Minggu, 31 Januari 2016

‘Makan’ Kampanye Terselubung



Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum, budaya dan sosial

Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (pilkada – pemilukada) tinggal menghitung harinya sampai tanggal 9 Desember 2015 bulan depan. Ujian dan tantangan menghadapi pesta demokrasi tersebut semakin berat, terutama masalah politik uang dan sosialisasi barang dari psangan calon (paslon) yang jadi kontestan pilkada.
Berbagai peraturan pelaksana pilkada yang sudah diberlakukan, masih belum maksimal untuk mengawasi dan mengevaluasi serangkaian pilkada pada tahapan kampanye para paslon. Sebaik sebagus apapun peraturan diperuntukkan pada pilkada – masih juga menghadapi banyak kendala terhadap sepak terjang para paslon untuk meraup jumlah suara yang banyak.
Paslon pilkada sekarang ini sudah cerdas. Menghamburkan uang secara sporadis sudah ditinggalkan. Kampanye dilakukan secara sistimatis terarah dan terukur. Dengan cara demikian massa pendukung tidak merasa diperdayai dengan janji-janji serta pemberian berbentuk uang dan barang.
Kebanyakan paslon peserta pilkada serentak sangat berhitung – sebab, mencetak kaos demikian banyak dan diberikan secara obral kepada kelompok-kelompok masyarakat yang ada dan yang muncul saat pilkada berlangsung. Paslon dan tim suksesnya hanya mencetak kaos untuk anggota tim sukses saja. Demikian pula publikasi melalui atribut-atribut seperti, spanduk, baleho, banner, stiker dicetak terbatas. Lagi pula mereka terbentur kepada aturan main yang telah ditetapkan KPU untuk APK paslon.
Dengan banyaknya ketentuan hukum dan batasan proses kampanye telah memberikan inspirasi kepada paslon dan tim suksesnya untuk lebih pintar menyiasati peraturan kampanye.
Model kampanye door to door terlihat efektif menghadapi masyarakat. Tentu saja kader dan anggota tim sukses yang militan sangat dibutuhkan. Tahan malu, tahan diceramahi dan tahan melanggar etika bertamu di masyarakat.   
Kampanye door to door disertai bingkisan berupa sabun, gula, dan selebaran yang berisi visi dan misi paslon. Pola itu, sepintas sah-sah saja, tidak termasuk area politik uang – karena yang diberikan barang. Kedatangan ‘hadiah’ sepele di tengah ekonomi masyarakat kebanyakan merosot, tentu tidak ada yang menolak. Soal suara diberikan kepada siapa, hanya pemilihlah yang tahu persis.
Apakah mereka akan memberikan suara kepada paslon yang memberikan barang-barang tadi atau “salam tempel”, semuanya masih belum ada kepastian. Ada beberapa kejadian yang saya rekam langsung di tengah masyarakat selama ini tentang pemberian barang atau makan saat sosialisasi paslon.
Kami diundang untuk datang, ya kami datang,” kata seorang ibu di bilangan Hadimulyo Timur.
Bagaimana soal pilihan ibu?” tanya saya.
Ya, pak itu kan orang sini, dan juga orangtuanya dulu baik. Kami pilih itu aja,” katanya.
Lalu saya bertanya lagi, “Kan sudah dikasih makan kemarin?”. Ia pun menjawab, karena diundang, lalu dikasih makan ya kami makan di dalam tarub acara itu.
Kemudian si ibu itu bersama ibu yang lain dengan tegas mengatakan, “ala ngomong semua pembangunan jalan ia yang bayar, padahal itu kan pemerintah yang bangun,” kata si ibu tadi dengan pintarnya membaca suasana saat ia ikut diundang dalam acara sosialisasi salah satu paslon di sekitar rumah mereka.
Lugu, jujur tapi sangat cerdas melihat paslon pilkada serentak 9 Desember 2015 nanti. Mereka tak mudah dirayu, walau dengan bahasa yang penuh dengan kebohongan dari paslon itu sendiri. Kebohongan menghadapi pilkada bagi paslon adalah hal yang mereka anggap sah-sah saja. Tapi, paslon banyak yang lupa, bahwa masyarakat walau tidak membaca surat kabar, ternyata sudah tahu siapa paslon kepala daerah yang mencalonkan di daerah mereka.
Kampanye-kampanye terselubung memang menjadi strategi masing-masing paslon, dan tentunya kampanye demikian dikemas apik dala bahasa-bahasa yang tidak terlihat hubungannya sama sekali dengan kampanye terselubung. Apalagi, mendekati hari pemilihan dalam rangkaian Pilkada Serentak 9 Desember 2015. Modus-modus kampanye terselubung semakin marak. Seperti modus kampanye terselubung melalui makanan.
Ada lagi paslon yang getol datang pada kegiatan-kegiatan masyarakat seperti tahlilan, gotong royong, resepsi pernikahan, takziah, kendurenan dan sebagainya. Walau paslon itu tidak diundang. Seperti yang terjadi di Kota Metro. Ternyata ada paslon yang memang mengintruksikan kader dan tim suksesnya memantau setiap kegiatan di tengah masyarakat.
Kedatangannya di kegiatan masyarakat itu, hanya datang dan bersalaman, kemudian pulang. Soal pemberian ya sama dengan warga lainnya dalam acara resepsi, takziah ataupun gugur gunung warga. Uang yang diberikan sebatas Rp.100.000,- sampai Rp.300.000,-
Paslon itu memang tidak berkampanye dalam hal seperti memberikan sambutan, tetapi dengan tulisan diamplop yang tertulis namanya. Ia merasa sudah cukup mengenalkan diri di tengah masyarakat yang ia tidak kenal. Resiko modus kampanye seperti itu adalah jika pemberian yang disumbangkan sama dengan warga lainnya, maka cibiranlah yang dia terima. Dan, itu akan berpengaruh kepada jumlah suara yang akan diperoleh.
Ada hal yang sangat kontras antara peraturan-peraturan tentang pilkada dengan pelakanaan kampanye pilkada itu sendiri. Untuk pilkada serentak, KPU mengambil peran sangat aktif terutama mempersempit ruang gerak politik uang dari paslon. Sementara, para paslon berupaya untuk memaksimalisir kegiatan mereka dengan kemasan apik – walau kegiatan itu melanggar aturan. Namun, kemasan yang apik saat kampanye yang diganti namanya sosialisasi.
Modus politik uang tak terhindarkan. Modusnya memang tidak terlihat menghamburkan uang, akan tetapi uang digantikan dengan barang. Artinya, di sana memang setali tiga uang. Tetap saja politik uang.

Tidak ada komentar: