Kamis, 25 November 2010
Segelas Kopi Lampung
Naim Emel Prahana
BANYAK fans kopi asli, khususnya Lampung jika berpergian selalu membawa beberapa bungkus kopi asli produksi Lampung. Yang jika di Jakarta akan bersaing dengan kopi-kopi instan berupa sansetan (bungkusan) kecil kopi. Betapa sulitnya menikmati kopi asli di jakarta sebagai ibukota republik ‚kopi’ ini. Produk kopi asli Lampung memang sudah masuk ke departemen store—swalayan, mall. Namun, kenapa di tingkat menengah ke bawah kopi asli Lampung yang beberapa hasil produk itu tidak ada.
May be, this dream flies to sky without basement? (mungkin, ini adalah mimpi terbang ke langit tanpa landasan?). paling tidak, memang hasrat untuk go internasional besar sekali bagi pengelola kopi Lampung, termasuk AEKI Lampung. Ibarat pepatah mengatakan, “ingin menjangkau puncak gunung, apadaya tangan tak sampai!”. Sehingga lidah masyarakat Lampung sendiri tidak dapat mencicipi nikmatnya kopi asli produk daerahnya sendiri.
Karena, di tingkat eceran tidak dipasarkan kopi Lampung, akibatnya kopi Lampung yang asli sulit bersaing dengan produk kopi-kopi instan dengan berbagai campuran seperti, beras, jagung, tepung, susu dan sebagainya. Target penguasaan pasar elite ternyata kopi Lampung melupakan pijakan dasarnya, yaitu masyarakat Lampung sendiri.
Nikmatnya kopi asli Lampung yang sudah diproduksi secara baik dan masuk pangsa besar kelas atas di berbagai swalayan, departement store atau mall tersebut. Ternyata tidak mampu menembus pangsa pasar kelas mini market seperti Alfamart, Indomart dan sebagainya. Padahal, trend warga shoping saat ini berada di kelas pasar Indomart dan Alfamart.
Kita belum tahu persis, faktor penyebab tidak beredarnya kopi Lampung di kalangan masyarakat luas, bahkan di kios-kios pinggir jalan. Ataukah memang kita hanya berpatokan kepada May be, this dream flies to sky without basement?. Mbah Surip (almarhum) saja menikmati kopi Lampung dengan aroma khasnya. Itu pertanda betapa hebatnya kualitas kopi Lampung.
Dan, alangkah nikmatnya jika kemarin ketika kunjungan si Barack Obama, bosnya Amerika Serikat disuguhkan segelas kopi Lampung. Tentu Barack Obama akan bertanya.
“Whew, this is coffee so taste. who is this coffee?” (Wah, ini kopi nikmat sekali. produksi siapa kopi ini).
” Oh, this is Indonesia original coffee comes from region Lampung!”
Siapa yang tidak bangga, jika mimpi itu diarahkan ke suasana corong dunia seperti ucapan Barack Obama. Karena, hanya pergi berak saja, Obama tidak diliputr oleh pers. Hal sekecil apapun, termasuk gerakan jemarinya senantiasa diliput pers. Sehingga kita di Lampung tidak perlu bermimpi, di mana dan kapan saja kita dapat menemukan kopi Lampung yang sudah diproduksi apik (bagus) tersebut.
Kita butuh kenyataan, bukan pernyataan. Sebab, rakyat butuh makan bukan rekaan-rekaan dan simulasi ekonomi yang pada prinsipnya tidak pernah bisa diterapkan di tengah kehidupan rakyat kelas banyak yang jumlahnya mencapai 80% di negara ini. Kopi Lampung nikmatnya produksi kita.
BANYAK fans kopi asli, khususnya Lampung jika berpergian selalu membawa beberapa bungkus kopi asli produksi Lampung. Yang jika di Jakarta akan bersaing dengan kopi-kopi instan berupa sansetan (bungkusan) kecil kopi. Betapa sulitnya menikmati kopi asli di jakarta sebagai ibukota republik ‚kopi’ ini. Produk kopi asli Lampung memang sudah masuk ke departemen store—swalayan, mall. Namun, kenapa di tingkat menengah ke bawah kopi asli Lampung yang beberapa hasil produk itu tidak ada.
May be, this dream flies to sky without basement? (mungkin, ini adalah mimpi terbang ke langit tanpa landasan?). paling tidak, memang hasrat untuk go internasional besar sekali bagi pengelola kopi Lampung, termasuk AEKI Lampung. Ibarat pepatah mengatakan, “ingin menjangkau puncak gunung, apadaya tangan tak sampai!”. Sehingga lidah masyarakat Lampung sendiri tidak dapat mencicipi nikmatnya kopi asli produk daerahnya sendiri.
Karena, di tingkat eceran tidak dipasarkan kopi Lampung, akibatnya kopi Lampung yang asli sulit bersaing dengan produk kopi-kopi instan dengan berbagai campuran seperti, beras, jagung, tepung, susu dan sebagainya. Target penguasaan pasar elite ternyata kopi Lampung melupakan pijakan dasarnya, yaitu masyarakat Lampung sendiri.
Nikmatnya kopi asli Lampung yang sudah diproduksi secara baik dan masuk pangsa besar kelas atas di berbagai swalayan, departement store atau mall tersebut. Ternyata tidak mampu menembus pangsa pasar kelas mini market seperti Alfamart, Indomart dan sebagainya. Padahal, trend warga shoping saat ini berada di kelas pasar Indomart dan Alfamart.
Kita belum tahu persis, faktor penyebab tidak beredarnya kopi Lampung di kalangan masyarakat luas, bahkan di kios-kios pinggir jalan. Ataukah memang kita hanya berpatokan kepada May be, this dream flies to sky without basement?. Mbah Surip (almarhum) saja menikmati kopi Lampung dengan aroma khasnya. Itu pertanda betapa hebatnya kualitas kopi Lampung.
Dan, alangkah nikmatnya jika kemarin ketika kunjungan si Barack Obama, bosnya Amerika Serikat disuguhkan segelas kopi Lampung. Tentu Barack Obama akan bertanya.
“Whew, this is coffee so taste. who is this coffee?” (Wah, ini kopi nikmat sekali. produksi siapa kopi ini).
” Oh, this is Indonesia original coffee comes from region Lampung!”
Siapa yang tidak bangga, jika mimpi itu diarahkan ke suasana corong dunia seperti ucapan Barack Obama. Karena, hanya pergi berak saja, Obama tidak diliputr oleh pers. Hal sekecil apapun, termasuk gerakan jemarinya senantiasa diliput pers. Sehingga kita di Lampung tidak perlu bermimpi, di mana dan kapan saja kita dapat menemukan kopi Lampung yang sudah diproduksi apik (bagus) tersebut.
Kita butuh kenyataan, bukan pernyataan. Sebab, rakyat butuh makan bukan rekaan-rekaan dan simulasi ekonomi yang pada prinsipnya tidak pernah bisa diterapkan di tengah kehidupan rakyat kelas banyak yang jumlahnya mencapai 80% di negara ini. Kopi Lampung nikmatnya produksi kita.
Siapa Pengawas Jalan
Oleh Naim Emel Prahana
KEMARIN sore TVRI Lampung mengedepankan wawancara (berita sore) tentang kerusakan jalan saat ini yang terjadi di Lampung. Di samping faktor cuaca, faktor kelebihan tonase mobil-mobil (truk) angkutan barang mnjadi penyebab makin rusakjnya ruas jalan yang ada. Hampir di mana-mana, ruas jalan di provinsi Lampung mengtalami rusak parah. Apalagi jalan penghubung daerah kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya.
Cuaca, menjadi kambing hitam. Kemudian kelebihan tonase menjadi kambing hitam. Lalu kita mengadakan berbagai hearing dengan DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota membahas masalah itu. Hasilnya, tidak terlalu banyak yang diharapkan, kecuali menghabiskan bioaya hearing dan SPJ anggota Dewan atau pejabat yang membahas masalah kerusakan jalan.
Bagaimana kalau ada pertanyaan, pihak manakah yang mengurusai jalan itu. Pihak mana pula yang mengawasi jalan itu dan peraturan mana yang diberlakukan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan angkutan umum dan barang, sehingga mempercepat proses kerusakan jalan yang ada. Bahkan yang yang baru dibangun sudah rusak sebelum selesai diserhaterimakan.
Padahal, kalau kita mau jujur melihat di lapangan sepanjang hari. Betapa banyaknya aparat kepolisian, Patroli PJR (LLAJR), pos Polisi Kehutanan, Pos Pungutan Retribusi jalan. Ditambah lagi pungutan-pungutan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat kepada para pengemudi dan pengendara kendaraan yang melintas. Tetapi, kenapa ruas jalan masih rusah bahkan kerusakannya lebih cepat.
Sangat memprihatinkan. Begitu banyak pihak yang menikmati pungutan di jalan raya, tetapi tidak satupun pihak yang merasa bertanggungjawab atas kerusakan ruas jalan di Lampung ini. Pungutan dari jalan raya, baik yang dilakukan pihak yang berseragam dinas, maupun para preman itu telah memberangkatkan mereka untuk menunaikan ibadah haji. Telah memberikan keuntungan yang luar biasa kepada kelompok masyarakat, sehingga mampu membangun rumah yang sangat permanen. Kalau membeli sepeda motor, itu urusan kecil.
Kini, Gubernur mengeluarkan surat edaran tentang tonase atau kerusakan jalan raya. Tetapi, siapa yang bertanggungjawab menjalankan surat edaran itu hingga memberikan sanksi berat bagi angkutan umum dan barang yang kelebihan muatan (tonase). Siapa? Masih kelabu jawabannya. Kalau pengemudi angkutan di peres terus di jalanan. Tentu saja para pengemudi berpikir, bahwa ketimbang rugi, maka muatannya harus dilipatgandakan. Itu sudah wajar dan normal. Karena ulah segelintir manusia yang diberi tanggungjawab soal pemeliharaan dan pengawasan di jalan raya, yang memulai melakukan korupsi tangungjawab, karena kepentingan uang.
Mulai dari gubernur, bupati/walikota dan kepala dinas serta PNS yang berkaitan langsung dengan jalan raya seharusnya jangan hanya teori atau mengeluarkan surat edaran kalau tidak bisa diberlakukan di jalanan. Wlau sulit, mari kita dukung penertiban angkutan umum dan barang di jalanan dan yang lebih khususnya lagi menertibkan para pemborong yang membangun jalan. Jangan karena mengeruk keuntungan, mengabaikan kualitas dan bestek proyeknya.
KEMARIN sore TVRI Lampung mengedepankan wawancara (berita sore) tentang kerusakan jalan saat ini yang terjadi di Lampung. Di samping faktor cuaca, faktor kelebihan tonase mobil-mobil (truk) angkutan barang mnjadi penyebab makin rusakjnya ruas jalan yang ada. Hampir di mana-mana, ruas jalan di provinsi Lampung mengtalami rusak parah. Apalagi jalan penghubung daerah kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya.
Cuaca, menjadi kambing hitam. Kemudian kelebihan tonase menjadi kambing hitam. Lalu kita mengadakan berbagai hearing dengan DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota membahas masalah itu. Hasilnya, tidak terlalu banyak yang diharapkan, kecuali menghabiskan bioaya hearing dan SPJ anggota Dewan atau pejabat yang membahas masalah kerusakan jalan.
Bagaimana kalau ada pertanyaan, pihak manakah yang mengurusai jalan itu. Pihak mana pula yang mengawasi jalan itu dan peraturan mana yang diberlakukan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan angkutan umum dan barang, sehingga mempercepat proses kerusakan jalan yang ada. Bahkan yang yang baru dibangun sudah rusak sebelum selesai diserhaterimakan.
Padahal, kalau kita mau jujur melihat di lapangan sepanjang hari. Betapa banyaknya aparat kepolisian, Patroli PJR (LLAJR), pos Polisi Kehutanan, Pos Pungutan Retribusi jalan. Ditambah lagi pungutan-pungutan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat kepada para pengemudi dan pengendara kendaraan yang melintas. Tetapi, kenapa ruas jalan masih rusah bahkan kerusakannya lebih cepat.
Sangat memprihatinkan. Begitu banyak pihak yang menikmati pungutan di jalan raya, tetapi tidak satupun pihak yang merasa bertanggungjawab atas kerusakan ruas jalan di Lampung ini. Pungutan dari jalan raya, baik yang dilakukan pihak yang berseragam dinas, maupun para preman itu telah memberangkatkan mereka untuk menunaikan ibadah haji. Telah memberikan keuntungan yang luar biasa kepada kelompok masyarakat, sehingga mampu membangun rumah yang sangat permanen. Kalau membeli sepeda motor, itu urusan kecil.
Kini, Gubernur mengeluarkan surat edaran tentang tonase atau kerusakan jalan raya. Tetapi, siapa yang bertanggungjawab menjalankan surat edaran itu hingga memberikan sanksi berat bagi angkutan umum dan barang yang kelebihan muatan (tonase). Siapa? Masih kelabu jawabannya. Kalau pengemudi angkutan di peres terus di jalanan. Tentu saja para pengemudi berpikir, bahwa ketimbang rugi, maka muatannya harus dilipatgandakan. Itu sudah wajar dan normal. Karena ulah segelintir manusia yang diberi tanggungjawab soal pemeliharaan dan pengawasan di jalan raya, yang memulai melakukan korupsi tangungjawab, karena kepentingan uang.
Mulai dari gubernur, bupati/walikota dan kepala dinas serta PNS yang berkaitan langsung dengan jalan raya seharusnya jangan hanya teori atau mengeluarkan surat edaran kalau tidak bisa diberlakukan di jalanan. Wlau sulit, mari kita dukung penertiban angkutan umum dan barang di jalanan dan yang lebih khususnya lagi menertibkan para pemborong yang membangun jalan. Jangan karena mengeruk keuntungan, mengabaikan kualitas dan bestek proyeknya.
Peraturan Tanpa Pengawasan
oleh Naim Emel Prahana
BOLEH dibilang hampir semua produk undang-undang atau peraturan yang diterbitkan pemerintah bersama DPR, dibuat dan dirancang di belakng meja. Tanpa me4ngindahkan aksi sosialisasi dan pengawasan pelaksanaannhya. Di situlah kunci kerawanan penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan dan merajelelanya praktek korupsi di tengah masyarakat. Khususnya di roda pemerintahan.
Apalagi yang namanya keputusan presiden, instruksi presiden, peraturan pemerintah, per4aturan menteri, surat keputusan bersama menteri atau kebijakan-kebijakan pemerintah. Semuanya nyaris tanpa pengawasan. Termasuk dibidang keuangan. Pengawasan baru akan diadakan ketika sudah terjadi pelanggaran dan tindak pidana. Kalau tidak ada laporan, pengaduan masyarakat, maka pengawasan tidak ada sama sekali.
Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat adalah HET BBM atau harga kebutuhan pokok lainnya. Begitu banyak peraturan dan ketentuan pemerintah melalui dinas/instansi terkait. Namun, tidak ada pengawasan di lapangan. Pemerintah menetapkan harga BBM, tetapi pemerintah tidak menghitung cost (biaya) para pedagang BBM yang lokasi usahanya jauh dari pangkalan BBM atau SPBU. Sehingga, harga menjadi liar dan ditentukan secara liar pula oleh pedagangnya.
Sementara, rakyat sebagai konsumen tidak berdaya menghadapi spekulasi harga BBM tersebut, apalagi jauh dari pusat kota. Peraturan pemerintah yang akan mengurangi subsidi BBM jenis premium terhadap kendaraan pribadi yang rencananya akan diberlaku tahun 2011. ternyata, sekarang BBM jenis premium di sejumlah daerah di tanah air mulai langka. Kalaupun ada harganya sudah tinggi sekali. Jika sudah demikian situasinya, di mana kekuasaan pemerintah?
Ada kesan, bahwa pemerintah dan DPR hanya senang membuat peraturan, tetapi tindak ada tindak lanjut di tengah masyarakat. Banyak contoh lainnya, dalam praktek nyata, kegiatan dibidang ekonomi, administrasi, hukum, dan sebagainya tidak mengikuti proses aturan yang sebenarnya. Sama halnya dengan penegakan hukum dan pemberantasan praktek korupsi di Indoesia. Semua baru tahap wacana, pernyataan dan debat kusir yang akhirnya menenggelamkan kasus-kasus korupsi besar, seperti Bank Century dan Kasus Makus Gayus Tambunan.
Tidak salah kalau ada yang mengusulkan Gayus Tambunan itu diangkat menjadi Menteri Penanaman Modal Asing di Indonesia, karena kepiawaiannya dan kepintarannya memasukkan modal ke kantong pribadi dan sindikatnya. Kita setuju kalau Gayus diangkat menjadi Menteri. Dan, keyakinan kita Gayus akan mampu menyedot investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Terlepas dari itu semua (rumor), sebaiknya pemerintah kembali menginventarisir semua produk perundang-undangan yang sudah disahkan. Dibentuk suatu tim untuk mengevaluasi produk perundang-undangfan tersebut. Jika banyak yang tumpang tindih dan tidak dapat dijalankan. Sebaiknya produk UU itu harus dicabut, ya dibakar saja, agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang hanya memikirkan harta benda keluarga sendiri bersama kelompoknya.
BOLEH dibilang hampir semua produk undang-undang atau peraturan yang diterbitkan pemerintah bersama DPR, dibuat dan dirancang di belakng meja. Tanpa me4ngindahkan aksi sosialisasi dan pengawasan pelaksanaannhya. Di situlah kunci kerawanan penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan dan merajelelanya praktek korupsi di tengah masyarakat. Khususnya di roda pemerintahan.
Apalagi yang namanya keputusan presiden, instruksi presiden, peraturan pemerintah, per4aturan menteri, surat keputusan bersama menteri atau kebijakan-kebijakan pemerintah. Semuanya nyaris tanpa pengawasan. Termasuk dibidang keuangan. Pengawasan baru akan diadakan ketika sudah terjadi pelanggaran dan tindak pidana. Kalau tidak ada laporan, pengaduan masyarakat, maka pengawasan tidak ada sama sekali.
Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat adalah HET BBM atau harga kebutuhan pokok lainnya. Begitu banyak peraturan dan ketentuan pemerintah melalui dinas/instansi terkait. Namun, tidak ada pengawasan di lapangan. Pemerintah menetapkan harga BBM, tetapi pemerintah tidak menghitung cost (biaya) para pedagang BBM yang lokasi usahanya jauh dari pangkalan BBM atau SPBU. Sehingga, harga menjadi liar dan ditentukan secara liar pula oleh pedagangnya.
Sementara, rakyat sebagai konsumen tidak berdaya menghadapi spekulasi harga BBM tersebut, apalagi jauh dari pusat kota. Peraturan pemerintah yang akan mengurangi subsidi BBM jenis premium terhadap kendaraan pribadi yang rencananya akan diberlaku tahun 2011. ternyata, sekarang BBM jenis premium di sejumlah daerah di tanah air mulai langka. Kalaupun ada harganya sudah tinggi sekali. Jika sudah demikian situasinya, di mana kekuasaan pemerintah?
Ada kesan, bahwa pemerintah dan DPR hanya senang membuat peraturan, tetapi tindak ada tindak lanjut di tengah masyarakat. Banyak contoh lainnya, dalam praktek nyata, kegiatan dibidang ekonomi, administrasi, hukum, dan sebagainya tidak mengikuti proses aturan yang sebenarnya. Sama halnya dengan penegakan hukum dan pemberantasan praktek korupsi di Indoesia. Semua baru tahap wacana, pernyataan dan debat kusir yang akhirnya menenggelamkan kasus-kasus korupsi besar, seperti Bank Century dan Kasus Makus Gayus Tambunan.
Tidak salah kalau ada yang mengusulkan Gayus Tambunan itu diangkat menjadi Menteri Penanaman Modal Asing di Indonesia, karena kepiawaiannya dan kepintarannya memasukkan modal ke kantong pribadi dan sindikatnya. Kita setuju kalau Gayus diangkat menjadi Menteri. Dan, keyakinan kita Gayus akan mampu menyedot investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Terlepas dari itu semua (rumor), sebaiknya pemerintah kembali menginventarisir semua produk perundang-undangan yang sudah disahkan. Dibentuk suatu tim untuk mengevaluasi produk perundang-undangfan tersebut. Jika banyak yang tumpang tindih dan tidak dapat dijalankan. Sebaiknya produk UU itu harus dicabut, ya dibakar saja, agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang hanya memikirkan harta benda keluarga sendiri bersama kelompoknya.
Sabtu, 16 Oktober 2010
Rekrutmen PNS
Naim Emel Prahana
TERUS terang di era digital dan dunia maya (internet) peluang rakyat miskin untuk mendapatkan pekerjaan bagi anak-anak mereka semakin sulit. Termasuk memasuki lanjutan pendidikan yang mereka miliki. Kenapa semakin sulit? Karena rekrutmen sekarang ini praktis dikuasai oleh rakyat yang memiliki uang banyak. Setidak-tidaknya mereka adalah masyarakat yang memiliki akses hubungan yang luas. Seperti melalui internet.
Hampir 100 persen saat ini rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), apalagi swasta banyak menggunakan internet. Sedangkan anak orang miskin tidak memiliki akses rutin untuk menggunakan internet, karena sangat terbatasnya uang yang ada. Jangankan membuka internet, untuk membeli buku saja mereka sulit. Jaringan mereka memang luas di tengah kehidupan. Itupun hanya jaringan pergaulan sebagai makhluk sosial. Namun, jaringan atau akses untuk berinternet di Warung Internet (Warnet) atau mempunyai internet di handphone maupun untuk memiliki internet dengan perangkat komputer di rumah, tentu akan lebih sulit mereka dapati.
Sementara, banyak departemen (pemerintah) maupun (apalagi) swasta nyaris semuanya memakai internet untuk rekrutmen yang waktunya hanya beberapa hari. Semuanya butuh anggaran besar dan rutin bagi pengguna untuk menakses berbagai informasi lewat internet. Apakah rakyat miskin, kendati anak-anak mereka mempunyai kecerdasan luar biasa mampu menggunakan internet dalam pengertian cukup memiliki uang untuk mengkases rekrutmen lewat internet. Satu persoalan mengandung sekian banyak masalah yang harus (akhirnya) ditinggalkan dan pada gilirannya akan tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi PNS atau karyawan swasta lainnya.
Sangat ‘keterbatasan’ merupakan potret rakyat Indonesia pada umumnya. Tidak ada solusinya dan tidak ada siapa-siapa yang akan membantu rakyat kecil dan miskin demikian. Sementara kita berteriak-teriak mengatasnamakan rakyat, memberikan pernyataan-pernyataan seperti akurat sekali dapat membantu rakyat kecil, miskin yang jumlahnya dua ratusan juta di Republik ini. Kenyataan sosial, terlalu pahit untuk dibahas di mana saja.
Kalaupun dapat dibahas di permukaan seminar, lokakarya, diklat, diskusi, debat di televisi dengan nara sumber yang sangat populer di mata masyarakat televisi. Itu hanya membuka akses proposal bagi masyarakat (oknum) pecundang yang selalu mentyasnamakan rakyat kecil. Sehingga muncullah apa yang dipopulerkan tentang “ekonomi kerakyatan”, “akad buadaya sendiri”, kemampuan sendiri sampai-sampai membuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk peduli rtakyat kecil.
Peluang itu memang terbuka lebar, akan tetapi peluang besar itu masih sangat jauh dari kehidupan rakyat kecil yang miskin (kaum papa). Bagaimana mereka mau menggunakan fasilitas internet yang 100 persen (murni) adalah bisnis. Bisnis online bisnis yang masih sangtat awam di kehidupan masyarakat miskin dan masyarakat modern di tingkat generasi tua pun masih banyak yang gagap teknologi (gatek) internet padahal dunia internet adalah bagian tak terpisahkan dari dunia global sekarang ini, di ana Indonesia tidak dapat menghindari pengaruh dunia global tersebut.
Pertanyaannya; kapan rakyat miskin yang mendominasi penduduk Indonesia itu bisa mendapatkan perhatian riil dari pemerintah? Rakyat miskin tidak makan modul, tidak makan sertifikasi dengan pola-polanya, juga tidak makan akses internet. Alkan tetapi mereka tetap makan nasi, minum air putih dan ingin tidur damai, aman, nyenyak dan bisa merasakan nikmatnya kenyang. Kapan?
TERUS terang di era digital dan dunia maya (internet) peluang rakyat miskin untuk mendapatkan pekerjaan bagi anak-anak mereka semakin sulit. Termasuk memasuki lanjutan pendidikan yang mereka miliki. Kenapa semakin sulit? Karena rekrutmen sekarang ini praktis dikuasai oleh rakyat yang memiliki uang banyak. Setidak-tidaknya mereka adalah masyarakat yang memiliki akses hubungan yang luas. Seperti melalui internet.
Hampir 100 persen saat ini rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), apalagi swasta banyak menggunakan internet. Sedangkan anak orang miskin tidak memiliki akses rutin untuk menggunakan internet, karena sangat terbatasnya uang yang ada. Jangankan membuka internet, untuk membeli buku saja mereka sulit. Jaringan mereka memang luas di tengah kehidupan. Itupun hanya jaringan pergaulan sebagai makhluk sosial. Namun, jaringan atau akses untuk berinternet di Warung Internet (Warnet) atau mempunyai internet di handphone maupun untuk memiliki internet dengan perangkat komputer di rumah, tentu akan lebih sulit mereka dapati.
Sementara, banyak departemen (pemerintah) maupun (apalagi) swasta nyaris semuanya memakai internet untuk rekrutmen yang waktunya hanya beberapa hari. Semuanya butuh anggaran besar dan rutin bagi pengguna untuk menakses berbagai informasi lewat internet. Apakah rakyat miskin, kendati anak-anak mereka mempunyai kecerdasan luar biasa mampu menggunakan internet dalam pengertian cukup memiliki uang untuk mengkases rekrutmen lewat internet. Satu persoalan mengandung sekian banyak masalah yang harus (akhirnya) ditinggalkan dan pada gilirannya akan tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi PNS atau karyawan swasta lainnya.
Sangat ‘keterbatasan’ merupakan potret rakyat Indonesia pada umumnya. Tidak ada solusinya dan tidak ada siapa-siapa yang akan membantu rakyat kecil dan miskin demikian. Sementara kita berteriak-teriak mengatasnamakan rakyat, memberikan pernyataan-pernyataan seperti akurat sekali dapat membantu rakyat kecil, miskin yang jumlahnya dua ratusan juta di Republik ini. Kenyataan sosial, terlalu pahit untuk dibahas di mana saja.
Kalaupun dapat dibahas di permukaan seminar, lokakarya, diklat, diskusi, debat di televisi dengan nara sumber yang sangat populer di mata masyarakat televisi. Itu hanya membuka akses proposal bagi masyarakat (oknum) pecundang yang selalu mentyasnamakan rakyat kecil. Sehingga muncullah apa yang dipopulerkan tentang “ekonomi kerakyatan”, “akad buadaya sendiri”, kemampuan sendiri sampai-sampai membuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk peduli rtakyat kecil.
Peluang itu memang terbuka lebar, akan tetapi peluang besar itu masih sangat jauh dari kehidupan rakyat kecil yang miskin (kaum papa). Bagaimana mereka mau menggunakan fasilitas internet yang 100 persen (murni) adalah bisnis. Bisnis online bisnis yang masih sangtat awam di kehidupan masyarakat miskin dan masyarakat modern di tingkat generasi tua pun masih banyak yang gagap teknologi (gatek) internet padahal dunia internet adalah bagian tak terpisahkan dari dunia global sekarang ini, di ana Indonesia tidak dapat menghindari pengaruh dunia global tersebut.
Pertanyaannya; kapan rakyat miskin yang mendominasi penduduk Indonesia itu bisa mendapatkan perhatian riil dari pemerintah? Rakyat miskin tidak makan modul, tidak makan sertifikasi dengan pola-polanya, juga tidak makan akses internet. Alkan tetapi mereka tetap makan nasi, minum air putih dan ingin tidur damai, aman, nyenyak dan bisa merasakan nikmatnya kenyang. Kapan?
Development Plan 5 Year
KALAU dikatakan seago-ago (semuanya) saja pemerintah menggunakan uang rakyat tanpa perencanaan pembangunan yang matang, banyak benarnya. Kalau di zaman Soekarno (kalau boleh bicara soal figur presiden-pemimpin bangsa), setiap tahun atau lima tahun ada nama-nama proses pembangunan yang harus dikejar dan dilaksanakan. Yang kemudian dikemas dengan berbagai nama, termasuk Pembangunan Semesta, Repelita dan sebagainya. Demikian pula di zaman Soeharto, Repelita menjadi Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Lepas dari dua pemimpin atau dua presiden Indonesia itu, pembangunan di Indonesia sepertinya tidak terencana dengan baik. Sehingga membuka peluang praktek korupsi semakin melebar di semua aspek kehidupan. Luar biasa bangsa ini. Pembangunan yang sudah direncanakan, bisa saja dibatalkan manakala ada proyek momentum, seperti PON, MTQ, Islamic Centre, Pemilukada, Pilpres, Pemilgub dan lainnya. Yang biasanya dikemas dalam paket multiyears. Atau anggaran penanggulangan bencana alam yang tiba-tiba dan mendadak disahkan dengan mengambil pos pembangunan lainnya.
Hal-hal demikian, sangat jelas mengarah kepada “tidak terencananya pembangunan” di Indonesia saat ini. Kalau pembangunan itu terencana, tidak mungkin setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri pemerintah sibuk membenahi Jalan Pantai Utara (Pantura), Lintas Selasan, termasuk ruas jalannyanya yang tersebar di provinsi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Benar-benar tidak terencana. Pembangunan berskala besar menggunakan anggaran besar, hanya disahkan secara mendadak.
Akhirnya polemik tak berkesudahan. Dan, proses pembangunan yang tak terencanapun hanya sebatas memenuhi pandangan mata. Belum juga usai para pemudik melewati jalan yang dibangun secara mendadak itu, ruas jalannya sudah pada berlubang lagi. Memang semua orientasi pembangunan saat ini menjadi kawasan komoditas para pejabat, pemborong dan comunitas masyarakat yang hanya mementingkan diri sendiri.
Di Lampung pembangunan yang tidak terencana yang kemudian menjadi sangkaan-sangkaan terjadi korupsi yang mengalahkan pos anggaran pembangunan lainnya sudah lama terjadi. Misalnya pembangunan Islamic Center di Mengalah, Sukadana, Gunungsugih dan lainnya. Termasuk pembangunan dadakan fasilitas pelayanan umum seperti Terminal di Gunungsugih, rumah sakit di Sukadana, rehaz rumah-rumah dinas bupati dan walikota setiap tahunnya dan rehaz total rumah dinas tersebut manakala bupati atau walikotanya berganti.
Sungguh ironis, siapa yang dapat memberikan masukan yang dapat diterima oleh kepala daerah beserta anggota legislatifnya? Permainan vicious circle (lingkaran setan) kental sekali. Untuk mengesahkan sebuah peraturan daerah (Perda), apalagi banyak, pihak eksekutif harus mengeluarkan anggaran cukup besar kepada anggota DPRDnya. Untuk menjamu petugas BPK yang Sangay rajin memeriksa administrasi keuangan Pemdakab atau Pemdakot, juga pihak eksekutif harus mengeluarkan biaya cukup lumayan.
Kemudian anggaran-anggaran yang dititpkan di pos anggaran di Dinas/Instansi/Badan/Lembaga pemerintah lainnya, ada indikasi hanya sebuah titilan dana murni untuk para pejabat, yang realisasinya ke masyarakat Sangat kecil. Termasuk pembelian kendaraan dinas yang tiap tahunnya diluncurkan pihak eksekutif di kabupaten, kota, provinsi hingga ke departemen atau di lingkungan istana negara. Pembangunan yang tidak terencana tersebut seperti singkat uraian di atas, tidak akan membuahkan hasil pembangunan yang berkualitas dan tidak akan mungkin dapat dinikmati oleh rakyat banyak.
Senin, 20 September 2010
trip goes village
trip goes village
Pahlawan Devisa
ARUS puncak kembalinya pemudik ke tempat kerja sudah berlangsung sejak Sabtu—Minggu kemarin. Ada yang membawa anggota keluarga baru dan ada yang tidak kembali lagi ke kota tempat kerjanya, terutama ke Jakarta. Suasana lebaran setiap tahun sangat momental sekali dan menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Bukan hanya umat Islam yang akan merayakan Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya, tetapi umat lainpun ikut mudik. Karena momentum libur bagi mereka dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pulang ke kampung halaman.
Oleh karenanya, dalam kehidupan masyarakat (khususnya) di Indonesia dikenal ada dua istilah. (1) Tanah Kelahiran dan (2) Tanah Kehidupan. Tanah kelahiran itulah kampung halaman yang setiap tahun pada saat lebaran, banyak yang pulang kampung. Kampung menjadi tempat melampiaskan kerinduan, kebahagiaan, kedamaian dan silaturahim sesama keluarga dan kerabat tetangga handai taulan. Sementara, tanah kehidupan adalah daerah di mana mereka merantau, mencari nafkah. Atau tempat mereka urban. Apakah di kota, di daerah terpencil atau di luar negeri. Tetap saja namanya tanah kehidupan.
Kalau mereka yang bekerja di luar negeri menjadi (sebagai) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) oleh penyiar teleisi disebut-sebut sebagai pahlawan devisa. Tentu sesuatu yang membanggakan. Karena meningkatnya pendapatan anggota masyarakat, akibat hasil kerja yang dibawa pulang ke kampung halaman. Walaupun belum diketahui persis, devisa yang dihasilkan para TKI dan TKW itu berapa. Berapa yang masuk kas negara dan berapa yang masuk daftar penghasilan keluarga di kampung halaman.
Kita hanya latah menyebutnya sebagai “pahlawan devisa” tanpa rincian jelas. Sebutan itu, tentunya hanyalah bumbu masak untuk memikat pemirsa atau publik. Dan, bagi pemudik yang sampai ke kampung halamannya, tentu menjadi pahlawan bagi keluarganya atau kampungnya. Selama berada (beberapa hari) di kampung halamannya. Mereka berlanja dan menaburkan hasil jerih payah mereka di kampung halaman mereka itu. Kebiasaan itu sangat menarik sekali. Maka, jika dalam sistem pemerintah di Indonesia menggunakan nama ‘kampung’ dengan sebutan desa, umbul, pekon, kelurahan. Tentu sangat keliru sekali. Sebab dalam kamus masyarakat Indonesia hanya dikenal sebutan ‘kampung’
Tetapi, sejauh ini, sekian puluh tahun berlangsung tradisi mudik (pulang kampung-pulkam), apakah keadaan kampung halaman mereka menjadi lebih bagus, berkembang dengan pembangunan dan tingkat kesejahteraannya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, tidak juga. Yang memetik hasilnya adalah warga masyarakat yang cendrung hidup sebagai kaki tangan kaum kapitalis di kampung halaman. Barang-barang menjadi mahal, segala kebutuhan dinaikkan sepihak. Semua tidak dapat dielakkan oleh warga yang bukan kaum kapitalis.
Kaum pitalis yang sudah merambah ke pelosok desa memang sulit untuk menerapkan sistem perekonomian rakyat di negara ini. Yang lebih tidak jelasnya lagi ternyata perhatian pemerintah terhadap ekono rakyat hanya sebatas pernyataan dan bukan kenyataan. Kalaupun ada, maka wujudkannya akan ditampung oleh kaum kapitalis, seperti kalau terjadi opereasi pasar, pasar murah dan sebagainya untuk beberapa jenis kebutuhan pokok. Yang memborong barang kebutuhan pokok itu adalah orang-orang yang mempunyai uang.
Sejauh itu, bagaimana pola efektif dan pengawasan pemerintah dalam kegiatan seperti itu, sehingga kebutuhan pokok yang dijual murah tersebut, betul-betul sampai dan daat dibeli secara kuantitas oleh warga masyarakat. Bukan diborong oleh kaum kapital. Masih jauh Indonesia akan sejahtera.
Oleh karenanya, dalam kehidupan masyarakat (khususnya) di Indonesia dikenal ada dua istilah. (1) Tanah Kelahiran dan (2) Tanah Kehidupan. Tanah kelahiran itulah kampung halaman yang setiap tahun pada saat lebaran, banyak yang pulang kampung. Kampung menjadi tempat melampiaskan kerinduan, kebahagiaan, kedamaian dan silaturahim sesama keluarga dan kerabat tetangga handai taulan. Sementara, tanah kehidupan adalah daerah di mana mereka merantau, mencari nafkah. Atau tempat mereka urban. Apakah di kota, di daerah terpencil atau di luar negeri. Tetap saja namanya tanah kehidupan.
Kalau mereka yang bekerja di luar negeri menjadi (sebagai) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) oleh penyiar teleisi disebut-sebut sebagai pahlawan devisa. Tentu sesuatu yang membanggakan. Karena meningkatnya pendapatan anggota masyarakat, akibat hasil kerja yang dibawa pulang ke kampung halaman. Walaupun belum diketahui persis, devisa yang dihasilkan para TKI dan TKW itu berapa. Berapa yang masuk kas negara dan berapa yang masuk daftar penghasilan keluarga di kampung halaman.
Kita hanya latah menyebutnya sebagai “pahlawan devisa” tanpa rincian jelas. Sebutan itu, tentunya hanyalah bumbu masak untuk memikat pemirsa atau publik. Dan, bagi pemudik yang sampai ke kampung halamannya, tentu menjadi pahlawan bagi keluarganya atau kampungnya. Selama berada (beberapa hari) di kampung halamannya. Mereka berlanja dan menaburkan hasil jerih payah mereka di kampung halaman mereka itu. Kebiasaan itu sangat menarik sekali. Maka, jika dalam sistem pemerintah di Indonesia menggunakan nama ‘kampung’ dengan sebutan desa, umbul, pekon, kelurahan. Tentu sangat keliru sekali. Sebab dalam kamus masyarakat Indonesia hanya dikenal sebutan ‘kampung’
Tetapi, sejauh ini, sekian puluh tahun berlangsung tradisi mudik (pulang kampung-pulkam), apakah keadaan kampung halaman mereka menjadi lebih bagus, berkembang dengan pembangunan dan tingkat kesejahteraannya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, tidak juga. Yang memetik hasilnya adalah warga masyarakat yang cendrung hidup sebagai kaki tangan kaum kapitalis di kampung halaman. Barang-barang menjadi mahal, segala kebutuhan dinaikkan sepihak. Semua tidak dapat dielakkan oleh warga yang bukan kaum kapitalis.
Kaum pitalis yang sudah merambah ke pelosok desa memang sulit untuk menerapkan sistem perekonomian rakyat di negara ini. Yang lebih tidak jelasnya lagi ternyata perhatian pemerintah terhadap ekono rakyat hanya sebatas pernyataan dan bukan kenyataan. Kalaupun ada, maka wujudkannya akan ditampung oleh kaum kapitalis, seperti kalau terjadi opereasi pasar, pasar murah dan sebagainya untuk beberapa jenis kebutuhan pokok. Yang memborong barang kebutuhan pokok itu adalah orang-orang yang mempunyai uang.
Sejauh itu, bagaimana pola efektif dan pengawasan pemerintah dalam kegiatan seperti itu, sehingga kebutuhan pokok yang dijual murah tersebut, betul-betul sampai dan daat dibeli secara kuantitas oleh warga masyarakat. Bukan diborong oleh kaum kapital. Masih jauh Indonesia akan sejahtera.
Langganan:
Postingan (Atom)