Politik ‘Ketergantungan’ Politik
Oleh Naim Emel Prahana
KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar