ARUS puncak kembalinya pemudik ke tempat kerja sudah berlangsung sejak Sabtu—Minggu kemarin. Ada yang membawa anggota keluarga baru dan ada yang tidak kembali lagi ke kota tempat kerjanya, terutama ke Jakarta. Suasana lebaran setiap tahun sangat momental sekali dan menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Bukan hanya umat Islam yang akan merayakan Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya, tetapi umat lainpun ikut mudik. Karena momentum libur bagi mereka dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pulang ke kampung halaman.
Oleh karenanya, dalam kehidupan masyarakat (khususnya) di Indonesia dikenal ada dua istilah. (1) Tanah Kelahiran dan (2) Tanah Kehidupan. Tanah kelahiran itulah kampung halaman yang setiap tahun pada saat lebaran, banyak yang pulang kampung. Kampung menjadi tempat melampiaskan kerinduan, kebahagiaan, kedamaian dan silaturahim sesama keluarga dan kerabat tetangga handai taulan. Sementara, tanah kehidupan adalah daerah di mana mereka merantau, mencari nafkah. Atau tempat mereka urban. Apakah di kota, di daerah terpencil atau di luar negeri. Tetap saja namanya tanah kehidupan.
Kalau mereka yang bekerja di luar negeri menjadi (sebagai) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) oleh penyiar teleisi disebut-sebut sebagai pahlawan devisa. Tentu sesuatu yang membanggakan. Karena meningkatnya pendapatan anggota masyarakat, akibat hasil kerja yang dibawa pulang ke kampung halaman. Walaupun belum diketahui persis, devisa yang dihasilkan para TKI dan TKW itu berapa. Berapa yang masuk kas negara dan berapa yang masuk daftar penghasilan keluarga di kampung halaman.
Kita hanya latah menyebutnya sebagai “pahlawan devisa” tanpa rincian jelas. Sebutan itu, tentunya hanyalah bumbu masak untuk memikat pemirsa atau publik. Dan, bagi pemudik yang sampai ke kampung halamannya, tentu menjadi pahlawan bagi keluarganya atau kampungnya. Selama berada (beberapa hari) di kampung halamannya. Mereka berlanja dan menaburkan hasil jerih payah mereka di kampung halaman mereka itu. Kebiasaan itu sangat menarik sekali. Maka, jika dalam sistem pemerintah di Indonesia menggunakan nama ‘kampung’ dengan sebutan desa, umbul, pekon, kelurahan. Tentu sangat keliru sekali. Sebab dalam kamus masyarakat Indonesia hanya dikenal sebutan ‘kampung’
Tetapi, sejauh ini, sekian puluh tahun berlangsung tradisi mudik (pulang kampung-pulkam), apakah keadaan kampung halaman mereka menjadi lebih bagus, berkembang dengan pembangunan dan tingkat kesejahteraannya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, tidak juga. Yang memetik hasilnya adalah warga masyarakat yang cendrung hidup sebagai kaki tangan kaum kapitalis di kampung halaman. Barang-barang menjadi mahal, segala kebutuhan dinaikkan sepihak. Semua tidak dapat dielakkan oleh warga yang bukan kaum kapitalis.
Kaum pitalis yang sudah merambah ke pelosok desa memang sulit untuk menerapkan sistem perekonomian rakyat di negara ini. Yang lebih tidak jelasnya lagi ternyata perhatian pemerintah terhadap ekono rakyat hanya sebatas pernyataan dan bukan kenyataan. Kalaupun ada, maka wujudkannya akan ditampung oleh kaum kapitalis, seperti kalau terjadi opereasi pasar, pasar murah dan sebagainya untuk beberapa jenis kebutuhan pokok. Yang memborong barang kebutuhan pokok itu adalah orang-orang yang mempunyai uang.
Sejauh itu, bagaimana pola efektif dan pengawasan pemerintah dalam kegiatan seperti itu, sehingga kebutuhan pokok yang dijual murah tersebut, betul-betul sampai dan daat dibeli secara kuantitas oleh warga masyarakat. Bukan diborong oleh kaum kapital. Masih jauh Indonesia akan sejahtera.
Senin, 20 September 2010
Lama & Baru Tetap Kapolri
Lama & Baru Tetap Kapolri
KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pengganti Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri konon kabarnya sudah diajukan oleh Presiden SBY ke DPR. Beberapa nama mencuat, namun beberapa nama tenggelam. Sebelum kepastian, tentunya kjabar selalu saja bersimpang ‘siaur’ jalan. Hal itu, di negeri kita ini adalah sangat wajar dan lumrah. Para pengamatpun menggelitik sana-sini. Seperti halnbya masalah pengganti Jaksa Agung. Bedanya, kalau posisi Jaksa Agung bisa dijabat orang dari luar Kejaksaan. Akan tetapi, jabatan Kapolri sepertinya harus dari internal Polri.
Polri yang dikatakan sudah menanggalkan atribut militernya, juga sudah berganti-ganti peraturan maupun jenjang kepangkatan yang ada. Polri tetaplah ‘polri” yang dikenal sebagai polisi. Zaman Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ada wacana jabatan Kapolri hingga Kapolda, Kapolres atau Kapolsek bisa dijabat oleh sipil beneran. Artinyanya di luar dari internal Polri. Tapi, sampai saat ini ide kontoversial namun cemerlang dari Gus Dur itu belum sempat dilaksanakan, keburu Gus Dur digulingkan oleh MPR.
Atau wacana demi wacana membuka perjalanan (sejarah) polri di Indonesia, termasuk pergantian istilah jenjang kepangkatan dan baju seragam. Polri paling banyak melakukan perubahan-perubahan. Akan tetapi, perubahan yang mana yang diharapkan oleh masyarakat terjadi ditubuh polri? Atau perubahan yang mana yang dirasakan masyarakat polri sendiri, untuk mengembalikan harkat dan martabatnya di depan dan di tengah masyarakat? Tentunya, banyak pertanyaan-pertanyaan tidak terlontar, karena pertanyaan-pertanyaan yang akandilontar sudah diketahui pasti jawabannya tetap ‘klasik’.
Banyak alasan pada akhirnya rakyat tidak mau menjadi saksi berbagai kasus, apalagi dipersidangan. Semua akibat citra polri yang betul-betul jatuh di mata masyarakat. Kapolri atau Jaksa Agung yang sekarang akan diganti, jika tidak mendapat gugatan sengit dari mantan Menhankum, Yusril Ihza Mahendra. Mungkin SBY akan tetap menggunakan kedua petinggi tersebut. Apalagi, SBY saat ini dikelilingi staf khusus, staf ahli dan jubir, rata-rata berusia muda yang punya kepentingan dalam komunitas-komunitas masing-masing sebelumnya.
Kembali kepada sebentar lagi akan adanya Kapolri baru, kabarnya antara Nana Soekarna dan Imam Soedjarwo, menunggu keputusan DPR-RI—yang juga sangat kental aroma politik dan kepentingan masing-masing. Memang, di tubuh Polri banyak perwira tinggi (pati) yang perjalanan karier mereka banyak yang menonjol dan berhasil. Tetapi, kembali kepada kepentingan, kekuasaan dan siapa yang memback up semua kekuasaan, itulah yang akan memenangkan pertarungan kepentingan tersebut.
Setiap pergantian rezim (presiden, red), pasti berganti pula cukong yang ada di belakangnya. Politik yang dijalankan oleh penguasa pada akhirnya dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Atau oleh kaum kapitalism. Kita ingat bagaimana berkuasa dan ditakutinya Om Liem (Liem Siong Liong), bagaimana ketakutan masyarakat terhadap nama dan jaringan Bob Hasan dan pengusaha hitam (istilah menyebut pengusaha asal India), bagaimana kekuasaan Tommy Winata (TW) dan lain sebagainya.
Suatu bukti, bahwa sejarah dalam pergantian pucuk pimpinan loembaga tinggi negara selalu berseteru kepentingan-kepentingan komunitas para kapitalis dan partai politik. Di situlah kelemahan sistem yang ada di Indonesia. Sehingga siapapun pengganti Kapolri, tetaplah menjadi Kapolri dengan pola yang sama. Hanya nama Kapolrinya saja yang berubah.
Jumat, 23 Juli 2010
memories 30 year not meet
Nikah Siri Bukan Pidana
RUU Nikah Siri
( Hanya Pelanggaran Administrasi )
Wacana pemidanaan pelaku nikah tanpa dokumen resmi seperti nikah siri terus menuai kontroversi. Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat Asrorun Niam Sholeh menilai praktek nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana.
"Rencana kriminalisasi praktek nikah siri dalam Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan," kata Niam dalam perbincangan dengan detikcom di Jakarta, Selasa (16/2/2010).
Menurut doktor lulusan UIN Jakarta ini, masalah pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya. Niam mendukung keharusan pencatatan pernikahan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak negatif dalam pernikahan.
"Pencatatan pernikahan penting untuk kepentingan administratif, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan. Bahkan bisa jadi hukumnya wajib", tegas Niam.
Walau demikian Niam mengingatkan perlu sikap proporsional pada kasus nikah siri. "Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana", tegas Doktor bidang Hukum Islam ini.
Intervensi Negara
Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam, sebagai tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta upaya kriminalisasi administrasi negara. Hal ini bertentangan dengan prinsip kehidupan bernegara.
Dalam penetapan regulasi mengenai masalah nikah siri, lanjut Niam, harus dilihat secara komprehensif. Faktanya, praktek nikah siri di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan akses dan juga ketidakmampuan secara ekonomi.
"Bagaimana mungkin orang yang miskin, yang tidak mampu mengurus dokumen pernikahan dan membayar administrasi, kemudian dia nikah siri, dipidana 3 bulan. Kan ini bertentangan dengan rasa keadilan", ujarnya.
Mengomentari adanya praktek nikah siri yang menyebabkan anak istri terlantar, Niam menjelaskan dengan rinci dan proporsional. "Kalau ada orang yang melakukan nikah siri kemudian menelantarkan anak istri, maka yang dipidana adalah tindakan penelantarannya, bukan nikah sirinya", ujarnya.
Dia menambahkan, sekalipun pernikahan telah dicatatkan, jika terjadi penelantaran anak dan istri tetap saja ini harus dihukum. "Dengan demikian, intinya bukan nikah sirinya, tetapi penelantarannya", pungkasnya mengingatkan. (detik.news/yid/iy)
( Hanya Pelanggaran Administrasi )
Wacana pemidanaan pelaku nikah tanpa dokumen resmi seperti nikah siri terus menuai kontroversi. Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat Asrorun Niam Sholeh menilai praktek nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana.
"Rencana kriminalisasi praktek nikah siri dalam Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan," kata Niam dalam perbincangan dengan detikcom di Jakarta, Selasa (16/2/2010).
Menurut doktor lulusan UIN Jakarta ini, masalah pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya. Niam mendukung keharusan pencatatan pernikahan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak negatif dalam pernikahan.
"Pencatatan pernikahan penting untuk kepentingan administratif, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan. Bahkan bisa jadi hukumnya wajib", tegas Niam.
Walau demikian Niam mengingatkan perlu sikap proporsional pada kasus nikah siri. "Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana", tegas Doktor bidang Hukum Islam ini.
Intervensi Negara
Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam, sebagai tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta upaya kriminalisasi administrasi negara. Hal ini bertentangan dengan prinsip kehidupan bernegara.
Dalam penetapan regulasi mengenai masalah nikah siri, lanjut Niam, harus dilihat secara komprehensif. Faktanya, praktek nikah siri di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan akses dan juga ketidakmampuan secara ekonomi.
"Bagaimana mungkin orang yang miskin, yang tidak mampu mengurus dokumen pernikahan dan membayar administrasi, kemudian dia nikah siri, dipidana 3 bulan. Kan ini bertentangan dengan rasa keadilan", ujarnya.
Mengomentari adanya praktek nikah siri yang menyebabkan anak istri terlantar, Niam menjelaskan dengan rinci dan proporsional. "Kalau ada orang yang melakukan nikah siri kemudian menelantarkan anak istri, maka yang dipidana adalah tindakan penelantarannya, bukan nikah sirinya", ujarnya.
Dia menambahkan, sekalipun pernikahan telah dicatatkan, jika terjadi penelantaran anak dan istri tetap saja ini harus dihukum. "Dengan demikian, intinya bukan nikah sirinya, tetapi penelantarannya", pungkasnya mengingatkan. (detik.news/yid/iy)
Nikah Siri Hak Asasi Manusia
Tak Bisa Dipidana
Jakarta - RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat ketentuan pidana bagi pelaku nikah siri ditentang. Pernikahan dipandang sebagai hak asasi manusia, bukan urusan pemerintah.
"Itu kan hak asasi sesorang," ujar pakar hukum JE Sahetapy usai peluncuran buku SETARA institute di Hotel Athlete Senayan, Jakarta, Selasa (16/2/2010). Menurutnya untuk soal seperti ini, agama yang harus melarang, bukan pemerintah yang melarang. "Kalau saya tidak sepakat. Itu kan hak seseorang," tegasnya.
Menurutnya, karena urusan agama, maka sanksinya pun bukan pidana berupa denda atau penjara.
"Itu harus agamanya yang mengatur, sanksinya harus dari agama," pungkasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (rdf/irw)
Jakarta - RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat ketentuan pidana bagi pelaku nikah siri ditentang. Pernikahan dipandang sebagai hak asasi manusia, bukan urusan pemerintah.
"Itu kan hak asasi sesorang," ujar pakar hukum JE Sahetapy usai peluncuran buku SETARA institute di Hotel Athlete Senayan, Jakarta, Selasa (16/2/2010). Menurutnya untuk soal seperti ini, agama yang harus melarang, bukan pemerintah yang melarang. "Kalau saya tidak sepakat. Itu kan hak seseorang," tegasnya.
Menurutnya, karena urusan agama, maka sanksinya pun bukan pidana berupa denda atau penjara.
"Itu harus agamanya yang mengatur, sanksinya harus dari agama," pungkasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (rdf/irw)
RUU Nikah Siri
- Menag: Hukuman Belum Definitif, Bisa Saja Cuma Wajib Umumkan Pernikahan
Hukuman bagi para pelaku nikah siri seperti yang tertuang dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan belum definitif. Mungkin saja hukuman itu nantinya dalam bentuk administratif.
"Misalnya diwajibkan mendaftarkan diri, diwajibkan mengumumkan ke publik atau dikenakan denda. Kira-kira, ya, seperti itu. Jadi belum definitif, ya," kata Menteri Agama Suryadharma Ali di sela-sela mengikuti kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke LP Anak Tangerang, Banten, Selasa (16/2/2010).
Suryadharma menegaskan, RUU tersebut masih berupa draf yang disusun dari berbagai macam pikiran, pandangan dan alasan-asalah filosofis serta sosiologis. RUU itu nanti bisa disetujui bisa saja tidak oleh DPR.
"Baru masuk di badan legislasi. Itu rancangan itu dari Depag, begitu," tandasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (Luhur Hertanto – detikNews/irw/iy)
Hukuman bagi para pelaku nikah siri seperti yang tertuang dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan belum definitif. Mungkin saja hukuman itu nantinya dalam bentuk administratif.
"Misalnya diwajibkan mendaftarkan diri, diwajibkan mengumumkan ke publik atau dikenakan denda. Kira-kira, ya, seperti itu. Jadi belum definitif, ya," kata Menteri Agama Suryadharma Ali di sela-sela mengikuti kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke LP Anak Tangerang, Banten, Selasa (16/2/2010).
Suryadharma menegaskan, RUU tersebut masih berupa draf yang disusun dari berbagai macam pikiran, pandangan dan alasan-asalah filosofis serta sosiologis. RUU itu nanti bisa disetujui bisa saja tidak oleh DPR.
"Baru masuk di badan legislasi. Itu rancangan itu dari Depag, begitu," tandasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (Luhur Hertanto – detikNews/irw/iy)
Gara-gara KD-Raul, MUI Resah
-Bagaimana UU Pornografi
-Bagaimana KUHP Pasal Perzinahan
-Bagaimana Polri
KOMPAS.com — Aksi baku cium antara vokalis pop Krisdayanti dan kekasihnya, Raul Lemos, Rabu (21/7/2010) di hadapan sorotan kamera langsung menuai reaksi dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
"Mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan," ungkap Ketua MUI KH Hamidan saat dihubungi via telepon genggamnya di Jakarta, Kamis (22/7/2010).
Hamidan mengatakan, adegan yang dipertontonkan Raul-KD, meskipun disensor, tetap saja dinilai tidak sehat untuk dikonsumsi publik. "Prihatin karena itu kurang sehat untuk masyarakat," ungkap Hamidan.
Disinggung soal harapan istri Raul, Silvalay Noor Arthalia, agar MUI menegur suaminya dan KD karena dianggap telah berbuat senonoh, Hamidan enggan berkomentar pasti. "Ya itu kami lihat, apakah ini terkait pornografi atau pornoaksi. Tapi, itu bukan bidang MUI," ucap Hamidan.
"Tapi kami shock, padahal sekarang masih hangat dengan kasus Ariel. Kok ada lagi yang bisa berbuat seperti itu," sambungnya.
Oleh karena itu, Hamidan dengan tegas menilai bahwa perbuatan Raul-KD dianggap sudah meresahkan. "Jelas, bagaimana dengan dampak ke anak-anak mereka, ke masyarakat umum, dan istrinya itu," ucap Hamidan. "Kami resah, tapi semua dikembalikan ke infotaiment-nya," tutupnya. (FAN)
-Bagaimana KUHP Pasal Perzinahan
-Bagaimana Polri
KOMPAS.com — Aksi baku cium antara vokalis pop Krisdayanti dan kekasihnya, Raul Lemos, Rabu (21/7/2010) di hadapan sorotan kamera langsung menuai reaksi dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
"Mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan," ungkap Ketua MUI KH Hamidan saat dihubungi via telepon genggamnya di Jakarta, Kamis (22/7/2010).
Hamidan mengatakan, adegan yang dipertontonkan Raul-KD, meskipun disensor, tetap saja dinilai tidak sehat untuk dikonsumsi publik. "Prihatin karena itu kurang sehat untuk masyarakat," ungkap Hamidan.
Disinggung soal harapan istri Raul, Silvalay Noor Arthalia, agar MUI menegur suaminya dan KD karena dianggap telah berbuat senonoh, Hamidan enggan berkomentar pasti. "Ya itu kami lihat, apakah ini terkait pornografi atau pornoaksi. Tapi, itu bukan bidang MUI," ucap Hamidan.
"Tapi kami shock, padahal sekarang masih hangat dengan kasus Ariel. Kok ada lagi yang bisa berbuat seperti itu," sambungnya.
Oleh karena itu, Hamidan dengan tegas menilai bahwa perbuatan Raul-KD dianggap sudah meresahkan. "Jelas, bagaimana dengan dampak ke anak-anak mereka, ke masyarakat umum, dan istrinya itu," ucap Hamidan. "Kami resah, tapi semua dikembalikan ke infotaiment-nya," tutupnya. (FAN)
Rabu, 14 Juli 2010
Mengelola Teknologi
TEKNOLOGI yang merambah di semua sektor kehidupan, tidak semua elemen masyarakat dapat memanfaatkan, menggunakan dan mengelolanya sesuai fungsi dan tujuan diciptakannya produk teknologi. Karena itulah, banyak penggunaan produk teknologi menghancurkan tatanan kehidupan itu sendiri. Bukan hanya salah kaprah mengelola teknologi yang menyebabkan hancurnya unsur-unsur sumber daya manusia dan sumber daya alam. Akan tetapi, produk kebijakan atau slogan yang dibuat oleh pemerintah pun (juga swasta) sering menjadi penyebab rusak—hancurnya SDM dan SDA.
Sebagai contoh di antara salah kaprah mengelola produk teknologi dalam penggunaannya, seperti pemanfaatan teknologi digital yang secrba praktis, otomatis dan akhirnya menjadi alat yang berfungsi sebagai pembunuhan yang sadis tehadap sendi-sendi kehidupan umat manusia dan funa flora. Karena mudah dan gampang menggunakan kamera digital yang dapat merekam aktivitas rutin seseorang, lahirlah video-video mesum alam Maria Eva, Ariel ‘Peterpan’—Luna Maya—Cut Tari dan sebagainya.
Demikian pula kebiasaan menggunakan televisi dengan acara tertentu, mampu mempengauhi kehidupan seseorang. Yang semula alim, taat agama, dan menjaga moralitasnya. Kemudian melahirkan seseorang yang ‘liar’ dan mengalalkan segala cara. Juga, seperti pemanfaatan handphone yang berkamera. Penggunaan tanpa panduan dan pengawasan menjadikan pemilik atau pemegang handphone (HP) melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak memberi manfaat bagi dirinya sendiri.
Namun, demikianlah perkembangan peradaban umat manusia. Yang pintar belum tentu cerdas menghadapi persoalan dalam hidupnya, yang cerdaspun belum menjamin kalau seseorang itu mampu mengatasi pengaruh-pengaruh negatif kepada dirinya. Maka, pendidikan untuk manusia diabad tekinologi sekarang ini seyogyanya diarahkan kepada pendidikan moral, etika, adab kesopanan yang intinya memberikan panduan untuk orang agar ia terus menjadi baik.
Sama halnya penggunaan kendaraan jika tidak disesuaikan dengan fungsi dan manfaat kendaraan itu, biasanya akan melahirkan musibah atau kecelakaan. Seharusnya kendaraan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan-kepentingan strategis bagi pemilik dan penggunanya. Bukan untuk dipakai kepada kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan manfaat sama sekali. Misalnya untuk kebut-kebutan, keluyuran dan membuat gang bagi anak-anak sekolah atau remaja dan pemuda. Bila itu mereka lakukan, maka lahirlah berbagai bentuk kriminalitas yang mereka sendiri tanpa disadari mengkriminalisasikan diri mereka sendiri.
Masih banyak contoh kasus yang tidak menggembirakan terhadap kesinambungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Termasuk persoalan senjata yang diproduksi oleh negara-negara industri persenjataan, yang bila disalahgunakan penjualan dan penyebaran senjata tersebut. Akan melahirkan berbagai konflik bertsenjata di banyak negara. Itu semua, akibat memproduksi senjata hanya dilihat dari sisi ekonomi belaka.
Sebelum semuanya menjadi terlambat karena tidak mampu mengendalikan diri pada saat bersinggungan dengan teknologi, maka tidak ada kata lain yang lebih baik dilakukan manusia dewasa ini. Kecuali menyadari betapa pentingnya unsur baik dalam dri masing-masing.
Sebagai contoh di antara salah kaprah mengelola produk teknologi dalam penggunaannya, seperti pemanfaatan teknologi digital yang secrba praktis, otomatis dan akhirnya menjadi alat yang berfungsi sebagai pembunuhan yang sadis tehadap sendi-sendi kehidupan umat manusia dan funa flora. Karena mudah dan gampang menggunakan kamera digital yang dapat merekam aktivitas rutin seseorang, lahirlah video-video mesum alam Maria Eva, Ariel ‘Peterpan’—Luna Maya—Cut Tari dan sebagainya.
Demikian pula kebiasaan menggunakan televisi dengan acara tertentu, mampu mempengauhi kehidupan seseorang. Yang semula alim, taat agama, dan menjaga moralitasnya. Kemudian melahirkan seseorang yang ‘liar’ dan mengalalkan segala cara. Juga, seperti pemanfaatan handphone yang berkamera. Penggunaan tanpa panduan dan pengawasan menjadikan pemilik atau pemegang handphone (HP) melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak memberi manfaat bagi dirinya sendiri.
Namun, demikianlah perkembangan peradaban umat manusia. Yang pintar belum tentu cerdas menghadapi persoalan dalam hidupnya, yang cerdaspun belum menjamin kalau seseorang itu mampu mengatasi pengaruh-pengaruh negatif kepada dirinya. Maka, pendidikan untuk manusia diabad tekinologi sekarang ini seyogyanya diarahkan kepada pendidikan moral, etika, adab kesopanan yang intinya memberikan panduan untuk orang agar ia terus menjadi baik.
Sama halnya penggunaan kendaraan jika tidak disesuaikan dengan fungsi dan manfaat kendaraan itu, biasanya akan melahirkan musibah atau kecelakaan. Seharusnya kendaraan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan-kepentingan strategis bagi pemilik dan penggunanya. Bukan untuk dipakai kepada kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan manfaat sama sekali. Misalnya untuk kebut-kebutan, keluyuran dan membuat gang bagi anak-anak sekolah atau remaja dan pemuda. Bila itu mereka lakukan, maka lahirlah berbagai bentuk kriminalitas yang mereka sendiri tanpa disadari mengkriminalisasikan diri mereka sendiri.
Masih banyak contoh kasus yang tidak menggembirakan terhadap kesinambungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Termasuk persoalan senjata yang diproduksi oleh negara-negara industri persenjataan, yang bila disalahgunakan penjualan dan penyebaran senjata tersebut. Akan melahirkan berbagai konflik bertsenjata di banyak negara. Itu semua, akibat memproduksi senjata hanya dilihat dari sisi ekonomi belaka.
Sebelum semuanya menjadi terlambat karena tidak mampu mengendalikan diri pada saat bersinggungan dengan teknologi, maka tidak ada kata lain yang lebih baik dilakukan manusia dewasa ini. Kecuali menyadari betapa pentingnya unsur baik dalam dri masing-masing.
Seratus Ribu Lima Tahun
Oleh Naim Emel Prahana
USAI. Usai sudah perhelatan pesta demokrasi di 6 (enam) kabupaten—kota di Lampung, hasil penghitungan suara sementara (terakhir) di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten—kota, sudah rampung. Perolehan suara sudah diketahui dan sudah diinformasikan secara luas ke tengah masyarakat. Hanya sekian persen saja masyarakat yang menggunakan hak pilihnya yang membaca informasi hasil penghitungan akhir suara pemilukada itu. Namun, masyarakat secara berantai dari mulut ke mulut sudah mengetahui, siapa memperoleh suara terbanyak.
Dari perhelatan pemilukada itu, beberapa catatan sudah dapat disimpulkan, antara lain; (1) uang faktor utama perolehan suara, (2) Mobilisasi mesin parpol tidak berjalan optimal (atau memang begitulah profile parpol di Indonesia ini), (3) materi kampanye dan sosialisasi belum tepat menyentuh kebutuhan masyarakat, (4) figur calon tidak jadi jaminan perlehan suara (pemenang), (5) trik licik dan penipuan—janji-janji manis masih jadi faktor pendukung perolehan suara banyak, (6) peranan KPPS, petugas TPS, PPK dan KPU masih menjadi penentu utama perolehan suara. Membaca kesimpulan di atas, menjadi evaluasi semua elemen masyarakat terutama pemerintah dan KPU untuk membaca, menyimak dan mengkritisi ulang UU Pemilu dan Peraturan KPU. Banyak hal yang tidak tercantum di dalam peraturan-peraturan tersebut, yang di lapangan banyak terjadi. Sehingga, persepsi dan penyelesaian sengketa dan kasus—pelanggaran yang muncul. Akhirnya hanya menjadi bagian tidak penting dari sah atau tidaknya pasangan calon ditetapkan sebagai pemenang.
Artinya, apapun bentuk kejahatan dan pelanggaran pemilukada, tidak akan menggugurkan pasangan yang (mungkin) memperoleh suara ada trik kejahatan dan pelanggaran. Sebab, kualifikasi Penegak Hukum (Gakkum) pemilukada sangat diragukan independensi—netralitasnya untuk menegakkan aturan yang sebenarnya. Khususnya menyangkut hasil pemilukada. Keraguan atau kecurigaan terhadap eksistensi oknum anggota KPU, Panwas, PPS, KPPS dan PPK masih menggayut dalam benak warga masyarakat. Banyak hasil pemilukada yang memunculkan banyak masalah urgent, tetapi penetapan dan pelantikan pasangan yang memperoleh suara terbanyak tetap berjalan (sesuai tahapan pemilukada). Sedangkan kejahatan dan pelanggaran berjalan di sisi lain, seperti tidak ada kaitannya sama sekali. Keprihatinan kita memang sangat dalam. Apalagi, dalam praktek pemilukada soalo money politic tidak ada definisi yang jelas--detail dalam aturannya. Oleh karena itu, pemilukada di suatu kabupaten—kota atau di provinsi, tetap saja meninggalkan bekas luka yang mendalam. Bila kita diajak untuk hitung-hitung, satu suara dihargai Rp 100.000,- untuk waktu lima tahun. Jika, dibagikan, maka seorang yang menjual suaranya dengan harga Rp 100.000,- per lima tahun, ia sebenarnya hanya mendapatkan uang Rp 20.000 per tahun atau Rp 166,- per bulan atau hanya Rp 5,5,- per hari.
Itulah perhitungannya, namun menurut beberapa tokoh masyarakat, maternya warga masyarakat dalam pemiulukada memang hanya sekian persen. Namun, situasi dan tradisi itu memang sudah dirusak ketika berlangsungnya pemilu legislatif—yang serba uang. Akhirnya, warga masyarakat sudah terbiasa. Warga akan memberikan suaranya, jika ada yang membayar. Bayaran itupun akan dibading-bandingkan antara pemberian pasangan A dengan pasangan lainnya.
USAI. Usai sudah perhelatan pesta demokrasi di 6 (enam) kabupaten—kota di Lampung, hasil penghitungan suara sementara (terakhir) di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten—kota, sudah rampung. Perolehan suara sudah diketahui dan sudah diinformasikan secara luas ke tengah masyarakat. Hanya sekian persen saja masyarakat yang menggunakan hak pilihnya yang membaca informasi hasil penghitungan akhir suara pemilukada itu. Namun, masyarakat secara berantai dari mulut ke mulut sudah mengetahui, siapa memperoleh suara terbanyak.
Dari perhelatan pemilukada itu, beberapa catatan sudah dapat disimpulkan, antara lain; (1) uang faktor utama perolehan suara, (2) Mobilisasi mesin parpol tidak berjalan optimal (atau memang begitulah profile parpol di Indonesia ini), (3) materi kampanye dan sosialisasi belum tepat menyentuh kebutuhan masyarakat, (4) figur calon tidak jadi jaminan perlehan suara (pemenang), (5) trik licik dan penipuan—janji-janji manis masih jadi faktor pendukung perolehan suara banyak, (6) peranan KPPS, petugas TPS, PPK dan KPU masih menjadi penentu utama perolehan suara. Membaca kesimpulan di atas, menjadi evaluasi semua elemen masyarakat terutama pemerintah dan KPU untuk membaca, menyimak dan mengkritisi ulang UU Pemilu dan Peraturan KPU. Banyak hal yang tidak tercantum di dalam peraturan-peraturan tersebut, yang di lapangan banyak terjadi. Sehingga, persepsi dan penyelesaian sengketa dan kasus—pelanggaran yang muncul. Akhirnya hanya menjadi bagian tidak penting dari sah atau tidaknya pasangan calon ditetapkan sebagai pemenang.
Artinya, apapun bentuk kejahatan dan pelanggaran pemilukada, tidak akan menggugurkan pasangan yang (mungkin) memperoleh suara ada trik kejahatan dan pelanggaran. Sebab, kualifikasi Penegak Hukum (Gakkum) pemilukada sangat diragukan independensi—netralitasnya untuk menegakkan aturan yang sebenarnya. Khususnya menyangkut hasil pemilukada. Keraguan atau kecurigaan terhadap eksistensi oknum anggota KPU, Panwas, PPS, KPPS dan PPK masih menggayut dalam benak warga masyarakat. Banyak hasil pemilukada yang memunculkan banyak masalah urgent, tetapi penetapan dan pelantikan pasangan yang memperoleh suara terbanyak tetap berjalan (sesuai tahapan pemilukada). Sedangkan kejahatan dan pelanggaran berjalan di sisi lain, seperti tidak ada kaitannya sama sekali. Keprihatinan kita memang sangat dalam. Apalagi, dalam praktek pemilukada soalo money politic tidak ada definisi yang jelas--detail dalam aturannya. Oleh karena itu, pemilukada di suatu kabupaten—kota atau di provinsi, tetap saja meninggalkan bekas luka yang mendalam. Bila kita diajak untuk hitung-hitung, satu suara dihargai Rp 100.000,- untuk waktu lima tahun. Jika, dibagikan, maka seorang yang menjual suaranya dengan harga Rp 100.000,- per lima tahun, ia sebenarnya hanya mendapatkan uang Rp 20.000 per tahun atau Rp 166,- per bulan atau hanya Rp 5,5,- per hari.
Itulah perhitungannya, namun menurut beberapa tokoh masyarakat, maternya warga masyarakat dalam pemiulukada memang hanya sekian persen. Namun, situasi dan tradisi itu memang sudah dirusak ketika berlangsungnya pemilu legislatif—yang serba uang. Akhirnya, warga masyarakat sudah terbiasa. Warga akan memberikan suaranya, jika ada yang membayar. Bayaran itupun akan dibading-bandingkan antara pemberian pasangan A dengan pasangan lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)