam dunia sastra adalah bagian dari warga yang sangat mencintai dan mempelajari sejarah. Tetapi, sekarang banyak yang tidak mau tahu soal sejarah.

Semuanya akibat banyaknya teori cekikikan di balik kamar-kamar kost dan ruang-ruang sindikat ‘aku’ dalam sastra. Namun demikian, saya tetap mengatakan, penyair ya penyair biarkan diri dan karyanya mengalir bagaikan air sungai sampai ke muaranya. Yang sudah barang tentu dalam perjalanannya mengalami berbagai bentuk intervensi sejak dari mata air yang bening, kemudian air yang kuning dan berlimbah serta banyaknya orang yang menebar bahan kimia maupun menggunakan alat setrum untuk mematikan anak-anak ikan yang berada di dasar sungai maupun yang berada di permukaan sungai. Itulah kehidupan. Ada kehidupan yang tidak hidup sama sekali dan ada kehidupan yang sangat lentur dan hidup elastis.

Buka dan baca lagi kliping-kliping koran Nasional dan Lampung serta buku-buka catatan para penggiat seni sastra di Lampung—khususnya di Metro. Maka, betapa menyejukkan perjalanan sastra (dan penyair di kota itu). Maka, sebut saja dekade tahun 1986—1998 denyut sastra di Kota Metro masih menyisakan catatan pahit dan getirnya, apa yang dialami para penggiat sastra di kota kolonisasi itu.

Metro telah mencatat sejarah sastra yang menasional kala itu. Di mana, ketika akan diadakan baca puisi se-Sumatera Bagian Selatan dengan menghadirkan Emha Ainun Najib dan Diah Hadaning (1992) dicekal aparat keamanan. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, ketika Emha Ainun Najib diundang untuk memberikan orasi kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Metro, ia pun dipaksa turun dari podium dan ke luar dari kampus UMM tersebut. Saat itu rektor UMM sebagai penggagas dan pengundang, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pencekalan itu.

Tahun 1987 ketika kawan-kawan menjadi panitia lokal pementasan Teater Krakatoa (Bandarlampung), juga akan dicekal dengan berbagai alasan. Namun, saya tetap ngotot bahwa teater Krakatoa bukan kaum oposisi yang harus dicekal melalui Sospol Kabupaten Lampung Tengah. Alhamdulillah, pencekalan itu tidak jadi. Teater Krakatoa tetap pentas di Gedung Wanita Metro.

Apa yang terjadi di Metro, sebenarnya lebih keras dengan apa yang terjadi di Bandarlampung atau Jakarta. Ketika saya menjadi Pimpinan Harian (PH) Radio Deimarga Nusa (radio swasta tertua di Lampung Tengah waktu itu) dan satu-satunya radio di Kota Metro (1980—1989). Salah satu acara pavourit Sabtu malam Minggu adalah Apresiasi Sastra.

Salah satu penyair yang sering mengisi di acara itu adalah Muadin Efuari, Leo Marantika dan beberapa penyair lokal lainnya. Dunia teater pun di Metro begitu marak, tercatat ada sekitar 15 kelompok teater di Metro yang puncaknya adalah lomba penulisan puisi, lomba pentas teater dan baca puisi di Aula Depdikbud Lampung Tengah di Kampus (sekarang Kantor Dinas Pendidikan Kota Metro). Diah Hadaning, Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Dadang Ruhiyat, Isbedy Stiawan ZS hadir menjadi juri pada pestival seni sastra Metro saat itu.

Masih banyak lagi catatan sebagai realitas sejarah sastra di Kota Metro yang patut dihormati para penggiat sastra yang masih memiliki nilai nurani kemanusia di dalam mdirinya. Pertemuan dalam Dialog dan Baca Puisi Penyair Lampung di GOR Jurai Siwo memang gegap gempita. Semua penyair Lampung hadir dan membacakan karya-karyanya pada waktu itu.

Sebuat saja Iwan Nurdaya Djafar, Isbedi Stiawan ZS, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, Juhardi Basri, Naim Emel Prahana, Thamrin Effendi, Rustam Effendi Damara, Zulqarnain Z, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib) dan masih banyak lagi. Karya-karya penyair Metro terus mengalir di media cetak ibukota dan Lampung. Ada seorang penggiat seni sastra yang getol berkarya—sekaligus mengasuh beberapa teater di Metro saat itu dari Bandarlampung adalah Pramudya Muchtar.

Adalagi acara pentas seni di Balai Serba Guna Hadimulyo 22 Metro, hadir waktu itu penyair Moelya Poetra (saat itu lebih banyak berkecimpung di Jakarta)—yang dibuka secara resmi oleh Walikota Administratif Metro, Drs Mulyadi. Masih ada pentas seni sastra di Balai Desa Mulyojati 16C, Balai Desa Yosodadi Jalan Jendral Sudirman dan sebagainya. Aktivitas seni sastra demikian menggaung saat itu dan melibatkan penyair-penyair Nasional di Metro sepanjang perjalanan 1980—2000 mungkin tidak akan terulang lagi, kendati sekarang ada lembaga DKM.

Khususnya mengenai Dewan kesenian Metro—pada awalnya dibentuk oleh Naim Emel Prahana, Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Rini yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sengaja kami ikuti format AD/ART Dewan Kesenian Jakaera (DKJ) yang saya bawa dari Forum Puisi 1987 di Tim—DKJ Jakarta. Saya minta sama Bang Leon Agusta dan Mas Abdul Hadi WM.

Ketika kemudian Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, maka DKM menjadi koordinat DKL Lampung untuk Lampung Tengah. Kebetulan saya yang memimpinnya saat itu. Dan saya juga yang terlibat mendesign DKL bersama Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Zulqarnain Z, Andy Achmad Sampurnajaya yang saat itu didukung sepenuhnya oleh Kadis Pendidikan, Indra Bangsawan.
Yang bertamu ke Metro dalam rangka baca puisi dan penerbitan antologi juga datang dari Palembang seperti, Anwar Putra Bayu, Taufik Wijaya, Thomas Heru Sudrajat, Koko Bae dan JJ Polong, dan dari Jambi seperti Dimas Arika Miharja, Ari Setya Ardhi, dan beberapa penyair Jambi lainnya. Termasuk WS Rendra yang memberikan pencerahanh sastra di sekolah-sekolah yang ada di Metro, juga Adi Kurdi.

Beberapa buku puisi yang diterbitkian dari Metro, juga bisa dijadikan acuan dan referensi tentang perjalanan seni sastra di Metro. Misalnya para penyair Metro yang tergabung dalam antologi puisi Kodrat (Radi Deimarga Nusa), Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Bruckkenschlag—Naim Emel Prahana (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan). Sedangkan buku cerita rakyat yang lahir dari bumi Metro antara lain Cerita Rakyat Lampung—Naim Emel Prahana (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Cerita Rakyat Bengkulu –Naim Emel Prahana (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988). Dan. Masih banyak lagi.

Sepenggal catatan perjalanan ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan kenyataannya, termasuk keikutsertaan penyair Metro di forum nasional dan internasional sepanjang kurun waktu itu. Seperti yang dijalani saya dan Muadin Efuari. Dalam sastra harus ada kejujuran dan keberanian melakukan koreksi kritik yang membangun atau yang memvonis. Untukmu generasi penerus penyair Metro jangan sungkan-sungkan menghormati sejarah sebagai cikal bakal kehidupan saat ini

Agustusan Mencari Roman Indonesia
Oleh Naim Emel Prahana

SUATU ketika aku menyurui pantai Barat Sumatera dari Bengkunat—Krui—Lemong—Bintuhan (Kaur)—Manna sampai ke Bengkulu. Saat itu baru pertama melakukan perjalanan lewat pantai Barat. Kalau dari Lampung sepanjang jalan bagian kanan terhampar pepohonan lebat dan besar, mulai menjelang malam selalu berpapasan dengan trenggiling, babi hutan, harimau dahan (macan loreng) dan binatang liar lainnya, termasuk ular yang sering melintasi jalan dengan damai, bebas dan tenang.

Itu terjadi sekitar tahun 1999—2000-an, serangkaian perjalanan yang sangat menarik. Pesona alam, debur ombak dengan warna putih bersih menerpa bibir pantai sepanjang pantai yang dilewati. Kampung-kampung yang ada masih begitu asli. Di tengah jalan bila malam menjelang, banyak berpapasan dengan sapi, kerbau atau kambing—yang menjadikan ruas jalan tempat mereka tidur.

Tidak ada hiruk pikuk, tidak ada toko-toko yang besar atau permanen, apalagi rumah makan seperti sekarang yang men jamur di jalan lintas di seluruh Indonesia. Selepas Lemong, memasuki perbatasan dengan daerah provinsi Bengkulu masih di daerah Bintuhan, Bengkulu Selatan yang kini menjadi kabupaten Kaur. Saat melintas desa-desa yang ada. Betapa indahnya kehidupan yang penuh dengan kedamaian, keharmonisan dan keakraban antara penduduk dan alam sekitarnya.

Waktu itu, aku berpikir daerah itu apakah masih masuk wilayah Republik Indonesia? Itulah pertanyaan yang menggelegak di benakku saat melihat pemandangan sepanjang kiri kanan jalan di perkampungan yang dilewati. Benar-benar tradisionil, rukun dan damai. Mata-mata yang curigai melihat pendatang nyaris tidak ada sama sekali, yang ada adalah mata penduduk yang begitu ramah, senyum di bibir begitu menyejukkan bagi pelintas daerah itu. Apalagi suara debur ombak Samudera Indonesia yang dahsyat itu.

Di mana Jakarta, di mana Bandarlampung, di mana Bandung, di mana surat kabar, di mana televisi dan di mana akan ditemukan rumah-rumah makan besar dengan karyawannya yang lincah dan berseragam. Semuanya tidak ada. Nyaris sunyi senyap, sepi sekali, walau banyak orang yang duduk-duduk di depan halaman rumah bila malam hari tiba. Penerangan dengan menggunakan lampu petromak menjadi sinar yang gemerlapan di malam hari.

Itulah suatu kenyataan Indonesia di tengah negara Indoneia ini yang kalau tidak orang Belanda atau Inggris yang membangun dan mengembangkan daerah itu tempo hari, entah apa jadinya kampungku di Indonesiaku ini.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku kembali menempuh jalur itu. Giliranku yang terpana dan kaget. Kenapa tidak, dulunya sepanjang areal TNBBS pohon besar di pinggir jalan hingga memenuhi perut alam di situ. Ternyata 2004-an sudah lenyap sama sekali. Binatang yang menemani perjalanan panjang seperti simpai, monyet, beruk, siamang, kera, babi hutan, rusa, trenggiling atau lainnya sudah sangat jarang ditemukan sepanjang jalan yang dilewati. Pada kemanakah mereka semua, termasuk pohon-pohon besar yang menjadi paru-paru dunia itu? Semua lenyap.

Beberapa meter dari pinggir jalan ketika melongok ke dalam hutan, ternyata tidak ada lagi pepohonan dengan batang-batang kayunya yang berdiameter besar. Yang tersisa adalah kayu-kayu kecil dan semak belukar. Bulu romaku berdiri menyaksikan realitas hutan rimba kita itu. Sementara penduduk yang hidup di kampung-kampung sepanjang pantai barat itu, tidak ada yang begitu drastis menjadi penduduk (orang) kaya.

Apalagi sekarang, deru mesin pemotong kayu besar, hamparan kebun kelapa sawit, kebun – kebun karet dan sebagainya telah memaksa kita selama perjalanan mengusap keringat terus menerus karena terik panas yang menyengat. Di beberapa bibir pantai, sudah berdiri rumah-rumah makan gaya lintas Sumatera. Di beberapa muara sungai sudah ada tempat cucian mobil dan usaha penambangan batu dan pasir secara bnesar-besaran.

Bila malam hari anak-anak remaja berlalulalang antar kampung dengan motor baru mereka. Sangat cepat pengaruh gaya hidup kaum selebritis merambah ke kampung-kampung yang berada nun jauh di bibir pantai dan bibir hutan Sumatera itu. Suasana pun sudah berubah banyak. Cata berpakaian anak-anak muda di kampung-kampung yang jauh itu, tidak ubahnya seperti ditampilkan para artis sinetron di televisi.

Tapi, ketika berada di sana pertanyaan tetap muncul walau aku tahum bahwa di sana masih menjadi bagian dari kampung-kampung di Indonesia yang tidak pernah disentuh ban-ban mobil para pejabat, apalagi kelas menteri apalagi presiden. Wajar kalau mereka bermimpi terus menerus, bahwa mereka inginkan suasana seperti zaman penjajahan Inggris atau Hindia Belanda.

Atau mungkin kalau diterjemahkan, mereka ingin merdeka sendiri, mereka ingin menjadi bagian dari diri mereka sendiri. Padahal, mereka pernah mengeyam hidup pada saat revolusioner Bung Karno. Karena Bung Karno, Bung Hatta atau Sutan Syahrir memang pernah mendatangi daerah itu.

Persoalannya kini, ketika semaraknya Agustusan 2009 di mana banyak pemerintah daerah menggelar peringatan HUT RI ke 64 dengan semua kemewahan, termasuk pesta kembang api yang nilainya puluhan juta rupiah itu. Tapi, roh Indonesia di dalam kegiatan-kegiatan peringatan itu nyaris tidak ada sama sekali. Kegiatan pameran pembangunan, kegiatan pawai pembangunan dengan lendaraan hiasnya sudah sesak dengan muatan politik masing-masing daerah.

Bendera Indopnesia “Merah Putih” memang ada dan di luar, banyak dijual di pinggir-pinggi jalan, akan tetapi tidak ditempelkan roh kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga bendera-bendera itu tinggal menjadi pemanis hiasan bagi pemiliknya atau pemasangnya. Bahkan, dijadikan simbol (icon) iklan-iklan ucapan atau kegiatan lainnya di media massa. Sungguh kronis jiwa kebangsaan masyarakat Indoneia saat ini.

Jumat, 28 Agustus 2009

Bunga Rampai Penyair


Bunga Rampai Penyair
(Sepenggal Perjalanan Sastra di Kota Metro)
Oleh Naim Emel Prahana

Dengan sebuah buku antologi dan puisi-puisi yang dikirimkan ke sebuah radio swasta. Maka, terbitlah status, “aku adalah penyair!” Sebab, penyair bernama si X itu sudah lama tidak menulis puisi lagi. Potongan terjemahan di atas dikutip dari blog Dewan Kesenian Metro (DKM) yang ditulis seseorang yang mengaku sebagai penyair Metro yang saat ini mengklaim dirinya sebagai the best.

Untuk memperjelas kepahaman yang memang tidak dipahami lagi, akibat trend bahwa “aku adalah aku” yang dilahirkan oleh aku sendiri, tiada yang melahirkan dan tidak akan melahirkan penyair lagi. Padahal, penyair dalam dunia sastra adalah bagian dari warga yang sangat mencintai dan mempelajari sejarah. Tetapi, sekarang banyak yang tidak mau tahu soal sejarah.

Semuanya akibat banyaknya teori cekikikan di balik kamar-kamar kost dan ruang-ruang sindikat ‘aku’ dalam sastra. Namun demikian, saya tetap mengatakan, penyair ya penyair biarkan diri dan karyanya mengalir bagaikan air sungai sampai ke muaranya. Yang sudah barang tentu dalam perjalanannya mengalami berbagai bentuk intervensi sejak dari mata air yang bening, kemudian air yang kuning dan berlimbah serta banyaknya orang yang menebar bahan kimia maupun menggunakan alat setrum untuk mematikan anak-anak ikan yang berada di dasar sungai maupun yang berada di permukaan sungai. Itulah kehidupan. Ada kehidupan yang tidak hidup sama sekali dan ada kehidupan yang sangat lentur dan hidup elastis.

Buka dan baca lagi kliping-kliping koran Nasional dan Lampung serta buku-buka catatan para penggiat seni sastra di Lampung—khususnya di Metro. Maka, betapa menyejukkan perjalanan sastra (dan penyair di kota itu). Maka, sebut saja dekade tahun 1986—1998 denyut sastra di Kota Metro masih menyisakan catatan pahit dan getirnya, apa yang dialami para penggiat sastra di kota kolonisasi itu.

Metro telah mencatat sejarah sastra yang menasional kala itu. Di mana, ketika akan diadakan baca puisi se-Sumatera Bagian Selatan dengan menghadirkan Emha Ainun Najib dan Diah Hadaning (1992) dicekal aparat keamanan. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, ketika Emha Ainun Najib diundang untuk memberikan orasi kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Metro, ia pun dipaksa turun dari podium dan ke luar dari kampus UMM tersebut. Saat itu rektor UMM sebagai penggagas dan pengundang, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pencekalan itu.

Tahun 1987 ketika kawan-kawan menjadi panitia lokal pementasan Teater Krakatoa (Bandarlampung), juga akan dicekal dengan berbagai alasan. Namun, saya tetap ngotot bahwa teater Krakatoa bukan kaum oposisi yang harus dicekal melalui Sospol Kabupaten Lampung Tengah. Alhamdulillah, pencekalan itu tidak jadi. Teater Krakatoa tetap pentas di Gedung Wanita Metro.

Apa yang terjadi di Metro, sebenarnya lebih keras dengan apa yang terjadi di Bandarlampung atau Jakarta. Ketika saya menjadi Pimpinan Harian (PH) Radio Deimarga Nusa (radio swasta tertua di Lampung Tengah waktu itu) dan satu-satunya radio di Kota Metro (1980—1989). Salah satu acara pavourit Sabtu malam Minggu adalah Apresiasi Sastra.

Salah satu penyair yang sering mengisi di acara itu adalah Muadin Efuari, Leo Marantika dan beberapa penyair lokal lainnya. Dunia teater pun di Metro begitu marak, tercatat ada sekitar 15 kelompok teater di Metro yang puncaknya adalah lomba penulisan puisi, lomba pentas teater dan baca puisi di Aula Depdikbud Lampung Tengah di Kampus (sekarang Kantor Dinas Pendidikan Kota Metro). Diah Hadaning, Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Dadang Ruhiyat, Isbedy Stiawan ZS hadir menjadi juri pada pestival seni sastra Metro saat itu.

Masih banyak lagi catatan sebagai realitas sejarah sastra di Kota Metro yang patut dihormati para penggiat sastra yang masih memiliki nilai nurani kemanusia di dalam mdirinya. Pertemuan dalam Dialog dan Baca Puisi Penyair Lampung di GOR Jurai Siwo memang gegap gempita. Semua penyair Lampung hadir dan membacakan karya-karyanya pada waktu itu.

Sebuat saja Iwan Nurdaya Djafar, Isbedi Stiawan ZS, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, Juhardi Basri, Naim Emel Prahana, Thamrin Effendi, Rustam Effendi Damara, Zulqarnain Z, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib) dan masih banyak lagi. Karya-karya penyair Metro terus mengalir di media cetak ibukota dan Lampung. Ada seorang penggiat seni sastra yang getol berkarya—sekaligus mengasuh beberapa teater di Metro saat itu dari Bandarlampung adalah Pramudya Muchtar.

Adalagi acara pentas seni di Balai Serba Guna Hadimulyo 22 Metro, hadir waktu itu penyair Moelya Poetra (saat itu lebih banyak berkecimpung di Jakarta)—yang dibuka secara resmi oleh Walikota Administratif Metro, Drs Mulyadi. Masih ada pentas seni sastra di Balai Desa Mulyojati 16C, Balai Desa Yosodadi Jalan Jendral Sudirman dan sebagainya. Aktivitas seni sastra demikian menggaung saat itu dan melibatkan penyair-penyair Nasional di Metro sepanjang perjalanan 1980—2000 mungkin tidak akan terulang lagi, kendati sekarang ada lembaga DKM.

Khususnya mengenai Dewan kesenian Metro—pada awalnya dibentuk oleh Naim Emel Prahana, Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Rini yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sengaja kami ikuti format AD/ART Dewan Kesenian Jakaera (DKJ) yang saya bawa dari Forum Puisi 1987 di Tim—DKJ Jakarta. Saya minta sama Bang Leon Agusta dan Mas Abdul Hadi WM.

Ketika kemudian Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, maka DKM menjadi koordinat DKL Lampung untuk Lampung Tengah. Kebetulan saya yang memimpinnya saat itu. Dan saya juga yang terlibat mendesign DKL bersama Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Zulqarnain Z, Andy Achmad Sampurnajaya yang saat itu didukung sepenuhnya oleh Kadis Pendidikan, Indra Bangsawan.
Yang bertamu ke Metro dalam rangka baca puisi dan penerbitan antologi juga datang dari Palembang seperti, Anwar Putra Bayu, Taufik Wijaya, Thomas Heru Sudrajat, Koko Bae dan JJ Polong, dan dari Jambi seperti Dimas Arika Miharja, Ari Setya Ardhi, dan beberapa penyair Jambi lainnya. Termasuk WS Rendra yang memberikan pencerahanh sastra di sekolah-sekolah yang ada di Metro, juga Adi Kurdi.

Beberapa buku puisi yang diterbitkian dari Metro, juga bisa dijadikan acuan dan referensi tentang perjalanan seni sastra di Metro. Misalnya para penyair Metro yang tergabung dalam antologi puisi Kodrat (Radi Deimarga Nusa), Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Bruckkenschlag—Naim Emel Prahana (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan). Sedangkan buku cerita rakyat yang lahir dari bumi Metro antara lain Cerita Rakyat Lampung—Naim Emel Prahana (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Cerita Rakyat Bengkulu –Naim Emel Prahana (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988). Dan. Masih banyak lagi.

Sepenggal catatan perjalanan ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan kenyataannya, termasuk keikutsertaan penyair Metro di forum nasional dan internasional sepanjang kurun waktu itu. Seperti yang dijalani saya dan Muadin Efuari. Dalam sastra harus ada kejujuran dan keberanian melakukan koreksi kritik yang membangun atau yang memvonis. Untukmu generasi penerus penyair Metro jangan sungkan-sungkan menghormati sejarah sebagai cikal bakal kehidupan saat ini

Kamis, 13 Agustus 2009

TKI Juga Manusia


Oleh Naim Emel Prahana

Indonesia labour (tenaga kerja Indonesia) juga manusia. Jangan hanya memandang mereka yang bekerja di luar negeri dari kacamata devisa (uang) saja. Tetapi, bagaimana TKI itu dapat dijamin selama mengerahkan tenaga kerjanya di luar negeri dengan manusia itu sama di mata Tuhan.
Selama ini pemerintah dan masyarakat hanya berdebat soal TKI yang mengalami nasib buruk di tangan para majikannya di luar negeri. Sejauh itu, belum ada perhatian serius pemerintah untuk bagaimana melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, di mana dan kapanpun. Jumlah TKI yang bernasib buruk di luar negeri selama ini, memang tidak sebanyak jumlah TKI yang ada di luar negeri. Tetapi, jumlah mereka yang diperlakukan tidak manusia cukup besar.
Setelah kejadian beruntun menimpa TKI—khususnya TKW terutama di Malaysia, Singapura, Hongkong dan Arab Saudi, Depnakerstrans akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengiriman TKI. Kebijakan itu banyak ditantang oleh pihak-pihak yang selama ini mengeruk keuntungan dengan pengiriman TKI ke luar negeri, seperti Perusahaan Jasa Tenbaga kerja Indonesia (PJTKI) di Indonesia dan perusahaan penyalur tenaga kerja di luar negeri.
Pokok persoalannya memang kembali kepada perlindungan ‘manusia’ yang melekat pada TKI—TKW dan faktor penyebab banyaknya TKI ke luiar negeri, sementara kekayaan alam Indonesia melimpah ruah. Mungkin, kita tidak tidak sependapat dengtan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, yang hanya melihat dari pangsa pasar TKI di luar negeri cukup besar. Khususnya pangsa (bursa) pembantu rumah tangga (PRT).
Apapun alasannya, penghentian pengiriman TKI ke luar negeri jangan hanya sebatas ke Malaysia, tetapi ke semua negara tujuan pengiriman TKI selama ini. Penghentian pengiriman TKI jangan didasarkan penolakan negara tujuan pengiriman TKI. Sebab, penolakan penghentian pengiriman TKI itu, tidak mendasar. Indonesia punya hak mengatur dan menjaga keselamatan atas setiap warganegaranya yang akan bekerja ke luar negeri.
Jika ada pihak-pihak menolak penghentian pengiriman TKI, semata-mata hanya mereka khawatir pendapatan yang besar sebagai lembaga jasa pengiriman TKI akan tidak ada lagi. Artinya, PJTKI dan lembaga sejenisnya itu, hanya memikirkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan negara dan bangsa. Apalagi memikirkan kepentingan orang Indonesia—bangsanya sendiri.
Sebagai catatan, perbedaan antara orang Indonesia yang bekerja (dikirim) ke luar negeri dengan orang asing yang masuk ke Indonesia atau ke negeri lain. Terletak pada tujuan dan strategi pemerintah (negara asal imigran). Orng China pergi ke negara lain bertujuan untuk menjadi warga yang menguasai ekonomi di msuatu negara dan menjadi tumpuan pemerintahnya, jika erjadi perang. Mereka akan dapat dijadikan pasukan khusus yang menyerang dari dalam negeri di mana mereka berdiam.
Sedangkan orang Indonesia ke luar negeri, kebanyakan menjadi budak—status budak sangat dekat dengan perlakuan yang tidak manusiawi yang harus mereka terima. Kita tidak perlu lagi dengan BNP2TKI, PJTKI atau sebangsanya. Karena lembaga-lembaga itu tidak melihat TKI—TKW sebagai manusia, melainkan hanya melihat dari sisi komoditas belaka.
Di kampung-kampung, asal para TKI—TKW yang dikirim ke luar negeri tidak pernah tercatat oleh pemerintah, apalagi PJTKI atau BNP2TKI. Jika kita bertanya kepada tetangga para TKI—TKW, juga bertanya kepada keluarga mereka yang ditinggalkan oleh TKI—TKW soal kesejahteraan dari hasil kerja TKI—TKWI di luar negeri. Ternyata, tidak ada perubahan.
Bahkan, sawah, sapi, kerbau atau hutang tetap tidak terbayarkan. Padahal asumsinya, bekerja di luar negeri itu berlimpahan uang. Kenyataannya, sebagian besar keluarga TKI—TKW tidak mengalami peningkatan ekonomi dan sosial. Bahkan, banyak keluarga TKI—TKW yang berantakan. Perceraian salah satu akibat kepergian TKI—TKW ke luar negeri, sudah tidak asing lagi di kampung asal TKI—TKW selama ini.
Akibat buruk yang lebih besar adalah penghinaan terhadap bangsa Indonesia oleh bangsa lain, terutama kasus-kasus pelecehan seksual, penganiyaan, penyiksaan, pemerasaan para majikan di tempat TKI—TKW bekerja. Belum lagi penindasan dan pemerasan yang dilakukan oleh PJTKI yang semata-mata melihat TKI—TKW sebagai tambang emas. Bukan sebagai manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Mungkinkah bangsa Indonesia adalah benar bangsa yang suka dijajah?
Untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran akibat penghentian pengiriman TKI—TKW ke luar negeri, pemerintah harus menyiapkan lapangan pekerjaan yang memadai di dalam negeri. Kemudian pemerintah maupun swasta di dalam negeri dlam rekrutmen tenaga kerja, tidak boleh pilih kasih. Artinya, selama ini banyak perusahaan menerima karyawan (tenaga kerja) dengan sistim pilih kasih.
Di dunia perbankan, tenaga kerja yang banyak diterima berasal dari WNI keturunan Tionghoa. Di lowongan pekerjaan pada dinas-dinas, instansi dan badan pemerintah yang banyak diterima adalah kroni-kroni para pejabat. Kesempatan tenaga kerja berasal dari keluarga kurang mampu hanya pada pekerjaan-pekerjaan kasar; buruh, sopir, pembantu dan sebagainya. Jadi, pemerataan penerimaan tenaga kerja di Indonesia masih like and dislike.
Kondisi itulah yang membuat banyak anggota keluarga orang Indonesia—terutama dari keluarga yang tidak mampu, nekat bekerja di luar negeri. Apalagi sistem yang dijalankan PJTKI sangat menggiurkan. Sebagai contoh, sebuah PJTKI (cabang dari Jakarta) di Kabupaten/Kota di Lampung rekrutmen calon TKI—TKW mereka lakukan dengan cara menyebarluaskan makelar-makelar ke desa-desa.
Setiap makelar yang mendapatkan seorang PJTKI diberi imbalan Rp 50.000,- sampai Rp 150.000,-sementara, koordinator cabang PJTKInya mendapat uang berkisar antara Rp 7.000.000,- sampai Rp 10.000.000,- per calon TKI—TKW. Penulis pernah berbincang lama dengan koordinator PJTKI di Kota Metro. Kewajiban koordinator cabang PJTKI di daerah (kabupaten/kota) hanya membawa TKI ke Jakarta. Sedangkan yang membawa TKI—TKW dari kampung-kampung dibebankan kepada makelar.
Menyangkut keberadaan cabang PJTKI, apakah legal atau ilegal di kabupaten/kota, selama ini pemerintah daerah tidak pernah mau tahu. Sepertinya pemerintah menutup mata pengiriman TKI—TKW dari daerah-daerah mereka. Bahkan, PJTKI pun tidak pernah memberikan data tentang jumlah TKI—TKW yang mereka ekspor ke Jakarta kemudian di ekspor lagi ke luar negeri. Intinya, pengiriman TKI—TKW ke luar negeri penuh dengan praktek pemerasan dan penindasan serta penipuan.