Selasa, 26 Januari 2016
Jambu Di Halaman Rumah
Album Rumah
Label: Tunsadeite
Kotadonok: My Family and Village
Catatan Pinggir Di Sebuah Warung Bubur
Oleh Naim Emel Prahana
SUARA bernada tinggi itu tak begitu keras
terdengar. Lantaran pembicaranya berada di pusat pasar yang penuh dengan
keramaian. Serius tidak serius, tapi ‘serius’. Tidak serius, juga tidak juga!
Orang bilang itu obrolan di warung. Bolehlah. Tapi, ada yang perlu dicatat –
digaris bawahi dari obrolan semacam itu. Isinya konstektual sekali. Masalahnya,
apakah itu mewakili lapisan masyarakat tertentu, atau tidak. Boleh
dikesampingkan dulu.
Sebab, obrolan pasar atau ngobrol di warung kopi adalah
pribadi-pribadi warga masyarakat, terkadang sangat informatif. Untuk banyak hal yang telah, sedang dan akan terjadi.
Juga, ada benarnya obrolan di pasar di era global informasi itu ada kebodohan
atau mungkin serangkaian informasi yang tengah terjadi di tengah masyarakat itu
sendiri.
’Kayaknya begitu’. Apalagi suasana menjelang pemungutan suara pemilukada (pilkada)
serentak tanggal 9 Desember 2015 ini. Sepertinya, semua dikeluarkan. Mulai dari
sendal, sepatu, sarung tangan, kaos-kaos kaki dan tangan. Topi dan tentunya pos
anggaran untuk mengobrol tadi. Persis lahirnya banyak pengamat, motivator,
inisiator atau penyambung lidah ’katanya’.
Itulah fenomena keterbukaan demokrasi dengan tingkat kemajuan melebihi
kecepatan berjalannya kondisi di tengah masyarakat itu sendiri. Pemilihan
kepala daerah disebut-sebut sebagai ’pilkada’ itu adalah bagian dari dinamika
pembangunan karakter manusia. Over acting
atau ada deleting tertentu. Itulah kewajaran bahwa tingkat pendidikan
masyarakat sangat bervariatif.
Ngobrol di warung kopi pada umumnya melewati fase-fase perdebatan
masalah tertentu. Bisa urgen bisa tidak masalahnya. Ketika itu memasuki wilayah
demikian obrolan di warung kopi menjadi debat kusir yang tidak ada
kesimpulannya. Kecuali memunculkan watak individu anggota masyarakat itu
sendiri.
****
Dari situ akan muncul sikap individualisme yang tinggi. Mengarah
kepada pengeritik dan penerima kritikan. Sebagian besar pasti menimbang,
memperhatikan dan memutuskan debat kusir itu tidak perlu dibawa pulang ke rumah
atau ke kantor. Tapi, tradisi lisan sering pula tidak menimbang, tidak
memperhatikan dan tidak memutuskan isi debat itu secara bijak.
Terajilah sikut-sikutan berawal ngobrol di warung kopi. Apalagi
pilkada serntak 9 Desember 2015 memunculkan lebih dari satu pasangan calon
kepala daerah. Debat kusir, juga harus diakomodir sebagai proses demokratisasi
di suatu masyarakat. Proses itu tidak bisa 100% mencapai garis finish. Setidak-tidaknya
menjadi laga penting terhadap respon warga atas proses demokrasi tadi.
Standarisasi konteks obrolan pilkada memang tidak bisa dicapai dari
”obrolan di warung kopi”. Tapi, akan mencapai tujuannya, jika informasi itu
memiliki banyak data riil yang disampaikan secara santun, beretika dan bermoral.
Yang bilang, ”Semua rakyat sudah ngecap
politik di Indonesia itu jelek”
Adagium tersebut tidak benar. Sebab, dalam hal politik yang buruk
selama ini, rakyat tidak menjeneralisir keburukan seorang politikus menjadi
kejahatan politik secara keseluruhan. Banyak kasus politisi terjerat tindak
pidana korupsi, narkoba, arogansi yang dipublikasikan secara luas tersebut.
Rakyat – masyarakat tidak ’lantas’ menyebut semua politisi atau diunia
politik di Indonesia kacau balau, jahat, jelek, atau rusak! Masyarakat hanya mengaitkan
dengan partai si politisi yang terjerat kasus hukum. Tapi, di lain sisi
masyarakat tetap tidak memberikan lebel apa-apa terhadap politisi yang tidak
bersalah.
Artinya, seperti anggota polisi terjerat kasus kejahatan. Maka, secara
otomatis masyarakat menyebutkannya dengan ”kejahatan polisi” – korpnya dikait-kaitkan. Sedang anggota
polisi lainnya, tidak. Tetap mereka hormati. Di situ tergambar jelas bahwa
obrolan di warung kopi tidak ada jaminannya kalau apa yang disampaikan
seseorang itu mewakili rakyat luat.
” Yang jelas mewakili karakternya sendiri!”
*****
Sama halnya, juga masalah apa yang menimpa beberapa da’i – uztad yang
sering populer lewat acaranya di televisi atau beritanya di media cetak,
elektronik dan media sosial. Masyarakat sudah cerdas, memilah, memilih dan
menyimpulkan apa yang didengar, dilihat, ditemui atau dibaca masalahnya.
”Tidak serta merta,” demikian bisa disimpulkan. Sayangnya, kesimpulan
yang baik dan benar itu, pada tahapan realitasnya selalu dibenturkan kepada
individual yang mungkin memiliki karakter (sifat) yang temperamental,
emosional, egois sehingga debat di warung kopi atau warung apa saja sering
menimbulkan konflik komunikasi selanjutnya.
Pada tatanan obrolan masuk lebih dalam ke pemilukada. Salah satu yang
selalu ikut serta dalam pembicaraan adalah money
politic. Masyarakat hanya tahu ’suap’ dan tidak mau mengurus sebab
akibatnya. Dalam pesta demokrasi seperti pilkada, ”uang berpengaruh besar terhadap kecenderungan warga menyanjung pasangan
calon (paslon). Tapi, uang bukan jaminan sebuah kemenangan di pilkada”
Demikianlah profile pemilik suara yang cerdas mengatakan debat kusir
itu. Mereka akan terima dan menerima siapa yang akan memberikannya. Coblosan di
kertas suara memiliki faktor pengaruh yang multifaktor. Apalagi pemilih yang
hanya memberikan suara, tidak terkait dengan komunitas paslon pilkada.
Namun demikian, obrolan di warung kopi, warung apa saja (warung bubur,
red) pasti memiliki nilai tersendiri terhadap apa yang sedang terjadi dan
bagaimana kejadian selanjutnya. Masyarakat di pasar adalah ”masyarakat bebas”.
Mereka bukan pemain, bukan politikus, bukan pengamat. Tetapi mereka setiap saat
masuk ke wilayah pengamat, politikus maupun menjadi pemain yang bisa berperan
dan bisa tidak. ”semua tergantung kepada sesuatu yang sedang terjadi!”
Asumsinya, bisakah masyarakat pada umumnya yang sudah menjadi cerdas
’memilih’ kemudian memilih ’pemimpin’ yang standarnya sudah cerdas juga? Di
situ akan berlaku hukum relativitas.
KKI III Catatan Budaya Teknologi
Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat seni budaya sekarang tinggal di Kota Metro,
Lampung.
MENANDAI pelaksanaan Kongres
Kesenian Indonesia ke III
tahun 2015 yang dihelat di Kota Bandung, Jawa Barat. Patut
kita sambut baik salah satu sambutan itu melihat dari tema Kongres Kesenian Indonesia
(selanjutnya ditulis KKI) III, “Kesenian
dan Negara Dalam Arus Perubahan”. Tema itu demikian berat untuk
mengelaborasi, mengidentifikasi, serta menginventarisasi berbagai persoalan
kesenian yang terkait dengan konteks bernegara.
Menyadari posisi
kesenian sejak lama sampai KKI III di Bandung ini, para seniman dihadapkan
kepada banyak masalah yang telah dan sedang terjadi – khususnya menghadapi
peradaban teknologi. Asumsinya seperti tercantum dalam kerangka UU Kebudayaan
yang sampai sekarang belum jelas pengesahannya.
Bukan hanya masalah
‘penentuan’ peserta yang diundang dan dibayar oleh panitia KKI III.
Dimunculkannya teman Kesenian dan Negara Dalam Arus Perubahan semakin menarik
untuk ditebak, ke mana pemerintah mau mendisposisikan posisi kesenian di era
teknologi global dewasa ini.
Dalam siding-sidang
kongres diusung pula subtema seperti 1. Politik Kesenian Dalam Perspektif
Negara, 2. Kesenian, Negara, dan Tantangan di Tingkat Global, 3. Pendidikan
Seni, Media, dan Kreativitas, serta 3. Seni Dalam Pusaran Kompleksitas
Kekinian. Ini benar-benar tantangan, namun tidak bagi
seniman yang diundang yang jumlahnya mencapai 700 orang, termasuk wartawan atau
yang tidak ‘diundang’ yang jumlahnya sangat banyak.
Kongres Kesenian
terakhir diselenggarakan tahun 1995, masih dicari hasil rumusan kongres yang
sudah ditindaklanjuti. Sayangnya, belum ada. Kesenian di republik ini – kendati
ada Dewan Kesenian di tiap provinsi bahkan sampai kabupaten/kota, masih
dikelompokkan ke tiga wilayah. Pertama, kesenian formal yang dijadikan konten
promosi perdagangan, wisata maupun “pesona Indonesia”.
Sementara itu,
kesenian yang masuk wilayah masyarakat. Nyaris tidak memiliki kekuatan untuk menampilkan
cita rasa berkesenian mereka, akibat benturan dana yang selalu menghantui
kegiatan. Terakhir kesenian dikelompok Dewan Kesenian – yang tidak mampu
merangkum kesenian tradisional (seni, sastra, musik, drama dll). Dewan Kesenian
‘berkesenian’ antar pengurus mereka saja.
Kita jauhi dulu
persoalan di zaman Hindia Belanda atau orde lama maupun orde baru. Kenyataannya
kesenian Indonesia bisa jadi icon perdamaian – hidup berdampingan
di tengah masyarakat. Pada gilirannya dibenturkan kepada berbagai kepentingan
politik dan negara. Yang seharusnya negara dan kesenian hidup saling mengisi
dan membantu. Pada akhirnya terjadi pergulatan like and dislike negara terhadap kesenian itu sendiri.
Maka, lahirnya
kesenian-kesenian format yang mengumpulkan berbagai jenis kesenian tradisonal
yang kemudian dikemas – dimodifikasi tampilannya ‘kreasi’ yang sering
menmghilangkan nilai-nilai kesenian luhur itu sendiri.
Apalagi, sejak
beberapa tahun terakhir ini munculnya penerbit buku seperti terbitnya media
massa cetak. Banyak buku yang diterbitkan terkesan dipaksakan, guna mendongkrak
popularitas seniman, sastrawan dan cerpenisnya. Termasuk buku teater, musik,
film – sinetron terbit bak jamur dimusim penghujan. Sayangnya kritikus sastra
saat ini sudah menjadi sosok yang langkah.
Semua karya di-like-kan seperti di media jejaring
sosial. Like, delet atau blokir. Tidak
ada saran, kritik dan sumbangan pemikiran atas karya yang diterbitkan tersebut.
Di era teknoplogi global (bukan global) semuanya dikelompok-kelompokkan, termasuk
berkesenian. Kritikus yang rajin, objektif biasanya ditinggalkan di halte-halte
kesenian. Dianggap sebagai penghambat. Penobatan atau pendongkrakan populeritas
pegiat kesenian dewasa ini dianggap sangat penting. “Tidak penting karya saya diterbitkan oleh penerbit berkualitas, yang
penting punya uang hubungi penerbit lokal atau diterbitkan sendiri. Beres!”
Boleh jadi,
fenomena seperti itu adalah kemunduran kesenian di republik ini. Sebagai contoh
banyaknya karya-karya kesenian Indonesia diakui sebagai karya bangsa negara
lain sebagaimana yang sering diperlihatkan oleh Malaysia dan Singapura. Karena
nilai kesenian (seni) yang menjadi karya tidak lagi mementingkan kualitas. Para
senimannya sendiri jika diundang ke negeri jiran itu semakin bangga. Padahal, mereka
mengerti betul kalau negeri jiran itu telah mencaplok karya kesenian Indonesia.
Semua itu bukan
karena kesenian dan negara adalah satu, akan tetapi berkesenian oleh senimannya
karena popularitas belaka. Urusan klaim mengklaim karya seni milik negara mana,
tidak lagi penting. Di sana Nasionalisme di tubuh segelintir seniman semakin
merosot.
Apa yang harus
dibicarakan jika tema “Kesenian dan negara dalam arus perubahan?” di KKI III
Bandung 2015 yang akan dibuka secara resmi tanggal 1 Desember 2015 oleh Mendikbud
RI. Kita berharap, para seniman yang diundang dengan anggaran dari panitia dan
peserta sebagai peninjau mampu memberikan sumbangsaran yang positif melihat
posisi kesenian dan negara pada saat sekarang.
Jika pembicara
utama dalam KKI III 2015 Direktur Kesenian, Endang Caturwati dalam pemaparannya
bercerita tentang latar belakang KKI III, sebaiknya dipersingkat saja melalui
selebaran. Banyak yang lebih penting untuk dikedepankan. Satu hal lagi yang
menarik, dari 700 peserta yang diundang dan dibiayai transportasi, akomodasi
dan lainnya selama mengikuti KKI III. Ada peserta mewakili wartawan, jumlahnya
memang tidak banyak. Posisi wartawan sebagai ‘peserta’ di KKI III rasanya
menggelikan, lucu dan nyeleneh!
Akhirnya, perlu
saya ungkapkan bahwa masalah kesenian adalah masalah data base karya-karya seni
masyarakat Indonesia. Di dalamnya ada pengakuan resmi yang dipatenkan oleh
negara melalui pemerintah. Tujuannya, agar karya-karya seni bangsa Indonesia
tidak begitu mudah diakui oleh bangsa lain.
Di samping itu,
sarana dan prasarana berkesenian di setiap daerah perlu mendapat perhatian
khusus pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,
agar masyarakat dapat berkesenian dengan maksimal dan tidak dimonopoli oleh
Dewan Kesenian yang notabene selalu mewakili individu pengurusnya saja.
Faktor Kalah dan Menang Kontestan Pilkada
Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat seni budaya
Adagium lama, “kegagaan adalah kemenangan yang tertunda!” Mungkin
tidak cocok dengan peristiwa pemilihan kepala daerah (pilkada), apalagi pilkada
serentak 2015 yang baru saja lewat di depan rumah rakyat. Kekalahan pada
pilkada sekarang ini, benar-benar kekalahan yang ‘kalah’ dari semua sisi.
Kekalahan pasangan calon (paslon) kepala daerah tersebut bukanlah suatu
kegagalan, melainkan kekalahan nyata.
Jika dikatakan pilkada itu punya cost mahal, benar sekali! Kendati,
pada pilkada serentak 2015 banyak biaya yang biasanya dikeluarkan paslon
menjadi berkurang, karena biaya-biaya utama ditanggung oleh pemerintah melalui
KPU. Namun demikian, biaya pilkada setiap paslon jelas sangat tinggi. Sebab,
aturan yang membatasi anggaran kampanye, pembuatan APK, transportasi,
sosialisasi dan kampanye terbuka itu.
Bias disiati oleh paslon dan tim suksesnya. Itulah biaya pilkada yang
tetap mahal. Apalagi paslonnya mengalami kekalahan. Jika ditinjau dari
kekalahan paslon dalam pilkada yang baru saja berlalu. Banyak hal yang selama
ini tidak terpikirkan oleh paslon.
Kekalahan pertama; kalah banyak meraih suara dari paslon
lain. Berarti gagal mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Faktor
penyebabnya banyak sekali. Diantaranya karena rakyat sudah semakin cerdas
memilah dan memilih calon pemimpin mereka untuk waktu yang panjang – lima
tahun!
Track record seorang calon selalu terekam dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari dan akan muncul pada saat pilkada. Track
record itu, bisa saja si calon pernah jadi pejabat daerah atau pengusaha yang
butuh masyarakat ketika ada maunya. Setelah tercapai masyarakat dibuang seperti
sampah. Kekecewaan model itu sangat mempengaruhi perolehan suara pada pilkada
oleh seseorang calon. Berarti, kekalahan itu ada pada diri si calin itu
sendiri. Dan, itu kekalahan yang sangat dahsyat. Apalagi jika dikaitkan dengan
biaya yang sudah dikeluarkan.
Kekalahan kedua; kemenangan calon kepala daerah pada
pilkada sebenarnya mudah sekali diprediksi. Di samping track recordnya, juga
masalah popularitas. Apakah popularitas seseorang itu didongkrak atau didapat
dari kecintaan masyarakat terhadap apa-apa yang dikerjakannya selalu dekat
dengan rakyat. Rakyat akhirnya sangat mengenal sosok si calon. Lain halnya
dengan popularitas dongkrakan.
Kemenangan atau kekalahan di pilkada merangkum semua faktor penyebab yang
ada pada diri si calon. Intern maupun ekstern. Memang, kekalan di pilkada
sangat menyakitkan bagi paslon yang tidak siap yang hanya punya ambisi
berlebihan. Tidak bagi paslon yang benar-benar siap. Artinya, pencalonan
dirinya betul-betul sebagai wujud pemegang amanah rakyat.
Kampanye-kampanye berisi kebohongan sebaiknya tidak dilakukan paslon,
jika ingin bertarung secara fair. Sebab, indikasi rakyat sudah semakin cerdas
akan melibas kebohongan itu dengan tidak memberikan dukungan kepada paslon yang
suka hoak!
Hal itu sudah banyak terbukti. Terutama di pilkada serentak 2015 yang
baru usai melakukan pemungutan suara.
Bberapa incumben harus takluk dengan pendatang baru yang dinilai
masyarakat akan memberikan udara segar bagi pembangunan di daerahnya. Sementara
incumben yang selalu mengumbar tentang keberhasilannya, dinastinya atau semacam
itu ditinggalkan pemilih. Karena faktor pertama tentang track record di atas
tadi.
Kekalahan ketiga; kompetisi di pilkada butuh taktik,
strategi dan manajemen yang terukur, terarah dan terdata. Bukan manajemen
‘katanya’ tim sukses. Karena ketika strategi, taktik atau manajemen kurang
bagus. Banyak pihak yang akan menggoreng paslon (mungkin termasuk tim suksesnya
sendiri) dan para penjudi.
Paslon seperti pada pilkada serentak 2015 tidak dapat mengandalkan
rencana dalam bentuk spekulasi tinggi, antara lain mengandalkan serangan fajar
untuk meraih suara banyak dari pemilih. Sebab, teori spekulasi itu tidak cukup
punya dana besar, tetapi ia harus punya orang-orang yang genius, trampil dan
profesional. Jika tidak, dipastikan paslonnya akan digoreng habis-habisan.
Terutama paslon yang berasal dari jalur perorangan (independen).
Benar-benar harus punya database real tentang dukungannya. Banyak percakapan
real di tengah masyarakat menjelang hari pemungutan suara yang tidak tertangkap
oleh paslon maupun tim suksesnya. Padahal, suara-suara langsung itu adalah
nyata.
Penulis punya cerita sendiri. Beberapa tahun silam menjelang pemilihan
gubernur Lampung (Pilgub) yang salah satu calonnya adal Sjachroedin ZP,
kemudian ada Alzier Dianis Thabrani, Zulkifli Anwar, Andy Achmad SJ dll.
Penulis melakukan perjalanan dari Bengkulu ke Lampung melalui Baturaja – Martapura
– Waykanan, Bukitt Kemuning.
Sepanjang jalan di daerah Way Kanan saya bersama teman tidak melihat
satupun baleho, spanduk atau banner paslon gubernur. Kecuali gambar
Sjachroedin. Sesampai di Bukit Kemuning penulis bilang sama teman. “Jelas,
Sjachroeddin ZP bakal menang!”. Usai pilgub, ternyata benar. Mungkin juga apa
yang penulis katakan itu hanya faktor kebetulan. Tapi, tidak. Penulis melihat
banyak msisi lainnya.
Pada saat pilgub Lampung yang salah satu calonnya ada Ridho Ficardo,
penulis waktu itu melakukan perjalanan dengan seorang kawan lainnya dari
Bengkulu ke Lampung melalui Pesisir Barat dan Lampung Barat. Sejak perbatasan
dari Kabupaten Kaur (Bengkulu) dengan Pesisir Barat – sepanjang jalan, di
kampung-kampung dan hutan tanpa penghuni (rumah penduduk). Penulis melihat
hanya gambar Ridho Ficardo yang ada bahkan di dalam hutanpun gambarnya ditempel
di kayu-kayu besar.
Penulis bilang sama kawan, “Waduh, nggak lawan. Ridho Ficardo pasti
menang!” Sekali lagi ucapan penulis itu pada akhirnya bener. Pada pilkada
serentak kemarin berulang kali penulis bilang, paslon di Lampung Selatan, Rycho
Menoza, paslon Pesawaran Aries Sandy sudah kehilangan massa, karena selama
kepemipinan keduanya terjadi banyak hal yang dinilai masyarakat tidak pantas
dan tidak patut dilakukan. Ternyata, hasilnya memang benar, Zainuddin dan Dandi
Ramodana berhasil menaklukkan kedua incumben tersebut.
Jadi, mengikuti pilkada memang harus siap segala-galanya, termasuk
dana – walau sejak pilkada serentak dana kampanye sebagian besar ditanggung
pemerintah cq KPU. Tapi, dana-dana lain sebagai bensin kegiatan paslon harus
siap sedia sejak awal dan manajemen yang teratur dan terarah.
Dan, perlu diingat, bahwa pesta demokrasi seperti pilkada, pemilu,
pilpres, pilgub atau pemilihan lain selalu saja dibayang-bayangi para penjudi
yang karena perjudiannya, sering mengalihkan perhatian pemilih dalam
pilihannya. Dengan begitu, maka kalah dan menang dalam pilkada tidak lepas dari
persoalan nilai seorang kompetitor (kontestan).
Minggu, 18 Oktober 2015
7 Golongan Orang-orang Yang Didoakan Malaikat Ketika Mereka Hidup
Dalam
Islam, ketika seseorang menjadi sangat taat maka mereka akan didoakan oleh para
Malaikat, dan inilah orang-orang yang didoakan Malaikat karena ketaatan mereka
dalam masalah agama dan tauhid. Ternyata, banyak alasan mengapa orang bisa didoakan
oleh malaikat dan kali ini akan kita bahas 7 alasan mengapa seorang manusia
hidupnya akan dipenuhi oleh doa-doa yang berasal dari malaikat.
Adapun
orang-orang yang didoakan malaikat ketika mereka masih hidup adalah orang-orang
berikut ini:
- Mereka yang tidur dalam keadaan setelah berwudhu atau bersuci.
Hal ini dirawayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dari
Abdullah bin Umar, dimana dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW berkata tentang
mereka yang tidur dalam keadaan suci (setelah berwudhu) maka ia akan ditemani
oleh malaikat di dalam pakaiannya. Orang tersebut juga baru akan terbangun
ketika malaikat berdoa kepada Allah untuk mengampuninya. Hadist ini dinilai
shahih.
- Orang yang menunggu shalat sambil duduk.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang
mengatakan bahwa seseorang yang duduk saat menunggu shalat termasuk dalam
golongan yang didoakan oleh malaikat. Ketika orang tersebut duduk, para
malaikat akan ikut duduk sambil berdoa untuk pengampunannya.
- Orang-orang yang shalat di shaf depan juga akan mendapatkan doa dari
malaikat.
Dimana ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Imam Abu Dawud dari Barra’ bin ‘Azib. Rasulullah berkata bahwa Allah beserta para malaikat akan dengan senang hati bershalawat untuk mereka yang berdiri di barisan paling depan saat shalat berjamaah.
Dimana ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Imam Abu Dawud dari Barra’ bin ‘Azib. Rasulullah berkata bahwa Allah beserta para malaikat akan dengan senang hati bershalawat untuk mereka yang berdiri di barisan paling depan saat shalat berjamaah.
- Malaikat akan ikut berkata “amin” saat seorang imam shalat selesai membaca surat Al Fatihah.
Hal ini lah kenapa kita dianjurkan untuk mengucap
amin karena bertepatan dengan doa malaikat untuk menghapuskan dosa masa lalu
kita.
- Mereka yang menunaikan shalat shubuh dan ‘ashar mereka di Masjid dan secara berjamaah.
Penyebab hal ini adalah karena malaikat akan
berkumpul saat shalat shubuh. Doa malaikat untuk golongan ini adalah agar Allah
mengampuni mereka saat hari kiamat tiba.
- Seorang manusia yang berusaha menjenguk orang lain ketika sakit akan mendapatkan keuntungan doa dari malaikat.
Rasulullah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dari Ali bin Abu Thalib bahwa Allah akan mengutus 70.000 malaikat
yang akan bershalawat sepanjang siang dan malam hingga shubuh tiba bagi mereka
yang melakukan hal tersebut.
- Golongan lain yang mendapatkan keistimewaan didoakan oleh malaikat adalah mereka yang mengajarkan kebaikan pada orang lain.
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah bahwa ketika ada
orang yang mengajarkan kebaikan maka tidak hanya malaikat bahkan seluruh isi
langit dan bumi akan bershalawat demi orang tersebut.
Sebenarnya masih banyak daftar orang-orang yang
mendapatkan keistimewaan luar biasa untuk dapat didoakan langsung oleh
makhluk-makhluk yang paling dekat dengan Allah SWT, tapi karena keterbatasan
tempat, maka hanya orang-orang dalam daftar kecil inilah orang-orang yang
didoakan malaikat.
5 Kesalahan Istri Saat Berhubungan
Jima’
adalah amalan khusus suami istri yang memiliki banyak manfaat; sudah nikmat,
berpahala pula. Namun, ternyata tidak semua pasangan suami istri mampu
memanfaatkan jima’ dengan baik akibat tercampur dengan kesalahan baik disengaja
atau tidak.
Kesalahan
itu bisa datang dari istri dan bisa datang dari suami. Berikut ini lima kesalahan istri saat
berhubungan.
1. Menganggap hanya sebagai kewajiban
Muslimah
yang baik tentu tahu bahwa kapan pun suami minta, ia perlu siap. Ia pun sadar
bahwa hubungan itu merupakan kewajiban sekaligus hak pasangan suami istri.
Namun kadang ada istri yang menganggap bahwa berhubungan hanyalah sebuah
kewajiban. Akibatnya ia tidak bisa menikmatinya dengan sempurna dan yang
penting hajat suaminya tersalurkan.
2. Penampilan lusuh
Ada pula istri yang tampil apa adanya saat akan
berhubungan. Bahkan cenderung terkesan lusuh. Ia memakai baju yang telah lama,
padahal sebenarnya ia punya baju bagus dan membuat suaminya lebih tertarik.
Hal
tersebut dapat membuat suami menjadi kurang ‘selera’. Bahayanya, jika hal itu
bisa merenggangkan cinta antara keduanya. Suami bisa terdorong untuk
membandingkan mengapa istrinya ketika keluar rumah tampil cantik, eh waktu
diajak bercinta malah tampil kumal.
Cobalah
perbaiki penampilan saat akan bersama suami tercinta. Pakailah pakaian yang
indah, kalau perlu pakailah lingerie seksi dan perhatikan perubahan pada diri
suami.
3.
Tak memperhatikan bau
Selain
baju, kesalahan lain yang kadang dilakukan seorang istri adalah tidak
memperhatikan bau. Bisa jadi bau ini dari pakaiannya yang tadi. Atau mungkin
bau keringat, minyak kayu putih, dan lainnya. Bau mulut juga bisa mengganggu.
Karena itu sebelum melakukan bersama suami, tubuh sudah bersih, gosok gigi, kalau perlu pakailah parfum yang disukai suami.
Karena itu sebelum melakukan bersama suami, tubuh sudah bersih, gosok gigi, kalau perlu pakailah parfum yang disukai suami.
4. Pasif
Jika
baju dan bau merupakan kesalahan sejak persiapan, pasif ini kesalahan saat
melakukan. Ada
kalanya seorang istri menganggap dirinya hanya obyek sehingga ia pasif saja.
Padahal hampir semua suami suka jika istrinya juga aktif saat bercinta.
Istri yang diam, kurang gerak dan tanpa suara saat jima’ selain mengurangi kualitas yang dirasakan suami juga sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri. Menurut survei, wanita yang berhubungan namun tidak berhasil ke puncak mencapai 80 persen angkanya. Jika tidak mau seperti itu, salah satu kiatnya adalah aktiflah. Ekspresikan segala hasrat dan raihlah pahala bersama puncak kenikmatannya.
Istri yang diam, kurang gerak dan tanpa suara saat jima’ selain mengurangi kualitas yang dirasakan suami juga sebenarnya kembali kepada dirinya sendiri. Menurut survei, wanita yang berhubungan namun tidak berhasil ke puncak mencapai 80 persen angkanya. Jika tidak mau seperti itu, salah satu kiatnya adalah aktiflah. Ekspresikan segala hasrat dan raihlah pahala bersama puncak kenikmatannya.
5. Minim komunikasi
Komunikasi
ini bisa terjadi sebelum, di saat dan setelah melakukannya. Sering kali seorang
istri menginginkan begini dan begitu, tetapi tidak disampaikan kepada suaminya.
Hanya dipendamnya dan hampir tidak pernah terlaksana. Seharusnya hal itu bisa disampaikan
sebelum melakukannya.
Adapun
komunikasi setelah melakukannya bisa berisi pujian, ucapan terima kasih, bahkan
‘evaluasi’ untuk perbaikan berikutnya.
5 Pertanyaan untuk Para Istri
Tak
ada wanita yang paling bahagia di dunia ini melainkan kalau ia begitu dicintai
suami dan dapat membahagiakan suami.
Apalagi
bagi seorang muslimah pernikahan bukan sekedar pelabuhan cinta tapi jembatan
menuju jannah Allah SWT.
Pernikahan
adalah pusat investasi amal soleh bagi wanita yang segala keuntungannya akan
dipetik di dunia dan yang paling utama adalah di akhirat.
Maka
wanita yang paling bahagia dan paling sukses adalah mereka yang dimuliakan
Allah SWT. akhirat kelak.
Semoga
para istri tidak lupa, Andalah kelak yang akan menjadi wanita terbaik dan
tercantik di dalam jannah Allah Ta’ala mengalahkan kecantikan dan keelokan para
bidadari di surga.
Imam
ath-Thabraniy meriwayatkan bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Ya Rasulallah, apakah perempuan dunia yang lebih afdhal ataukah bidadari
surga?”
Beliau saw. menjawab, “Perempuan dunia lebih afdhal dari bidadari surga seperti keutamaan pakaian luar dari pakaian dalam.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Dengan apa itu?”
Beliau saw. menjawab, “Perempuan dunia lebih afdhal dari bidadari surga seperti keutamaan pakaian luar dari pakaian dalam.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Dengan apa itu?”
“Dengan
shalat, puasa, dan ibadah mereka kepada Allah SWT. Allah SWT. menghiasi wajah
mereka dengan cahaya, pakaian yang paling baik, perhiasan emas, tempat mereka
(dihiasi) mutiara, sisir mereka emas. Mereka berdendang dengan suara lantang
yang belum pernah didengar oleh mahluk. Mereka berkata, ‘ingatlah kami adalah
kekal dan kami tidak mati, ingatlah kami mendapat penuh kenikmatan sehingga
kami tidak pernah bersedih selamanya, ingatlah kami tidak pernah bersedih
selamanya, ingatlah kami orang yang mukim sehingga tidak pernah berpindah
selamanya, ingatlah kami senantiasa ridha sehingga kami tidak marah selamanya.
Alangkah bahagianya orang yang kami dulu menjadi miliknya (istrinya) dan dia
adalah milik (suami) kami’.”
Cobalah mengukur diri Anda sendiri para istri dengan beberapa pertanyaan berikut, lalu lihat hasilnya apakah Anda sudah menjadi istri idaman hati suami, dan semoga Allah memudahkan perjalanan Anda ke surga.
Cobalah mengukur diri Anda sendiri para istri dengan beberapa pertanyaan berikut, lalu lihat hasilnya apakah Anda sudah menjadi istri idaman hati suami, dan semoga Allah memudahkan perjalanan Anda ke surga.
1.
Apakah Anda bisa
untuk selalu rendah hati di hadapan suami walaupun mungkin level status sosial
dan pendidikan juga pekerjaannya berada di bawah Anda? Ingatlah Nabi saw.
bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ.
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka” [HR Abu Dawud, 2142. At-Tirmidzi, 1192; dan Ibnu Majah 1925.]
2. Bisakah Anda untuk selalu
berterima kasih kepada suami Anda atas kebaikan yang ia berikan untuk keluarga
meski itu mungkin remeh di hadapan orang lain dan Anda sendiri? Ingatlah Nabi
saw. bersabda:
يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِىَ لاَ تَسْتَغْنِى عَنْهُ
“Allah tidak memandang kepada perempuan yang tidak
berterima kasih kepada suaminya dan dia tidak berupaya mengerjakan sendiri
tanpa merepotkan suaminya.” (HR.
Bayhaqiy)
3. Apakah Anda selalu berusaha untuk
membuatnya ridlo, senang dan bahagia meski mungkin terkadang ada ketidakcocokan
di antara Anda berdua? Ingatlah Nabi saw. bersabda:
“Maukah aku beritahukan tentang perempuan kalian di surga?” Kami berkata, “Benar ya Rasulallah!” Beliau bersabda, “Setiap perempuan yang subur, penyayang, jika ia dibuat marah atau diperlakukan buruk atau suaminya marah, ia berkata, ‘ini kedua tanganku di tanganmu, aku tidak akan bisa memejamkan mata hingga engkau ridho’.” (HR. Ath-Thabrani)
“Maukah aku beritahukan tentang perempuan kalian di surga?” Kami berkata, “Benar ya Rasulallah!” Beliau bersabda, “Setiap perempuan yang subur, penyayang, jika ia dibuat marah atau diperlakukan buruk atau suaminya marah, ia berkata, ‘ini kedua tanganku di tanganmu, aku tidak akan bisa memejamkan mata hingga engkau ridho’.” (HR. Ath-Thabrani)
4. Bisakah Anda mendahulukan hak
suami dibandingkan hak Anda sendiri, karir Anda, dakwah Anda bahkan mungkin
orang tua Anda? Karena memang pernikahan menjadikan seorang suami wajib untuk
ditaati oleh para istri. Nabi saw. bersabda, “Seorang perempuan tidak bisa
menunaikan hak-hak Allah SWT. hingga ia menunaikan hak-hak suaminya
seluruhnya.” (HR. Ath-Thabrani)
5. Bisakah Anda menjaga kehormatan
diri ketika sedang tidak bersama suami? Tidak bersenda gurau dengan lelaki lain
dan membiarkan diri Anda dirayu olehnya? Ingatlah Nabi saw. bersabda tentang
ciri perempuan salehah adalah, "kalau kamu tinggal pergi ia amanah
serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu …" (HR
Hakim)
Mungkin ini sedikit bahan pertanyaan bagi para muslimah, khususnya para istri, demi memperbaiki kualitas rumah tangga Anda dan meningkatkan level ketaatan Anda di hadapan suami dan pastinya Allah SWT.
Mungkin ini sedikit bahan pertanyaan bagi para muslimah, khususnya para istri, demi memperbaiki kualitas rumah tangga Anda dan meningkatkan level ketaatan Anda di hadapan suami dan pastinya Allah SWT.
Semoga Allah memberkahi rumah tangga kaum muslimin yang taat kepadaNya.
Sumber : http://www.iwanjanuar.com/5-pertanyaan-untuk-para-istri.
www.facebook.com/720805134635266
Sabtu, 11 April 2015
Elvis Ilyas: Bubar FKTI
Pertemuan Inkai Kota Metro
Metro - Pertemuan keluraga Besar Intitute Karate-Do Indonesia (Inkai) beserta
anggota Majelis Sabuk Hitam (MSH) di Rumah Makan Metro Raya, boleh jadi sebagai
pengembalian alur sejarah olahraga bela diri karate di Metro dan sekitarnya.
Pertemuan tersebut tidak terlepas dari momentum 40 tahun berdirinya Inkai
di Indonesia yang perayaan akbarnya sudah dilakukan di Jakarta (15-17/4-2011)
lalu dan di tingkat Provinsi Lampung dilaksanakan di Pasir Putih, Minggu (24/4)
lalu.
Kenapa momentum pertemuan Inkai di Metro dikatakan bersejarah? Karena,
Selasa (25/4) kemarin merupakan puncak perjalanan Federasi Karate-Do
Tradisionil Indonesia (FKTI) setelah ke luar dari Institute Karate-Do Indonesia
(Inkai) beberapa tahun silam.
Perpisahan karateka Inkai beserta para MSHnya, terjadi di RM Metro Raya
beberapa tahun silam, dan mereka menyatakan ke luar dari Inkai, kemudian
bergabung dengan FKTI.
Saat itu, tokoh karate Lampung seperti Gunawan, Elvis Ilyas, Imron (alhm),
Ramli, Herman dan kawan-kawannya mengibarkan bendera FKTI. Sementara Inkai
terus melanjutkan program kerjanya.
Kini, setelah berpetualang di FKTI, sejak 11 April 2011, mereka yang
menjadi tokoh FKTI Pusat menyatakan muncur dari FKTI dan membubarkan FKTI di
Lampung.
”Saya katakan sejak 11 April 2011 lalu, setelah menghadap Dewan Guru Inkai
di Jakarta, kami menyatakan kembalki lagi ke Inkai. Karena dasar kami adalah Inkai,” kata karateka Dan
IV, H Elvis Ilyas.
Sementara itu, sekretaris umum Inkai Pengurus Kota (Pengkot) Metro, Naim
Emel Prahana SH dalam sambutannya mengatakan, kebersamaan, kearifan,
komunikasi, dan koordinasi akan menjadi perhatian Inkai ke depan, setelah
bergabung kembalinya karateka dari FKTI.
”Masalah prestasi, harus didukung oleh semua unsur, yang pelaksanaannya secara
tehnis ada di tangan MSH, namun prestasi tidak bisa dicapai, jika tidak ada
kebersamaan,” jelas Bang Naim—panggilan akrab sekretaris Inkai Kota Metro ini.
Masalah kekurangan, kelemahan pasti ada selama ini, akan tetapi, marilah
kita sama-sama menutupi kekurangan tersebut dan kelebihannya, mari kita
konttribusikan ke Inkai prestasi, tambah Bang Naim.
Dalam pertemuan kemarin di R Metro Raya, kebanyakan hadir adalah anggota
MSH dari kedua belah pihak yang sudah menyatakan bersatu kembali.
Sedangkan Sekjen JKE Internasional perwakilan Indonesia, Gunawan (DAN V)
dalam sambutannya lebih banyak menyinggung masalah rutinitas latihan dan TC,
ada tidak adanya kejuaraan, TC tetap harus jalan, kata Gunawan.
Hadir dalam acara tersebut kemarin, beberapa anggota MSH yang tidak asing
lagi, seperti Rastoto, Khie Siong, Purwadi, Mujiran, Giri Rianto, Yoseph
Nenotaek, Elvis Ilyas, Gunawan, Herman, Dedy Widjaya, Eko Permadi dan lainnya.
Inkai Metroi bertekad untuk meningkatkan prestasi yang dicapai selama ini.
(RD-10)
Senin, 15 Desember 2014
Perbudakan Teknologi
Oleh Naim Emel
Prahana*
KENYATAAN kekuasaan
bengsa-bangsa di dunia akan menyimpulkan kalau zaman Globalisasi akan
memporak-porandakan keutuhan suatu tatanan adat kebiasaan suatu masyarakat
(bangsa), menjadi terkonflik di semua aspek kehidupannya. Salah satu negara
adijaya (adikuasa), Uni Soviet merasakan bagaimana reformasi yang bertujuan
untuk restrukturisasi aspek-aspek kehidupan, termasuk aspek informasi.
Menjadikan negara Komunis itu terpecah belah menjadi beberapa negara.
Jauh sebelum
diluncurkannya paham Globalisasi, di Uni Soviet sejak tahun 1850 sudah
digulirkan restrukturisasi yang mereka sebut dengan Prestroika
(restrukturisasi bidang politik dan ekonomi). Dan kemudian Uni Soviet di tahun
1986 meluncurkan program pemerintahannya dengan Glasnot-nya (membangun keterbukaan di semua bidang di dalam
institusi pemerintahan, termasuk bidang informasi. Program itu diluncurkan oleh
Presiden Mikhail Gorbachev.
An economic
policy adopted in the former Soviet Union;
intended to increase automation and labor efficiency but it led eventually to
the end of central planning in the Russian economy. Pembaharuan di semua bidang
di Uni Soviet itu bukan tidak memunculkan masalah baru. Program itu disambut
hangat masyarakatnya, akan tetapi kaum orthodoks mengecamnya. Alhasil, Uni Soviet pun terpecah belah menjadi beberapa negara merdeka
dan negara induknya Uni Soviet berubah nama menjadi Rusia.
Globalisasi-isme
Globalisasi (bahasa) tidak lain berasal dari kata ‘Global’ adalah
mendunia dan ‘sasi’ suatu Proses.
Jadilah Globalisasi menurut menjadi "Proses sesuatu yang mendunia". Beberapa pendapat yang penulis kutip
sangat perlu diketahui misalnya pendapat Thomas L Friedman yang mengatakan “Globalisasi
memiliki dimensi idiologi dan tekhnologi. Di mana, dimensi ideologi berupa kapitalisme
dan pasar bebas, sedangkan dimensi tekhnologi adalah tekhnologi informasi yang
telah menyatukan dunia”.
Sementara itu Malcom Waters menyimpulkan “Globalisasi sebagai sebuah proses sosial yang
berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang
penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang”. Padahal, Emanuel Ritcher mengatakan “Globalisasi
adalah jaringan kerja global secara bersamaan menyatukan masyarakat yang
sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi ke dalam saling ketergantungan dan
persatuan dunia”
Ketika terjadi reformasi di Indonesia
1997, Ahmad Suparman mengatakan, Globalisasi adalah sebuah proses menjadikan
sesuatu benda atau perilaku sebagai ciri dan setiap individu di dunia ini tampa dibatasi oleh
wilayah. Pendapat Ahmad Suparman itu hampir mirip dengan apa yang diungkapkan
oleh Martin Albrown bahwa Globalisasi menyangkut seluruh proses di mana
penduduk dunia terhubung ke dalam komunitas dunia tunggal, komunitas global.
Saat ini banyak pihak sepakat kalau kesimpulan tentang Globalisasi itu
adalah " Sebuah proses dimana antar individu / kelompok menghasilkan
suatu pengaruh terhadap dunia "
Penjajahan dan Teknologi
Dampak Prestroika—Glasnot dan kemudian dikemas oleh dunia modern sebagai
era Globalisasi pada hakekatnya adalah penguasaan dunia melalui management
kapitalisme dan liberalisme, guna menyatukan bangsa-bangsa di dunia ini dengan
tanpa batas. Persoalannya adalah bagi negara-negara berkembang dan miskin akan
menjadi korban era globalisasi.
Artinya, globalisasi memaksa suatu masyarakat di negara lain untuk
menggunakan produk-produk suatu negara, baik itu melalui perdagangan bilateral
maupun ultilateral atau melalui perdagangan bebaa. Ketika suatu negara berupaya
menghadang perdagangan bebas tersebut, maka banyak negara merasa dirugikan,
segera melakukan protes.
Di zaman Departemen Penerangan—waktu itu dipimpin Harmoko, pernah
melakukan penyetopan film-film impor dari Amerika Serikat dan sekutunya. Namun,
imbalan yang diterima, Amerika Serika (AS) melakukan boikot untuk beberapa
komoditas Indonesia
yang biasa di ekspor ke negara tersebut dan negara lain. AS, juga mulai
melakukan upaya propaganda terhadap Indonesia di forum internasional.
Sebagai catatan bahwa Globalisasi itu berproses mulai dari diri sendiri,
keluarga, masyarakat (diantaranya RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota, Kabupaten, Provinsi),
Pulau, Negara, dan Antar negara sehingga mendunia. Disebutkan alasan perlunya
globalisasi didukung, karena (antara lain) berkembangnya cara berpikir dan
semakin majunya pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, penemuan
sarana komunikasi yang semakin canggih, perkembangan HAM dan adanya informasi -
informasi baru.
Tentunya, tidak semua aspek perkembangan kehidupan manusia dan
masyarakatnya berdampak positif. Banyak diantaranya berdampak negatif ekstrim. Beberapa
dampak itu, selain dampak politik dan monopoli adalah penggunaan produk
teknologi di bidang informasi yang salah kaprah.
Kemudian dampaknya, globalisasi tidak bisa di hindari karena hidup itu
terus berkembang tidak mungkin diam saja, dan pasti menghasilkan suatu pengaruh
/ perubahan. Mau tidak mau globalisasi pun akan terus berkembang mengikuti
zaman tersebut. Sebab, globalisasi memiliki dampak positif maupun dampak
negatif yang sama-sama kuatnya. Masyarakat
yang konsumtif, segala informasi tidak tersaring untuk informasi baik maupun
informasi buruk, pemborosan dan perilaku yang menyimpang dari adat ketimuran, condong
pada budaya barat sehingga budaya pribadi sering ditinggalkan, sikap
individualis dan menutup diri sering terjadi pada individu yang mengikuti arus
globalisasi secara terus-menerus
Manusia (khusus di
Indonesia) menjadi budak teknologi dari salah kaprah penggunaan handphone,
televisi (acara-acara televisi), kendaraan, senjata api, foto digital dan
sebagainya. Dari kesalah-pahaman penggunaan teknologinya itu muncullah berbagai
kejahatan-kejahatan umum dan kejahatan khusus. Dari detail kejadian-kejadian
akibat slah memahami menggunakan handphone semakin banyaknya kasus kawin cerai
seperti membeli barang di pasar. Menggunakan kecanggihan teknologi recording
pada handphone dan camera melahirkan banyaknya video-video tidak senonoh dan
sebagainya. Dampak itu secara terang-terangan menatang aturan hukum yang diberlakukan
di setiap negara, akan menjadi kronis jika aparat penegak hukumnya pun ikut
terlibat enjadi bagian-bagian dari proses lahirnya kejahatan menggunakan
teknologi canggih saat ini. Seperti Indonesia saat ini mengalami perbudakan
teknologi dan materi yang sudah over dosis.
*) penulis peminat masalah social dan budaya, penulis
tesis Pengaruh Film Terhadap Kriminalitas” tahun 1986.
Langganan:
Postingan (Atom)