Sabtu, 20 September 2008

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum

Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya.

Keempat, kebebasan pers yang mengacu kepada UU No 40/1999 tidak disertai peningkatan kualitas sebagian besar penerbitan pers di tanah air. Terbitnya surat-surat kabar mingguan di daerah atau di Jakarta kebanyakan tidak mempedulikan rambu-rambu pers yang ada. Dan, sebuah mingguan diterbitkan tanpa tiang pancang yang kokoh. Wajar, apabila beberapa kali terbit, langsung nyungsep (tenggelam, red) ke dasar sungai.
Fenomena dunia pers Indonesia saat ini memang menjadi perhatian hampir semua pihak dan insan pers beserta perangkat organisasinya pada akhirnya, banyak yang tidak berdaya menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi pada pers. Baik masalah internal maupun menghadapi masalah eksternal. Persoalan (masalah) internal dapat dikelompokkan lagi ke beberapa faktor.
Pembentuakan—pemekaran organisasi wartawan hingga ke tingkat kabupaten/kota, nyatanya tidak membawa angin segar terhadap kehidupan insan pers dengan kualitas profesi dan pelaksanaan tugas yang proporsional. Itu berarti pencerahan dan peningkatan kehidupan pers di daerah terabaikan secara otomatis, manakala kepentingan oknum-oknum pengurus organisasi kewartawanan lebih dominan ketimbang mengurus kepentingan organisasi wartawan.
Kelima, kehidupan insan pers yang menjadi penghuni pers saat ini cenderung mencari keselamatan diri sendiri. Baik organisasi wartawannya maupun insan persnya sendiri. Upaya menyelamatkan diri sendiri itu terlihat jelas. Di daerah, seorang wartawan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan sandaran pribadi kepada pemerintah (unsur muspida), atau kepada oknum-oknum pejabatnya. Dengan asumsi, jika mereka lebih dekat dengan pemerintah beserta unsurnya dan kepada individu pejabat di daerah mereka dapat menuntaskan persoalan himpitan ekonomi sampai kepada faktor keamanan dan kenyamanan menjalankan profesi jurnalistik.
Asumsi itu mendapat sambutan baik dari para pejabat di daerah. Karena, tidak sedikit pejabat di daerah menganggap seseorang wartawan itu ‘sukses’ dan ‘berhasil’ manakala pemberitaan-pemberitaannya sesuai dengan kehendak para pejabat. Tidak boleh ada kritik, tidak boleh ada kontrol sosial pelaksanaan roda pemerintahan di daerah, apalagi menyangkut kebijakan oknum pejabat. Arti kata, keberhasilan dan kesuksesan seseorang wartawan di daerah menurut sebagian besar pejabat adalah ketika seseorang wartawan mampu membungkamkan dirinya untuk tidak melakukan pemberitaan sebagaimana mestinya.
Strategi pemerintah daerah beserta pejabatnya untuk meredam ketajaman pena wartawan, diakui tidak lagi seperti di zaman orde baru. Namun, dampak yang ditimbulkan sangat membelenggu kehidupan pers itu sendiri. Untuk media-media massa yang terbit rutin, diupayakan terjalinnya kerjasama melalui kontrak kerja ‘berlangganan’ untuk sekian oplahnya setiap hari. Jika kontrak kerjasama itu tercapai, maka habislah profesi wartawan yang medianya sudah teken MoU dengan pemerintah daerah.
Berita-berita yang muncul senantiasa informasi-informasi tentang puji-pujian terhadap pelaksanaan program-program pemerintah, terhadap pejabat tertentu dan menutup pintu erat-erat tertutup aspirasi masyarakat tentang kejanggalan-kejanggalan program tertentu pemerintah. Di situ terjadi pembelengguan diri sediri oleh wartawan karena faktor finansil dan kenyamanan melaksanakan profesi. Berarti, si wartawan-wartawan seperti itu telah secara langsung menjual harga dirinya, profesionalismenya dan moralnya kepada kepentingan-kepentingan sesaat.

Demikian halnya terhadap keberadaan wartawan di tengah meriahnya pilkada di suatu daerah. Dengan mencondongkan atau membungkukkan diri kepada salah satu calon. Ditargetkan tujuan-tujuan tertentu dari sikap tersebut. Pertama, mengharapkan kucuran dana selama proses pilkada berlangsung—setidak-tidaknya dapat menerbitkan medianya sesuai jadwal dan kebutuhan sang calon kepala daerah yang memberikan dana. Kedua, dengan diterbitkan medianya melalui dana kucuran sang calon kepala daerah. Imbalannya adalah, bagaimana melakukan teror dan penyebaran informasi buruk kepada calon kepala daerah lainnya.
Atau memberikan porsi ‘mengada-ada’ berita besar si calon yang memberikan kucuran dana. Dengan membesar-besarkan si calon dan mengecilkan calon lainnya sekecil-kecilnya di mata publik. Kecenderungan yang terjadi saat ini di dunia pers kita, sangat memilukan. Trotorar pers yang sudah diundangkan atau peraturan kode etiknya sudah tidak diperhatikan lagi. Oleh karena itu, pemberitaan pers di era pilkada mempunyai peran besar terciptanya konflik di tengah masyarakat. Sebab, berita dan informasi yang disajikan banyak yang menyesatkan.
Dari sekian peristiwa, kejadian dan fenomena yang terjadi di dunia pers kita dewasa ini, perlu dibangun kembali kesepakatan untuk mendapatkan komitmen hukum yang jelas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pribadi-pribadi wartawan atau perusahaan pers yang menerbitkan media massa cetak, elektronik maupun visual.
Toleransi terhadap pribadi-pribadi wartawan yang merusak citra pers Nasional kita, harus ada ambang batasnya. Jika tidak ingin melihat kehancuran sistem pers kita di masa akan datang. Pasal standarisasi karya jurnalistik yang dibuat wartawan; harian, mingguan, tabloid atau majalah
Sebelum insan pers menuntut kebebasan, sangat diperlukan evaluasi di tubuh pers itu sendiri sebagaimana saya paparkan di atas. Dengan evaluasi, akan ditemukan pola apa untuk memperbaiki sistem dan mekanisme pers tersebut sebagaimana layaknya sebuah institusi yang berbasis profesi. Profesi itu mempunyai kode etik yang sudah disepakati. Jadi, mereka yang menyandang kartu pers yang tidak sama sekali membuat berita kurun waktu tertentu (misalnya, sebulan atau triwulan). Tanpa kompromi harus dikeluarka dari dunia pers. (habis)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 2)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 2)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum

Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang.
DI SISI lain, wartawan dan atau pers, juga menghadapi ancaman yang serius dalam menjalankan kegiatan rutinnya. Terutama menyangkut kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah atau pengusaha yang notabene berada dalam lingkungan kekuasaan dan politik.
Dan itu, pernah dialami majalah dan koran Tempo ketika menghadapi bagaimana lingkaran ancaman berhadapan dengan pengusaha yang sangat dekat dengan susu kekuasaan seperti dengan Polri. Pasal-pasal jurnalistik dalam kasus majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata, sangat tidak dipahami pihak pengadilan yang hanya menerapkan pasal-pasal ‘kerjasama’ dan KUHP. Padahal, jurnalistik memiliki pedoman dan acuan sebagaimana UU No 40/1999.
Kita menginginkan pelaksanaan profesi jurnalistik, selain diawasi oleh UU Pers, Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat pun harus mampu mengkritisi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan jurnalistik yang memiliki kecenderungan pelaksanaannya di luar aturan profesi.
Adalah sesuatu hal yang salah manakala wartawan mengaku sebagai pengawas penggunaan bantuan-bantuan pemerintah seperti dana DAK, BOS, Schoolgrand dan dana lainnya dengan meminta imbalan sejumlah uang. “Kalau tidak akan diberitakan!” demikian penyebaran ancaman kepada sekolah-sekolah, terutama di pelosok pedesaan.
Ketika kita membicarakan diri wartawan dan mengevaluasi kebebasan pers. Itu, bukan berarti kita menepuk “air didulang”. Tetapi, lebih kepada peringatan-peringatan atas kasus-kaus yang sudah dan mungkin akan terulang kembali kejadiannya. Walaupun tidak dapat dikesampingkan, soal kesejahteraan wartawan dalam menjalankan profesi persnya menjadi salah satu faktor; kenapa wartawan berbuat nekat dan mengklaim dirinya sebagai aparat penegak hukum, pengadil dan penjatuh sanksi hukuman.
Memang tepat Kode Etik Jurnalistik itu harus benar-benar meresap dalam sanuibari setiap insan pers dan warga masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik. Kemanakah warga akan memberikan laporan, mengadu atau melakukan gugatan—jikapelanggaran itu sudah memasuki wilayah tindak pidana kriminal. Misalnya pemerasan, intimidasi, pelecehan seksual, penyalahgunaan dan peredaran narkoba dan sebagainya.
Perusahaan pers pun harus memberikan hak-hak wartawan semaksimal mungkin, walau kondisi permodalannya tidak cukup untuk diandalkan. Namun, mengeksploatasi wartawan tanpa memberikan kewajiban perusahaan pers, akan menjadi percepatan terjadinya tindak kriminal dilakukan insan pers atau terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik—kemudian menjurus kepada delik-delik pers.
Demikian pula pimpinan-pimpinan perusahaan pers harus melakukan filterisasi dalam rekrutmen wartawan atau karyawan persnya. Bagaimanapun sekarang, wartawan itu dituntut untuk dapat memahami dan menjalankan (mengoperasikan) teknologi yang dipergunakan oleh pers. Misalnya mampu mengetik di komputer, memahami dan dapat menjalankan proses internet dan memahami rambu-rambu pers yang sudah ada.
Jika tidak, maka kebebasan pers yang dituntut insan pers selama ini akan menjadi bumerang. Artinya, kebebasan pers itu akan dijadikan tameng untuk melagalkan tindakan-tindakan nonjurnalistik. Misalnya, wartawan juga merangkap jadi LSM, menjadi pemborong, menjadi makelar kasus, menjadi bandar narkoba dan sebagainya.
Dalam prosesi demokrasi, seperti pemelihan kepala daerah (pilkada) atau pemelihan umum (pemilu). Selayaknya insan pers tidak meninggalkan filosofi, bahwa wartawan adalah melaksanakan kegiatan rutinnya bidang jurnalistik. Kendati (bolah-boleh saja) ia dibebani banyak hal oleh pimpinan media massanya. Misalnya mendapatkan iklan, melemparkan sekian eksamplar korannya atas hasil wawancara dengan tokoh dan sebagainya.
Tetapi, tugas utamanya secara rutin memberikan informasi kepadsa masyarakat melalui media masanya jangan sampai lupa. Kemudian, pemahaman selaku TS I tim sukses) salah satu calon kepala daerah, tidak serta merta menjual ideologinya. Tidak serta merta membuat berita pilkada melulu pada balon pilkadanya yang ditim-sukseskan.
Sejauh ini, tidak ada larangan kepada insan pers untuk menjadi anggota tim TS para calon kepala daerah. Akan tetapi, tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip jurnalistik (termasuk filosofi jurnalistik beserta peraturan peundang-undangannya). Kita pahami, dirambahkan ke wilayah hukum politik praktis oleh seseorang wartawan, karena benturan ekonomi yang dihadapinya.
Oleh karenanya, segenap insan pers harus membangun komitmen menghadapi wartawan-wartawan yang nakal yang melakukan tindak perbuatan pidana dengan segala macam modus operandinya. Pertama: penerbitan pers harus benar-benar selektif merekrut dan menerima menetapkan wartawan medianya. Faktor pendidikan, moral, mental dan perilaku calon wartawan harus jadi perhatian utama.

Kedua: penerbitan pers harus melihat kemampuan dan ketrampilan si calon wartawannya (wartawannya). Jika tidak mampu menguasai sarana dan prasarana teknologi komunikasi. Barangkali perlu untuk tidak direkrut, daripada nantinya akan membuat media massa tempat ia bekerja mengalami kesulitan.
Sebagai catatan, hingga saat ini lebih dari 50% jumlah wartawan—khususnya di Lampung menjadi pelaku tindak pidana dengan berbagai pola tindakan yang dilakukan. Salah satu contohnya melakukan pemerasan terhadap kepala-kepala sekolah, khususnya di pedesaan menyangkut pengelolaan dan penggunaan dana BOS, DAK dan dana bantuan lainnya.
Pada saat itu, banyak wartawan bertindak sebagai polisi, jaksa, bahkan menjadi hakim—yang dapat membuat orang itu menjadi salah. Situasi dan kondisi demikian kita sadari sepenuhnya, bahwa mereka hanya menginginkan sejumlah uang. Kadang hanya cukup untuk rokok sebungkus, wartawan tertentu itupun sudah pergi.
Ketiga: wartawan yang sudah banyak melakukan kerusakan menjadi klop ketika media tempatnya bekerja pun seenaknya terbit. Terbiutnya media massa (cetaknya) digantungkan kepada musim proyek, musim pilkada, musim kucuran dana koperasi, musim kucuran dana bantuan dari pusat untuik daerah (dan untuk sekolah-sekolah), terbit ketika APBD sudah disahkan. Akibat proses penerbitan media massa di Indonesia kurang bagus sejak diberlakukannya UU No 40/1999, maka penerbitan media cetak (khususnya) mengalami kesemberonoan, kesewenang-wenangan. Tanpa mengindahkan etika pers yang ideal.
Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya. (bersambung)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 1)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 1)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum

DENGAN perasaan berat-berat ringan untuk mengupas realitas kehidupan para wartawan dewasa ini—terkait parca gerakan reformasi tahun 1998-an. Wartawan yang menghidupkan serta menghiasi dunia pers itu, merupakan pelaku kontrol yang efektif mengkritisi pelaksanaan roda pemerintahan dari berbagai aspek. Misalnya, aspek hukum, aspek agama, aspek profesi (onal), aspek norma sosial, aspek politik, aspek seni dan budaya dan aspek lainnya.
Di dalam UU No 40/1999 tentang Pers, juga di dalam aturan main perusahaan pers sudah sangat diketahui dan jelas. Bahwa, wartawan itu memiliki pendapatan dari hasil kerjanya yang memberikan report kepada penerbitan pers berupa informasi-informasi yang dilakukannya secara rutin.
Tetapi, pada garis horizontal maupun vertikal hampir sebagian besar wartawan di Indonesia tidak memiliki pendapatan (gaji) tetap sebagai imbalan tugas yang dikerjakannya secara rutinitas tadi. Kondisi itu, akan diperburuk lagi setelah reformasi, usaha untuk menerbitkan media cetak, elektronik dan audio visual sungguh-sungguh mudah dan gampang. Artinya, modal tetap sebagai faktor utama terbiatnya sebuah media. Sudah tidak jadi standar lagi.
Dengan modal sejutaan, seseorang atau sekelompok orang yang sepakat menerbitkan media cetak. Sudah dapat memiliki dan menerbitkan koran. Terutama koran kategori Mingguan atau Tabloid. Modal nekat dibarengi perilaku urakan, kekerasan, intimidasi atas nama pers menjadi “modal utama” . Persoalan, apakah kru media cetaknya memiliki SDM yang maksimal, itu tidak penting dan memang tidak digubris.
Fenomena dunia pers dewasa ini seperti uraian singkat di atas. Sudah menjadi trade mark di dunia pers kita yang terus menuntut kebebasan, kebebasan dan kebebasan yang luar biasa. Tanpa diimbangi pemenuhan tentang hak dan kewajiban. Seperti rangkuman hasil diskusi bertema “Wartawan Menjadi TS” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalistik Indoensia (AJI) bersama Bengkel Jurnalistik (Sabtu, 28/6-2008) lalu di Bandarlampung.
Berbagai kajian, masukan, saran dan kritik terhadap pers, khususnya personifikasi wartawan dikedepankan. Intinya, apa yang terjadi terhadap profesi wartawan saat ini merupakan akibat dari rendahnya kesejahteraan wartawan, kurangnya modal menerbitkan media cetak, tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran profesi wartawan dan lainnya.
Barangkali, mendengar dan berupaya memahami bacaan terhadap perilaku insan pers kita (wartawan), siapapun menjadi gregetan banget! Terlebih lagi, wartawan-wartawan yang juga terjun ke dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai upaya menghindari benturan-benturan sanksi hukum atas perbuatan-perbuatan yang atas nama jurnalistik. Tetapi, di lapangan lebih kepada sikap dan fungsi aparat penegak hukum; arogan, premanisme dan ancaman.
Lampung Post Minggu (Minggua, 20/6) kemarin menurunkan berita utama halaman berjudul “Diintimidasi Wartawan, Kakek Nekat Minum Racun!” (hal 3). Dapat dibayangkan, apa kerja seorang wartawan sehingga mengintimidasi korban pelecehan seksual. Bahkan, sesumbar akan menghukum ayah korban pelecehan seksual tersebut (kejadian di Lampung Timur).
Saya pikir semua perilaku itu, termasuk di Lampung Timur tersebut merupakan tindakan kejahatan. Bukan tindakan jurnalistik. Perbuatan kejahatan yang berlindung di balik status pers—wartawan itu sebenarnya merupakan tindak kejahatan yang serius. Dan, merupakan akibat rekrutmen wartawan yang tidak bagus. Hanya rekrutmen berdasarkan;” Kamu mau jadi wartawan, syaratnya siap mengedarkan koran, dan kartu pers bisa dimiliki apabila kamu bayar sekian ratus ribu........dan sebagainya”.
Wartawan dengan pola rekrutmen tidak benar itu, dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, tidak diberi apa-apa. Kecuali kartu pers, bahkan, mereka tidak mengerti jurnalistik itu sendiri. Apalagi membuat berita yang layak dan merupakan karya jurnalistik.
Dunia pers kita semakin terseret ke dunia yang kacau balau. Sayangnya, begitu menjamur penerbitan media cetak. Fungsi Dewan Pers, Organisasi Kewartawanan, Kode Etik Jurnalistik dan aturan hukum yang berlaku. Selalu gagal menghadang perilaku yang jelas-jelas melanggar hukum tersebut.
Saat ini, ada beberapa masalah pokok yang digandrungi wartawan yang kondisinya hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Pertama: dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan berperan sebagai aparat penegak hukum. Tindakan itu semata-mata untuk mendapatkan sejumlah uang.
Kedua, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan melakukan tindakan-tindakan premanisme. Seperti sebelum bertemu dengan pejabat, harus menenggak minuman keras terlebih dahulu. Dengan maksud agar memiliki tingkat keberanian yang luar biasa. Sampai-sampai mengkonsumsi narkoba (misal inek/ekstasi, shabu). Kecenderungan itu dilakukan pribadi-pribadi wartawan untuk ia berharap, agar dirinya ditakuti dan selalu berani.
Ketiga, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi-pribadi wartawan atas nama jurnalistik membawa pula bendera LSM. Maksudnya, data LSM itu disodorkan kepadanya sebagai jurnalis kemudian mendatangi pejabat atau dinas/instansi yang mempunyai masalah versi mereka.
Kondisi umum seperti itu memang tidak sehat, cenderung tidak menjalankan profesi jurnalistik walau mengatasnamakan pers. Misalnya ketika menjadi makelar proyek atau pengaman seorang rekanan untuk mendapatkan proyek. Jika tersandung masalah hukum. Begitu enteng dan mudahnya beralasan, bahwa mereka sedang menjalankan profesi jurnalistik? Padahal, itu hanyalah akal-akalan agar lepas dari jeratan hukum. Yang lebih kronisnya lagi, aparat penegak hukum (yang asli, polisi, kejaksaan dan TNI) begitu saja percaya diakalin demikian.
Keempat, banyak pribadi-pribadi wartawan itu menjadi mediator penyelesaian kasus-kasus dengan sejumlah imbalan uang. Mereka beranggapan dengan menyandang status wartawan (pers), orang akan ngeri dan takut dan kasusnya bisa diselesaikan. Termasuk wartawan yang menjadi ujung tombak untuk menggolkan diterimanya seseorang siswa di sekolah yang dikehendakinya.
Kecenderungan keempat di atas setiap hari kita hadapi, setiap hari kita baca beritanya ada saja wartawan yang berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan kegiatan yang bukan kegiatan jurnalistik.
Kelima, saat ini banyak pribadi-pribadi wartawan membuat LSM sendiri. Dengan statusnya sebagai wartawan—walau tidak / jarang membuat berita dan punya LSM. Kecenderungan selanjutnya mereka secara rutin rata-rata 2 X sebulan mengajukan proposal minta bantuan ke pemerintah daerah di mana mereka bertugas dan berdomisili. Bahkan, proposal yang mereka buat dan ajukan bisa melebar ke pemerintah daerah lainnya. Itu, bukan soal boleh atau tidaknya melakukan kegiatan demikian.
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang. (bersambung)

Politik ‘Ketergantungan’ Politik

Politik ‘Ketergantungan’ Politik
Oleh Naim Emel Prahana

KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)

Teolog- Seniman, Aktor Pencerahan Budaya

Teolog- Seniman, Aktor Pencerahan Budaya
Endri Y. (Pecinta Sastra, tinggal di Lampung)

Pada zaman global, dimana sekat politik- geografis bukan lagi hambatan informasi. Saat inilah kebudayaan bukan hanya ditentukan akal budi manusia saja. Tetapi kapital, informasi, media, dan manusianya, semua memiliki peran strategis- ketergantungan.
Sedangkan esensi peta posisi budaya berada hanya pada hasil penciptaan para manusia yang telah tercerahkan. Dalam lingkup mencipta gerak budaya “yang tercerahkan” itu adalah seniman dan teolog. Keduanya menjadi pendulum kesejarahan yang terus diproduksi dan mereproduksi diri dalam hadirnya untuk memandu arah zaman.
Telaah Martin Buber yang terkenal, I require a you to become, becoming I, I say you. Jika dikaitkan dengan relevansi keterbukaan masyarakat yang tercermin dalam ranah budaya yang inklud pada kedirian, menemukan kebenarannya. Masuk di dalamnya akulturasi- akulturasi pada hampir semua diri- budaya sebagaimana filosofi Buber itu, “aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau”.
Dapat dikatakan, nafas semangat teolog adalah kemampuan untuk sejauh mungkin menembus medan- medan tersulit (fisik dan metafisik) untuk kemudian bersinergis “menjadi” manusia dengan dimensi watak ketuhanan. Sabar dan ikhlas. Memberi tanpa pamrih. Menebar cinta kasih. Kehidupannya lebur dalam lika- liku jalan immaterial. Dan tentu, selalu larut dalam pengembaraan- pengembaraan intelektual
Tidak jauh berbeda, seniman dalam ranah pengembara ke manifes mencerahkannya, senada dengan teolog. Ketika teolog bergerak pada ranah indrawi- batiniah ke ketentraman hidup “yang ada”. Seniman berjuang untuk mengantar estetika pada fisik- indrawi untuk eksis. Keduanya berkhidmat demi menjadi manfaat bagi manusia lain.
Adalah Gus Tf Sakai yang mengalirkan pembeda kategoris, antara agamawan dan seniman sebagai dua kutub pengarah dengan keberbagaiannya. Dia membuat eksistensi kesenimanan terlegitimasi untuk berbuat sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia, mengarahkan dan mengantarkan. Bedanya terletak pada beban nilai yang terbatas dan tidak terbatas. Kontekstual- eksklusif dan universal- inklusif.
Dalam paham ini, kedua pencerah (teolog dan seniman) itu sekarang berusaha melingkupi dan melampaui nilai yang dibawanya untuk kontekstual dan universal sekaligus.
Bagi seniman, yang dikenal berkarya dalam kandungan nilai universal mulai digagas karya seni yang kontekstual untuk kalangan sendiri, intern, dan spesifik. Indikator utamanya, marak komunitas dan karyanya tersegmentasi untuk komunitasnya. Pun teolog, yang tanda kajian- nasehatnya dulu eksklusif dan hanya beredar untuk kalangan sendiri kini melangkah ke aksi sosial, praksis semakin peduli pada universalisme kemanusiaan. Misalnya, peran agamawan yang aktif dalam kampanye hidup sehat, memberantas kemiskinan, dan semacamnya. Padahal dengan usaha mendekonstruksi teologi awalnya.

Radikalisasi Peran
Terkait dengan teori pemberontakan dengan anjuran cinta kasih sebagai manifestasi watak ketuhanan para teolog dan seniman ini, terjadi radikalisasi perubahan peran atau sekedar penyelarasan peran sesuai tuntutan zaman. Albert Camus, membuat peta ziarah intelektual atas kontemplasinya terhadap filsafat Eropa (Pemberontak, 2000) terjemahan dari buku (The Rebel, 1956).
Salah satu hasil permenungan Camus adalah Sade, yang membenarkan kebinalan manusia dalam term libido terkejam. Dimana logika itu pada dasarnya dibangun oleh hasrat, nafsu kebalikan dari pemikiran tradisional. Sade, sebagaiman dianalisis Albert Camus, memberikan pembenaran terhadap fitnahan, pencurian, dan pembunuhan dan kita diharapkan sabar terhadap kejahatan- kejahatan.
Dari sini, pengarusutamaan kepasrahan diri adalah kemutlakan absolut. Ketika seluruh institusi pengelompokan pengatasnama ‘pemberdayaan’ menjadi mitos, sekedar langkah- langkah dan celoteh utopis para agamawan atau seniman, rajutan kata- kata, teks- teks, karya- karya yang imajiner dan terkesan menipu. Sangat dibutuhkan peran radikal teolog dan seniman dalam ranah gerakan tersebut di atas. Bukan hanya berkutat pada kontekstual, universal, tetapi lebih pada praksis sosial dari produk pemikirannya. Yaitu terwujudnya kebudayaan global yang tercerahkan itu. Yang tentram dengan keberbagaiannya dan kebebasan nilainya.
Budaya, dalam kacamata untuk mengejawantahkan visi nun jauh ke depan, baik dalam rentang 10, 20, dan atau 30 tahun mendatang tentang prospek berkebudayaan perlu ada pembongkaran. Meminjam bahasa dalam judul buku terbitan Kompas, (September, 2007); “Membongkar Budaya, Visi Indonesia 2030” khususnya dalam rangka perancangan produk (product design) pencerahan teolog dan seniman, diperlukan rekonsiliasi dengan masa lalu.
Proyek rekonsiliasi berarti juga kesadaran untuk membangun spiritualitas. Dalam teori rekonsiliasi mempersyaratkan kesediaan memaafkan masa lalu.
Terkait dengan masa lalu, maka penting pula bagi kita untuk berjuang melawan lupa, meminjam bahasa Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting __perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa__ sebab, “lupa” bagi para pencerah itu (teolog dan seniman) adalah musuh yang paling nyata. Baik itu dilupakan, terlupakan, atau bahkan melupakan. Kata sakral dalam peran pemegang mandat kultural.
Dilupakan, adalah penolakan atau peniadaan yang menjadi musuh sejati para seniman dan teolog. Karena karya seni dan teologi tujuan utamanya meng-ada-kan. Membuat prasasti, mengukir sejarah, meninggalkan jejak, monumen, dan untuk menegaskan “kehadiran” sebagai zeitgeist zaman.

Persepsi Tubuh Kebudayaan
Adalah Maurice Merleau- Ponty (1908- 1961) seorang filosof besar perumus fenomenologi dan termasuk di dalam kajian filsafatnya ada pendedaran hakekat persepsi tubuh. Untuk sampainya pada pembacaan “persepsi tubuh kebudayaan kita” perlu diperhatikan bahwa, bagi Merleau Ponty istilah “persepsi” mempunyai arti lebih luas daripada mata mengamati suatu subyek. Sebetulnya istilah itu meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi.
Dengan demikian persepsi secara langsung berkaitan dengan dunia, tubuh, dan intersubyektivitas. Bahkan lebih lanjut, persepsi digunakan untuk menunjukkan pertautan antara dunia dan tubuh, perpaduan tubuh dan dunianya. Persepsi dalam arti psikologis juga sebagai aktus kesadaran (pengamatan). Dari persepsi inilah kita dapat menyentuh langsung denyut nadi, sebagai penanda adanya kehidupan artefak dan karya pencerahan.
Denyut nadi itu adalah gerakan- gerakan lembaga, institusi, dan lain semacamnya yang menaungi atau dijadikan tempat bernaung karya seni dan teologi. Sedangkan tubuhnya adalah seniman dan teolog. Maka, bagaimana persepsi itu bergerak, sebagaimana pula tubuh itu menggerakkan.
Persepsi tidak akan bergerak jika tubuh tidak pernah beranjak dari tempat berdirinya. Penggerakan persepsi adalah juga pergerakan tubuh, adiluhungnya matan nilai- nilai altruis, semangat membuat transformasi sosial, membangun tanda- tanda, sampai pada penyuguhan hiburan serta ketentraman adalah muatan kebajikan produksi karya seni dan teologi.
Di ranah tubuh budaya yang mampu menggiring manusia ke pergerakan menuju kutub- kutub matrial di luar kesejatiannya sebagai manusia, sangat diperlukan basis pengembang nilai, pengumpul tatal- tatal altruis yang berserakan untuk mampu menegasikan budaya ke proses pencerahan paripurna. Dan tidak ada yang lebih mampu untuk tugas estetis seberat itu selain seniman dan teolog. (*)

Sastra Indonesia: Kaum Muda Dan Perempuan

Sastrawan Lampung

Sastrawan Lampung
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


1. Agus S. Santo
2. Ahmad Rich
3. Ahmad Yulden Erwin
4. Alex R. Nainggolan
5. A.M. Zulqornain
6. Andriansyah
7. Anton Kurniawan
8. Ari Pahala Hutabarat
9. Aris Hadianto
10. Bahirul Al-Varizi
11. Bambang Karyawan HB
12. Binhad Nurrohmat
13. Budi Elpiji
14. Budi P. Hatees
15. Christian Heru Cahyo Saputro
16. Dadang Ruhiyat
17. Dahta Gautama
18. Dina Oktaviani
19. Djuhardi Basri
20. Dyah Merta
21. Edy Samudra Kertagama
22. Elya Harda
23. Fitri Yani
24. Gunawan Pharikesit
25. Hasanuddin Z. Arifin
26. Hendra Z.
27. Hendri Rosevert
28. Iin Mutmainnah
29. Imas Sobariah
30. Inggit Putria Marga
31. Isbedy Stiawan ZS
32. Iswadi Pratama
33. Ivan Sumantri Bonang
34. Iwan Nurdaya-Djafar
35. Jimmy Maruli Alfian
36. Kuswinarto
37. Lupita Lukman
38. M. Arman AZ.
39. Maulana Suryaning Widy
40. M. Yunus
41. Naim Emel Prahana
42. Nersalya Renata
43. Oyos Saroso HN
44. Panji Utama
45. Rahmadi Lestari
46. Ratno Fadillah
47. Rifian A. Chepy
48. Sugandhi Putra
49. Sutarman Sutar
50. Sutjipto
51. Syaiful Irba Tanpaka
52. Tarpin A. Nasri
53. Thamrin Effendi
54. Ucok Hutasuhut
55. Udo Z. Karzi
56. Y. Wibowo

Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*

Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*
Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda
Laut adalah lambang kehidupan yang dinamis. Birahi laut berarti dinamika kehidupan yang penuh gairah. Dan, begitulah kurang lebih sajak-sajak Dino Umahuk dalam buku kumpulan sajaknya, Metafora Birahi Laut (Lapena, 2008), penuh imaji kehidupan yang bergairah sekaligus bergejolak, dalam metafor-metafor yang unik.
Berbagai tema tentang kehidupan, interaksi antara manusia (sang penyair) dengan alam, dengan sesama manusia, dalam rasa cinta dan gairah untuk mereguknya, dirangkum sang penyair dalam sajak-sajaknya. Kadang-kadang terbersit rasa duka, derita, suka cita. Namun, semua dalam gairah cinta, untuk mereguk makna hidup sampai akarnya. Dan, kegairahan itu mengkristal dalam sajak “Metafora Birahi Laut” (hlm 63) yang dipilih menjadi judul buku ini.

Coba kita simak sajak tersebut:
MEPOTAFORA BIRAHI LAUT
Ini birahi tumbuh dari laut
Ketika ombak pasang
Dan badai melarungkan segumpal kemesraan
Ke dalam jasad yang bernama Adam
Ini birahi datang dari laut
Ketika langit merah saga
Dan senja melabuhkan dahaga ke dada
Laki-laki bernama anak Maluku
Ini puisi tak sekadar kata
Ia tumbuh berbunga mantera
Ketika musim telah tiba
Janji kan dia tunaikan di rahim perempuan
Ini cinta tidak biasa
Ia lahir dari birahi laut
Ketika ombak bersetubuh dengan pantai
Dan dupa menguap dari ketiak malam

2005

Dalam kegairahan seperti ‘birahi laut’ itu Dino tampak begitu lahap untuk menulis apa saja, yang sempat dijumpai dan menggoda imaji puitiknya sepanjang pengembaraannya, sepanjang petualangannya menaklukkan tantangan hidup yang keras, puncak gunung, dan perempuan. ‘’Puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri,’’ tulis Ikranegara pada pengantar pendeknya.
Karena kegairahannya itu Dino mencatat apa saja sepanjang petualangannya. Sejak persoalan politik sampai kegelisahan individualnya, sejak persoalan yang sekular sampai yang bernuansa religius seperti “Sajak Lautan Sajadah” (hlm 37). Dalam sajak ini, penyair yang dalam sajak ‘’Membunuh Tirani’’ (hlm 59) menyebut dirinya sebagai ‘’lelaki malam yang lahir dari bisa ular’’ – yang melihat kehidupan sebagai padang penaklukan yang menggairahkan --berubah menjadi manusia religius yang memandang kehidupan (lautan) sebagai hamparan sajadah untuk ‘’kembali’’ berserah diri pada-Nya.
Sangat menarik untuk menyimak sajak tersebut, sbb.

SAJAK LAUTAN SAJADAH
Lautan adalah hamparan sajadah menapaki makrifat-Mu
Di wajah kesadaran yang Kau titipkan lewat rinai hujan
Air mata meninggikan derajat beberapa doa
Malam adalah jerat antara surga dan neraka
Di antara huruf Kaf dan Nun yang menjelma gedung-gedung
Kebebalan serupa batu cadas yang luruh di tetesan wudhu
Pada penghabisan kesekian dari sujud di Kursi-Mu
Alif Lam Mim bersekutu sebagai janji
Sebagai Adam yang mentahmidkan cahaya
Lautan adalah hamparan huruf-huruf mengeja ayat-Mu
Seperti tangis yang menunggu di pintu rahim
Usai berikrar meniti nasib

Banda Aceh, 20 Juni 2007

Pada sajak lainnya yang bernuansa religius, yakni ‘’Ajari Aku membaca-Mu’’ (hlm 16), Dino terkesan tak kuasa, atau gagap, dalam membaca tanda-tanda kebesaran dan kehendak Tuhan. Fenomena alam adalah ayat-ayat Tuhan (sunatullah) yang tidak tertulis dan bertebaran seluas hamparan sajadah kehidupan, tapi tak semua orang mampu menangkap maknanya.

Maka, sang penyair petualang, Dino Umahuk, pun minta pada Tuhan agar diajari untuk membacanya. Sedang Tuhan, sejak turunnya wahyu pertama ke-Islaman, sudah memerintahkan pada manusia (melalui Nabi Muhammad SAW) untuk membacanya – iqra bismi rabbikalladzi khalaq! Perintah membaca yang memiliki pengertian sangat luas.

Membaca apapun – teks tertulis maupun teks alam dan kehidupan yang terhampar penuh kekerasan -- tanpa kemampuan untuk memahami maknanya, tanpa bekal kearifan untuk memaknainya, dapat juga mengundang rasa putus asa, frustrasi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri, seperti terbersit pada sajak ‘’Agama Bunuh Diri’’ (yang ditulis pada tahun 1999, hlm 15) berikut ini:

Bila nanti siang kau shalat jumat
Barangkali di masjid Al-Fatah
Atau hari minggu nanti kau ikut kebaktian atau misa
Mungkin di gereja Maranatha mungkin di Keuskupan
Tolong tanyakan pada Muhammad dan Isa yang agung itu
Apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
Agar kita saling membunuh?
Kalau memang demikian
Mengapa agama melarangku bunuh diri

Untunglah Dino tidak benar-benar bunuh diri karena memang dilarang oleh agama. Untunglah Dino akhirnya menyadari bahwa manusia memang bodoh dan fana, dan hanya Tuhan yang Maha Tahu segalanya, dan memang selayaknyalah dia minta diajari oleh-Nya, seperti tersirat dalam sajak “Ajari Aku membaca-Mu’’, yang ditulisnya pada Maret 2007, sehingga dia memahami bahwa alam dan kehidupan adalah hamparan sajadah panjang untuk ‘’kembali’’ pada-Nya, seperti tersurat pada ‘’Sajak Lautan Sajadah’’. Periode penciptaan 2007 agaknya periode ‘’kesadaran’’ bagi Dino, dan sajak-sajak yang ditulisnya rata-rata bernuansa religius.
Seberagam tema yang dikemas dalam sajak-sajaknya, beragam pula pola pengucapan sajak-sajak Dino. Ada sajak-sajak yang begitu lugas dan kurang puitis, seperti ‘’Agama Bunuh Diri’’ (hlm 15), ada sajak yang memiliki baris-baris yang tidak seimbang kepanjangannya (ada baris-baris panjang, ada baris-baris yang hanya satu dua kata) seperti ‘’Sajak Kelelawar’’ (hlm 36), ada pula sajak-sajak yang sangat indah, rapi, sekaligus puitis serta simbolik, seperti ‘’Sajak Lautan Sajadah’’ dan ‘’Metafora Birahi Laut’’.
Agaknya, seperti juga kebanyakan penyair lain, proses kepenyairan Dino Umahuk adalah juga proses pencarian – pencarian jati diri sekaligus pencarian pola estetik. Syukurlah, melalui pencarian panjang selama hampir 10 tahun (1999-2007), akhirnya Dino menemukan yang dicarinya: jati diri yang religius dan pola pengucapan yang rapi, imajis dan simbolik, dengan citraan-citraan alam yang puitis. Karena itu, selamat untuk Dino Umahuk. Semoga dapat ikut memberi makna positif bagi tradisi kepenyairan di Indonesia untuk saat ini dan selanjutnya.

Pamulang, Maret 2008
*Disampaikan pada acara Bedah buku kumpulan puisi Dino Umahuk Metafora Birahi Laut dan kongkow-kongkow sahabat pencinta puisi Forum Lingkar Pena (FLP) Sabtu 15 Maret 2008 di Perpustakaan Diknas, library@senayan Jakarta

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner

Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.

Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.

Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.

Masa Depan Seni Tradisi Indonesia Terancam