Senin, 31 Agustus 2009

Bunga Rampai Penyair


Sepenggal Perjalanan Sastra di Kota Metro)
Oleh Naim Emel Prahana

Dengan sebuah buku antologi dan puisi-puisi yang dikirimkan ke sebuah radio swasta. Maka, terbitlah status, “aku adalah penyair!” Sebab, penyair bernama si X itu sudah lama tidak menulis puisi lagi. Potongan terjemahan di atas dikutip dari blog Dewan Kesenian Metro (DKM) yang ditulis seseorang yang mengaku sebagai penyair Metro yang saat ini mengklaim dirinya sebagai the best.

Untuk memperjelas kepahaman yang memang tidak dipahami lagi, akibat trend bahwa “aku adalah aku” yang dilahirkan oleh aku sendiri, tiada yang melahirkan dan tidak akan melahirkan penyair lagi. Padahal, penyair dalam dunia sastra adalah bagian dari warga yang sangat mencintai dan mempelajari sejarah. Tetapi, sekarang banyak yang tidak mau tahu soal sejarah.

Semuanya akibat banyaknya teori cekikikan di balik kamar-kamar kost dan ruang-ruang sindikat ‘aku’ dalam sastra. Namun demikian, saya tetap mengatakan, penyair ya penyair biarkan diri dan karyanya mengalir bagaikan air sungai sampai ke muaranya. Yang sudah barang tentu dalam perjalanannya mengalami berbagai bentuk intervensi sejak dari mata air yang bening, kemudian air yang kuning dan berlimbah serta banyaknya orang yang menebar bahan kimia maupun menggunakan alat setrum untuk mematikan anak-anak ikan yang berada di dasar sungai maupun yang berada di permukaan sungai. Itulah kehidupan. Ada kehidupan yang tidak hidup sama sekali dan ada kehidupan yang sangat lentur dan hidup elastis.

Buka dan baca lagi kliping-kliping koran Nasional dan Lampung serta buku-buka catatan para penggiat seni sastra di Lampung—khususnya di Metro. Maka, betapa menyejukkan perjalanan sastra (dan penyair di kota itu). Maka, sebut saja dekade tahun 1986—1998 denyut sastra di Kota Metro masih menyisakan catatan pahit dan getirnya, apa yang dialami para penggiat sastra di kota kolonisasi itu.

Metro telah mencatat sejarah sastra yang menasional kala itu. Di mana, ketika akan diadakan baca puisi se-Sumatera Bagian Selatan dengan menghadirkan Emha Ainun Najib dan Diah Hadaning (1992) dicekal aparat keamanan. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, ketika Emha Ainun Najib diundang untuk memberikan orasi kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Metro, ia pun dipaksa turun dari podium dan ke luar dari kampus UMM tersebut. Saat itu rektor UMM sebagai penggagas dan pengundang, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pencekalan itu.

Tahun 1987 ketika kawan-kawan menjadi panitia lokal pementasan Teater Krakatoa (Bandarlampung), juga akan dicekal dengan berbagai alasan. Namun, saya tetap ngotot bahwa teater Krakatoa bukan kaum oposisi yang harus dicekal melalui Sospol Kabupaten Lampung Tengah. Alhamdulillah, pencekalan itu tidak jadi. Teater Krakatoa tetap pentas di Gedung Wanita Metro.

Apa yang terjadi di Metro, sebenarnya lebih keras dengan apa yang terjadi di Bandarlampung atau Jakarta. Ketika saya menjadi Pimpinan Harian (PH) Radio Deimarga Nusa (radio swasta tertua di Lampung Tengah waktu itu) dan satu-satunya radio di Kota Metro (1980—1989). Salah satu acara pavourit Sabtu malam Minggu adalah Apresiasi Sastra.

Salah satu penyair yang sering mengisi di acara itu adalah Muadin Efuari, Leo Marantika dan beberapa penyair lokal lainnya. Dunia teater pun di Metro begitu marak, tercatat ada sekitar 15 kelompok teater di Metro yang puncaknya adalah lomba penulisan puisi, lomba pentas teater dan baca puisi di Aula Depdikbud Lampung Tengah di Kampus (sekarang Kantor Dinas Pendidikan Kota Metro). Diah Hadaning, Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Dadang Ruhiyat, Isbedy Stiawan ZS hadir menjadi juri pada pestival seni sastra Metro saat itu.

Masih banyak lagi catatan sebagai realitas sejarah sastra di Kota Metro yang patut dihormati para penggiat sastra yang masih memiliki nilai nurani kemanusia di dalam mdirinya. Pertemuan dalam Dialog dan Baca Puisi Penyair Lampung di GOR Jurai Siwo memang gegap gempita. Semua penyair Lampung hadir dan membacakan karya-karyanya pada waktu itu.

Sebuat saja Iwan Nurdaya Djafar, Isbedi Stiawan ZS, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, Juhardi Basri, Naim Emel Prahana, Thamrin Effendi, Rustam Effendi Damara, Zulqarnain Z, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib) dan masih banyak lagi. Karya-karya penyair Metro terus mengalir di media cetak ibukota dan Lampung. Ada seorang penggiat seni sastra yang getol berkarya—sekaligus mengasuh beberapa teater di Metro saat itu dari Bandarlampung adalah Pramudya Muchtar.

Adalagi acara pentas seni di Balai Serba Guna Hadimulyo 22 Metro, hadir waktu itu penyair Moelya Poetra (saat itu lebih banyak berkecimpung di Jakarta)—yang dibuka secara resmi oleh Walikota Administratif Metro, Drs Mulyadi. Masih ada pentas seni sastra di Balai Desa Mulyojati 16C, Balai Desa Yosodadi Jalan Jendral Sudirman dan sebagainya. Aktivitas seni sastra demikian menggaung saat itu dan melibatkan penyair-penyair Nasional di Metro sepanjang perjalanan 1980—2000 mungkin tidak akan terulang lagi, kendati sekarang ada lembaga DKM.

Khususnya mengenai Dewan kesenian Metro—pada awalnya dibentuk oleh Naim Emel Prahana, Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Rini yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sengaja kami ikuti format AD/ART Dewan Kesenian Jakaera (DKJ) yang saya bawa dari Forum Puisi 1987 di Tim—DKJ Jakarta. Saya minta sama Bang Leon Agusta dan Mas Abdul Hadi WM.

Ketika kemudian Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, maka DKM menjadi koordinat DKL Lampung untuk Lampung Tengah. Kebetulan saya yang memimpinnya saat itu. Dan saya juga yang terlibat mendesign DKL bersama Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Zulqarnain Z, Andy Achmad Sampurnajaya yang saat itu didukung sepenuhnya oleh Kadis Pendidikan, Indra Bangsawan.
Yang bertamu ke Metro dalam rangka baca puisi dan penerbitan antologi juga datang dari Palembang seperti, Anwar Putra Bayu, Taufik Wijaya, Thomas Heru Sudrajat, Koko Bae dan JJ Polong, dan dari Jambi seperti Dimas Arika Miharja, Ari Setya Ardhi, dan beberapa penyair Jambi lainnya. Termasuk WS Rendra yang memberikan pencerahanh sastra di sekolah-sekolah yang ada di Metro, juga Adi Kurdi.

Beberapa buku puisi yang diterbitkian dari Metro, juga bisa dijadikan acuan dan referensi tentang perjalanan seni sastra di Metro. Misalnya para penyair Metro yang tergabung dalam antologi puisi Kodrat (Radi Deimarga Nusa), Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Bruckkenschlag—Naim Emel Prahana (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan). Sedangkan buku cerita rakyat yang lahir dari bumi Metro antara lain Cerita Rakyat Lampung—Naim Emel Prahana (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Cerita Rakyat Bengkulu –Naim Emel Prahana (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988). Dan. Masih banyak lagi.

Sepenggal catatan perjalanan ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan kenyataannya, termasuk keikutsertaan penyair Metro di forum nasional dan internasional sepanjang kurun waktu itu. Seperti yang dijalani saya dan Muadin Efuari. Dalam sastra harus ada kejujuran dan keberanian melakukan koreksi kritik yang membangun atau yang memvonis. Untukmu generasi penerus penyair Metro jangan sungkan-sungkan menghormati sejarah sebagai cikal bakal kehidupan saat ini

Agustusan Mencari Roman Indonesia
Oleh Naim Emel Prahana

SUATU ketika aku menyurui pantai Barat Sumatera dari Bengkunat—Krui—Lemong—Bintuhan (Kaur)—Manna sampai ke Bengkulu. Saat itu baru pertama melakukan perjalanan lewat pantai Barat. Kalau dari Lampung sepanjang jalan bagian kanan terhampar pepohonan lebat dan besar, mulai menjelang malam selalu berpapasan dengan trenggiling, babi hutan, harimau dahan (macan loreng) dan binatang liar lainnya, termasuk ular yang sering melintasi jalan dengan damai, bebas dan tenang.

Itu terjadi sekitar tahun 1999—2000-an, serangkaian perjalanan yang sangat menarik. Pesona alam, debur ombak dengan warna putih bersih menerpa bibir pantai sepanjang pantai yang dilewati. Kampung-kampung yang ada masih begitu asli. Di tengah jalan bila malam menjelang, banyak berpapasan dengan sapi, kerbau atau kambing—yang menjadikan ruas jalan tempat mereka tidur.

Tidak ada hiruk pikuk, tidak ada toko-toko yang besar atau permanen, apalagi rumah makan seperti sekarang yang men jamur di jalan lintas di seluruh Indonesia. Selepas Lemong, memasuki perbatasan dengan daerah provinsi Bengkulu masih di daerah Bintuhan, Bengkulu Selatan yang kini menjadi kabupaten Kaur. Saat melintas desa-desa yang ada. Betapa indahnya kehidupan yang penuh dengan kedamaian, keharmonisan dan keakraban antara penduduk dan alam sekitarnya.

Waktu itu, aku berpikir daerah itu apakah masih masuk wilayah Republik Indonesia? Itulah pertanyaan yang menggelegak di benakku saat melihat pemandangan sepanjang kiri kanan jalan di perkampungan yang dilewati. Benar-benar tradisionil, rukun dan damai. Mata-mata yang curigai melihat pendatang nyaris tidak ada sama sekali, yang ada adalah mata penduduk yang begitu ramah, senyum di bibir begitu menyejukkan bagi pelintas daerah itu. Apalagi suara debur ombak Samudera Indonesia yang dahsyat itu.

Di mana Jakarta, di mana Bandarlampung, di mana Bandung, di mana surat kabar, di mana televisi dan di mana akan ditemukan rumah-rumah makan besar dengan karyawannya yang lincah dan berseragam. Semuanya tidak ada. Nyaris sunyi senyap, sepi sekali, walau banyak orang yang duduk-duduk di depan halaman rumah bila malam hari tiba. Penerangan dengan menggunakan lampu petromak menjadi sinar yang gemerlapan di malam hari.

Itulah suatu kenyataan Indonesia di tengah negara Indoneia ini yang kalau tidak orang Belanda atau Inggris yang membangun dan mengembangkan daerah itu tempo hari, entah apa jadinya kampungku di Indonesiaku ini.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku kembali menempuh jalur itu. Giliranku yang terpana dan kaget. Kenapa tidak, dulunya sepanjang areal TNBBS pohon besar di pinggir jalan hingga memenuhi perut alam di situ. Ternyata 2004-an sudah lenyap sama sekali. Binatang yang menemani perjalanan panjang seperti simpai, monyet, beruk, siamang, kera, babi hutan, rusa, trenggiling atau lainnya sudah sangat jarang ditemukan sepanjang jalan yang dilewati. Pada kemanakah mereka semua, termasuk pohon-pohon besar yang menjadi paru-paru dunia itu? Semua lenyap.

Beberapa meter dari pinggir jalan ketika melongok ke dalam hutan, ternyata tidak ada lagi pepohonan dengan batang-batang kayunya yang berdiameter besar. Yang tersisa adalah kayu-kayu kecil dan semak belukar. Bulu romaku berdiri menyaksikan realitas hutan rimba kita itu. Sementara penduduk yang hidup di kampung-kampung sepanjang pantai barat itu, tidak ada yang begitu drastis menjadi penduduk (orang) kaya.

Apalagi sekarang, deru mesin pemotong kayu besar, hamparan kebun kelapa sawit, kebun – kebun karet dan sebagainya telah memaksa kita selama perjalanan mengusap keringat terus menerus karena terik panas yang menyengat. Di beberapa bibir pantai, sudah berdiri rumah-rumah makan gaya lintas Sumatera. Di beberapa muara sungai sudah ada tempat cucian mobil dan usaha penambangan batu dan pasir secara bnesar-besaran.

Bila malam hari anak-anak remaja berlalulalang antar kampung dengan motor baru mereka. Sangat cepat pengaruh gaya hidup kaum selebritis merambah ke kampung-kampung yang berada nun jauh di bibir pantai dan bibir hutan Sumatera itu. Suasana pun sudah berubah banyak. Cata berpakaian anak-anak muda di kampung-kampung yang jauh itu, tidak ubahnya seperti ditampilkan para artis sinetron di televisi.

Tapi, ketika berada di sana pertanyaan tetap muncul walau aku tahum bahwa di sana masih menjadi bagian dari kampung-kampung di Indonesia yang tidak pernah disentuh ban-ban mobil para pejabat, apalagi kelas menteri apalagi presiden. Wajar kalau mereka bermimpi terus menerus, bahwa mereka inginkan suasana seperti zaman penjajahan Inggris atau Hindia Belanda.

Atau mungkin kalau diterjemahkan, mereka ingin merdeka sendiri, mereka ingin menjadi bagian dari diri mereka sendiri. Padahal, mereka pernah mengeyam hidup pada saat revolusioner Bung Karno. Karena Bung Karno, Bung Hatta atau Sutan Syahrir memang pernah mendatangi daerah itu.

Persoalannya kini, ketika semaraknya Agustusan 2009 di mana banyak pemerintah daerah menggelar peringatan HUT RI ke 64 dengan semua kemewahan, termasuk pesta kembang api yang nilainya puluhan juta rupiah itu. Tapi, roh Indonesia di dalam kegiatan-kegiatan peringatan itu nyaris tidak ada sama sekali. Kegiatan pameran pembangunan, kegiatan pawai pembangunan dengan lendaraan hiasnya sudah sesak dengan muatan politik masing-masing daerah.

Bendera Indopnesia “Merah Putih” memang ada dan di luar, banyak dijual di pinggir-pinggi jalan, akan tetapi tidak ditempelkan roh kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga bendera-bendera itu tinggal menjadi pemanis hiasan bagi pemiliknya atau pemasangnya. Bahkan, dijadikan simbol (icon) iklan-iklan ucapan atau kegiatan lainnya di media massa. Sungguh kronis jiwa kebangsaan masyarakat Indoneia saat ini.

Tidak ada komentar: