Senin, 31 Agustus 2009

‘Melanggengkan’ Pengkhianatan Terhadap Bangsa


Oleh Naim Emel Prahana

PADA hakekatnya, orang dalam pengertian ‘manusia’ (human) terlalu suka mengingkari kodratnya sebagi makhluk sosial (Social creature). Bahasa pembelaan yang sering diajukan kepada sesama manusia adalah kepentingan-kepentingan kehidupan. Pada umumnya, manusia sangat menyadari akan kesalahan, kekeliruan dan ambisi yang di luar jalur anatomi makhluk manusia tertsebut. Akan tetapi, kepahaman dan kesadaran itu sering dibungkus dengan logika dan retorika.

Logika dan retorik yang menjadi andalan untuk menyembunyikan tujuan kepentingan, sering menjebak seorang manusia ke dunia jiwa yang labil; temperamental, emosional dan membabi-buta melemparkan kesalahan diri sendiri kepada orang lain. Ada banyak contoh, terutama di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.

Padahal, ada konsep yang sangat brilian dan sederhana dalam kehidupan—di mana banyak orang menerapkan apa yang disebut dengan 3 sukses! Sukses cinta, sukses karir dan sukses organisasi. Ketiganya memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya untuk menjadi satu kesatuan yang menyelaraskan kehidupan sosial seseorang. Maka, kesalahan yang dikerjakan merupakan format koreksi bagi kebenaran selanjutnya.

Ketika mengeja pernyataan informal seorang pejabat yang mengatakan, “setiap orang di sini melakukan korupsi, termasuk saya........!” Pernyataan itu mengisyaratkan tentang kesalahan; apa yang ia lakukan sebagai seorang pejabat dilemparkankan kepada orang lain dalam dimensi yang tidak cerdas. Ketika berbicara “pada umumnya” dalam konteks perkembangan peradaban manusia. Ada beberapa teori yang tidak pantas lagi dikutip atau dibawa-bawa dalam berbagai momentum pembelajaran dari manusia ke manusia lainnya.

Kerangka teori yang cenderung merupakan pameo orang-orang bijak—ahli pikir tempo dulu tentang “ masuk kandang kambing kita ikut mengembek, masuk kandang kerbau, kita ikut menguak dan seterusnya”. Secara psikologis pameo itu menvonis semua orang akan berlaku sama, di mana ia bertempat tinggal. Padahal, walaupun seluas tempat berpijak semuanya lumpur, keberadaan sebutir intan tetaplah intan yang berkilau.

Adakah suatu komunitas ideologi (agama) dianggap salah, karena ada orang yang menganut agama itu melakukan kejahatan (perbuatan) seperti teroris. Lalu, agama komunitas umat beragama dianggap sebagai kelompok radikal atau teroris—menurut teori negara adikuasa Amerika Serikat dan sekutunya. Kenapa harus agamanya yang menjadi perhatian, bukan kepada perbuatan seseorang yang melakukan kejahatan terhadap orang lain. Dalam kontek tersebut presiden bukanlah penguasa tunggal, melainkan melainkan pemegang amanat rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan.

Ketakutan atau kekhawatiran seorang pemimpin sering membuat dia melakukan tindakan yang emosional dan menuding banyak pihak ‘yang’ akan melakukan kejahatan terhadap dirinya dan pemerintah. dengan tuduhan tersebut, ia leluasa memerintahkan TNI dan Polri untuk melakukan sweeping, pengamanan ekstra ketat dengan show power militer. Dengan show power kekuatan militer dan polisi itu, sudah barang tentu bertujuan untuk memberikan shock teraphy (warning) kepada masyarakat luas, agar jangan macam-macam. Dengan keheningan masyarakat yang mencekam akibat show kekuatan militer dan polisi itu, maka startegi mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan mudah. Walaupun (misalnya) dalam suatu pemilihan presiden diyakini banyak terjadi pelanggaran yang dapat membatalkan kemenangan pasangan capres.

Pada zaman Orde Baru atau zaman keemasan Partai Golongan Karya (Golkar), militer seperti punya mata seribu. Bayangkan saja, ketika seorang wartawan membuat berita tentang kecurangan pemilu, pihak Intel Kodim langsung memanggil si wartawan dengan metoda introgasi yang tidak lazim. Misalnya meraka mengatakan, “berita yang akan kamu buat besok, lusa atau minggu depan maupun bulan depan, kami sudah tahu..!” Begitu hebat introgasi demikian. Sementara wartawan yang diintrogasikan itu, belum tahu berita apa yang akan ia dapatkan besok atau lusanya. Kenapa militer sudah tahu?

Apakah sekarang ini akan terulang lagi zaman keemasan seperti zaman Orde Baru di bawah rezim Soeharto? Akibatnya demokrtasi kita terus menerus eror disebabkan oleh Leader eror (pemimpin yang eror). Demokrasi di Indonesia yang memasuki zaman kebebasan, ternyata tidak mampu mengembalikan wajah asli bangsa Indonesia. Dengan sistem pemilihan secara langsung, akan tetapi tidak mencerdaskan anak-anak bangsa, karena peraturan tentang pemilihan secara langsung di Indonesia belum dapat dijalankan sepenuhnya.

Misalnya menyangkut kasus pelanggaran dan kejahatan terhadap hak suara pemilih yang harus dijamin bebas diberikan kepada siapapun calon pemimpin yang sedang bertarung. Ketika terjadi kasus pelanggaran pemilihan, proses hukumnya tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai ‘berita acara’ pemilihan. Bahkan, kecenderungan anggota KPU yang condong kepada pihak tertentu, telah menghambat proses demokrasi yang akan dibangun di Indonesia pasca tumbangnya rezim orde baru.

Sistem dan pelaksanaan pemilihan di tingkat apapun di Indonesia merupakan potret pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Karena dalam proses dan pelaksanaan pemilihan langsung (pemilu, pilpres, dan pilkada) telah disuburkan kembali praktek suap, korupsi, kekerasan, pemitnahan orang lain, tidak adil, tidak jujur dan terlalu mengandalkan faktor uang, preemanisme, kekuasaan dan kewenangan.

Jika beberapa pasal di dalam UU pemilu dan KPU serta peraturan lainya tidak direvisi ditambah kurangkan, maka dalam perkembangan selanjutnya demokrasi di Indonesia akan mundur jauh ke belakang, karena menghidupkan kembali praktek-praktek pengkhianatan terhadap bangsa dan negara untuk kepentingan kelompok sendiri (kelompok tertentu) yang ingin berkuasa.

Tidak ada komentar: